Filterisasi Budaya Asing Melalui Dunia Pendidikan

ilustrasi gambar: img.okezone.com

 Oleh: MHD. Zakiul Fikri
merosotnya nilai-nilai moralitas dalam kehidupan generasi muda Indonesia saat ini tidak lepas dari pengaruh globalisasi yang menempatkan budaya barat yang liberal-individualis sebagai yang paling berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Perkembangan moral para generasi bangsa terutama para pemuda Indonesia semakin lama semakin mengkhawatirkan. Hampir setiap hari kita disuguhkan berita yang melibatkan para generasi muda Indonesia yang membuat hati kita miris bila mendengarnya, seperti adanya tawuran antar pelajar, narkoba, remaja hamil di luar nikah, bahkan sampai pelaku pembegalan. 
Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat Nahdatul Ulama (PPMNU) Khofifah Indah Parawansa mengatakan, berdasarkan data 2013 anak-anak usia 10 - 11 tahun yang hamil diluar nikah mencapai 600.000 kasus. Sedangkan remaja usia 15 - 19 tahun yang hamil diluar nikah mencapai 2,2 juta.[1] Tidak dapat dihindari bahwa faktor yang menjadi penyebab maraknya remaja yang hamil di luar nikah adalah pergaulan yang tidak ada lagi mengenal batasan-batasan atau yang sering disebut pergaulan bebas. Dampak lain yang timbul akibat pergaulan bebas ini adalah berkembangnya penyakit HIV/AIDS. Berdasarkan laporan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dari bulan Juli sampai dengan September 2014 jumlah infeksi HIV sebanyak 7.335 orang dan penderita AIDS sebanyak 176 orang.[2]
Sebagai contoh kasus, masih teringat dalam ingatan kita akan peristiwa tahun lalu (2015) yaitu rencana pesta bikini pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jakarta dan Bekasi untuk merayakan berakhirnya Ujian Nasional (UN). Acara yang bertajuk ‘Splash after Class’ ini rencananya akan digelar pada 25 April di kolam renang sebuah Hotel di bilangan Jakarta Pusat.[3] Andai saja acara pesta bikini yang dianggap sebagai pesta syukuran itu terjadi, tentunya akan menjadi sejarah baru yang menandakan bahwa telah terjadi pergeseran moralitas pada generasi muda Indonesia. Mirisnya, para pelaku terindikasi berasal dari rumah produksi pendidikan Indonesia.  Padahal, tentu saja pola hidup yang 'seolah' menggambarkan secara gamblang prilaku pergaulan bebas itu jauh dari nilai-nilai luhur bangsa. Karena nilai-nilai luhur bangsa mengajarkan acara syukuran yang dilakukan dengan do’a bersama kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan dengan cara sebagaimana yang terjadi dalam kasus tersebut.
Rangkaian peristiwa di atas tidak dapat dilepaskan dari pengaruh globalisasi yang telah memposisikan budaya barat sebagai yang paling berpengaruh dalam perkembangan kehidupan masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia. Disatu sisi pengaruh globalisasi memberikan keuntungan tersendiri yaitu keterbukaan informasi, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dan meningkatnya taraf hidup masyarakat. Namun, disisi lain juga memiliki dampak negatif yaitu informasi tak terkendali, westernisasi (kebarat-baratan), dan kesenjangan sosial yang semakin besar.[4]
Dari data dan faka tersebut ditemukan bahwa moral remaja terus mengalami penurunan kualitas atau degradasi yang ditandai dengan merdekanya pergaulan bebas yang merupakan budaya western dikalangan generasi muda Indonesia. Padahal, pergaulan bebas yang merupakan salah satu budaya barat pada dasarnya lebih sering menimbulkan mudharat daripada manfaat. Oleh karena itu, menjadi suatu urgensi bagi kita sebagai orang yang peduli akan nasib generasi penerus Bangsa Indonesia untuk mencari dan memberikan strategi sebagai upaya dalam menghadapi krisis moral di kalangan generasi muda saat ini. Salah satu strategi dalam mengatasi degradasi moral generasi muda yaitu “Filterisasi (Upaya Menyaring) Budaya Asing Melalui Dunia Pendidikan.”
Mengapa dunia pendidikan dipilih sebagai instrumen filter? Karena pada hakikatnya pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. pendidikan bertujuan untuk meningkatkan derajat kemanusiaan manusia.[5] Hal ini juga sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional Indonesia yaitu Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[6] Oleh karena itu, dunia pendidikan harus mampu menjadi instrumen penyaring nilai-nilai kebudayaan asing sebagai upaya prefentif (pencegahan) untuk mengatasi degradasi moral generasi muda bangsa Indonesia.
Beberapa langkah sederhana yang dapat menjadi rekomendasi dalam aktualisasi upaya menyaring budaya asing yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kearifan Bangsa Indonesia, diantaranya:
1.             Menanamkan kembali nilai-nilai budaya lokal dalam tatanan praktik pendidikan nasional. Kebudayaan merupakan norma-norma atau kepercayaan yang telah di sepakati secara bersama dan diwariskan oleh leluhur atau nenek moyang kepada generasi seterusnya.[7] Di dalam norma-norma kebudayaan terdapat nilai-nilai kebenaran dan kaidah (kepatutan). Nilai-nilai ini harus ditanamkan kembali dalam tatanan praktik pendidikan nasional sehingga moralitas yang tergambar dalam budaya bangsa tetap terjaga dengan baik dan bahkan akan menjadi tameng yang kokoh dalam mengatasi masuknya nilai-nilai negatif dari budaya asing. Hal ini sejalan dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu, “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.”[8]
2.             Mengoptimalkan peran guru. Peran guru seharusnya bukan hanya sebagai orang yang serba tahu yang dengan otoritas yang dimilikinya dapat menuangkan berbagai ide dan gagasan. Tetapi juga sebagai salah satu sumber informasi, penggerak, pendorong, dan pembimbing bagi peserta didik.[9] Artinya, setiap guru ketika dalam proses transformasi ilmu kepada murid-muridnya sedapat mungkin tidak melenceng dari nilai-nilai luhur bangsa. Peran guru ini dapat dilihat dari sumber-sumber belajar yang digunakan dan tingkah laku keseharian terutama ketika berhadapan dengan murid.
3.             Mengoptimalkan kegiatan ekstra kulikuler bagi peserta didik. Menurut Sardiman AM, tujuan pembelajaran adalah suatu rumusan hasil yang diharapkan dari siswa setelah menyelesaikan atau memperoleh pengalaman belajar.[10] Untuk mencapai tujuan itu tidak cukup jika hanya dengan proses belajar di dalam ruang kelas saja, maka dibutuhkan proses belajar di luar kelas (ekstra kulikuler) sebagai penunjang tercapainya apa yang menjadi tujuan pembelajaran dan tujuan pendidikan. Ekstra kurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran. Dalam kegiatan ini setidaknya ada dua fungsi yang paling penting di pertimbangkan yaitu fungsi pengembangan dan fungsi sosial. Pengembangan, yaitu fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitas peserta didik sesuai dengan potensi, bakat dan minat mereka. Dan Sosial, yaitu fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial peserta didik.[11] Didalam fungsi sosial ini nilai-nilai moralitas akan ditanamkan kepada para peserta didik dengan baik.
Terakhir, sebagai pernyataan penutup sekaligus kesimpulan dari apa yang penulis maksud dalan tulisan ini, akan penulis bangun kembali latar belakang, analisa hingga solusi atau gagasan yang telah teruraikan secara lebih ringkas. Generasi muda merupakan penerus bangsa beserta kebudayaannya yang gandrung akan nilai-nilai kepatutan. Namun sungguh ironi jika melihat realita yang terjadi saat ini, ketika generasi muda menganggap kebudayaan lokal sebagai sesuatu yang tradisional dan dicap ketinggalan zaman. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, sebab merosotnya nilai-nilai moralitas dalam kehidupan generasi muda Indonesia saat ini tidak lepas dari pengaruh globalisasi yang menempatkan budaya barat yang liberal-individualis sebagai yang paling berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, sebagai salah satu strategi dalam mengatasi degradasi moral generasi muda Indonesia adalah dengan mengandalkan dunia pendidikan. Dunia pendidikan harus mampu menjadi instrumen penyaring nilai-nilai kebudayaan asing. Hal ini dilakukan sebagai langkah prefentif dalam upaya menjaga moralitas generasi muda bangsa Indonesia. Untuk dapat mecapai itu semua maka dibutuhkan komitmenn bersama, baik komitmen yang muncul dalam sistem yang menjamin nilai-nilai luhur bangsa sendiri, komitmen dari pendidik, maupun komitmen dari peserta didik itu sendiri. Sehingga, dengan demikian moralitas generasi muda bangsa ini akan tetap terjaga meskipun berada dalam ombang-ambing badai globalisasi yang dikuasai oleh budaya-budaya asing yang sebagian besar tidak sesuai dengan nilai kepatutan dalam budaya bangsa kita.

0 comments