si Culas Berkata tentang Drama UII yang Mondar-Mandir di Berbagai Media


ilustrasi gambar: google.com


Oleh: MHD. Zakiul Fikri
Di saat mahasiswa UII juara Karya Ilmiah Nasional ataupun Internasional, Di saat mahasiswa UII Juara Debat Nasional ataupun Internasional, Di saat mahasiswa UII menciptakan teknologi mobil listrik berbasis android, Di saat mahasiswa UII turun membantu diberbagai medan bencana alam, Dan lain sebagainya? Dimana para media?
Hari ini, sudah tanggal 26 Januari 2017, Berita meninggalnya 3 mahasiswa UII pasca mengikuti The Great Camping (TGC/sejenis pendidikan dasar) ke XXXVII Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Islam Indonesia (MAPALA UNISI/UII) masih menjadi tranding topic di berbagai media nasional. Bahkan, tiga hari berturut soal ini menjadi hiasan menarik di akun Line Today. Pertanyaannya, kemana saja media selama ini ya? Kok baru nongol sekarang gitu lo? Di saat mahasiswa UII juara Karya Ilmiah Nasional ataupun Internasional, Di saat mahasiswa UII Juara Debat Nasional ataupun Internasional, Di saat mahasiswa UII menciptakan teknologi mobil listrik berbasis android, Di saat mahasiswa UII turun membantu diberbagai medan bencana alam, Dan lain sebagainya? Dimana para media? But, the point is saya tidak menuntut hal demikian harus terjadi.
Well, saya sadar bahwa hal ini perkara kemanusiaan. Saya pun sadar bahwa kita semua sama-sama tergerakkan. Tergerakkan oleh dasar kemanusiaan. Namun, maukah saya dan kalian sejenak memperluas pandangan dalam melihat keadaan?
Monggo, media bolehlah beropini tentang berbagai hal atas peristiwa tersebut. Masyarakatpun bolehlah menyambut hangat pemberitaan dari media sebagai objek 'enak' untuk digosipkan bersama di mana-mana. Tapi, pantaskah saya dan kalian menjadi hakim atas semua ini? Atas dasar isu-isu yang telah nyaman menjadi opini? Menghakimi rektor yang dianggap 'tidak becus' dalam bertugas? Menghakimi UII sebagai kampus 'penuh kekerasan dan senioritas'? Ah, ada yang lebih menarik, akhir-akhir ini masyarakat mulai bertanya bagaimana aksi nyata dari pertanggungjawaban pihak kampus? Di sisi lain, perkara ini mulai menjadi kolam pancing yang bagus bagi 'politikus goblok' yang sok cari muka. Pun banyak kemudian mereka-mereka yang 'nongol' memberi suara, bak pahlawan yang lama hilang lalu kembali datang. Dan ada pula yang sampai membuat petisi 'turunkan rektor UII' (Emang kau ini siapa coba?).
Begini Bapak, Ibu, Awak media, Abang, Mas Alumni yang amnesia, atau apalah, sebelumnya, terkadang saking sibuknya mengikuti perkembangan berita, kita lupa untuk ikut berucap duka. Oleh karenanya, mari bersama kita sampaikan lewat do'a akan rasa duka mendalam kepada alm. M. Fadhli (Teknik Elektro 2015), alm. Syaits Asyam (Teknik Industri 2015), dan alm. Ilham Nurfadmi Listiadi (Internasional Program Ilmu Hukum 2015). Semoga tiga insan pencari ilmu ini diterima sebagai syuhada di jalan-Nya. Amiin.
Kemudian, sebagai mahasiswa culas yang masih aktif di UII, kampus perjuangan bagi kami yang ada di sini. Sebagai mahasiswa yang sok menyibukkan diri mencari, berdiskusi, dan bergabung di berbagai forum; baik bersama keluarga korban, rektorat, dan beberapa saksi. Saya hendak culas terkait peristiwa TGC ini kepada tuan dan puan sekalian.
Pertama, pihak rektorat secara transparan dan akuntabel telah mempertanggungjawabkan peristiwa TGC ini; menyantuni mereka yang menjadi korban dan membentuk tim investigasi internal dengan cepat yang setiap hari disampaikan perkembangannya secara terbuka. Bahkan, terdapat pula nomor crisis centre yang dapat dihubungi oleh pihak keluarga dan siapapun juga. Hal ini harusnya menjadi bukti akan keterbukaan Rektorat UII dalam menyelesaikan persoalan ini (atas peristiwa yang sama, tidak perlu saya kemukaan perbedaan penanganan yang dilakukan rektorat UII dengan di kampus lain di negeri ini, yang cenderung lebih tertutup dan senyap). Rektorat juga telah menyampaikan dengan tegas bahwa investigasi yang dilakukan tim rektorat UII hanya bersifat internal, setinggi-tingginya sanksi yang dapat diberikan oleh rektorat adalah Skorsing atau Drop Out terhadap mahasiswa yang bersangkutan ("Hal ini diatur dalam peraturan yang berkaitan dengan disiplin mahasiswa", demikian ucapan Mas Beni selaku direktur kemahasiswaan UII pada tanggal 25 Januari 2017). Lantas, bagaimana dengan pemidanaan terhadap pelaku? Tuan dan Puan, perkara pidana harus dipahami sebagai ranah penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian. Dan rektorat telah menyampaikan dengan baik tepat di telinga kita semua, bahwa rektorat UII terbuka jika persoalan ini dibawa ke ranah pidana, bahkan bukti-bukti yang ditemukan tim investigasi siap untuk diajukan sebagai bukti pendukung nantinya (ungkapan ini sudah disampaikan tanggal 24 Januari lalu).
Kedua, hei tuan dan puan sekalian! Dengarkan sejenak saya yang culas ini berkata. Bahwa pertanggungjawaban atas peristiwa TGC MAPALA UNISI ke XXXVII tidak serta merta diemban oleh pihak rektorat semata, apalagi mengarah pada person Pak Rektor. Karena di UII diadopsi suatu sistem yang dikenal dengan istilah "Student Government" (SG). Tolong bagi alumni yang amnesia untuk membuka sejarah kelembagaan di UII sejenak. Dalam sistem SG ini terdapatlah yang namanya Keluarga Mahasiswa UII (KM UII) yang terdiri dari Lembaga Legislatif (selaku pemegang kuasa tertinggi), Lembaga Eksekutif (yang menjadi atap bagi Unit Kegiatan Mahasiswa/UKM), dan Lembaga Khusus (lembaga yang memiliki otoritas dalam mengatur rumah tangganya sendiri, Pasal 35 PDKM UII). Konon, sistem ini telah ada sejak awal-awal KM UII berdiri. Bahkan, ketika politisasi Orde Baru (Orba) hendak mematikan lembaga mahasiswa di internal kampus dengan kebijakan NKK/BKK-nya. Rektor UII kala itu, GBPH. Prabuningrat dengan tegas menolak kebijakan NKK/BKK tersebut, sehingga bertahanlah sistem SG di KM UII. Dalam perjalanannya, kekuasaan lembaga tersebut berpedoman pada Pedoman Dasar Keluarga Mahasiswa UII (PDKM UII/sejenis konstitusi dalam tingkatan lembaga mahasiswa/ diatur dalam Pasal 14). Prinsipnya, kedaulatan tertinggi berada ditangan mahasiswa dan dilaksanakan dengan sistem perwakilan (Pasal 6 PDKM UII). Karena itu, lembaga perwakilan di UII dikenal dengan Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (Untuk Universitas/DPM U) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (Untuk Fakultas/DPM F). Lembaga tersebut merupakan lembaga legislatif yang dipilih secara langsung oleh mahasiswa melalui pemilihan umum mahasiswa. DPM menjalankan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan terhadap jalannya roda kegiatan di lingkup KM UII (Pasal 17 Ayat (2) PDKM). Untuk ketua umum Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) diisi oleh Delegatoris DPM (Kek sistem parlementer gitu tuan dan puan). Lembaga khusus (LK) memiliki kewenangan dalam mengangkat dan memberhentikan sendiri anggotanya. LK ini sejenak memang mirip dengan UKM, tapi dua hal ini dalam KM UII adalah berbeda. LK bertanggungjawab kepada DPM secara langsung, sedangkan UKM bertanggungjawab kepada LEM, kemudian LEM bertanggungjawab kepada DPM. Dan DPM bertanggungjawab kepada mahasiswa yang disampaikan dalam forum Sidang Umum (SU). LK di tingkat universitas terdiri dari; Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH, Mahasiswa Pecinta Alam UNISI, Koperasi Mahasiswa UII, dan Marching Band UII. Perlu tuan dan puan ketahui, dalam sistem SG ini, kedudukan DPM U dengan Rektorat adalah sebagai mitra, bukan saling membawahi atau sebaliknya. Short story ya, kalaulah saya dan kalian sudi untuk merendahkan hati sejenak, maka sebenarnya gamblang bahwa tidak ada sangkut paut pertanggungjawaban di lingkup KM UII dengan rektorat. Karena itu, pertanggungjawaban atas peristiwa TGC tersebut sejatinya tidak menjadi tanggungjawab rektorat ‘semata’. Namun, karena ini menyangkut soal kemenusiaan, honestly, saya pun harus sampaikan semua pihak mestinya bertanggungjawab dalam hal ini, sesuai dengan porsinya masing-masing. Bertanggungjawab bukan berarti menunggangi keadaan yang sedang terjadi untuk melampiaskan nafsu pragmatisme.
Idealnya, atas peristiwa ini DPM U sebagai lembaga legislatif yang memegang kuasa tertinggi dalam KM UII-lah yang mestinya pasang badan. Tapi tuan dan puan, sayang tak dapat dibilang, wakil saya di DPM U itu sekarang hilang, sunyi senyap hampir tak bersuara. Mereka mungkin bisu, mungkin tuli, atau mungkin bingung dan tak mau peduli. Akhirnya, raktorat, utamanya Pak Rektor cs., jugalah yang mulutnya berbusa-busa karena harus banyak bersuara. Sampai-sampai karena mengikuti keinginan kalian yang berada di luar sana, rektorat mengeluarkan kebijakan ‘pembekuan kegiatan mahasiswa yang bersifat out door’ (disampaikan pada tanggal 25 Januari). Hei awak media, yang dibekukan itu semua kegiatan out door, bukan MAPALA UNISI semata, apalagi pembubaran terhadap institusinya. Sejatinya, rektorat tidak memiliki kewenangan dalam melakukan hal tersebut. Kewenangan rektorat dalam memberi sanksi adalah skorsing atau droup out atas individu mahasiswa (sebagaimana dibahas di atas), tidak pada kegiatan ataupun lembaga internal KM UII. Kewenangan pembubaran lembaga dalam lingkup KM UII; baik sifatnya sementara, atau pun selamanya, ada di tangan DPM U selaku lembaga perwakilan yang memegang kuasa (diatur dalam Pasal 66). Jika telah demikian, sebagai orang dalam ya tuan dan puan, saya justru bertanya ini ada apa dengan wakil kami di atas sana? Pemimpinnya sedang gila, atau memang tidak bisa menjalankan amanah? Kalau begitu, turun sajalah jadi mahsiswa biasa. Daripada menjadi wakil, tapi sia-sia. Ya, inilah sedikit cerita dari saya yang culas ini untuk Bapak, Ibu, Awak media, Abang, Mas Alumni yang amnesia, atau apalah. Semoga sedikit membantu, dan maaf apabila justru menambah masalah.

0 comments