Reposisi HAM di Palestina

sumber gambar: lukisan tentang potret penderitaan warga palestina dari berbagai perang karya Mohammed Qraiqae

Oleh: MHD. Zakiul Fikri
Hak asasi manusia tidak ada di sana, di Palestina. Sehingga kekejaman-kekejaman yang terjadi; ibu hamil yang ditembak mati, ibu meninggal dalam pelukan sang anak, mayat ayah yang tak jelas rimbahnya, anak kecil hidup sebatang kara, dan kekejaman lainnya menjadi tontonan menghibur layaknya tayangan big movies di bioskop.
Tulisan ini akan dimulai dengan sebuah kutipan dari karangan mega novelis Pramoedya Ananta Toer, yang dalam novel Anak Sema Bangsa ia berkata bahwa "Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana!" dari kutipan inilah cerita berikut diurai.
Juma’at tanggal 21 Juli 2017 mungkin telah menjadi sejarah paling kelam dan menyakitkan bagi umat manusia beragama dan mencitai hak asasi manusia di era modern. Pada hari itu, masjid al-Aqsa, salah satu dari tiga tempat peribadatan suci yang disebut dalam sejarah dan kitab Islam ditutup total oleh Pemerintah Israel yang mengklaim diri sebagai pemerintah yang sah atas beberapa wilayah di Pelestina. Tidak hanya soal akses ke masjid, Israel juga dengan arogannya menembaki jama’ah yang hendak melaksanakan shalat jum’at di masjid tersebut. Akibatnya, tiga jama’ah meninggal dunia, sedang seratus orang  dilaporkan mengalami luka-luka. Peristiwa ini tentunya bukan bentuk tindakan reflek semata dari Israel. Bukan demikian, sebab tindakan ini tidaklah terjadi dalam satu kali saja. Namun, ia merupakan akumulasi aksi dari kekejaman-kekejaman yang selama ini terjadi.
Belum ada tulisan yang membahas secara utuh sejarah konflik antara Israel dan Palestina ini. Hal demikian dapatlah menggambarkan sudah berapa lama kekejaman-kekejaman terjadi di sana. Tepatnya, entah sudah berapa turunan yang hidup menderita; hampir tak ada akses sekolah, kesehatan, makanan yang layak, dan beribadah dengan nyaman. Sungguh, tak terbayang betapa sulitnya bagi anak-anak di sana, Palestina, untuk bermimpi dan bercita-cita layaknya anak-anak yang hidup di Inggris dan Amerika. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya pula peristiwa tanggal 21 Juli 2017 itu menjadi puncak intropeksi diri bagi seluruh organisasi internasional dan pihak-pihak terkait, yang masih mengimani eksistensi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948 (DUHAM/ Universal Declaration of Human Right).
Salah satu organisasi internasional yang sepatutnya bertanggungjawab dan pro-aktif dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina yakni Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB/ United Nation Organization). Bukan tanpa alasan menyebut PBB sebagai salah satu organisasi yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kekejaman yang terjadi di Palestina. Di sekolah-sekolah senantiasa diajarkan bahwa PBB berdiri atas dasar psikologi kekejaman yang terjadi oleh peperangan masa lalu. Karena itu, tujuan berdirinya PBB di antaranya; a) memelihara perdamaian dan keamanan International, b) mengembangkan hubungan-hubungan persaudaraan antara bangsa-bangsa, c) bekerjasama secara internasional untuk memecahkan persoalan-persoalan ekonomi, sosial, kebudayaan, dan kemanusiaan serta untuk memajukan rasa hormat untuk hak-hak manusia dan kemerdekaan-kemerdekaan asasi, dan d) menjadi pusat bagi persesuaian tindakan bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan bersama.
Perserikatan Bangsa-Bangsa jugalah aktor penting dalam memastikan bahwa DUHAM Tahun 1948 berjalan sebagaimana mestinya. Namun, tampaknya PBB lewat Dewan Keamanannya menilai bahwa DUHAM Tahun 1948 tidaklah berlaku di daerah Palestina. Hak asasi manusia tidak ada di sana, di Palestina. Sehingga kekejaman-kekejaman yang terjadi; ibu hamil yang ditembak mati, ibu meninggal dalam pelukan sang anak, mayat ayah yang tak jelas rimbahnya, anak kecil hidup sebatang kara, dan kekejaman lainnya menjadi tontonan menghibur layaknya tayangan big movies di bioskop. Tindakan PBB yang demikian sangat disayangkan, sehingga patut dipertanyakan kelayakan dari berdirinya organisasi tersebut.
Puluhan tahun kekejaman terjadi di wilayah palestina. Tak lagi terhitung sudah berapa orang meninggal dunia, sekolah, rumah sakit, tempat hiburan dan tempat tinggal yang hancur. Tapi, Dewan Keamanan PBB belum juga mengambil tindakan tegas yang nyata atas berbagai hal kekejaman tersebut. Tampaknya terlalu tabu bagi Dewan Keamanan PBB untuk respect secara tindakan total dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina ini. PBB cenderung mengikuti trand dari negara-negara yang tidak begitu memiliki power untuk menyelesaikan kekejaman yang terjadi, trand tersebut yaitu ‘mengecam’ atau juga ‘mengutuk’ peristiwa yang terjadi. Mungkin bagi PBB dengan mengutuk itu merupakan tindakan paling heroik yang berjalan sesuai dengan tujuan berdirinya organisasi tersebut. Namun, tentu saja hal ini tak berarti apa-apa bagi umat manusia yang tersisa di Palestina.
Dalam istilah latin dikatakan bahwa non dicendo causa finite (setiap persoalan tak akan selesai hanya dengan kata-kata). Ungkapan ini seolah menusuk setiap organisasi internasional yang ada, khususnya PBB, agar tidak hanya bertindak melalui ucapan tapi juga diikuti dengan prosedur nyata di lapangan. Tidak hanya PBB, organisasi-organisasi internasional lainnya juga harus segera mengambil tindakan nyata selain kata-kata untuk menyelesaikan konflik yang berujung kekejaman di Palestina. Hal ini mesti diupayakan sehingga anak-anak di Palestina bisa kembali ke sekolah, merajut mimpi, dengan nyaman tanpa khawatir akan ancaman ledakan dan tembakan. Ibu-ibu bisa melahirkan dengan nyaman dan aman. Ayah bisa bekerja dengan baik, mencari nafkah untuk keluarga kecilnya di rumah. Semua ini seperti halnya di Inggris dan Amerika.

0 comments