Bung Karno Bilang, “HMI adalah Alat Revolusi”


ilustrasi gambar: www.hariansejarah.id

Oleh: MHD. Zakiul Fikri
Soekarno tidak sempat untuk ber-suudzon (berburuk sangka) bahwa semua hasutan PKI kepadanya hanyalah bagian dari desain politik yang sedang mereka canangkan. Akhir dari semua tindakan PKI itu adalah aanslag (tindakan makar) untuk merebut pemerintahan yang berkuasa.
Salah satu konsekuensi lahirnya HMI yang kemudian dituangkan dalam tujuannya adalah ikut terlibat mempertahankan kemerdekaan dan mempertinggi harkat, martabat serta derajat Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, dalam lembar sejarah Indonesia tercatat dalam rangka mewujudkan cita-cita luhur berdirinya HMI beberapa kali dituntut hadir dan ikut turun ke medan pertempuran. Maka, berkenaan dengan catatan sejarah yang menceritakan keterlibatan HMI dalam revolusi bersenjata Indonesia, pada sub pembahasan ini akan dipaparkan perjalanan sejarah keterlibatan HMI pada masa-masa Agresi Militer Belanda pasca kemerdekaan Republik Indonesia dan pemberantasan pemberontakan-pemberontakan selama awal kemerdekaan; termasuk pemberantasan terhadap keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi-organisasi mitranya yang kontra-revolusi.

A.  Agresi Militer Belanda dan Pemberontakan PKI Madiun
Tak berselang berapa lama setelah proklamasi kemerdekaan diikrarkan oleh Ir. Soekarno, yang menandai berakhirnya pendudukan Jepang di Indonesia. Bentrokan bersenjata kembali terjadi di berbagai tempat antara pasukan Netherlands East Indies Civil Affairs (NICA) dengan pejuang Indonesia yang gigih mempertahankan kemerdekaan.[1] Bentrokan ini merupakan respon  dari rakyat, TNI dan seluruh komponen bangsa Indonesia lainnya atas tindakan agresi militer yang dilakukan Belanda. Tercatat, beberapa kali konflik bersenjata terjadi di beberapa wilayah Indonesia pada masa awal-awal kemerdekaan. Misalnya, peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan sekitarnya, peristiwa Palagan di Ambarawa-Semarang dan sekitarnya, Perjuangan gerilya Jenderal Besar Soedirman di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta peristiwa Bandung Lautan Api di daerah Bandung dan sekitarnya. Dan selanjutnya, Agresi Militer Belanda I (Clash I) yang meletus pada tanggal 21 Juli 1947 sampai tanggal 05 Agustus 1947.[2]
Sasaran operasi militer Belanda, pada waktu Agresi Militer I, tertuju pada daerah di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Daerah-daerah di Pulau Jawa yang diserang adalah daerah Jawa Barat (seperti Bogor, Bandung, Banten, Tangerang, Cirebon, Bandung, Garut, Cicalengka, Sukabumi, Serang dan Pangalengan). Kemudian, Jawa Tengah (Tegal, Pekalongan, Semarang, Purwokerto, Cilacap dan Gombong). Daerah Pulau Jawa lainnya, yakni Jakarta. Di Pulau Sumatera daerah-daerah yang digembur militer Belanda pada masa Agresi Militer I diantaranya; Palembang, Jambi, Padang, Tebing Tinggi Pematang Siantar, Medan dan lainnya. Agresi Militer yang dipimpin oleh Van Mook ini merupakan buntut dari penghianatan Belanda terhadap perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville yang sebelumnya mendamaikan peperangan ditahun awal Republik Indonesia berdiri.[3]
Setelah mengetahui Belanda melakukan Agresi Militer pada tanggal 21 Juli 1947, maka Jenderal Besar Soedirman menyampaikan sebuah amanat lewat radio. Amanat itu pula yang menyulut bara api perjuangan bagi masyarakat Indonesia. Berikut ini pernyataan Jenderal Besar Soedirman dikutip dari tulisan Tjokropranolo,
“Sekarang tiba saatnya bagi segenap lapisan rakyat Indonesia untuk menunaikan sumpahnya terhadap Tuhan dan Ibu Pertiwi, menjalankan dengan sesungguh-sungguhnya semboyan-semboyan cinta kemerdekaan. Kemerdekaan yang telah kita proklamirkan dan kita pertahankan sampai titik darah yang penghabisan. Insyaf dan ingatlah! Korban telah banyak, penderitaan tidak sedikit, maka jangan sekali-kali kemerdekaan negara dan bangsa Indonesia yang telah kita miliki dan kita pertahankan itu, dilepaskan dan kita serahkan kepada siapapun juga…”[4]
Lantas, apa yang dilakukan HMI pada masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia? Agussalim Sitompul merekam peran HMI pada masa-masa perjuangan mengusir penjajah untuk kesekian kalinya dari bumi pertiwi. Begini kilas ceritanya, menurut Agussalim Sitompul, HMI yang lahir dalam suasana debu dan kabut revolusi yang masih hitam pekat, terjun ke gelanggang medan pertempuran memanggul senjata dalam upaya membantu pemerintah mengusir penjajah, membela kehormatan bangsa, negara dan agama. Kader HMI yang notabene adalah mahasiswa mengganti penanya dengan senjata dan bambu runcing, menyabung nyawa maju ke gelanggang medan jihad.[5]
Saat Agresi Militer I terjadi, HMI masih berumur empat bulan. Mahasiswa Yogyakarta yang bersedia berjuang di garis depan menggempur gerakan Agresi Militer I Belanda dilatih militer selama tujuh hari oleh Markas Besar Tertinggi (MBT) Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD). Lokasi latihan diadakan di bekas benteng Belanda Vredesburgh di seberang Istana Negara Yogyakarta. Kemudian, pasukan yang terdiri dari mahasiswa ini diberi nama Compi Mahasiswa (CM). Anggota-anggota CM yang menjadi bagian dari kader HMI yaitu; Hartono (Komandan CM), Ahmad Tirtosudiro (Wakil Komandan CM), Amir Alamsyah, Muhammad Sanusi, Usman Abdullah, Abdul Firman, Usep Ranuwiharja, Ahmad Muhammad Joyosugito, dan A. Dahlan Ranuwiharja.[6]
Pada peringatan 1 tahun berdirinya HMI, tanggal 6 Februari 1948, Jenderal Besar Soedirman berpidato yang berisi pesan beliau kepada HMI supaya HMI melaksanakan Anggaran Dasarnya. Selanjutnya, ia mengungkapkan bahwa HMI di satu sisi dapat diartikan Himpunan Mahasiswa Islam. Sedang satunya lagi berarti “Harapan Masyarakat Indonesia”. Melihat keterlibatan aktif HMI pada Agresi Militer Belanda I, maka patut kiranya Jenderal Besar Soedirman berkata demikian terhadap HMI pada momen peringatan 1 tahun HMI yang pada waktu itu dilangsungkan di Pendopo Bangsal Kepatihan, Yogyakarta.[7]
Belum puas menikmati berakhirnya Clash I yang dilakukan oleh Belanda terjadi pula tindakan menggunting dalam lipatan (pengkhianatan dan pemberontakan) yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada tanggal 18 September 1948. Tindakan pengkhianatan dan pemberontakan ini dikenal dengan sebutan killing boles atau Madiun affair.[8] Berdasar analisa Soetarjono, pemberontakan PKI di Madiun pada 1948 merupakan lanjutan dari pemberontakan PKI 1926 yang gagal. Sebab, peristiwa killing boles dipimpin oleh sebagian tokoh yang sama dengan peristiwa pemberontakan 1926.[9]
HMI lagi-lagi ikut serta mengangkat senjata sebagai ikhtiar menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Ahmad Tirtosudiro yang pada waktu itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengurus Besar (PB) HMI mengaktifkan kembali CM sebagai wadah perjuangan bersenjata mahasiswa, khususnya HMI. Ia sekaligus mengambil alih posisi Ketua Perhimpunan Persyarikatan Mahasiswa Indonesia (PPMI) dari yang sebelumnya dijabat oleh Soeripno. Sebab Soeripno yang berasal dari perwakilan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) di PPMI memilih ikut Front Demokrasi Rakyat atau FDR/PKI, dan ikut memimpin jalannya pemberontakan.[10]
Corp Mahasiswa alias CM pada misi penumpasan pemberontakan PKI di Madiun masih dikomandoi oleh Hartono, sedang Ahmad Tirtosudiro sendiri menjadi wakil komando dan kepala stafnya ditunjuk Amir Alamsyah. Ketiga prajurit pembela kemerdekaan tanah air ini berasal dari HMI. Sepintas lalu CM bukanlah sebetul-betulnya satuan tempur. Tugas utama CM adalah memasang ranjau, intelligent, penerangan atau duduk di staf. Kenyataannya, anggota CM pun ikut memikul senjata maju ke barisan terdepan membasmi pemberontakan. Bersama dengan pasukan Siliwangi, CM ikut menyerbu Madiun menghancur leburkan FDR/PKI.[11]
Dalam waktu kurang dari dua bulan pasukan gabungan Republik Indonesia berhasil memporak-porandakan kekuatan PKI di Madiun. Dengan demikian, seluruh kekuasaan Republik Indonesia pulih kembali. Sedangkan Muso, otak dari pemberontakan tersebut, ditembak mati pada saat mencoba melarikan diri di Ponorogo pada tanggal 31 Oktober 1948.[12] Perlu di ketahui bahwa peristiwa killing boles atau pemberontakan PKI di Madiun memakan korban berjumlah ribuan, terutama terdiri dari kaum Muslimin. Banyak Ustad, Santri, Kyai dan pejabat pemerintahan tewas dibunuh oleh FDR/PKI. Republik Indonesia yang baru berusia belia bagai ditikam dari belakang, sehingga luka-luka yang diderita republik sangat parah.[13]
Letusan pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948 memberi peluang yang baik bagi Belanda melakukan Agresi Militer selanjutnya (Clash II) untuk memporak-porandakan kedaulatan Negara Republik Indonesia yang baru merdeka, demikian kata Agussalim Sitompul.[14] Tanpa ada pernyataan perang terlebih dahulu dari pihak Belanda tiba-tiba saja pada minggu dini hari tanggal 19 Desember 1948 disertai kekuatan militer yang sangat besar; baik dari laut, udara dan darat, Belanda menggempur Ibukota Republik Indonesia ketika itu, Yogyakarta. Dalam hitungan jam Yogyakarta pun direbut oleh militer Belanda dan menangkap pimpinan-pimpinan Republik Indonesia seperti; Soekarho, Hatta, Sjahrir dan lain-lain.[15]
Belanda dengan gobloknya berpikir bahwa menduduki Yogyakarta dan menangkap pemimpin-pemimpin Republik Indonesia secara praktis menghilangkan kedaulatan Indonesia. Namun, itu adalah langkah yang sangat keliru. Tak kala Belanda memaksa Soekarno dan Hatta menandatangani penyerahan Republik Indonesia kepada Belanda. Barulah Belanda sadar bahwasanya Soekarno dan Hatta tidak lagi berwenang bertindak atas nama Pimpinan atau pejabat pemerintahan Republik Indonesia. Sebab, berdasarkan mandat yang diberikan oleh Perdana Menteri Hatta kepadanya, maka pada tanggal 22 Desember 1948 bertempat di desa Halaban Sumatera Tengah Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dengan demikian, kewenangan pemerintahan tidak lagi terletak pada Soekarno dan Hatta, melainkan ada pada Presiden PDRI Syafruddin Prawiranegara.[16]
Pada waktu Agresi Militer untuk kali keduanya dilakukan Belanda, perang gerilya terjadi di berbagai pelosok tanah air. Jenderal Besar Soedirman adalah salah satu aktor di balik gerilya itu. Di lereng-lereng gunung TNI disiapkan untuk sewaktu-waktu melakukan penyerangan. Dalam situasi demikian Ahmad Tirtosudiro menggerakkan para anggota-anggota HMI yang tergabung dalam CM untuk kembali ikut ke medan gerilya membantu dan memperkuat aparat pemerintah baik dalam lapangan militer, maupun dalam lapangan perekonomian, kesehatan, pengajaran, penerangan dan lain-lain.[17]
Pada tanggal 1 Maret 1949 TNI melakukan serangan secara besar-besaran terhadap Kota Yogyakarta, yang terkenal dengan Serangan Umum 1 Maret. Serangan ini dirancang oleh petinggi militer berdasarkan instruksi Panglima Besar Jenderal Sudirman, dengan menyertakan beberapa pucuk pimpinan sipil setempat. Serangan umum ini dilakukan untuk membuktikan kepada dunia Internasional bahwa TNI, yang notabene merupakan representasi Republik Indonesia, masih ada dan kuat untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Serangan Umum 1 Maret juga berhasil menyudutkan moral pasukan Belanda dan mengangkat posisi Indonesia yang sedang diperbincangkan dalam sidang Dewan Keamanan Persyarikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Muaranya, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 mendesak pemerintah Belanda menyerahkan secara utuh kedaulatan Republik Indonesia melalui Perjanjian Roeam-Roijen di Jakarta dan berujung pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.[18]

B.  “Ganyang HMI”, Bualan Ompong PKI dan Anteknya
Sejak keterlibatan HMI dalam operasi penumpasan FDR/PKI di Madiun tahun 1948, semenjak itu pula dendam kesumat PKI tertanan kepada HMI. Bahkan, Agussalim Sitompul menyebut bahwa HMI dengan sendirinya dianggap musuh nomor satu bagi PKI.[19] Delapan belas tahun setelah peristiwa Madiun tahun 1948, watak serta perangai pengkhianatan dan pemberontakan kembali diulang oleh PKI dengan terjadinya peristiwa Gestapu/PKI 30 September 1965.[20] Peristiwa ini terjadi, salah satunya, sebab kecerobohan Soekarno yang memberi kelapangan jalan bagi terwujudnya political design (desain politik) yang direncanakan oleh PKI.
Sebelum hari berdarah Gestapu/PKI 30 September 1965 terjadi, kebangsatan PKI telah dimulai terlebih dahulu dengan pelan-pelan menyayat kulit persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. PKI dengan picik menghasut Soekarno untuk melenyapkan kekuatan yang melawan kepentingannya. Malangnya, Soekarno yang sudah terhasut memanfaatkan kekuasaannya untuk membantu meloloskan kepentingan PKI. Meskipun mungkin beliau tidak sadar sedang dimanfaatkan, tapi demikianlah kenyataannya. Ingat sejenak peristiwa 17 Agustus 1960, lewat Keputusan Presiden (Keppres), Soekarno membubarkan partai-partai politik yang berlawanan dengan keinginannya menerima paham komunis di Indonesia. Salah satu partai yang dibubarkan itu ialah Partai Masyumi. Padahal, Masyumi adalah salah satu partai terbesar dalam perpolitikan Indonesia saat itu yang basisnya terdiri dari umat Islam. Selain itu, Masyumi telah memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan sejak awal kemerdekaan.[21]
Soekarno mengira, mungkin, PKI akan menjadi sahabat karibnya dalam menjalankan roda pemerintahan yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sayang sekali, perkiraan Soekarno salah besar dan merugikan bangsa Indonesia. Soekarno tidak sempat untuk ber-suudzon (berburuk sangka) bahwa semua hasutan PKI kepadanya hanyalah bagian dari desain politik yang sedang mereka canangkan. Akhir dari semua tindakan PKI itu adalah aanslag (tindakan makar) untuk merebut pemerintahan yang berkuasa. Namun, nasi sudah terlanjur menjadi bubur, Soekarno telah membubarkan partai politik yang menolak keaktifan PKI dalam pemerintahan. Tepatnya, membubarkan partai politik yang dengan kesungguhan hati menemani Soekarno membangun dan mengembangkan Republik Indonesia.
Keberhasilan membubarkan partai-partai yang menolak eksistensinya, apalagi sekelas Masyumi, jadi angin segar bagi PKI untuk lebih frontal menyuarakan kepentingan politiknya. Setelah Masyumi dibubarkan oleh Soekarno, organisasi Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) pun ikut dibubarkan sebab dianggap sebagai anak kandung Masyumi. Pasca keberhasilan melenyapkan legalitas dua organisasi dengan basis masa umat Islam ini, selanjutnya PKI mengarahkan moncong senjata politiknya ke arah HMI. Karena itulah, tahun-tahun menjelang meletusnya Gestapu/PKI 30 September 1965 gesekan antara HMI dengan PKI sangat luar biasa. A. Dahlan Ranuwihardjo menganalisa bahwa hal itu, gesekan, terjadi sebab HMI masuk ke dalam political design-nya PKI. Agar tidak hanya sebatas assertion belaka, maka ia mengemukakan alasannya sebagaimana berikut ini,[22]
Pertama, PKI memandang HMI selain sebagai organisasi mahasiswa Islam yang terbesar juga sebagai organisasi militan dan sudah mulai menghasilkan kader-kader yang akan mengisi lapisan pimpinan di semua segi kehidupan bangsa dan negara. Tentu saja hal ini merupakan ancaman besar yang akan menghalangi tercapainya tujuan super-strategis PKI, yaitu untuk merebut kekuasaan negara. Karena itu, sebelum HMI membesar dengan kuantitas dan kualitas seperti itu maka lebih baik dihancurkan segera.
Kedua, HMI adalah organisasi independen alias organisasi yang tidak memiliki induk. Dalam pandangan PKI, menurut A. Dahlan Ranuwihardjo, menghancurkan organisasi yang tidak memiliki induk pastilah mudah. Jadi, bagi PKI HMI adalah sasaran empuk untuk dimusnahkan.
Ketiga, HMI adalah organisasi kader yang berisikan orang Islam. Karenanya, HMI dapat membawa kebangkitan bagi umat Islam. Sebelum semua itu terjadi, HMI yang merupakan cadangan strategis bagi umat Islam harus dihancurkan sekarang.
Alasan strategis dibalik kampanye bubarkan HMI, seperti yang dipaparkan A. Dahlan Ranuwihardjo di atas, tentu saja tidak disampaikan demikian kepada Soekarno oleh PKI. Strategi PKI dalam upaya membubarkan HMI adalah menyebarkan gossip bahwa HMI merupakan onderbouw Masyumi yang dianggap sebagai kekuatan reaksioner kontra-revolusioner.[23] Pernyataan bahwa HMI adalah onderbouw Masyumi adalah fitnah yang membodohkan. Hal itu dikarenakan HMI jelas-jelas merupakan organisasi independen yang didirikan oleh mahasiswa Islam tahun 1947 silam. Jadi, isu yang dibuat-buat oleh PKI hanyalah bualan tanpa data dan fakta.
Eky Syahrudin, selaku pelaku sejarah sekaligus orang yang pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Jakarta, menceritakan pada tahun 1963-1966 merupakan masa-masa himpitan dan jepitan terhadap HMI yang sangat berat dilakukan oleh oleh PKI, Pemuda Rakyat, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Partindo, dan berbagai organisasi kaum merah lainnya, termasuk pula Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Bahkan, ia berpikir serangan-serangan yang dilakukan PKI dan komplotannya begitu menyesakkan nafas yang nyaris membawa pada kesimpulan, kapan HMI dan para anggota-anggotanya akan mati.[24]
Ungkapan Eky Syahrudin menggambarkan kekuatan serangan dan ancaman yang dilakukan kompolotan PKI begitu menusuk kepada HMI. Bayangkan saja, CGMI dan GMNI dengan pd-nya menuding HMI sebagai organisasi kontrarevolusioner. Sedangkan, mereka sebagai organisasi pro-komunis merasa paling revolusioner. Padahal, pada masa Agresi Militer Belanda I dan II serta pemberontakan yang dilakukan PKI di Madiun, HMI turun ke medan tempur mengangkat senjata serta menyabung nyawa mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Lantas, di mana CGMNI dan GMNI ketika bara revolusi itu mencuat? Kencing celana saja belum bisa mereka pada saat itu.[25]
A. Dahlan Ranuwihardjo mengatakan anggota-anggota HMI yang turut dalam CM adalah orang-orang yang revolusioner, yang secara nyata turut berjuang memanggul senjata melawan kolonialisme. Beliau juga menyayangkan, bisa-bisanya CGMI dan GMNI mengatakan HMI kontrarevolusioner dan mereka revolusioner. Padahal GMNI yang didirikan pada tahun 1954 tidak pernah berjuang melawan tentara Belanda, melihat tentara Belanda saja belum pernah.[26] CGMNI pun demikian, organisasi yang secara terang merupakan underbouw PKI ini baru didirikan pada tahun 1956. Belum pernah merasakan pahitnya debu peluru revolusi. Lantas, lancang betul menyebut dirinya sosok revolusioner.
Menyadari adanya ‘jasa’ HMI terhadap Republik Indonesia, mungkin, maka Soekarno bukannya membubarkan HMI sebagaimana tuntutan PKI, CGMNI dan didukung oleh GMNI. Melainkan, lewat Instruksi Presiden No. 08 tahun 1964 Soekarno menegaskan HMI merupakan alat revolusi yang progresif-revolusioner. Namun, Instruksi Presiden itu bukannya menyurutkan keinginan PKI cs untuk membubarkan HMI. Justru, kenyinyiran PKI dan komplotannya semakin menjadi-jadi. Hari minggu tanggal 7 Maret 1965 di Pendopo Kabupaten Malang dilangsungkan Rapat Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang diberi nama “Maju Tak Gentar”. Suasana forum memanas karena diteriakkannya yel-yel oleh CGMNI, IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) yang sudah terkontaminasi dokrin bejat komunis, Pemuda Rakyat, GMNI dan Pemuda Marhaenis. Sambil menari-nari mereka meneriakkan, “Ganyang HMI”.[27]
Pengurus HMI Cabang Malang, pada saat yang sama sedang melangsungkan acara halal bi halal, telah berikhtiar agar panitia menghentikan teriakan. Tetapi, ikhtiar yang dilakukan pengurus HMI Cabang Malang tidak diindahkan. Umat Islam Kabupaten Malang yang mulai geram dengan perlakuan komplotan komunis itu segera membanjiri sekitar pendopo. Kemudian mereka paksa rapat “Maju Tak Gentar” segera dihentikan. Spontanitas ukhuwah Islamiyah tidak lagi bisa dibendung dan di balik hujan batu ke arah Pendopo menggemalah teriakan “Allahu Akbar”. Tidak hanya batu yang dilemparkan, kursi pun ikut melayang memporak-porandakan forum fitnah dan keji bertajuk Rapat Umum PWI tersebut.[28]
Tanggal 11 September 1965, Lukman Harun (Ketua Generasi Muda Islam/Gemuis), menggalang masa untuk melakukan aksi tandingan yang dibuat oleh kelompok pro-komunis, aksi organisasi pro-komunis yang ditujukan untuk membubarkan HMI. Aksi tandingan itu dilaksanakan pada tanggal 13 September 1965 yang diikuti oleh Pemuda Muhammadiyah, HMI, PII dan Pemuda Muslimin Indonesia, dengan total masa aksi sekitar 2.500 orang pemuda Islam. Teriakan “Allahu Akbar” kembali bergemuruh di langit biru. Para pimpinan demonstrasi segera menyampaikan maksud dan tujuan demonstrasi yakni sebagai manifestasi rasa ukhuwah Islamiyah untuk membela HMI.[29]
Long march dilakukan masa aksi menuju Merdeka Barat. Seorang demonstran yang diketahui bernama Abdul Wahid Kadungga dari perwakilan PII membawa sebuah kertas putih bertuliskan huruf-huruf besar berbunyi “Langkahi Mayatku Sebelum Ganyang HMI”. Para demonstran menuju Kantor Komando Tertinggi Retuling Aparatur Revolusi (KOTRAR) untuk menyampaikan maksud dari aksi yang dilakukan. Di sana mereka ditemui oleh Pimpinan KOTRAR yaitu A. Wiryadinata dan tokoh PKI bernama Cugito serta seorang tokoh Gerwani (Organisasi Wanita PKI). Selanjutnya, Husein Umar dari PII membacakan pernyataan Gemuis yang isinya membela HMI agar pemerintah tetap melindungi dan mempertahankan hak hidup HMI. Gemuis akan mempertahankan HMI sampai titik darah penghabisan.[30]
Dampak selanjutnya dari aksi Gemuis tanggal 13 September 1965 ialah batalnya aksi yang akan dilakukan oleh PKI dan antek-anteknya dalam rangka menuntut pemerintah membubarkan HMI.[31] Tidak hanya itu, tertanggal 15 September 1965 berdasarkan pada Surat Keputusan KOTRAR Nomor: Tr/1953/Kotrar/65 Presiden Soekarno menyatakan bahwa HMI tidak dibubarkan, dapat berjalan terus dan mempunyai hak serta kedudukan yang sama dengan organisasi mahasiswa lainnya.[32]
Akantetapi, lagi-lagi keputusan yang menegaskan pemerintah tidak membubarkan HMI tetap saja tidak diindahkan oleh PKI cs. Ketulian intelektual telah menodai alam pikir mereka. Pada Kongres II CGMI tanggal 29 September 1965 di Istora Senayan, Jakarta. Ribuan kader CGMI tanpa rasa malu meneriakkan dibubarkannya HMI. “Bubarkan HMI! HMI antek nekolim!” demikianlah nada teriakannya. Selanjutnya Ketua Central Comite (CC) PKI Dipa Nusantara Aidit naik ke mimbar untuk menyebarkan ujaran kebencian, hasut dan segala fitnahnya terhadap HMI. “Kalau CGMI tak bisa membubarkan HMI lebih baik kalian memakai kain seperti perempuan!” kata Aidit disambut gemuruh teriakan anggota CGMI. “Bubarkan HMI! Bubarkan HMI!”[33] Lebih lanjut, “Kalau tidak dapat membubarkan HMI”, kata Aidit, “lebih baik pakai sarung”, serunya di hadapan 10.000 massa CGMNI. Yel-yel “Bubarkan HMI” kemudian bergema kembali.[34]
Sepandainya tupai melompat, tanah juga tempat jatuhnya. Demikianlah dengan PKI bersama antek-anteknya, sepandai-pandai mereka menyembunyikan kepentingan politik yang busuk pada akhirnya akan ketahuan juga. Sebab bangkai tak akan bertahan lama dipersembunyian. Pada tanggal 30 September 1965, tepatnya hingga dini hari 1 oktober 1965, PKI beserta anteknya dengan lancang menodai keutuhan dan kedaulatan Republik Indonesia. Terjadilah peristiwa memalukan dan sekaligus menjijikkan dalam sejarah Negara Republik Indonesia yang telah merdeka, yakni pengkhianatan dan pemberontakan PKI untuk kesekian kalinya yang dikenalkan dengan sebutan Gerakan 30 September/PKI (Gestapu/PKI).
Peristiwa Gestapu/PKI membuat situasi politik bergeser 1800, HMI semakin di atas angin sedang PKI cs mulai terpeleset. Tindakan gegabah PKI cs yang sok revolusioner bukannya memantapkan posisi politik mereka, tapi justru menenggelamkan mereka sampai ke liang lahat. Gerakan-gerakan ganyang PKI beserta antek-anteknya mulai bergemuruh di berbagai belahan bumi pertiwi. Kekuasaan Soekarno mulai goyah, sebab sahabatnya PKI telah nyata berkhianat. Kekuatan yang disangka revolusioner, nyatanya revolusioner untuk meghancurkan alias sangat kontra revolusioner. HMI tidak tinggal diam, mengambil momentum Gestapu/PKI untuk melakukan counter attack atas perlakuan PKI cs selama beberapa tahun terakhir.
Setelah kejadian Gestapu/PKI gelombang demonstran berserak di berabagai tempat di Indonesia, salah satunya di Yogyakarta. Gemuis yang dipimpin oleh anggota-anggota HMI melakukan aksi masa besar-besaran yang menuntut dibubarkannya PKI beserta antek-anteknya. Di Yogyakarta, aksi diawali dari tanggal 4 Oktober 1965 hingga tanggal 5 Oktober 1965. Selama aksi berlangsung, atribut dan markas-markas PKI dibinasakan oleh para demonstran. Kemudian pada tanggal 17 Oktober 1965 di Yogyakarta, HMI dan beberapa organisasi pergerakan anti komunis lainnya mendidirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) progresif revolusioner sebagai pengganti PPMI yang terkontaminasi komunis. GMNI dan GMKI menentang berdirinya KAMI sebab dituding membahayakan revolusi, menjegal ajaran-ajaran PBR dan mendongkel Presiden Soekarno.[35]
Dalam lingkungan HMI Cabang Yogyakarta, berdasarkan hasil sidang komisi khusus tentang peranan HMI-wati dalam perjuangan HMI dan umat Islam pada Konferensi Cabang ke-19 dibentuklah Lembaga Khusus bernama Korp HMI-Wati (Kohati). Kohati HMI Cabang Yogyakarta resmi didirikan pada tanggal 24 Ramadhan 1385 H bertepatan dengan tanggan 17 Januari 1966 M. Tujuan lahirnya Kohati selain untuk pembentukan karakter dan kualitas kader-kader HMI-Wati yang dapat membawakan aspirasi HMI yang murni di mana pun mereka berada. Juga untuk pengerahan massa dalam Kesatuan Aksi Pengganyangan (KAP) dan ikut terlibat dalam Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI) untuk menumpas Gestapu/PKI.[36]
Dalam dinamika nasional, aksi demonstrasi terus berlangsung hingga awal tahun 1966. Di Jakarta pada bulan Februari 1966 terjadi demonstrasi besar-besaran dari mahasiswa yang menuntut dibubarkannya PKI dan membersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI. Tuntutan itu dijawab oleh Soekarno dengan membentuk Kabinet Gestapu pada tanggal 21 Februari 1966 yang masih berisikan komponen PKI. Massa aksi mengepung Istana Negara dalam rangka ikhtiar menggagalkan pelantikan Kabinet Dwikora/Gestapu yang masih diisi komplotan PKI tersebut. Melihat memuncaknya situasi, petugas keamanan dengan segala keangkuhannya melepaskan tembakan ke arah para demonstran. Korban pun berjatuhan, beberapa demonstran gugur di depan Istana Negara pada tanggal 24 Februari 1966 yang salah seorangnya bernama Arif Rahman Hakim.[37] Selain itu, di daerah Merdeka Barat telah gugur pula satu orang anggota demonstran bernama Zainal Zakse terkena bayonet aparat.[38] Selanjutnya, pada tanggal 25 Februari 1966 melalui Surat Keputusan Panglima Kogam Nomor: 041/66, KAMI dibubarkan oleh pemerintah. Dibentuknya Kabinet Gestapu, tewasnya Arif Rahman Hakim cs dan dibubarkannya KAMI merupakan bentuk keserakahan tirani Soekarno.[39]
KAMI Yogyakarta yang dimotori oleh anggota-anggota HMI melayangkan protes dan menolak pembubaran KAMI. Di Yogyakarta sendiri, atas gugurnya Arif Rahman Hakim cs maka diadakan pawai berkabung selama 4 hari, yaitu tanggal 7,8,9 dan 10 Maret 1966. Kebetulan pada waktu yang sama seorang Menteri dari kelompok PKI bernama Drs. Sumarjo sedang berkunjung ke Yogyakarta. Pada akhirnya, acara pawai berubah haluan menjadi aksi demonstrasi memprotes keberadaan Menteri PKI sekaligus tuntutan pembubaran PKI. Puncak aksi terjadi pada tanggal 10 Maret 1966, pada hari itu Aris Munandar (Pelajar SMP Muhammadiyah 10) dan Margono (SPG Muhammadiyah I) yang masih berusia belasan tahun gugur setelah ditembak secara sengaja oleh petugas keamanan.[40]
Pemimpin-pemimpin massa aksi satu-persatu ditahan di Kodim 0734 yang berada dalam kuasa PKI, semua delegasi yang dikirim oleh massa aksi untuk pembebasan mereka malah ikut ditahan. Di tengah kecamuk massa aksi datang support moriil dari dua tokoh Islam ternama yakni Djamhari (seorang Wakil Ketua Front Nasional dan juga Ketua NU Wilayah D.I.Y.) dan Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir (seorang pejuang bangsa dan penandatangan Piagam Jakarta yang juga seorang Rektor UII). Djamhari berjanji kepada massa aksi akan membebaskan para aktivis yang ditahan di Kodim 0734. Sedangkan, Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir memberi semangat dan memimpin do’a bagi keselamatan yang gugur dan para demonstran yang masih bertahan.[41]
Hadirnya dua tokoh dalam momen aksi yang dilakukan para pelajar dan mahasiswa, menyebabkan air mata tidak dapat ditahan. Ditambah, perjuangan demontrasi yang melelahkan sebab seharian belum minum secangkir air dan makan sesuap pun nasi. Maka dengan penuh solidaritas ibu-ibu ‘Aisyiah langsung turun tangan menyediakan minuman dan nasi bungkus yang jumlahnya ribuan untuk para pejuang yang masih melangsungkan demontrasi. Sehingga lepaslah rasa haus dan dahaga peserta aksi massa untuk terus melanjutkan perjuangan yang belum selesai hari itu. Aksi demonstrasi dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Gugur Bunga dan Padamu Negeri, guna menghormati 2 pahlawan yang telah gugur, Aris Munandar dan Margono. Hastin Atas Asih dan Futari Hayani, keduanya adalah anggota HMI Cabang Yogyakarta yang tampil memimpin lagu-lagu tersebut.[42]
Gelombang aksi massa yang semakin menjadi-jadi, ditambah keadaan kesehatan Soekarno yang menurun, mengharuskan beliau menyerahkan pengendalian pimpinan negara kepada Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat. Proses peralihan dilakukan lewat jalan sederhana, dan sebetulnya inkonstitusional, yaitu dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret tahun 1966 (Supersemar). Setelah memperoleh kewenangan selaku pengambil kebijakan eksekutif tertinggi di Indonesia, Soeharto segera melakukan tindakan cepat. Pertama-tama yang dilakukannya mencabut mandat presiden seumur hidup Soekarno lewat TAP Nomor: XVIII/MPRS/1966. Lalu, keputusan membubarkan PKI sekaligus menyatakannya sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia serta larangan menyebarkan dan mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme, Leninisme, dalam segala bentuk dan manifestasi. Keputusan itu dituangkan dalam TAP Nomor: XXV/MPRS/1966.[43] Dengan demikian, tamat sudah nasib PKI beserta antek-anteknya di bumi pertiwi.

C.  Catatan Penutup: Gerakan Lainnya di Indonesia
Selain keterlibatannya dalam semrawut perjuangan bersenjata melawan penjajah Belanda dan pengkhianatan PKI. HMI juga terlibat agenda penumpasan gerakan-gerakan lain yang dituding memberontak oleh pemerintah pusat yang terjadi dalam rentang waktu 1963-1966. Meski tudingan itu tidak sepenuhnya benar, tetapi dengan segenap jiwa dan raga kader-kader HMI tetap rela berkorban atas nama negara. Kader HMI yang terdiri dari mahasiswa Islam rela keluar dari zona nyaman untuk menyabung nyawa demi mempertahan kedaulatan negara. Tidak sedikit pula yang kemudian gugur saat menjalankan tugas sebagai sukarelawan dan sekaligus pasukan.
Sebagaimana yang terekam dalam “Laporan Singkat Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 08 tahun 1964”, menyebutkan pada tanggal 20 Juli 1964 HMI memberangkatkan ke garis depan dalam tugas Dwikora sebanyak 37 orang sukarelawan dokter HMI, termasuk di dalamnya Ketua Umum PB HMI ketika itu, dr. Sulastomo. 200 orang anggota HMI Cabang Pontianak dikerahkan ke medan pertempuran di fron terdepan Kalimantan. Bahkan, seorang dari mereka gugur dan dua diantaranya mengalami luka berat.[44]
Anggota HMI Cabang Makassar, Pare-Pare, Sompeng dan Palopo diturunkan pada Tumpas-Operasi kilat dalam rangka menghentikan gerakan 'kritik bersenjata' Kahar Muzakar dan Andi Mattola. Di pulau ujung timur Indonesia, daerah Fakfak Irian Barat, pada tanggal 11 Agustus 1964 gugur seorang sukarelawan pembangunan yang merupakan seorang anggota HMI bernama M. Sjahidin. Ia adalah anggota HMI Cabang Ciputat dari Komisariat IAIN al-Djami’ah Ciputat.[45] Deretan data dan fakta sejarah keterlibatan HMI dalam agenda-agenda revolusi Indonesia semakin mempertegas eksistensi HMI sebagai organisasi progresif-revolusioner. Tepatnya lagi, HMI adalah alat revolusi bagi segenap bangsa bernama Indonesia, seperti pernyataan Soekarno dalam Inpres No. 8 Tahun 1964. Keterlibatan HMI dalam berbagai agenda militer untuk menghentikan gerakan-gerakan yang diduga akan merongrong kedaulatan negara, yang mayoriti mendapat dukungan dari eks-eks Masyumi, sekaligus menjawab tudingan sesat PKI dan antek-anteknya bahwa HMI adalah organisasi underbow Masyumi.



[1] Anwar Harjono dan Lukman Hakiem, Di Sekitar Lahirnya Republik: Bakti Sekolah Tinggi Islam dan Balai Muslimin Indonesia Kepada Bangsa, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, [Tanpa Tempat], 1997, Hlm. 14
[2] Reza Ade Christian, “Agresi Militer Belanda I dan II (Periode 1947-1949) dalam Sudut Pandang Hukum Internasional”, Skripsi pada Program Sarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2011, Hlm. 9-17
[3] Ibid.
[4] Tjokropranolo, Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman; Pemimpin dan Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, Surya Persindo, Jakarta, 1992, Hlm. 91
[5] Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Integrita Dinamika Press, Jakarta, 1986, Hlm. 40
[6] Agussalim Sitompul, Historiografi Himpunan Mahasiswa Islam Tahun 1947-1993, Intermasa, Jakarta, 1994, Hlm. 92
[7] Agussalim Sitompul (Ed.), HMI Mengayuh di Antara Cita dan Kritik, Aditya Media, Yogyakarta, 1997, Hlm.  10-11
[8] Tim Penyusun Jawa Pos, Lubang-lubang Pembantaian Petualangan PKI di Madiun, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1990, Hlm. 5
[9] Soetarjono, Pemberontakan PKI-Moeso di Madiun, Penerbit Kabupaten Magetan, Magetan, 2001, Hlm. 2
[10] Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan…, Op. Cit., Hlm. 43-44
[11] Agussalim Sitompul, Historiografi Himpunan…, Op. Cit., Hlm. 79
[12] Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan…, Loc. Cit.
[13] Agussalim Sitompul, Historiografi Himpunan…, Loc. Cit.
[14] Ibid.
[15] Reza Ade Christian, Op. Cit., Hlm. 34
[16] Agussalim Sitompul, Historiografi Himpunan…, Loc. Cit.
[17] Ibid., Hlm. 80
[18] Reza Ade Christian, Op. Cit., Hlm. 35-38
[19] Agussalim Sitompul, Historiografi Himpunan…, Op. Cit., Hlm. 79
[20] Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan…, Loc. Cit.
[21] Muchamad Ali Safa’at, “Pembubaran Partai Politik di Indonesia”, Disertasi Pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2009, Hlm. 162-168
[22] A. Dahlan Ranuwihardjo, Bung Karno dan HMI dalam Pergulatan Sejarah: Mengapa Bung Karno Tidak Membubarkan HMI?, IntranS, Jakarta, 2002, Hlm. 3-4
[23] M. Alfan Alfian, HMI 1963-1966: Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara, Kompas, Jakarta, 2013, Hlm. 4
[24] Eky Syahrudin, “HMI, Bung Karno dan Tragedi Nasional”, dalam Muchriji Fauzi HA dan Ade Komaruddin Mochamad (Penyunting), HMI Menjawab Tantangan Zaman, PT. Gunung Kulabu, Jakarta, 1990, Hlm. 85-86
[25] A. Dahlan Ranuwihardjo, Op. Cit., Hlm. 61
[26] Ibid.
[27] Agussalim Sitompul (Ed.), HMI Mengayuh…, Op. Cit., Hlm. 233
[28] Ibid.
[29] Ibid., Hlm. 234
[30] Ibid., Hlm. 235
[31] Ibid.
[32] Sulastomo, Hari-Hari yang Panjang 1963-1966, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1990, Hlm. 18
[33] Anonim, “Desakan CGMI Kepada Presiden Soekarno untuk Membubarkan HMI”, dalam http://www.hariansejarah.id/2017/04/desakan-cgmi-kepada-presiden-soekarno.html, diakses pada tanggal 08 Oktober 2018
[34] Sulastomo, Di Balik Tragedi 1965, dalam M. Alfan Alfian, HMI 1963-1966: Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara, Kompas, Jakarta, 2013, Hlm. 85
[35] KAMI pusat baru berdiri pada tanggal 25 Oktober 1965, atau 8 hari setelah KAMI progresif revolusioner beridiri di Yogyakarta. Lihat dalam Agussalim Sitompul (Ed.), HMI Mengayuh…, Op. Cit., Hlm. 221-224
[36] Agussalim Sitompul, Korp HMI-Wati dalam Sejarah, Misaka Galiza, Jakarta, 2008, Hlm. 11-14
[37] Ibid., Hlm. 225
[38] Sulastomo, Hari-Hari…, Op. Cit., Hlm. 58
[39] Agussalim Sitompul (Ed.), HMI Mengayuh…, Loc. Cit.
[40] Ibid., Hlm. 226
[41] Ibid., Hlm. 227
[42] Ibid.
[43] Sulastomo, Hari-Hari…, Op. Cit., Hlm. 59
[44] A. Dahlan Ranuwihardjo, Op. Cit., Hlm. 109
[45] Ibid.

0 comments