Gerakan Literasi Kita: Perlawanan terhadap Sistem Kapitalisasi Sekolah dan Ancaman Degradasi Budaya


ilustasi gambar: dokumentasi penulis


 Literasi bukan hanya sekadar membaca teks, melainkan pula diartikan sebagai kemampuan membaca keadaan sekitar.” (Roem Topatimasang)
Beberapa tahun belakangan, semangat literasi masyarakat Indonesia tampak memberikan harapan. Harapan untuk menumbuh suburkan semangat membaca dan mengaji. Agar setiap insan di republik ini melek dengan tulisan-tulisan ilmu pengetahuan. Peristiwa ini, terjadi, didorong oleh tumbuh suburnya para pegiat literasi lewat agenda-agenda gerakan literasi. Syukurnya lagi, bagai gayung bersambut, usaha para pegiat itu disambut baik pula oleh masyarakat. Dari sinilah asumsi dasar mengapa dikatakan bahwa semangat literasi masyarakat Indonesia memberikan harapan.
Kalau ada tempat untuk berucap terima kasih, mungkin tidaklah salah jika diarahkan kepada Nirwan Ahmad Arsuka. Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan literasi mulai terlihat dampaknya setelah Nirwan Ahmad Arsuka mendirikan Pustaka Bergeraknya. Bagai jamur, lalu perlahan-lahan tumbuh hingga pelosok-pelosok negeri. Menurut data Pustaka Bergerak Indonesia (PBI), ada sekitar 930/provinsi. Belum lagi gerakan literasi di perkotaan, lapak baca dan perpustakaan jalanan kini semakin menjamur.
Semakin menambah harapan, manakala para penggerak dan promotor gerakan literasi hadir dari kalangan masyarakat secara langsung. Di salah satu daerah Sulawesi Barat contohnya, anak-anak muda dengan bangganya terlibat aktif dalam membangun rumah baca masyarakat. Fenomena lain, di beberapa daerah telah banyak pula berdiri rumah literasi yang diinisiasi oleh putra-putri daerahnya masing-masing.
Tampaknya, fenomena positif ini merupakan salah satu bentuk kritik terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh negara. Mungkin saja pendidikan yang diatur dalam berbagai ragam kurikulum tak memberi banyak perubahan berarti bagi keadaan masyarakat. Lalu menggelembunglah semangat untuk belajar sendiri lewat rumah literasi. Tentu saja hal positif begini harus terus digiatkan.
Ngomong-ngomong tentang pendidikan, Toto Rahardjo dalam Sekolah Biasa Saja menyatakan bahwa pendidikan kita hari ini adalah pendidikan yang bersifat transaksional. Fenomena yang menjadikan pendidikan sebagai komoditi barang dagangan sudah bukan lagi menjadi wacana, tapi telah terang benderang menjadi kenyataan. Walaupun penolakan tentang komoditas pendidikan sering muncul dipermukaan masyarakat. Anasir-anasir penolakan ini merupakan kritik terhadap dunia pendidikan, terutama di Indonesia yang sistem pendidikannya sering dijadikan ajang pencarian keuntungan alias “kapitalisasi pendidikan”. Dunia pendidikan yang semestinya dibangun berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebijaksanaan, kini kerap diisi oleh nilai-nilai komersial.
Bahkan harus jujur mengatakan bahwa sekarang bisnis pendidikan makin subur dan menjamur. Dengan menu jualan yang bervariasi, seperti; Bilingual, full English, label IT (Islam Terpadu), label plus, kurikulum Cambridge, dan lain-lain. Seolah membuat sekolah seperti perusahaan yang mendasarkan diri pada profit oriented. Dengan demikian, sekolah menjadi tempat ekslusif yang hanya diperuntukkan bagi kalangan yang berduit (borjuis). Bukan untuk orang miskin. Kualitas sebanding dengan harga, benar adanya.
Kalaulah pendidikan telah memuat kastanisasi antara fasilitas si miskin dan si kaya. Maka teranglah bahwa pendidikan telah kehilangan ruhnya. Kini di dunia pendidikan tidak bisa lagi dipercaya sebagai tempat ajang belajar toleransi, saling menghargai dan saling membutuhkan. Mengapa demikian? karena sekolah telah memelihara perangai homogen. Apa bentuk dari perangai homogen itu? misalnya kaya, kaya semua. Miskin, miskin semuanya. Misalnya lagi, di suatu sekolah hanya ada satu agama saja.
Dari kondisi sistem pendidikan yang begitu miris itulah muncul kesadaran masyarakat, khususnya dari kalangan bawah. Kesadaran bahwa pendidikan bukan hanya milik Pemerintah. Namun, milik seluruh lapisan masyarakat. Sebagai jawaban atas kesadaran masyarakat terhadap mirisnya dunia pendidikan maka hadirlah gerakan literasi. Lewat gerakan literasi masyarakat menciptakan sendiri kebutuhannya, tentang apa yang mesti mereka pelajari, dan ilmu yang dibutuhkan. Yang dapat diterapkan dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam keyakinan para pelaku gerakan literasi tertanam kesadaran yang amat kuat bahwa kaum terdidik adalah mereka yang mengerti dan memahami keadaan sekitarnya. Dan dengan ilmu pengetahuannya berusaha untuk memperbaikinya. Gerakan literasi yang tersebar hampir di seluruh pelosok negeri semestinya disadari sebagai gerakan pendidikan dari rakyat untuk rakyat. Karena, masyarakat secara sadar bersama mengelola dan mengembangkan pendidikannya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan lingkungan sosialnya. Serta menyadari bahwa pendidikan bukan lagi melulu soal tingkat dasar, menengah, lanjut, bergelar sarjana, dan lainnya.
Bukan pula soal yang bertempat di gedung-gedung mewah dan berbiaya jutaan. Ditambah lagi dengan pola belajar selama bertahun-tahun yang diakhiri dengan ujian beberapa hari. Ujian singkat untuk mengetahui sudah layak-kah seorang peserta didik meraih kelulusan untuk kemudian padanya dilekatkan gelar seorang berpendidikan.
Baik memang ketika seseorang mampu untuk melakukan semua itu, lulus dan meraih gelar  sarjana. Pasti merupakan hal yang amat membanggakan. Tapi, ketika itu yang menjadi patokan sehingga layak disebut berpendidikan. Maka jelas hal demikian hanya mampu di raih oleh segelintir orang saja. Orang yang beruang atau mereka yang benar-benar dilebihkan derajat nasibnya sedikit. Sementara yang nasibnya setengah-setengah; setengah goblok, setengah pintar, setengah nakal, setengah baik, plus miskin. Sudah jelas, putus sekolah adalah akhir hayat pendidikannya. Bila demikian peristiwanya, jelas pendidikan telah menjadi eksklusif hanya bagi kalangan tertentu, lalu sebagian lagi menjadi penonton saja.
Salah seorang tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, telah menekankan dalam berbagai pidatonya yang dirangkum dalam bukunya Pendidikan bahwa pendidikan adalah usaha kebudayaan, berazas keadaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan. Ia pun membagi pendidikan dalam tiga perkembangan; yakni Hamemayu Hayuning Sariro, yang berarti pendidikan berguna bagi yang bersangkutan, keluarganya, sesamanya, dan lingkungannya. Hamemayu Hayuning Bongso, yang berarti pendidikan berguna bagi bangsa, negara, serta tanah airnya. Dan Hamemayu Hayuning Bawono, yang berarti pendidikan berguna bagi masyarakat yang lebih luas lagi yaitu dunia atau masyarakat global.
Maka pendidikan, khususnya pendidikan Indonesia, menurut paham Ki Hadjar Dewantara yang kemudian menjadi semangat filosofis institusi Taman Siswa ialah pendidikan yang berasaskan garis-hidup dari bangsanya dan ditunjukan untuk keperluan peri kehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan bangsa-bangsa lain demi kemuliaan segenap manusia diseluruh dunia.
Bilamana dikoneksikan antara fenomena pendidikan, pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara, dan gerakan literasi. Maka gerakan literasi merupakan gerakan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat ini yang sesuai dengan semangat pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara. Saat pendidikan formal tidak mampu menjaga nilai kebudayaan bangsa dari rongrongan budaya asing yang semakin diminati generasi muda. Gerakan ini diyakini mampu menjadi penyaring dari rongrongan tersebut, karena dengan hadirnya gerakan literasi menjadi ruang bersama ini maka rakyat secara sadar melakukan gerakan perubahan untuk lingkungan sekitarnya dengan tetap berpegang teguh kepada kebudayaannya.
Terakhir, para penggerak literasi juga mesti benar-benar mendasari setiap gerakannya dengan praktik-praktik literasi yang pedagogik. Praktik pendidikan yang humanistik. Bukan saja membekali masyarakat untuk bisa bekerja menghidupi diri. Tetapi lebih dari itu, memahamkan mereka bahwa pendidikan adalah proses untuk menjadikan kita manusia yang utuh, manusia yang memanusiakan manusia dan bermanfaat bagi bangsa, negara dan alam semesta.

Catatan Tambahan: Tulisan ini diambil dari salah satu blog dengan seizin penulis. Judul aslinya “Gerakan Literasi Kita”. Kemudian diedit secukupnya oleh tim redaksi Goresan Intelektual tanpa menghilangkan substansi tulisan.

0 comments