Indonesia di Antara Cita, Realita, dan Nawa Cita

ilustrasi gambar: nasional.kompas.com

Oleh: MHD. Zakiul Fikri
Bagaimanapun juga, mantera Nawa Cita telah berhasil merenggut kepercayaan banyak masyarakat Indonesia. Kini, jutaan kepala keluarga telah menggantungkan diri dari obralan janji dan program suci dari pemerintah.
Ditinjau dari kacamata sejarah, awal mula meletusnya revolusi di dataran nusantara yang bernama Indonesia didasari atas motivasi psikologis untuk menjadi suatu bangsa dan negara yang merdeka. Kemerdekaan tersebut tidak hanya sebatas merdeka secara formiil dari penjajahan, tapi juga merdeka secara materiil. Lebih jelas dalam preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dengan tegas dinyatakan bahwa, ‘Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur’.[2] Bentuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur tersebut kemudian diperjelas dalam paragraf berikutnya dari prembule UUD NRI Tahun 1945 dengan menyatakan, ‘...memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...’.[3] Dengan demikian, maka jelaslah bahwa impian kemerdaan yang dibawa oleh Negara Indonesia merupakan cita-cita ideal kehidupan bernegara yang dibungkus dalam bingkai konstitusi.
Akantetapi, upaya mewujudkan cita-cita ideal dari kemerdekaan Negara Indonesia tersebut ternyata tidak semudah bermimpi lalu bangun kembali. Faktanya, pemimpin datang silih berganti menahkodai bumi pertiwi, tapi cita-cita ideal konstitusi masih saja menjadi utopia (khayal) yang tidak pasti. Problematika kenegaraan hingga hari ini masih begitu kompleks; baik itu dari segi sosial, ekonomi, ataupun lingkungan. Misal, dari segi sosial, angka kemiskinan masih berada pada persentase 10,86 persen[4] dari keseluruhan jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 237.641.326 jiwa.[5] Padahal, hasil kekayaan alam begitu tinggi, misalkan dalam sektor minyak dan Gas Bumi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 tentang produksi Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia menyebutkan bahwa penghasilan; premium (67.684.000/barel), pertamax (2.487.000/barel), pertamax plus (514.000/barel), automotive diesel oil/solar (122.099.000/barel), industrial diesel oil (1.261.000/barel), kerosin (10.808.000/barel), dan dasar pelumas (2.988.000/barel).[6] Selain itu, di tahun yang sama produksi minyak mentah mencapai 279.412,10/barel, kondesat 35.253.80/barel, dan gas alam mencapai 2982753.50/ MMscf.[7]
Dari segi ekonomi, utang luar negeri Indonesia pun tak kalah banyaknya. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko (DJPPR) menyatakan hingga akhir Agustus 2016, total utang pemerintah pusat tercatat Rp. 3.438,29 triliun. Angka ini naik Rp 78,47 triliun atau 2,3 persen dibandingkan akhir Juli 2016, yang sebesar Rp 3.359,82 triliun.[8]
Kemudian dari segi segi lingkungan hidup, pembangunan-pembangunan dilegalkan tanpa mengindahkan etika dan moralitas lingkungan. Akibat pengabaian dari etika dan moralitas lingkungan hidup dalam pembangunan tersebut terjadilah pengrusakan dan pencemaran dimana-mana. Faktanya, laju deforestasi di Indonesia hingga 2016 mencapai 1,8 juta hektar/tahun yang mengakibatkan 21 persen dari 133 juta hektar hutan Indonesia hilang. 30 persen dari 2,5 juta hektar terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan. Dan tingginya pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah, dan pencemaran laut yang terjadi di Indonesia. Bahkan, situs huffingtonspot.com pernah menempatkan sungai Citarum sebagai sungai tercemar di dunia. World Bank juga menempatkan Jakarta sebagai polutan tertinggi ketiga setelah Beijing, New Delhi, dan Mexico City.[9]
Dari fakta di atas tampak bahwa terjadi kontradiktif antara apa yang dicitakan dan apa yang terjadi dalam kenyataan. Hal ini kemudian menimbulkan suatu pertanyaan ‘sudah seberapa jauhkah peran negara, dalam hal ini pemerintah, untuk mewujudkan cita-cita ideal bernegara yang ditulis indah dalam konstitusi?’ Dalam konteks pemerintahan sekarang, tentu apa yang menjadi bualan hingga kebijakan riil presiden menjadi tolak ukur untuk menentukan titik terjauh dari peran pemerintah dalam upaya mewujudkan cita-cita negara di dunia nyata.
Diawal pemerintahannya, bahkan pra-pemerintahan, presiden (Yth. Bpk. Ir. Joko Widodo) yang merupakan representatif dari pemerintah telah melontarkan master plan yang akan menjadi agenda utama pemerintah dalam upaya mewujudkan cita-cita konstitusi. Master plan tersebut kemudian hari dikenalkan dengan nama ‘Nawa Cita’. Ada sembilan program pokok yang termuat dalam Nawa Cita ala presiden yang lebih kurang muatannya terdiri atas politik, hukum, ekonomi, dan pendidikan.[10]
Bagaimanapun juga, mantera Nawa Cita telah berhasil merenggut kepercayaan banyak masyarakat Indonesia. Kini, jutaan kepala keluarga telah menggantungkan diri dari obralan janji dan program suci dari pemerintah. Maka dengan demikian, saatnya bagi masyarakat untuk menunggu bukti sambil terus mengawal dan mengawasi dengan terliti atas janji pemerintah dalam mewujudkan cita-cita ideal bernegara  sebagaimana yang diamanatkan konstitusi.


[1] Disampaikan pada Kajian dan Telaah Isu Strategis yang diselenggarakan oleh KAMMI Komisariat UII di Sleman Pada Tanggal 15 Oktober 2016
[2] Pembukaan Paragraf Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[3] Pembukaan Paragraf Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[4] http://bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1219, diakses pada tanggal 14 Oktober 2016
[5] http://sp2010.bps.go.id/, diakses pada tanggal 14 Oktober 2016
[6] http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1093, diakses pada tanggal 15 September 2016
[7] http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1092, diakses pada tanggal 15 September 2016

0 comments