Benarkah HMI Menolak Pancasila? Bagian 1: Keadaan Rezim dan Kongres Perjuangan Tahun 1983


ilustrasi gambar: tirto.id

Oleh: MHD. Zakiul Fikri
pada masa Orde Baru berkuasa,  seringkali ditemui paket politik yang mendiskreditkan umat Islam.
Berakhirnya pemerintahan Orde Lama di bawah komando Soekarno tidak lepas dari peran HMI dan aktor-aktor Islam lainnya, baik individu atau pun kelompok organisasi. Sebab, sudah menjadi konsumsi sejarah yang sifatnya umum bahwa periode 1960-an awal hingga pertengahan ialah periode bertarungnya organisasi kemasyarakatan Islam, khususnya HMI, dengan kelompok-kelompok sosialis-komunis. Dengan demikian, bukanlah suatu yang berlebihan bila HMI disebut sebagai bagian yang ikut menjadi “orang tua” dalam melahirkan rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.
Hasanuddin M. Saleh mengatakan Orde Baru yang juga ditulangpunggungi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) lahir dengan dukungan penuh umat Islam. Sejarah mencatat umat Islam berada di garda terdepan dalam proses peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru pada pertengahan 1960-an tersebut. Namun, dalam perjalanan selanjutnya rezim Orde Baru mengembangkan tujuannya sendiri dan meletakkan kepentingn umat Islam dalam posisi subordinat, bahkan direkayasa sedemikian rupa sehingga tidak menghalangi kepentingan nafsu angkara rezim yang berkuasa.[1]
Untuk memuluskan jalannya kepentingan kekuasaan, Orde Baru senantiasa menggunakan ABRI lewat kebijakan dwifungsi sebagai mesin kekuasaan. Tidak hanya ABRI, tatanan birokrasi yang dijalankan oleh kelompok kekaryaan yang bernama Golongan Karya (Golkar) juga menjadi bagian dari mesin kekuasaan lain yang digunakan pemerintahan Orde Baru. Selain dua komponen itu, pemerintahan Orde Baru juga mengandalkan peran para konglomerat. Maka sangat lazim apabila selama pemerintahan ini berlangsung, Indonesia menjelma menjadi surga bagi investor asing dan para kroni kapitalis domestik. M. Busyro Muqoddas menggambarkan tiga kekuatan penopang Orde Baru ini sebagai berikut:[2]

(Kekuatan Penopang Orde Baru)
Sumber: M. Busyro Muqoddas
Tiga mesin kekuasaan di atas mempunyai fokus masing-masing. Mesin pertama digunakan untuk menaklukkan kekuatan-kekuatan kritis di masyarakat dan membungkam gerakan-gerakan protes serta perlawanan atas kebijakan pemerintahan Soeharto. Mesin kedua menjalankan tugas kekuasaan monolitik dengan strategi kebijakan pembangunan atau developmentalisme. Sementara itu, mesin ketiga berfungsi sebagai sarana pembiayaan semua agenda kebijakan yang sudah terencana dan tersusun sedemikian rupa. Tiga kekuatan itulah yang menegakkan kekuasaan yang bercorak otoriter! Demikian menurut M. Busyro Muqoddas.[3]
Menurut Syafinuddin al-Mandari sudah menjadi watak kekuasaan yang dibangun di atas nilai-nilai buruk, yang disebutnya tiranik, untuk melindungi kebijakan-kebijakannya dengan paket-paket politik yang orientasinya memisahkan kekuatan politik lain dari potensi-potensi yang dimiliki. Ia menarik benang sejarah sebagai analogi guna memperkuat pernyataannya, Yazid memisahkan penduduk kufah (yang semula mendukung Imam Husein) dengan semangat keberaniannya, Inggris memisahkan warga India dari akar-akar budaya, Snouck Horgronje memisahkan umat Islam Indonesia dari semangat jihadnya. Berdasarkan susunan analogi itu, kemudian Syafinuddin al-Mandari berkesimpulan faktor-faktor kekuatan yang dapat membangkitkan Islam untuk menciptakan posisi bargaining dengan pemerintah Orde Baru harus segera direnggut dari dada kaum pergerakan dan masyarakat Islam.[4]
Apa langkah strategis yang dilakukan rezim Orde Baru dalam merekayasa agar tersubordinatnya kepentingan umat Islam? Atau strategi apa yang dilakukan dalam merenggut kekuatan kebangkitan Islam dari kaum pergerakan dan masyarakat Islam oleh rezim otoriter Orde Baru? Menurut M. Busyro Muqoddas guna menekan kekuatan Islam, bahkan merampok kekuatan Islam, Soeharto menerapkan strategi picik terhadap kelompok Islam melalui tiga pola.
…Pertama, Soeharto melakukan diskriminasi politik. Presiden kedua RI itu mengambil kebijakan penentuan calon wakil rakyat dari kelompok muslim yang bermaksud megikuti Pemilihan Umum melalui proses seleksi Intelijen Militer. Bagi mereka yang menolak maka dianggap tidak loyal pada Pemerintahan yang sah. Kebijakan itu berdampak pada banyak calon wakil rakyat dari Parmusi yang dianggap sebagai simpatisan Masyumi yang kemudian tidak bisa diikutkan Pemilu. Partai inilah yang paling menderita karena melalui skrining ini membuat 75% dari calon-calonnya itu ditolak oleh Pemerintah…
Kedua, Soeharto mendekati kelompok Islam dengan mulai menghidupkan jaringan Darul Islam melalui Letnan Kolonel Ali Moertopo, seorang kepercayaan Soeharto melalui Operasi Khusus (Opsus). Di bawah Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban yang menjabat sebagai salah satu perwira di BAKIN. Opsus terhadap mantan DI/TII diharapkan memberikan dukungannya untuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Ali Moertopo melakukan operasi Opsus untuk memecah belah Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) wadah aspirasi politik golongan Islam modernis dengan basis massa dari bekas-bekas Partai Masyumi, lembaga lain seperti GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam), yang merupakan organisasi massa Islam tradisional. Soeharto menilai Umat Islam merupakan salah satu kantong potensial yang akan menyubangkan suara Pemilu 1971 karena mayoritas penduduk beragama Islam. Pengakuan K.H. Kholid Sumadi yang diminta oleh Kepala Staf Kodim dan menawarkan agar yang bersangkutan untuk ikut membesarkan GUPPI, salah satu organisasi penopang Golkar, menjadi fakta menarik tokoh Islam diharapkan menjadi bagian lingkungan kekuasaannya. Begitu juga dengan masuknya Darul Hadist atau lembaga Dakwah Islam Indonesia dalam Partai Golkar.
Ketiga, disamping peran di atas, Soeharto melalui Opsus juga memanfaatkan mantan DI/TII dengan memunculkan teror yang identik dengan kekerasan berlatar belakang agama. Berbagai peristiwa kekerasan mampu membangun opini Islam adalah momok menakutkan bagi masa depan Bangsa. Islam identik dengan organisasi/kelompok seperti Komando Jihad, kelompok Imron, dan kelompok Warman yang selalu melakukan kerusuhan maupun terror.[5]
Kepicikan pemerintahan Orde Baru bersama dengan kroninya begitu akut terhadap kekuatan Islam. Tidak seperti pembasmian terhadap kelompok sosialis-komunis yang dilakukan secara terang-terangan. Perlahan tapi pasti, energi kekuatan Islam disingkirkan oleh rezim otoriter tersebut lewat rekayasa sosial-politik. Menciptakan kelompok ‘penjahat islam’ guna membangun opini negatif terhadap kekuatan politik umat Islam adalah fakta sejarah dari kedzoliman pemerintahan Soeharto.[6]
Hasanuddin M. Saleh mengatakan rezim Orde Baru menggunakan pendekatan statik dan spesial terhadap fungsi dan interpretasi agama dalam kebijaksanaan politik, khususnya pada umat Islam. Dalam pendekatan yang demikian yang terjadi kemudian ialah, Pertama, agama dipandang sebagai sebuah variabel di luar variabel sosial dan politik. Kedua, prilaku politik umat dianggap sebagai prilaku individual. Ketiga, agama ditempatkan dalam kedudukan yang sakral dan transenden tanpa hubungan struktural dan fungsional dengan kehidupan dan keimanan serta praktis. Keempat, agama secara politis ditempatkan sebagai legalitas konsep dan kebijaksanaan pembangunan. Dan Kelima, seluruh struktur kehidupan beragama dikaitkan dengan Pancasila sebagai ideologi sosial politik dan sistem nilai kebangsaan.[7]
Lebih lanjut, pendekatan Orde Baru di atas mengakibatkan posisi umat Islam semakin tergeser ke pinggir dalam persoalan sosial dan politik. Melihat fenomena itu, dengan berani Hasanuddin M. Saleh mengatakan pada masa Orde Baru berkuasa,  seringkali ditemui paket politik yang mendiskreditkan umat Islam.[8] Umat Islam mana yang terdiskreditkan oleh rezim otoriter itu? Yakni baik kekuatan umat Islam yang berada dalam barisan partai politik seperti Parmusi atau pun PPP, kehidupan sosial umat Islam dengan strategi teror dan doktrin ekstrimis, dan bahkan menjalar terhadap kekuatan muda umat Islam yang tergabung dalam organisasi-organisasi pergerakan internal dan eksternal kampus.
Di akhir dekade 1970-an kampus-kampus dijinakkan dalam mencampuri urusan politik melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Mahasiswa (NKK/BKK). Hal ini terjadi sebab pergerakan mahasiswa dianggap dapat menggoyahkan status quo penguasa. Mahasiswa yang selama zaman pra kemerdekaan, bahkan hingga proses penggulingan Orde Lama, memiliki peran aktif dalam berbagai kehidupan sosial dan politik negeri. Pasca kebijakan NKK/BKK peran mahasiswa menjadi mandul dan lumpuh. Mahasiswa, dalam pandangan Suharsono, terisolasi dalam kehidupan politik bahkan merasa ketakutan bersentuhan dengannya.[9]
Dalam perjalanan selanjutnya, rezim kekuasaan Orde Baru semakin mengganas ketika kekuatan politik, ekonomi, intelektual dan teknokrat, birokrasi, militer, dan berbagai lini lainnya sudah semakin tergenggam. Tahap berikutnya, oleh Syafinuddin al-Mandari, dikenal sebagai tahap pemapanan sistem kekuasaan atau tahap deideologisasi. Ide tafsir tunggal Pancasila melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Eka Prasetya Panca Karsa dimasukkan sebagai salah satu TAP MPR pada tahun 1978 yang kelak akan menjadi stimulus munculnya ketentuan azas tunggal Pancasila.[10] Dalam pandangan Suharsono kebijakan rezim Orde Baru agar semua Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) menerapkan Pancasila sebagai azas organisasi jelas merupakan strategi yang didasarkan pada keinginan pemerintah untuk mengontrol hak-hak politik masyarakat.[11] Dalam ungkapan lain, Pancasila dijadikan oleh rezim yang berkuasa untuk memperluas intervensinya ke dalam kehidupan masyarakat.[12]
Dalam keadaan rezim yang demikian biadab terhadap kekuatan umat Islam dan kekuatan-kekuatan yang kritis terhadap pemerintah, HMI melangsungkan kehidupan organisasinya. Sebagai salah satu organisasi kepemudaan Islam terbesar di Indonesia ketika itu, HMI menjadi salah satu sasaran strategis-taktis dari setting sosial-politik oleh rezim. Meski beberapa tokoh dan kader HMI memiliki kedekatan dengan penguasa, tapi tidak sedikit pula tokoh dan kader HMI yang kritis terhadap penguasa.[13] Kembali mengenai isu azas tunggal Pancasila, pertama kali dipaparkan pada tahun 1982 dalam Rapat Pimpinan ABRI di Riau, lalu dipertegas pada Hari Ulang Tahun (HUT) KOPASANDA di Cijantung, Jawa Barat pada tahun yang sama. Selanjutnya, secara formal disampaikan pada pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1983 di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).[14]
 Semula, pasca tabayyun yang dilakukan Pimpinan Pusat Muhammadiyah kepada Soeharto diterangkan bahwasanya azas tunggal Pancasila hanya dimaksudkan bagi wadah kekuatan politik yaitu Parpol dan Golkar. Kemudian, Sidang MPR tahun 1983 menegaskan keharusan azas tunggal Pancasila bagi kekuatan sosial politik. Tafsiran kekuatan sosial pilitik yang dimaksud sama dengan pernyataan Soeharto sebelumnya. Namun, selang beberapa bulan kemudian, tiada hujan tiba-tiba badai isu tuntutan penerapan azas tunggal Pancasila bagi organisasi kemasyarakatan kembali mencuat.[15]
Pada waktu HMI hendak melangsungkan bolek godang (hajatan besar), Kongres XV di Medan, Abdul Ghafur selaku Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Republik Indonesia yang juga merupakan alumni HMI mensyaratkan pemberian izin pelaksanaan kongres dengan keharusan adanya jaminan kesediaan menerima azas tunggal Pancasila pada forum kongres tersebut. Ia menghendaki HMI menjadi pelopor dari organisasi kemasyarakatan Islam yang menerima azas tunggal Pancasila. Sementara pada waktu itu Rancangan Undang-Undang (RUU) Keormasan yang mengharuskan organisasi kemasyarakatan berazas tunggal Pancasila belum ada.[16] Akibat tuntutan pemerintah lewat Menteri Pemuda dan Olahraga itu, suasana internal HMI menjelang Kongres XV sempat bergejolak.
Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI sebagai penanggungjawab utama forum Kongres XV di Medan, Achmad Zacky Siradj (1981-1983), diharuskan berpikir secara cepat dan tepat agar izin pelaksanaan kongres bisa didapat. Mengingat jarak keluarnya pensyaratan dari Menpora hanya berselang beberapa hari dari jadwal pelaksanaan Kongres. Oleh karenanya, ia menandatangani sebuah nota kesepakatan dengan pemerintah yang dibuat di Jakarta. Isi yang termaktub di dalam nota kesepakatan lebih kurang menyatakan bahwa Achmad Zacky Siradj selaku Ketua Umum PB HMI menerima Pancasila sebagai azas organisasi. Pernyataan ini saban hari disinyalir memperuncing polemik antara pemerintah dengan HMI, sebab dianggap mengelabuhi pemerintah yang berkuasa. Namun yang jelas, siasat beliau berhasil ‘meloloskan’ izin pelaksanaan Kongres XV di Medan.
Apa yang terjadi pada Kongres HMI XV di medan selanjutnya setelah izin pelaksanaan kongres diberikan pemerintah? Keputusan apa saja yang dihasilkan oleh forum kekuasaan tertinggi di HMI itu? Dengan proses perjuangan yang tidak singkat dan ringan, Kongres XV di Medan pada akhir Mei 1983, tepatnya di Wisma Haji Udara Pangkalan Masyhur Titi Kuning Medan Johor menghasilkan setidaknya 11 (sebelas) keputusan yang dibacakan oleh Alex Tofani yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Badan Koordinasi (Badko) HMI Sumatera Utara sekaligus sebagai Ketua Presidium Kongres.[17] Tiga diantara beberapa keputusan krusial hasil Kongres 1983 sebagai berikut; Pertama, tetap mempertahankan rumusan Pasal 4 AD HMI yang berbunyi “Organisasi ini berdasarkan Islam”.[18] Artinya, rumusan Pasal 4 AD HMI final bagi HMI dan menjadi amanah yang harus diperjuangkan oleh kepemimpinan selanjutnya.
Kedua, melakukan penafsiran kembali terhadap materi Azas, Tujuan, Usaha dan Sifat (ATUS) dalam AD HMI yang lebih refresentatif guna menggantikan tafsir yang selama ini digunakan, yakni Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP).[19] Muhammad Chaeron AR, Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta periode 1985-1986, mengatakan munculnya keputusan reinterpretasi terhadap ATUS AD HMI tidak bisa dilepaskan dari fenomena kritik kader terhadap produk perkaderan HMI pada masa akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Kritik terhadap produk perkaderan kemudian bermuara pada kritik terhadap sumbernya, yakni NDP.[20] Pernyataan Chaeron ini selaras, atau setidaknya dapat diperkuat, dengan tulisan Syafinuddin al-Mandari yang mengatakan setelah HMI mengalami ‘penetrasi ideologi’ terasa adanya sebuah keinginan untuk meninjau kembali muatan-muatan NDP guna menyempurnakan manhaj gerakan. Itulah alasan Kongres XV di Medan memutuskan dilakukannya penafsiran kembali terhadap ATUS. Hal ini tidak dibantah bahkan oleh perumus NDP sendiri, Cak Nur.[21]
Dan keputusan krusial Kongres 1983 yang Ketiga, yaitu menetapkan Harry Azhar Azis dari Cabang Jakarta sebagai Ketua Umum terpilih PB HMI, dengan didampingi oleh Alex Tofani (Ketua Badko Sumatera Utara) dan Zulfan ZB Lindan (Ketua Umum HMI Cabang Jakarta), masing-masing sebagai Mide Formatur. Harry Azhar Azis yang dengan dukungan cabang-cabang utama HMI kala itu; Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Ujung Pandang (Makassar), dan lainnya, dengan telak mengalahkan M. Saleh Khalid yang berasal dari Cabang Bogor.[22] Kemenangan telak itu tidak lepas dari kepercayaan yang sangat besar dari cabang-cabang HMI kepada sosok Harry Azhar Azis, yang diyakini dapat menjalankan amanat Kongres XV dengan baik. Dengan demikian pula, seluruh keputusan yang dihasilkan oleh forum kekuasaan tertinggi HMI di Medan tahun 1983 menjadi kewajiban kepengurusan PB periode berikutnya (1983-1986) untuk menunaikannya.
Berdasarkan rentetan keadaan dan peristiwa di atas, maka kemudian hari Kongres XV Medan dikenal sebagai “Kongres Perjuangan”.[23] Bukan tanpa alasan mengatakan demikian, setidaknya ada beberapa fakta sejarah yang menjadi indikator untuk menyebut bahwa Kongres di Medan merupakan Kongres Perjuangan. Pertama, fakta keadaan rezim yang mulai memantapkan status quo lewat intrik-intrik politik yang menusuk hingga ke kehidupan sosial masyarakat. Bahkan, sayangnya beberapa dari komponen penguasa itu diisi oleh alumni HMI sendiri, sehingga tentu saja menyebabkan HMI berada dalam situasi yang amat dilematis. Terbukti, terpecahnya suara, pandangan serta tindakan di antara kader dan alumni HMI sebagaimana ditulis oleh Syafinuddin al-Mandari dalam Demi Cita-Cita HMI merupakan realitas sejarah. Artinya, bila HMI[24] melawan kebijakan pemerintah sama artinya melawan beberapa bagian alumni dan kader sendiri yang telah terjebak dalam paradigma tirani. Kedua, ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan PB HMI dan segenap panitia pelaksana yang tidak mudah dan penuh ketegangan serta intervensi dalam proses melangsungkan Kongres XV. Sebab izin pelaksanaan Kongres dari pemerintah hanya akan diberikan jika HMI menerima Pancasila sebagai azas organisasi. Terakhir, Ketiga, semangat dan komitmen bersama cabang-cabang HMI dan segenap komponen Kongres XV yang dapat dilihat dari hasil keputusan Kongres XV yang tetap mempertahankan jati diri organisasi sebagaimana terpasang rapi di bagian azasnya, Islam.



[1] Hasanuddin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, Kelompok Studi Lingkaran dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, Hlm. 85.
[2] M. Busyro Muqoddas, Hegemoni Rezim Intelijen, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2011, Hlm. 4-7.
[3] Ibid.
[4] Syafinuddin al-Mandari, HMI dan Wacana Revolusi Sosial, Hijau Hitam dan Pusat Studi Paradigma Ilmu, Jakarta, 2003, Hlm. 43-44.
[5] M. Busyro Muqoddas, Op. Cit., Hlm. 89-90.
[6] Data dan fakta kedzoliman pemerintah Orde Baru secara lengkap dapat dibaca dalam buku M. Busyro Muqoddas Hegemoni Rezim Intelijen.
[7] Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 86-87.
[8] Ibid.
[9] Suharsono, HMI: Pemikiran dan Masa Depan, CIIS Press, Yogyakarta, 1997, Hlm. 6.
[10] Syafinuddin al-Mandari, Demi Cita-Cita HMI: Catatan Ringkas Perlawanan Kader dan Alumni HMI Terhadap Rezim Orde Baru, PT. Karya Multi Sarana, Jakarta, 2003, Hlm. 51.
[11] Suharsono, Loc. Cit.
[12] Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 135.
[13] Lihat Syafinuddin al-Mandari, Demi Cita-Cita HMI…, Op. Cit., Hlm. 31-32.
[14] Suharsono, Op. Cit., Hlm. 27.
[15] Hasanuddin M. Saleh, Op. Cit., Hlm. 126-127.
[16] Ibid. Anang Adenansi, anggota DPR fraksi Karya Pembangunan menanggapi pernyataan Abdul Ghafur sebagaimana dimuat dalam Sinar Harapan. Ia mengatakan bahwa cara-cara yang dilakukan Menpora itu sendiri bertentangan dengan Pancasila, “Bagaimana bisa mengharapkan orang lain menerima Pancasila kalau ia sendiri tidak menghormati Pancasila?” kata Anang. Selanjutnya ia mengatakan bahwa untuk membina generasi muda jangan mendidik mereka untuk melanggar konstitusi, “Kita harus tahu bahwa kongres itu lembaga tertinggi dari suatu organisasi”, tegasnya. Terhadap peristiwa Kongres XV di Medan Anang Adenansi menilah Abdul Ghafur salah langkah dalam pendekatannya. Lihat dalam Sinar Harapan, 16 Juni 1983.
[17] Ash-Shaff, Laporan Pertanggungjawaban Pengurus HMI Cabang Purwokerto, 1405-1406 H/ 1985-1986 M, Hlm. 79.
[18] Lukman Hakiem, “Mereka Tidak Anti Pancasila”, dalam Agussalim Sitompul (Ed.), HMI Mengayuh di Antara Cita dan Kritik, AdityaMedia, Yogyakarta, 1997, Hlm. 79. Bahkan, Tempo edisi 4 Juni 1983 memberitakan ketika Ketua Presidium Kongres membacakan keputusan bagian Anggaran Dasar Pasal 4, bahwa azas HMI “tetap Islam”, teriak Allahu Akbar gemuruh menyambutnya. Dalam Ash-Shaff, Loc. Cit.
[19] Rusdiyanto, “Perjuangan HMI MPO Cabang Yogyakarta Pada Masa Orde Baru: 1986-1998”, Skripsi pada Program Sarjana Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013, Hlm. 27.
[20] Diskusi dengan Muhammad Chaeron AR di kediamannya, Kabupaten Pekalongan, Pada Tanggal 26 November 2018.
[21] Syafinuddin al-Mandari, HMI dan Wacana…, Op. Cit., Hlm. 56.
[22] Ash-Shaff, Op. Cit., Hlm. 80.
[23] Pernyataan berikut ini sekaligus diperuntukkan menjawab kegelisahan Lukman Hakiem yang dalam salah satu tulisannya menulis, Dan entah dari mana asal muasalnya lahir slogan; “Kongres XV, Kongres Perjuangan”. Lihat dalam Lukman Hakiem, “Mereka Tidak Anti Pancasila”, dalam Agussalim Sitompul (Ed.), HMI Mengayuh di…, Op. Cit., Hlm. 80
[24] HMI yang dimaksud di sini ialah struktur kepengurusan yang menjalankan roda organisasi.

1 comments

  1. Mantap mas,lanjutkan moga bermanfaat bagi yg lain juga...👍

    ReplyDelete