Pendidikan Kita Kini

ilustrasi gambar: www.probano.com

Oleh: MHD. Zakiul Fikri
sistem pendidikan di Indonesia pada masa kini sejatinya memiliki spirit dan konstruksi sistem yang sejalan dengan makna hakiki pendidikan, yaitu memanusiakan manusia. Hanya saja, apakah dalam prakteknya pendidikan Indonesia mampu memproduksi manusia-manusia yang cakap dalam berinteraksi dengan kehidupan, seperti kata Paulo Freire. Atau sekadar memproduksi mesin guna di tempatkan di berbagai rumah-rumah, kantor, pabrik baik pemerintah atau pun swasta. Guna memproduksi kepentingan ekonomi semata,
Perihal Defenisi Pendidikan
Bila diurai, kata “Pendidikan” sebetulnya terdiri dari gabungan kata “didik” yang diiringi oleh masing-masing imbuhan “pe-“ di awal dan imbuhan “-an” di akhir. Kata “didik” jika ditelusuri dalam Ensiklopedi Kamus Bahasa Indonesia (KBI) diartikan sebagai kata kerja yang memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.[1] Jika “didik” adalah kata kerja, maka apabila ia ditambahkan dengan imbuhan “pe” dan “an” membuat sifatnya berubah menjadi kata benda. Oleh sebab itu, kata “pendidikan” kemudian diartikan sebagai hal yang berkenaan dengan didik atau mendidik.[2] Hal yang dimaksud ialah sebuah rangkaian proses yang terdiri dari sistem dan instrumen pendukungnya.
Bendara Raden Tumenggung Harya Suwardi Soerjaningrat yang lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara mengatakan usaha pendidikan dilangsungkan dalam rangka terbentuknya pribadi yang; 1) halusnya budi, 2) cerdasnya otak, dan 3) sehatnya badan.[3] Jadi, maksud pendidikan oleh Ki Hadjar Dewantara ialah suatu usaha proses pembentukan sosok manusia sehingga pada diri manusia itu terdapat tiga kepribadian sebagaimana disebutkannya. Dari pengertian, baik oleh KBI atau pun dari Ki Hadjar Dewantara, pendidikan pada dasarnya merupakan wadah guna pembentukan pribadi manusia yang baik. Sehingga, hakikat pendidikan sama artinya dengan memanusiakan manusia.
Bilamana kita telah sampai kepada suatu defenisi pendidikan yang muaranya mengantarkan pada kesimpulan sederhana bahwa sesungguhnya pendidikan ialah memanusiakan manusia. Maka dalam hal ini, peran Paulo Freire selanjutnya diperlukan. Bukan hanya soal semangat juang dan pengaruh pemikirannya pada dunia pendidikan yang radikal. Namun, penjelasannya perkara pendidikan yang memanusiakan manusia juga akan membantu dalam menelaah lebih jauh perihal maksud memanusiakan manusia itu. Paulo Freire mengatakan pendidikan bukanlah sutau hal yang semata-mata bersifat mekanis. Namun, pendidikan haruslah menggerakkan orang agar beralih dari sikap naif ke sikap kritis.[4] Kemampuan berinteraksi antara manusia dengan alam lewat Bahasa ilmu pengetahuan merupakan produk dari pendidikan yang memanusiakan manusia sebagaimana dimaksud Paulo Freire.[5]
Andai diurai maksud memanusiakan manusia oleh Paulo Freire di atas, maka dapat diinterpretasikan dalam bentuk yang akan tampak seperti bagan berikut:

Gambar: Bagan Pendidikan yang Memanusiakan Manusia ala Paulo Freire
Pencipta atau dalam istilah Islam disebut Kholiq merupakan bagian supranatural dalam proses memanusiakan manusia. Dari dia dipercaya berawalnya suatu kejadian dan hanya dengan  jalan-Nya tabir pengetahuan akan kejadian itu diberitahu. Dan di penghujung pencarian ilmu semua tertuju untuk kembali memuji keagungan-Nya. Sementara itu, tercipta terdiri dari manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Manusia dengan potensi yang dimilikinya dituntut agar berinteraksi secara kritis dan solutif agar keseimbangan kosmos tetap terjaga secara berkelanjutan.

Sejarah Pendidikan Modern Indonesia
Ketika kita berbicara pendidikan modern, maka ada satu term baru yang harus dibahas terlebih dahulu. Setelah berbicara tentang pendidikan, kini perlu pula untuk membahas perihal “modern”. Kembali merujuk ke KBI, modern diartikan 1) terbaru; mutakhir; 2) sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.[6] Terlalu minim dan sempit arti modern oleh KBI, karenanya perlu mengeksplorasi sumber lain. Salah satu sumber yang dapat dirujuk guna mendeskripsikan makna kata “modern” yakni karya sastra berjudul Bumi Mansia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Dalam salah satu buku dari serial Tertralogi Pulau Buru itu, Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa modern adalah nama untuk semangat, sikap, pandangan, yang mengutamakan syarat keilmuan, estetika dan effisiensi.[7]
Dengan hadirnya inventaris makna kata modern dari Pramoedya Ananta Toer, dan apabila disatukan dengan kata pendidikan menjadi pendidikan modern. Maka hal itu berarti ikhtiar memanusiakan manusia lewat suatu sistem, model dan komponen-komponen canggih. Setidaknya, persyaratan modern yang membikin seorang atau sesuatu bangsa dapat dikatakan modern, demikian kata Pramoedya. Pada mulanya persyaratan itu adalah ilmu dan pengetahuan modern, kemudian organisasi modern, kemudian peralatan modern.[8] Keberadaan pendidikan modern diperuntukkan, idealnya, agar maksud pendidikan bisa terlaksana. Seperti yang dijelaskan sendiri oleh Pramoedya, layaknya Paulo Freire, pekerjaan pendidikan dan pengajaran tak lain dari usaha kemanusiaan.[9]
Akantetapi, sejarah pendidikan modern Indonesia tidak berjalan se-ideal catatan ilmuwan dan tafsir sastrawan. Sebut saja, masuknya pendidikan modern ke Indonesia dimulai menjelang akhir abad 19 menuju awal abad 20 dengan berdirinya sekolah-sekolah ala Belanda sebagai simbol. Pendidikan yang katanya modern itu lahir dari politik etis[10] penjajah Belanda. Karena lahir dari politik etis bangsa kolonial, maka tak khayal ketika Pramoedya mengatakan keberadaan pendidikan di masa-masa kolonial diperuntukan bagi kepentingan teknis-mekanis Bangsa Penjajah semata. Jadi, sekolah diadakan guna memproduksi mesin yang siap dipekerjakan di pabrik atau pun kantor-kantor yang didirikan oleh penjajah.[11] Artinya, dalam kasus ini keberadaan pendidikan modern sungguh jauh dari makna yang hakiki dari pendidikan, yang semestinya mampu memanusiakan manusia bukan memesinkan manusia.
Karena sadar akan kepentingan pragmatis Belanda di balik megahnya sekolah-sekolah seperti; Europeesche Legere School (ELS), Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Algeme(e)ne Middelbare School (AMS), Hoogere Burgerschool (HBS), School Tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) dan lainnya, maka di awal hingga pertengahan abad 20 bermunculan berbagai organisasi pergerakan Indonesia yang ikut mendirikan sekolah-sekolah berbasis nilai-nilai organisasinya sendiri. Misal, pada tahun 1922 di Yogyakarta didirikan National Onderwijs Institut Taman Siswa oleh Ki Hadjar Dewantara bersama teman-temannya.[12] Pada tahun 1945, tepatnya beberapa bulan menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, di Jakarta oleh organisasi Islam yang tergabung dalam Majelis Syuroh Muslimin Indonesia (Masyumi) didirikan sebuah perguruan tinggi yang diberi nama Sekolah Tinggi Islam (STI). Pada masa Agresi Militer Belanda STI dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta dan selanjutnya berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia.[13]
Demikian rentetan singkat sejarah pendidikan modern Indonesia. Bagamanapun juga keberadaan sekolah dengan model bangku dan berkelas atau berjenjang serta alat-alat penunjang pendidikan di Indonesia, yang dianggap modern, tidak dapat dilepaskan dari kepentingan serta kebijakan yang pernah dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda. Dengan demikian, sistem pendidikan yang dibuat pada masa belenggu kolonial belum tentu berjalan ideal layaknya hakikat pendidikan sebab diperuntukkan sebagai usaha Belanda memproduksi mesin berbadan manusia. Karenanya, lahir wadah pendidikan dari unsur-unsur lokal sebagai lawan dari kepicikan kebijakan edukasi dari politik etis. Pendidikan yang jauh dari kata memanusiakan manusia, yang bahkan lebih dekat dengan kata memesinkan manusia.

Sistem Pendidikan Indonesia Pasca Reformasi
Setelah Indonesia menyatakan diri menjadi negara berdaulat, merdeka dari penjajahan dan belenggu kolonialisme Belanda. Para founding fathers[14] bersepakat secara bersama-sama bahwa negara republik yang hendak didirikan ialah negara yang dengan segenap jiwa-raga melindungi bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Semua kehendak itu merupakan maksud kemerdekaan Republik Indonesia yang disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI).[15]
Dengan adanya poin “mencerdaskan kehidupan bangsa” di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 sebagai bagian dari yang dimaksud dengan kemerdekaan Indonesia, maka ketentuan itu menjadi norma universal yang mengikat dan harus diikuti oleh norma yang lebih partikular. Sesuai dengan fungsinya, poin-poin Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 merupakan grundnorm[16] atau staatsfundamentalnorm[17] yang menjiwai tata aturan di bawahnya. Dalam arti lain, pasal-pasal yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak diperkenankan bertentangan dengan norma universal atau abstrak yang ada di Pembukaannya. Karena itu, guna memenuhi amanat norma universal berkenaan dengan “mencerdaskan kehidupan bangsa”, selanjutnya pada staatsgrund gezet atau pasal di dalam UUD NRI Tahun 1945 diaturlah perihal pendidikan bagi segenap warga negara.
Puluhan tahun setelah kemerdekaan, tepatnya, pasca reformasi tahun 1998 Indonesia kembali menyusun ulang tata kehidupan bernegara termasuk salah satunya perihal pendidikan. Ketentuan mengenai pendidikan dalam UUD NRI Tahun 1945 dipoles ulang pada saat amandemen kedua, sehingga lebih menegaskan setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.[18] Implikasi dari ketentuan ini bahwa mendapat fasilitas dan jaminan pendidikan yang baik merupakan hak asasi setiap warga negara yang diberikan lewat undang-undang. Hak asasi itu wajib dipenuhi oleh negara, yang seharusnya tidak boleh tidak terpenuhi.
Hingga lima tahun setelah momen reformasi 1998 mengorbitlah sebuah peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN). Pasal 3 UU SPN itu mengatur bahwa sejatinya Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Cita-cita pendidikan Indonesia yang tergambar dalam UU SPN dapat dikata bagus. Disebut bagus karena pendidikan tidak dimaksudkan meningkatkan Intellectual Question semata, tapi juga guna meningkatkan kualitas Emotional Question dan Spiritual Question. Artinya, pendidikan tidak hanya diperuntukkan agar terisinya ruang kognisi setiap orang, namun juga menyentuh ke dalam ranah afeksi dan psikomotorik. Dengan demikian, sistem pendidikan di Indonesia pada masa kini sejatinya memiliki spirit dan konstruksi sistem yang sejalan dengan makna hakiki pendidikan, yaitu memanusiakan manusia. Hanya saja, apakah dalam prakteknya pendidikan Indonesia mampu memproduksi manusia-manusia yang cakap dalam berinteraksi dengan kehidupan, seperti kata Paulo Freire. Atau sekadar memproduksi mesin guna di tempatkan di berbagai rumah-rumah, kantor, pabrik baik pemerintah atau pun swasta. Guna memproduksi kepentingan ekonomi semata, maka di sinilah perkara kemudian timbul.

Refleksi Produk Pendidikan Indonesia Kini
Sudah menjadi hal yang lumrah, mungkin, antara das sollen dengan das sein acap kali tidak berjalan seiring. Cita-cita ideal yang disusun elok dalam rangkaian sistem pendidikan Indonesia sering kali menemui jalan buntu dalam praktik. Sehingga produk-produknya bukanlah pribadi yang kuat akalnya, sehat jiwa dan raganya, dan tajam perasaan nuraninya. Sebaliknya, produk pendidikan di Indonesia dewasa cenderung berupa “binatang” dan “mesin”. Ingat, dua term ini dilekatkan pada sifat bukan zat.
Coba kembali ke kamus andalan, KBI, di sana “binatang” diartikan sebagai makhluk bernyawa yang mampu bergerak, berpindah tempat, dan bereaksi terhadap rangsangan, tetapi tidak berakal budi.[19] Selain binatang, ada pula frasa lain yang padanya melekat kesamaan sifat, yakni hewan. Dalam KBI dijelaskan bahwa yang dimaksud hewan ialah makhluk hidup yang dapat merasa dan bergerak, tetapi tidak dapat berpikir.[20] Sementara itu, “mesin” adalah perkakas untuk menggerakkan, mengolah, atau membuat sesuatu.[21] Sekali lagi, dalam tulisan ini, produk pendidikan Indonesia dalam kaitannya dengan term “binatang atau hewan” dan “mesin” melekat pada sifat.
Masih hangat, dan bila ditulis maka selamanya akan tetap hangat, dalam pikiran setiap masyarakat Indonesia peristiwa yang terjadi di salah satu Universitas Swasta di Sumatera Utara. Pernah suatu kali, awal tahun 2016, seorang mahasiswa menggorok leher dosennya karena cekcok perihal tugas akhir.[22] Selanjutnya, pada awal tahun 2018, di Sampang-Madura seorang murid sekolah menengah atas negeri memukul guru honorer yang mengajar dikelas seni. Setelah diselidiki, ternyata pemukulan terjadi hanya sebab sang guru menegur si murid yang kedapatan bermain saat pelajaran sedang berlangsung. Malang, si guru honorer yang masih muda itu meninggal di rumah sakit karena pukulan siswanya sendiri.[23] Dan masih banyak lagi contoh produk pendidikan yang berprilaku binatang lainnya, seperti tawuran, mengkonsumsi narkoba, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, ada pula produk pendidikan yang wataknya tak ubah seperti mesin. Yang menganggap sekolah semata-mata untuk menentukan masa depannya secara mekanis. Tamat sekolah dasar, lanjut ke sekolah menengah pertama. Lalu, ke sekolah menengah atas. Setelah selesai di sekolah menengah atas langsung meluncur ke perguruan tinggi. Ujung-ujungnya ialah bekerja sebagai insinyur, pegawai dan lainnya tanpa visi kemanusiaan. Demikianlah cara kerja watak mekanis terhadap pendidikan, sekolah diperuntukkan agar memperoleh ilmu pengetahuan khusus untuk menjadi budak tertentu, baik di institusi swasta atau pun negeri, bukan untuk menjadi pribadi merdeka yang berkarya untuk kemanusiaan.
Wajar saja banyak ditemui murid-murid hebat dengan prestasi luar biasa mentereng. Tapi, tidak memiliki jiwa yang trenyuh bila melihat realitas yang berisi kedzoliman, ketidak adilan, dan ketimpangan sosial. Cakap dalam menjawab lembaran pertanyaan yang disuguhkan kepadanya, tapi bingung bagaimana cara mendamaikan pertikaian sosial yang terjadi di hadapan matanya secara baik. Itulah mereka, mesin! Hanya bergerak sebatas ruang pengetahuannya dan arahan yang menggerakkannya. Ruang kognisinya penuh terisi, tapi afeksi dan psikomotoriknya miskin. Orang-orang seperti ini gampang terbawa dinamika sistem, jika sistem yang ia tempati buruk seperti penindas dan penjarah kemanusiaan, maka ia akan ikut menjadi bagian di dalamnya. Biarlah menjadi bagian dari sistem, asal uang gaji dan tunjangan lancar, syukur-syukur dapat promosi jabatan dalam waktu singkat. Tidak punya ide dan mental untuk menolak kemungkaran, toh namanya juga mesin, hanya sebagai alat yang melaksanakan perintah dari yang memperalat.
Penjabaran di atas merupakan contoh-contoh produk pendidikan berupa binatang dan mesin. Meski pun tidak semua orang terproduksi demikian oleh pendidikan di Indonesia. Namun, perangai-perangai lulusan pendidikan di Indonesia seperti contoh di atas masih sangat gampang ditemui di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Sayang, idealisme radikal yang melangit dalam UU SPN masih belum mampu untuk dihantarkan ke permukaan bumi. Sehingga produksi rumah pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata beriman, bertakwa berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Nawa Cita dan Revolusi Mental ala Sang Presiden
Mengapa cita-cita ideal sistem pendidikan Indonesia tidak berjalan seiring dengan realitas produk pendidikan di Indonesia? Sebelum menjawab dan membahas sub pembahasan ini, mula-mula akan dimulai dari sebuah hikayat singkat. Hikayat ini bercerita tentang seorang anak yang tampak polos di luar, tapi tiada yang sadar ternyata wajah polos itu wajah keberuntungan. Singkatnya, anak ini berasal dari kota Keraton Surakarta, tapi bukan pula berasal dari kalangan bangsawan Keraton. Suatu waktu ia melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta, sekitar tahun 1980-an. Berkawan ia dengan beberapa orang dari Perkumpulan Dagen, dari perkumpulan ini pula sumber informasi hikayat bermula.
Berpuluh tahun kemudian, ia sempat menjadi buruh dan pengusaha. Lalu, kepolosan wajah menghantarkan nasibnya menjadi petinggi eksekutif di Surakarta. Harkat dan martabatnya naik setingkat dengan petinggi-petinggi Keraton yang ada di sana, mungkin lebih dari para bangsawan itu. Kelihaiannya menjadi pemimpin eksekutif di Surakarta menghadirkan keberanian untuk berjudi di Ibu Kota Jakarta. Beruntung lagi, ia menang bermain lotre, yang sekali cabut dua jabatan eksekutif terjangkau. Kini, sejak tulisan ini dibuat, ia telah duduk menjadi pimpinan eksekutif tertinggi di Indonesia, yakni Presiden ke-7. Beliau yang dimaksud adalah Ir. Joko Widodo, sosok bagai pesulap yang mampu menghibur berjuta mata Repulik Indonesia. Ingat momen Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, hanya bermodal program sulap bermerk “Nawa Cita” maka lebih dari 51% rakyat Indonesia yang aktif di Pemilu jatuh cinta padanya. Demikian, hikayat singkat pun selesai.
Nawa Cita ini yang akan dikaitkan dengan pertanyaan mengapa cita-cita ideal sistem pendidikan Indonesia tidak berjalan seiring dengan realitas produk pendidikan di Indonesia? Artidjo Alkostar, seorang yang menghabiskan masa hidupnya menjadi aktivis kemanusiaan di dunia hukum. Ia pernah mengatakan dalam aspek hukum, munculnya masalah mengenai ketidakseimbangan antara das sollen dengan das sein dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:[24]
1)   Adanya kekosongan hukum;
2)   Tidak dapat diterapkannya suatu aturan hukum yang tertuang dalam rumusan pasal undang-undang;
3)   Ada fakta hukum yang tidak sesuai dengan kaidah atau norma hukum;
4)   Suatu kaidah atau norma hukum kehilangan relevansi sosio-yuris dalam realitas kehidupan masyarakat; dan
5)   Ada perbuatan melawan hukum.
Agar mudah memahamkan maksud dari klasifikasi yang disampaikan oleh Artidjo, maka kata “hukum” dapat digantikan dengan kata “das sollen” atau berkenaan dengan aturan-aturan ideal. Selain uraian pendapat Artidjo di atas, ada pendapat lain yang bisa dijadikan rujukan sebagai barometer menemukan jawaban mengapa antara yang ideal dengan realita tidak saling sambut menyambut. Pendapat lain itu, salah satu yang populer, yakni pandangan Lawrence M. Friedman. Friedman mengatakan, faktor-faktor yang mengakibatkan sistem atau das sollen tidak berjalan dengan baik bisa disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:[25]
1)   Substansi, yaitu ketentuan das sollen yang tidak baik, bisa diakibatkan oleh hal-hal seperti yang disampaikan oleh Artidjo di atas;
2)   Struktur, yakni para pelaku mulai dari komponen pemerintahan terkait hingga tenaga pengajar yang tidak bermutu, atau simpelnya dapat disebut tidak berintegritas; dan
3)   Kultur, ialah budaya masyarakat Indonesia yang tidak mendukung bagi tumbuh-berkembangnya pendidikan yang baik di Indonesia. Misal, salah satunya, memandang pendidikan sebatas keperluan mekanistis hidup semata bukan untuk tujuan mulia kemanusiaan dan terlebih mengenal keagungan Tuhannya.
Agar sistem pendidikan yang ideal tidak bertepuk sebelah tangan; entah karena substansi aturan-aturan di luar UUD NRI dan UU SPN, entah karena strukstur pendidikan, atau pun entah karena kultur pendidikan di Indonesia. Maka saat menapaki tangga menuju singgasana kekuasaan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo mengutarakan bahwa salah satu poin dari Nawa Cita ialah tentang Pendidikan dan Kebudayaan. Poin yang seolah menghantarkan memori manusia masa lampau Indonesia kembali pada gagasan seorang pemikir bernama Ki Hadjar Dewantara. Namun, benarkah poin Nawa Cita itu mempunyai spirit dan prinsip serta maksud yang sama dengan ide taman siswa ala Ki Hadjar Dewantara? Wallahu ‘Alam.
Ibaratkan kue, dalam prakteknya poin pendidikan dan kebudayaan Nawa Cita itu diaduk dengan hadirnya adonan program Indonesia Pintar. Lalu adonan itu dibungkus dengan jargon “Revolusi Mental”. Dengan jenis yang begitu menarik, siapa yang tidak terpukau dengan ide tersebut? Semua pemerhati dan pegiat pendidikan; baik yang ada di ruang mewah dan megah atau pun sekedar mereka yang hanya duduk di atas tikar usang di pinggir-pinggir jalan. Semua berharap sulap sang Presiden dapat menjadi nyata!

Pekerjaan Rumah Pendidikan Kita
Hingga kini sulap Nawa Cita hanya sebatas bualan ompong di siang bolong. Fakta-fakta prilaku produk pendidikan masih miris dan jauh dari harap yang diidealkan, seperti contoh-contoh di atas, perangai binatang dan mesin masih berserak di mana-mana. Sementara guru-guru korup dan cabul berkeliaran di tengah-tengah ruang kelas. Dan pejabat-pejabat merangkap calo yang korup terkait pendidikan mengintai setiap saat. Meskipun demikian, usaha sang Presiden dengan para kroco tidak dapat dipandang enteng. Pada tahun 2017 ditelurkan sebuah Peraturan Presiden Nomor 87 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Aturan ini seolah memercikkan air ke muka pegiat pendidikan di Indonesia yang mulai lelah, agar mereka terbangun dan sadar bahwa sang Presiden serius dalam mengeksekusi materi sulapnya.
PPK diklaim berisi lima nilai utama yang merupakan aktualisasi Pancasila, tiga pilar gerakan nasional revolusi mental, nilai-nilai kearifan lokal, dan tantangan masa depan. PKK diharapkan bisa memproduksi pribadi yang memiliki tiga keterampilan, yaitu: 1) kualitas karakter, 2) literasi dasar, dan 3) kompetensi. Lebih jelas, sebaiknya perhatikan gambar di bawah ini:
Gambar: Penumbuhan Nilai-nilai Utama Karakter
(sumber: kemendikbud.go.id)
Sebagai ide, gagasan atau konsepsi, PPK tentu saja baik. Tetap saja, sebaik-baiknya ide tidak akan teraktualisasi bila tidak dilakukan oleh struktur dan kultur yang baik. Seperti untaian pesan yang pernah disampaikan oleh Bernadus Maria Taverner, Geef me goede rechter, goede rechter commissarisen, goede officieren van justitien, goede politie am­btenaren, en ik zal met een slecht wetboeken van strafprocessrecht het geode beruken. Praktisi hukum asal Belanda ini mengatakan bahwa dengan penegak hukum (struktur) yang baik, maka kejahatan (keburukan) akan diberantas meskipun tidak ada sistem yang mengaturnya. Jika dikontekskan dengan pendidikan, segala bentuk sistem hanya sepersekian persen menentukan terciptanya ruang belajar dan produk pendidikan yang mampu mewujudkan hakikat pendidikan itu sendiri. Sisa persenan yang paling menentukan terletak pada pelaku pendidikan, khususnya para pelaksana kebijakan termasuk guru.
Para pelaku pendidikan diharuskan mampu memberikan suasana belajar yang menghidupkan kesadaran kritis peserta pendidikan. Kesadaran kritis yang menyadarkan peserta pendidikan bahwa sesungguhnya pendidikan ada untuk hidup hari ini, bukan sekadar sebagai wadah persiapan hari esok. Seperti kata John Dewey, education be viewed as process of living and not preparation for future living.[26] Inilah pekerjaan rumah yang besar dalam dunia pendidikan Indonesia, menumbuhkan kesadaran kritis para peserta didik agar ia sadar hadirnya dalam kehidupan sebagai bagian dari kebaikan kehidupan, yang otaknya tajam mengkritisi tapi hatinya lembut memberi solusi.



[1] Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008.
[2] Ibid.
[3] Ki Hadjar Dewantara, Buku I: Pendidikan, Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Yogyakarta, 1962.
[4] Paulo Freire, Educacao Como Praktica Da Liberdade, diterjemahkan oleh Martin Eran, MELIBAS, Jakarta Timur, 2001.
[5] Ibid.
[6] Kamus Bahasa Indonesia, Op. Cit.
[7] Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Lentera Dipantara, Jakarta Timur, 2018.
[8] Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, Lentera Dipantara, Jakarta Timur, 2015.
[9] Ibid.
[10] Politik etis (Belanda: Ethische Politiek) adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera yang kemudian terangkum dalam program Trias Van Deventer melitupi; Irigasi, Imigrasi, dan Edukasi. Namun sama saja, tujuan politik etis hakikatnya tetap ingin menjarah kekayaan manusia dan alam Indonesia. Irigasi diperuntukkan agar sumber produksi pertanian yang mayoritas dikendali oleh penjajah semakin meningkat. Imigrasi diperuntuk agar sumber daya manusia dapat dibagi hingga ke luar wilayah yang kekurangan. Edukasi dipruntukkan agan lahirnya mesing-mesing berbadan manusia guna bekerja di pabrik-pabrik atau kantor-kantor Belanda. Sehingga ujung dari politik etis yakni meningkatkan penghasilan Penjajah Belanda.
[11] Lihat Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, Lentera Dipantara, Jakarta Timur, 2018.
[12] Agung Budiatmoko, “Sekolah Pertama di Indonesia dan Proses Belajar”, dalam http://pgtkpauddikmas.kemdikbud.go.id/berita/detail/sekolah-pertama-di-indonesia-dan-proses-belajar, diakses pada tanggal 4 Maret 2019.
[13] Anwar Harjono dan Lukman Hakiem, Di Sekitar Lahirnya Republik: Bakti Sekolah Tinggi Islam dan Balai Muslimin Indonesia Kepada Bangsa, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, [Tanpa Tempat], 1997.
[14] Founding Fathers (Inggris) adalah para tokoh pendiri. Dalam hal ini maksudnya ialah para tokoh pendiri Republik Indonesia.
[15] Lihat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[16] Istilah yang diberikan oleh Hans Kelsen ketika ia menjelaskan tentang teori Stufenbau (teori berjenjang).
[17] Istilah yang diberikan oleh Hans Naviasky, murid dari Hans Kelsen.
[18] Pasal 28 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[19] Kamus Bahasa Indonesia, Op. Cit.
[20] Kamus Bahasa Indonesia, Op. Cit.
[21] Kamus Bahasa Indonesia, Op. Cit.
[22] Mei Leandha, “Cekcok Soal Skripsi, Mahasiswa Bunuh Dosennya”, dalam https://regional.kompas.com/read/2016/05/02/18381311/Cekcok.soal.Skripsi.Mahasiswa.Bunuh.Dosennya, diakses pada tanggal 5 Maret 2019.
[23] Dewi Agustina (Ed.), “Kasus Murid Pukul Guru hingga Meninggal Jadi PR Besar Bangsa”, dalam http://www.tribunnews.com/nasional/2018/02/06/kasus-murid-pukul-guru-hingga-meninggal-jadi-pr-besar-bangsa, diakses pada tanggal 5 Maret 2019.
[24] Artidjo Alkostar, Metode Penelitian Hukum Profetik, FHUII Press, Yogyakarta, 2018.
[25] Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, diterjemahkan oleh M. Khozim, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Cet. Ke-5, Nusa Media, Bandung, 2013.
[26] John Dewey dalam Jacqueline Grennon Brooks dan Martin T. Brooks, In Search of Understanding: The Case for Constructivist Classrooms, ASCD, Virginia, 1993.

0 comments