Guru, Sekolah (Bukan) untuk Mencetak Mesin dan Anjing


ilustrasi gambar: thecompanion.in


Sadar atau tidak, kalaulah pelaku pendidikan baik guru dan sebagainya itu memiliki mental dan watak yang bagus. Maka peserta didik tidak akan diarahkan untuk menjadi mesin atau pun anjing. Yang bekerja dan membela para tuannya demi mengejar keuntungan dunia.
Berbagai macam rupa negatif tak pernah benar-benar lepas dari sekolah. Selain karena sistemnya yang berbelit-belit dan membingunkan. Umumnya rumah utama dunia pendidikan itu juga banyak dihuni oleh orang-orang korup,[1] bajingan-bajingan cabul,[2] dan lain-lain. Selain itu, disadari atau tidak oleh para guru, komite, pimpinan yayasan atau manajemen sekolah, sekolah banyak pula diisi oleh preman yang ahli berkelahi, diktator yang tak suka dikritik, dan orang bodoh yang terus mengajar dengan metode kuno.[3]
Bagai buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Akhirnya, produk sekolah tak ubahnya dari para penghuninya, buruk di mata dan menyesakkan di hati. Meski demikian, harus pula diamini masih ada orang-orang baik di sana. Yang menginspirasi, setidaknya, sedikit dari sekian peserta didik yang menggantungkan nasib dan masa depannya lewat sekolah.
Kalau orang baik sudah mendominasi sekolah, ditambah dengan sistem yang baik pula. Maka peluang untuk kritik tentu tidak akan lagi ada. Meskipun ada, akan tiada gunanya. Tapi sayang, hal itu masihlah angan yang belum kunjung kesampaian. Karenanya, kritik mesti terus digulirkan. Kritik ini, khususnya, diperuntukkan bagi para pelaku pendidikan di sekolah. Pelaku pendidikan, seperti para guru dan pejabat penting sekolah lainnya, harus menjadi perhatian bersama.
Mengapa kritik harus terus digulirkan, khususnya kepada pelaku pendidikan? Sebab, bila sistem terus-terusan diimprof tanpa diiringi pengembangan intelektual, emosional dan spiritual pelaku pendidikan. Maka hal itu sama saja dengan omong kosong. Perbuatan yang bagaikan menjemur di atas jerami, susah habis hasil tiada. Pada tulisan terdahulu tentang "Pendidikan Kita Kini", kami pernah menulis bahwa segala bentuk sistem hanya bagian kecil penentu terciptanya ruang belajar dan produk pendidikan yang mampu mewujudkan hakikat pendidikan. Yang paling menentukan terletak pada pelaku pendidikan, khususnya para pelaksana kebijakan termasuk guru. Dalam hal tersebut, tulisan ini hadir sebatas bahan refleksi bagi pembaca umumnya. Dan terkhusus kepada para guru serta pelaku pendidikan lainnya.
Jika pribadi pelaku pendidikan yang hendak dikembangkan. Maka bagaimana rupa metode pengembangannya? Apakah Ujian Kompetensi Guru (UKG) dan agenda studi tour para pelaku pendidikan yang selama ini dilakukan tidak cukup untuk mengimprof skill dan kemampuan guru? Tentu saja tidak cukup. Hasil UKG, cenderungnya, tak ubahnya seperti nilai A atau 100 hasil ujian matematika seorang siswa yang tak pandai berhitung. Siswa yang sering bolos sekolah, lalu mendapat nilai kasihan dari gurunya. Maksudnya, hasil UKG sama sekali tidak dapat mencerminkan tingkat kemampuan seorang pelaku pendidikan.
Lalu, apa yang harus dilakukan agar pelaku pendidikan memiliki skill mumpuni dalam mendidik peserta pendidikan? Perlu dipahami, skill dalam hal ini haruslah dipahami secara komprehensif. Yakni keseluruhan berkenaan dengan intelijensi, emosional dan spiritual. Untuk meningkatkan kemampuan demikian, ada beberapa hal yang mesti dilakukan; Pertama, pelaku pendidikan harus kembali menyadari bahwa pekerjaan mendidik ialah sebuah pekerjaan pengabdian. Pada sisi ini, pelaku pendidikan akan diuji mental dan spiritualnya. Kesadaran bahwa mendidik adalah sebuah pekerjaan pengabdian akan membawa seorang guru dan pejabat sekolah lainnya berani menghadapi berbagai hasil materiil dan non materiil yang akan diterimanya. Bahkan, pahit-pahitnya ia siap untuk tidak digaji asal dapat mendidik.
Tampaknya, kesadaran yang demikian sukar untuk ditemui pada masa kini. Sebab banyak yang menempatkan dunia pendidikan sebagai ladang mencari keuntungan. “Kalau tidak digaji, maka dari mana kami akan makan?” demikian gumamnya barangkali. Atau “gaji cuma sekian per bulan, bagaimana kami akan menjalankan agenda sekolah dengan baik?” protes lainnya. Dengan kondisi spiritual dan emosional demikian, apakah layak pengharapan akan mengorbitnya sosok hebat ditempatkan pada sekolah?
Para pelaku pendidikan yang bercita-cita menjadi kaya akan materi dari dunia pendidikan sudah seharusnya diusir dari ruang sekolah. Baik itu guru, komite, pejabat yayasan dan sebagainya. Sebab, tempat mereka bukan di sana. Melainkan di medan wirausaha, bertani, menjadi nelayan atau berdagang. Teruntuk para pelaku pendidikan yang membuat karya, tentu lain cerita. Karya tersebut bisa saja menghasilkan berkah materi padanya. Namun yang jelas, pemaksaan pelaku pendidikan bermental lemah dan picik di dalam rumah tangga sekolah akan menumbuh-suburkan orang-orang korup dan preman di dalamnya.
Dalam tahapan penyadaran kembali emosional dan spiritual para pelaku pendidikan penekanannya diletakkan pada kesadaran bahwa menjadi pelaku pendidikan adalah pilihan menjadi seorang abdi kebaikan. Tak lebih dan tak pula kurang dari semua itu. Bukankah karena pengabdiannya itu kemudian para pelaku pendidikan, khususnya guru, dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa? Bila pelaku pendidikan sudah menghendaki adanya jasa, maka sebaik menjadinya tentara, polisi atau pamong praja.
Kedua, mengoptimalkan agenda studi tour. Di beberapa sekolah, ada para guru dan pejabat sekolah yang senang melangsungkan studi tour. Namun sayang, agenda ini lebih banyak tournya dibanding studinya. Alhasil, tiada apa pun nilai positif yang dibawa kembali ke sekolahnya tak kala balik dari agenda tersebut. Selain oleh-oleh berupa cinderamata yang dipamer-pamerkannya. Dan foto keren yang terpampang di dinding media sosialnya masing-masing. Lengkap dengan olesan kata-kata puitis.
Seharusnya agenda ini bisa dioptimalkan sebagai ajang bertukar pikiran antara satu sekolah dengan pelaku pendidikan, sekolah atau pun dinas pendidikan di tempat tour dilaksanakan. Semisal, melaksanakan diskusi atau seminar panel dengan tema seputar pendidikan. Menghadirkan dua pembicara dari masing-masing perwakilan sekolah. Atau sekedar berdiskusi dengan pelaku pendidikan di tempat tujuan. Tentu hal ini akan lebih menantang, menguji kemampuan, dan menambah pengetahuan dari pelaku pendidikan.
Ketiga, wadah peningkatan keilmuan pelaku pendidikan, khususnya guru, di lingkungan sekolah. Ada guru yang tahunya cuma itu-itu saja, cara menjelaskan pelajarannya itu-itu saja, dari zaman ke zaman tiada berubah. Mengapa bisa demikian? Karena kurangnya agenda-agenda yang meningkatkan kualitas keilmuan pelaku pendidikan tersebut, lagi-lagi utamanya guru. Jika para guru mengharuskan peserta didik untuk senantiasa belajar dan belajar. Mengapa para guru sendiri sungkan untuk belajar dan belajar pula? Tentunya hal demikian merupakan tindakan yang kontra-produktif.
Karena itu, dengan adanya persoalan demikian, sekolah diharuskan memiliki program untuk meningkatkan kemampuan ilmu pengetahuan para pelaku pendidikan di lingkungannya. Bisa saja, program tersebut dengan mengadakan pelatihan secara berkala oleh sekolah dengan mendatangkan pembicara yang handal di bidangnya. Jenis pelatihan itu bisa saja seperti; 1) time works, leadership and problem solving, 2) pengembangan kurikulum, 3) strategi pengelolaan kelas kreatif, 4) ice breaking pembelajaran, 5) public speaking for teacher, 6) dan lain-lainnya.[4]
Setidaknya sekolah tidak hanya mengharapkan adanya pelatihan dari dinas terkait yang hanya dilakukan, ibaratnya, sekali dalam se-abad. Sebab, peningkatan kualitas diri seorang pelaku pendidikan merupakan proses berkelanjutan yang tidak akan selesai oleh satu kali pelatihan dalam setahun. Apalagi kalau tidak ada sama sekali.
Tidak cukup sampai di situ, sekolah bisa juga mengadakan program penerbitan jurnal yang diisi oleh karya-karya pemikiran para guru. Jurnal tersebut disebar untuk dibaca oleh banyak pihak, termasuk peserta didik. Hal ini akan mengasa ketajaman ilmu pengetahuan guru di satu sisi. Dan pada sisi lain akan menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik terhadap kualitas gurunya selaku pelaku pendidikan.
Sadar atau tidak, kalaulah pelaku pendidikan baik guru dan sebagainya itu memiliki mental dan watak yang bagus. Maka peserta didik tidak akan diarahkan untuk menjadi mesin atau pun anjing. Yang bekerja dan membela para tuannya demi mengejar keuntungan dunia. Dengan menghadapkan para peserta didik pada bayangan akan kehidupan pragmatis di luar sekolah. Dan menilai peserta didik di kelas berdasarkan pada sentimen yang menarik perhatiannya. Menarik entah karena si anak dianggap baik padanya atau karena si anak peserta didik mendapat rangking tinggi di banding yang lainnya.
Tidak, mereka yang emosional, spiritual dan intelijensinya baik tidak mungkin mendidik muridnya untuk menjadi demikian. Tidak akan memanfaatkan kedekatan emosional dan capaian yang menonjol dalam ruang belajar untuk memperlakukan seorang peserta didik secara lebih di antara yang lainnya. Hingga terproduksilah peserta didik yang bermental kecil, lemah, pragmatis dan diskriminatif. Sekali lagi, tidak mungkin demikian. Karena mereka, para pelaku pendidikan, sadar bahwa sekolah adalah rumah tempat roh dan jiwa bersemayam, ditempa dan dididik secara adil hingga peka akan fenomena kehidupan. Bukan gudang mesin tanpa jiwa, atau pun kandang anjing yang penuh nafsu angkara.
Mereka akan senantiasa memotivasi dan menginspirasi peserta didik agar sadar diri untuk terus tumbuh maju. Yang senantiasa mengingatkan bahwa penjajahan terjadi di bumi pertiwi pada masa silam sebab kebodohan. Yang akan senantiasa menyadari, seperti yang ditulis Sutan Takdir Alisjahbana, bahwa kekurang cakapan bangsa kita dalam hal teknik dan perang, maka kita ditaklukkan oleh Barat.
Kekurang sanggupan dan keuletan tentang ekonomi, maka kita dapat dikalahkan oleh Eropa dan Tionghoa di lapangan ekonomi. Kekurangan nafsu untuk menyelidiki dan mengetahui, maka bangsa kita tercecer dalam ilmu pengetahuan. Bila hendak menyelesaikan persoalan itu semua, lanjut Sutan Takdir Alisjahbana, maka manusia bangsa ini mesti tumbuh. Dan pekerjaan menumbuhkan manusia adalah pekerjaan pendidikan.[5]
Memanglah, begitu berat tugas pelaku pendidikan. Tapi apa boleh dikata, sudah demikianlah hakikatnya. Jika seseorang telah memilih jalan menjadi pelaku pendidikan, maka segenap jiwanya harus menyertai jalan pengabdian itu. Karena resikonya besar dan berat, sementara inkamnya boleh dikata belum tentu seimbang. Hanya mereka bermental “baja” yang sanggup menunaikannya secar tulus. Apa pun itu, ending dari tulisan ini hendak berpesan. Untuk para guru, kuatlah tolong. Sebab pada kalian nasib umat, bangsa dan negara ini bergantung.



[1] Anonim, “Guru Honorer di Tangsel Lapor ke Polisi Setelah Dipecat karena Beberkan Pungli di Sekolahnya”, lihat dalam http://www.tribunnews.com/metropolitan/2019/07/05/guru-honorer-di-tangsel-lapor-ke-polisi-setelah-dipecat-karena-beberkan-pungli-di-sekolahnya, diakses pada tanggal 8 Juli 2019.
[2] Anonim, “Kepala Sekolah di Surabaya Cabuli Enam Siswa SMP”, lihat dalam https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190705155638-12-409478/kepala-sekolah-di-surabaya-cabuli-enam-siswa-smp, diakses pada tanggal 8 Juli 2019. Lihat juga yang lainnya.
[3] Anonim, “Ini nih, Perilaku Kurang Mendidik yang Sering Dilakukan Guru”, lihat dalam https://www.bernas.id/58012-ini-nih-perilaku-kurang-mendidik-yang-sering-dilakukan-guru.html, diakses pada tanggal 8 Juli 2019.
[4] Anonim, “10 Jenis Materi Pelatihan untuk Menjadi Guru Profesional”, lihat dalam http://www.tozsugianto.com/2018/05/10-jenis-materi-pelatihan-untuk-menjadi-guru-profesional.html, diakses pada tanggal 8 Juli 2019.
[5] Sutan Takdir Alisjahbana, dalam Achdiat K. Mihardja (Ed.), Polemik Kebudayaan, Pustaka Jaya, Jakarta, 1977.

0 comments