Berkelana dalam filsafat hukum

ilustrasi gambar: dokumentasi penulis



sebuah hukum (dalam arti positivisme) tanpa dilandasi moralitas justru bertendensi melahirkan formalisme atau “kebekuan yuridis”. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa antara law as it is dan law as ought to be, antara hukum dan moralitas, terdapat hubungan yang saling mengandaikan.
Karya A.M. Laot Kian berjudul Berkelana dalam Filsafat Hukum ini cukup menarik dan rekomended untuk dibaca kalangan mahasiswa yang baru mulai belajar membaca filsafat hukum. Sebab, selain pembahasan yang ada di dalamnya masih sederhana, kata-kata yang digunakan oleh A.M. Laot Kian mudah untuk dipahami. Buku yang terdiri dari VIII bab pembahasan ini merupakan riset ilmiah yang ditulis sendiri oleh penulis.

MENGENAL FILSAFAT HUKUM

Banyak mahasiswa dan khalayak umun hingga kini masih merasa takut ketika mendengar kata “filsafat”.  Menurut pemahaman mereka, filsafat dipandang sebagai ilmu abstrak, sulit dijangkau dan bahkan hanya diperuntukan bagi kalangan tertentu. Padahal, tanpa mereka sadari, dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang bersentuhan dengan filsafat. Secara hakiki, ketika seseorang menanyakan keberadaan atau eksistensi dari suatu hal, pada saat itu ia dapat dikatakan berfilsafat.

Secara etimologis, filsafat berasal dari bahasa Yunani, philo (dari kata kerja philein) yang berarti “mencintai, pencinta, cinta akan (Pen.)”, dan sophia yang berarti “kebijaksanaan”. Secara terminologis, filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari kebenaran secara metodis, sistematis, rasional dan radikal, melampaui kebenaran dan pertanggungjawaban yang semata-mata empiris. Sedangkan filsafat hukum merupakan cabang dari ilmu filsafat. Berbicara tentang hukum, ada begitu banyak defenisi tentang hukum,  hal itu diakibatkan oleh kedinamisan daripada defenisi hukum itu sendiri sehingga setiap definisi hukum akan melahirkan defenisi hukum yang baru.


MAZHAB (PENALARAN) HUKUM DAN POSISI INDONESIA

Secara umum diakui bahwa perkembangan pemikiran tentang hukum dapat dibagi dalam beberapa tahap, yakni :

1.    Zaman Yunani-Romawi

2.    Abad Pertengahan

3.    Zaman Renaissance

4.    Zaman Rasionalisme

5.    Abad XIX

Berkaca dari hal diatas, sengaja dikhususkan bagi eksplanasi mazhab-mazhab hukum beserta penalarannya. Tujuan dari eksplanasi ini bukan hanya sekadar mengetahui dan mengevaluasi, melainkan terlebih lagi untuk mengkritisi ke-chaos-an hukum Indonesia yang posisinya “entah dimana.”
1.    Mazhab Hukum Alam

Mazhab Hukum Alam atau Hukm Kodrat atau Naturalisme, yang berakar kuat dalam zaman Yunani Kuno (dan diteruskan dalam zaman Romawi). Dimana wujud Ilahi diyakini mengejawantahkan dirinya dalam kesempurnaan kosmos/alam, keteraturannya, dalam melampaui manusia, sehingga hukum yang lebih tinggi dan lebih superior itulah yang mereka namakan “Hukum Alam”.

Pemikiran diatas, mazhab hukum alam dibagi 2 (dua) kategori yaitu:

·      Aliran Hukum Alam yang Irasional/teologis; dan
·      Aliran Hukum Alam yang Rasional/sekuler.
2.    Positivisme Hukum

Positivisme hukum memandang perlunya memisahkan secara tegas antara hukum dan moral, antara hukum yang berlaku dengan hukum yang seharusnya, antara das sollen dan das sein. Positivisme hukum melihat bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang0orang untuk membuat hukum (tiada hukum lain kecuali perintah penguasa, law is a command of the lawgivers).

Aliran positivisme hukum dibagi atas Aliran Hukum Positif Analitis yang dibangun oleh John Austin (1790-1859) dan Aliran Hukum Murni yang dipelopori oleh Hans Kelsen (1881-1973).

3.    Utilitarianisme

Istilah “Utilitarianisme” diturunkan dari kata bahasa Latin “Utilis” yang berarti berfaedah, berguna, menguntungkan. Pada prinsipnya, utilitarianisme merupakan sebuah paham etis yang berpendapat bahwa baik buruknya prilaku atau perbuatan ditentukan menurut nilai guna. Nilai guna ini berkaitan erat dengan perbuatan yang mendatangkan kebahagiaan.

4.    Mazhab Sejarah Hukum

Mazhab Sejarah / Historis menekankan bahwa hukum tumbuh dari kesadaran hukum bangsa di suatu tempat dan pada waktu tertentu (Das Recht wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem Volke). Volkgeist yang paling murni terdapat dalam kebiasaan. Peraturan hukum merupakan pencerminan keyakinan hukum dan praktek-praktek yang terdapat dalam kehidupan bersama dan tidak diterapkan dari atas. Dengan demikian yang menjadi sumber hukum ialah hukum kebiasaan.

5.    Mazhab Sosiologi Hukum dan Sociological Jurisprudence

Sociological jurisprudence adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang dari sosiologi. Salah satu toko dari sosiologi hukum ialah Max Webber (1864-1920) yang memandang hukum berdasarkan perkembangan masyarakat dan sosialnya, ia menemukan bahwa tipe perubahan sosial masyarakat tersebut mempengaruhi pembentukan hukum. Bagaimana dengan Sociological Jurisprudence? Aliran ini di Amerika dipopulerkan oleh Roscoe Pound, seorang pragmatis Amerika. Bagi Pound, hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam konsep-konsep logis-analitis ataupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang terlampau ekslusif. Sebaliknya, hukum harus didaratkan didunia nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.

6.    Realisme Hukum.

Meskipun secara umum Realisme Hukum dibedakan atas Realisme Hukum Amerika dan Realisme Hukum Skandinavia, namun pada prinsipnya paham ini menyatakan bahwa hakim-hakim tidak hanya menemukan hukum, akan tetapi membentuk hukum. Dengan demikian Realisme Hukum adalah pandangan atau paham yang melihat hukum sebagaimana adanya tanpa idealisasi dan spekulasi atas hukum yang bekerja dan yang berlaku, yang menerima fakta apa adanya mengenai hukum (dalam kekayaan realitasnya).
7.    Freirechtslehre

Freirechtslehre atau aliran Hukum bebas, merupakan aliran yang sangar menentang Positivisme terutama Legisme. Aliran ini beranggapan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, seorang hakim bebas untuk memberikan putusan.

8.    Feminist Jurisprudence

Para feminis (pembela hak-hak asasi perempuan) menganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang berpihak kepada perempuan (dan tentunya) siapa saja yang secara sosial dilemahkan untuk kemudian melawan penindasan tersebut.

Lantas kemana ara mazhab hukum di Indonesia? Sejarah mencatat bahwa hingga kini telah terdapat sedikitnya tiga macam Tipologi Hukum yang menunjukkan karakteristik cultur of law  yang dihidupi masyaakat Indonesia, yaitu: Pertama Tipologi Hukum Era Orde Lama (1945-1965), kedua Tipologi Hukum Era Orde Baru (1966-1998), dan ketiga Tipologi Hukum Era Reformasi (1995-2005).

Lalu bagaimana dengan Tipologi Hukum Era Pasca-Reformasi? Secara kasat mata, kekacauan hukum berakibat langsung pada tumpahnya akumulasi emosi dalam bentuk perilaku anarkis dan brutal. Yang lebih ironis ialah justru dalam keadaan seperti ini, sistem law enforcement menjadi amburadul karena para penegak hukum sendiri berlaku bobrok. Konsekuensinya, perilaku street justice (eigenrechting) dalam bingkai homo homini lupus pun bermunculan dimana-mana


POSMODERNISME DAN GLOKALISASI HUKUM

Istilah Postmodernisme berasal dari wilayah seni: musik, seni rupa, roman dan novel, drama, fotografi, arsitektur, dan dari situ merembet menjadi istilah mode yang dipakai oleh beberapa wakil dari beberapa ilmu. Dapat dikatakan bahwa postmodernisme lebih merupakan sebuah suasana, sebuah naluri, sebuah kecendrungan daripada pikiran eksplisit.

Dalam alam postmodern yang mengedepankan “cerita-cerita kecil”, setipa bangsa mengedepankan identitas hukumnya, meski kadang-kadang memiliki akar sejarah yang sama. Setiap identitas hukum tersebut menuntut adanya pengakuan dan sekaligus penghargaan terhadap aliran hukum yang dianut setiap bangsa.

Sedangkan ‘glokalisasi’ atau khalayak lebih mengenal kata ‘globalisasi’ sebagai suatu kemajuan luar biasa dalam segala bidang kehidupan, dengan tendensi ‘menyatukan’ luasnya dunia. Sejauh ini berkaitan dengan globalisasi, hukum telah mampu menjawabnya meskipun belum sempurna. Bagaimana konsep globalisasi hukum? Lahir dalam konteks globalisasi yang bekarakter ekonomi liberal (neoliberal), glokalisasi bermakna penyesuaian produk global dengan karakter pasar (lokal).


SEKILAS HERMEUTIKA DAN DEKONSTRUKSI HUKUM

Kata hermeneutika berasal dari Yunani Kuno, yang memanggil dewa penyampai atau penjelas  pesan dari Zeus, yang bernama Hermes. Dari akar mitologi tersebut, muncullah kata kerja “hermeneuein” yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan, kata benda “hermenia” yang berarti penafsiran atau interpretasi.

Hermeneutika hukum adalah cara/metode dan atau aliran pembacaan sekaligus penafsiran/interpretasi terhdap teks hukum yang diletakkan dalam konteks teks hukum, konteks pembaca/penafsir, dan konteks pendengar.

Dalam bingkai postmodern yang menampilkan CLS yang mempertanyakan semua kemapaman absolut, Jacques Derrida muncul dan menawarkan sebuah metode pembacaan teks hukum yang baru bernama dekonstruksi. Bagi Derrida, makna tidaklah bersifat tetap dan senantiasa terbuka bagi penafsiran. Apa yang dipandang sebagai makna yang dapat merepresentasikan realitas sebenarnya, selalu memiliki keterbukaan yang lebar terhadap makna dan ekspresi baru. Makna selalu terbuka dalam tafsir, dan karena itu, bahasa, dipandang sebagai lautan teks beserta makna yang selalu terbuka untuk memberi pengertian.


HUKUM DAN MORALITAS

Secara etimologi, kata moral berasal dari bahasa Lati mores yang berarti akhlak, kelakuan, tabiat, cara hidup, adat-istiadat (yang baik). Dari kata moral yang menjadi term untuk menilai manusia sebagai manusia, muncullah kata benda moralitas yang berarti mutu bai-buruknya manusia sebagai manusia.

Thomas Aquinas pernah mengatakan bahwa hukum adalah positivisasi prinsip-prinsip moral. Tidak diragukan lagi ketika Bentham dan Austin mendesakkan pemisahan hukum sebagaimana adanya (law as it is) dari hukum sebagaimana mestinya (law as ougth to be), mereka membayangkan sebuah hukum khusus yang maknanya sangat gamblang dan tidak bisa diperdebatkan lagi, mereka sangat yakin bahwa hukum tetaplah hukum, entah bertentangan secara moral atau tidak. Padahal, dalam tataran praksis yuridis, sebuah hukum (dalam arti positivisme) tanpa dilandasi moralitas justru bertendensi melahirkan formalisme atau “kebekuan yuridis”. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa antara law as it is dan law as ought to be, antara hukum dan moralitas, terdapat hubungan yang saling mengandaikan. Arif Sidharta bahkan dengan tegas mengatakan bahwa hukum positif harus dikendalikan dan diuji dengan perangkat kaidah moral.


KEADILAN DAN KEMURAHAN HATI DALAM HUKUM

Apa itu keadilan? Menurut Aristoteles, “Justice consists in treating equals equally ang unequalls unequally,in proportion to their in equality” (terhadap hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan terhdap hal-hal yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, dengan demikian disebut proporsional). Ia juga membagi keadilan kedalam 2 (dua) jenis yaitu keadilan korektif/komutatif/rektifikator, yang didasarkan pada transaksi equal, dan keadilan distributif yang membutuhkan distribusi atas penghargaan.

Berikutnya, kreativitas keadilan hanya akan tampak lahiriah jika tidak dibarengi dengan clemency, kemurahan hati. Kemurahan hati berasal dari bahasa Latin clemens (abjektif) yang berarti murah hati. Kata sifat clemens tersebut dalam bahasa Inggris clemen yang kata bendanya disebut clemency (yang isinya pengampunan, kesejukan).

Hukum, dalam cita-cita yang adil, pasti, dan bermanfaat selayaknya ditopang dan dilingkupi oleh clemency (kemurahan hati) beserta seluruh maknanya sebagai ultimum goal. Dengan demikian dasar dari perilaku hukum ialah kemurahan hati, yang bertujuan untuk menciptakan kemurahan hati yang lain.


THE CLEMENCY IN A MOTHER’S LAW

“kehidupan adalah ibu”, demikian yang dikatakan Mudji Sutrisno. Menurut Mudji Sutrisno etika keadilan adalah etika dengan kata-kata kunci seperti hak, kewajiban, kontrak, fairness, ketimbalbalikan, dan otonomi.

Tak dapat dipungkiri lagi bahwasanya kepedulian atau kemurahan hati telah hilang dari peradaban hukum. Secara material, hukum per se memilikinya. Namun dalam sisi aksiologi, kemurahan hati melemah karena adanya dominasi tertentu, kerena terjebak dalam “strukturalisme maskulin”.

Sebenarnya diskursus yang dikembangkan dalam buku ini bertujuan mengarahkan kita pada pembentukan sebuah pemikiran tentang kemurahan hati dalam hukum yang keibuan (The Clemency In A Motherly Law). Kontruksi pemikirannya berdasarkan pada fakta yang kemudian diikuti oleh polesan sisi ontologi, epistimologi, dan aksiologi.

Sisi lain dari kemurahan hati yang keibuan dalam hukum adalah kemampuan untuk memberika maaf. Hal ini bersentuhan langsung dengan restoratif justice. Bagi pelaku (dalam hal ini kejahatan), restoratif justice bermakna mengajukan permohonan maaf dengan penyesalan yang mendalam disertai kewajiban untuk memberikan kompensasi atau retribusi. Bagi korban, memafkan adalah memafkan kesalahan orang lain berarti kemuliaan pada diri sendiri. Artinya, bahwa selalu ada aspek-aspek lain disekitar yuris dan masyarakat yang mengambil peran penting dalam seluruh dimensi kehidupan ber-hukum, dan itu harus diperhatikan.


FENOMENOLOGI HUKUM FILSAFAT UANG DALAM HUKUM

Johan Heinrich Lambert mengistilahkan fenomenologi sebagai teori tentang khayalan.oleh Immanuel Kant, fenomenologi diartikan sebagai ilmu deskriptif yang mendahului usaha untuk menjelaskan fenomena, diaman objek dan kejadian yang tampak dalam pengalaman kita (disebut phenomenon) dibedakan dari objek dan kejadian yang berada dalam dirinya atau tidak tampak dalam tangkapan indra (disebut noumenon).

Berbicara tentang fenomenologi sama dengan berbicara tentang bagaimana fenomena-fenomena mengungkapkan nilainya sendiri, yang ditangkap oleh subjek, tanpa dicampuri oleh berbagai pengetahuan yang telah tertanam dalam diri subjek, maupun tradisi pengetahuan tentang objek (noumen). Kaitannya dengan hukum, bagi kaum positivis dan empiris, jika dihadapkan dengan kitab Undang-undang, maka mereka langsung mengatakan itu adalah hukum. Jadi hukum berfenomen aturan. Mengacu pada pandangan Scheler (yang mengatakan nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung pada pembawanya), hal ini justru jelas keliru. Sebab fenomena hukum sama dengan mencari esensi dari hukum yaitu nilai yang terkandung didalamnya.

Selanjutnya ilusi nilai fenomena hukum dalam filsafat uang. Hal ini berangkat dari telaah filsafat uang oleh Georg Simmel (1858-1918), yang mengatakan uang secara historis tidak hanya berfungsi untuk mengukur benda namun juga untuk mengukur manusia. Pada posisi yang kontras, uang dapat digolongkan dalam gugus nilai-nilai ekonomi dengan preferensi-preferensi. Menurut Max Scheler, tingkatan-tingkatan nilai yang tersusun pada dirinya sendiri secara absolut tidak berubah, sementara peraturan preferensi secara prinsip dapat berubah dalam perjalanan sejarah.

Misal dalam fakta yang terjadi dinegeri ini sekarang, yang ditangkap adalah korupsi, sogok menyogok, mafia peradilan, maka fenomena hukum yang dilihat adalah fenomena uang dalam preferensi kesenangan, atau dapat juga ber-preferensi kehidupan, namun dalam metode yang keliru.terhadap hal ini, apa yang harus dilakukan? Reorientasi nilai, yaitu pemahaman kembali hakikat hukum yang sebenarnya, dan sekaligus pemahaman hakikat uang yang sebenarnya.

0 comments