Mengapa Petani Berontak? (Catatan dari The Moral Economy of the Peasant)

  

ilustrasi gambar: ilustrasi aksi Via Campesina pada peringatan hari pangan sedunia, 16 Oktober 2017, dikutip dari sharing.org

Oleh : MHD Zakiul Fikri

"...tuntutan-tuntutan resiprositas dalam sudut pandang etika subsistensi tidaklah pertama-tama dinilai dari segi tingkat absolutnya, melainkan atas dasar bagaimana tuntutan-tuntutan itu dapat mempersulit atau meringankan masalah yang sedang dihadapi petani untuk tetap berada di atas tingkat krisis subsistensi."

Baik, tulisan ini merupakan resume dari buku James C. Scott yang berjudul The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia [pdf]. Satu hal yang jamak terjadi dari kebanyakan masyarakat petani yang pra-kapitalis, menurut Scott, kekhawatiran akan mengalami kekurangan pangan telah menyebabkan timbulnya apa yang mungkin dapat dinamakan secara tepat sebagai suatu “etika subsistensi,” yakni suatu konsekuensi dari satu kehidupan yang begitu dekat dengan garis batas. Etika subsistensi itu mengarahkan petani pada apa yang oleh Scott namakan sebagai moral ekonomi petani. Apa itu moral ekonomi petani? Yaitu suatu pengertian petani akan keadilan ekonomi dan definisi kerja petani tentang eksploitasi–pandangan mereka tentang pungutan-pungutan terhadap hasil produksi mana yang dapat ditolerir dan mana yang tidak dapat.

Moral ekonomi petani, demikian Scott, muncul dari dilema ekonomi sentral yang dihadapi oleh kebanyakan rumah tangga petani. Sebab mereka hidup begitu dekat dengan batas subsistensi dan menjadi sasaran permainan cuaca serta tuntutan-tuntutan dari pihak luar, maka rumah tangga petani tidak mempunyai banyak peluang untuk menerapkan ilmu hitung keuntungan maksimal menurut ilmu ekonomi neo-klasik. Faktor-faktor risiko mempunyai sifat menentukan bagi para petani untuk memilih jenis tanam apa yang hendak ditanam. Peralihan dari produksi subsistensi ke produksi komersil hampir selalu memperbesar risiko. Tanaman subsistensi yang berhasil sedikit-banyaknya menjamin persediaan pangan keluarga, sedangkan nilai tanaman komersil yang tidak dapat dimakan tergantung kepada harga pasarnya dan kepada harga bahan-bahan kebutuhan pokok konsumen. Selain biaya tanam dan panen tanaman komersil itu seringkali lebih tinggi, satu panen tanaman komersil yang baik tidak dengan sendirinya menjamin persediaan makanan keluarga. Sebab itu, alih-alih mencari untung, para petani hanya berusaha menghindari kegagalan yang akan menghancurkan kehidupan mereka dan bukan berusaha memperoleh keuntungan besar dengan mengambil risiko. Inilah yang kemudian oleh Scott disebut sebagai prinsip safety-first alias dahulukan selamat.

Prinsip safety-first inilah yang melatarbelakangi banyak sekali pengaturan teknis, sosial, dan moral dalam suatu tatanan agraris pra-kapitalis, kata Scott. Keharusan memenuhi kebutuhan subsistensi keluarga, seringkali memaksa petani tidak saja menjual dengan harga berapa saja asal laku, tetapi juga membayar lebih jika membeli atau menyewa tanah. Seorang petani yang kekurangan tanah, sementara memiliki keluarga besar dan tidak dapat menambah penghasilan dengan pekerjaan lain, seringkali berani membayar harga yang sangat tinggi untuk tanah. Scott, mengutip dari Chayanov, menyebutnya sebagai hunger rent, selama tambahan tanah itu dapat menambah isi periuk nasi.

Meskipun Scott menyebut bahwa etika subsistensi itu merupakan tindakan rasional petani dalam mengelola risiko. Namun, setelah melakukan tindakan teknis yang paling bijaksana sekalipun, keluarga petani harus dapat bertahan melalui tahun-tahun di mana hasil bersih panennya atau sumber-sumber lainnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Lantas apa yang akan dilakukan petani?

Pertama, para petani dapat mengikat sabuk mereka lebih kencang lagi dengan jalan makan hanya sekali sehari atau beralih ke jenis makanan yang mutunya lebih rendah. Kedua, memilih alternatif subsistensi yang menurut Scott dapat digolongkan sebagai “swadaya.” Misal, kegiatan berjualan kecil-kecilan, bekerja sebagai tukang, sebagai buruh lepas, atau bermigrasi. Dan terakhir, Ketiga, terdapat banyak sekali jaringan dan lembaga di luar lingkungan keluarga yang dapat berfungsi sebagai peredam-kejutan selama krisis-krisis ekonomi dalam kehidupan petani. Seorang petani mungkin akan dibantu oleh sanak saudaranya, kawan-kawannya, desanya, seorang pelindung berpengaruh atau patron, dan negara.

Dengan dicapainya satu tingkat krisis subsistensi, lanjut Scott, tidak berarti bahwa keluarga-keluarga petani yang hasil panennya di bawah tingkat itu secara otomatis mati kelaparan. Para petani mungkin akan beralih makan jawawut atau umbi-umbian, menitipkan anak-anak mereka kepada kerabatnya, menjual hewan penarik bajak atau terpaksa menjual sebidang tanah, atau mungkin seluruh keluarga bermigrasi.

Bantuan yang dapat diharap dari sanak-saudara biasanya jumlahnya terbatas, mereka tidak dapat menawarkan lebih dari sumberdaya yang dapat mereka himpun di kalangan mereka sendiri. Sementara, beralih ke resiprositas yang diperkukuh semangat gotong-royong dari antar kawan dan desa, demikian Scott, hasilnya juga tidak jauh berbeda yang dapat diberikan oleh sanak-saudara. Kemudian, praktik ikatan pelindung (patron) dan klien, yakni suatu bentuk asuransi sosial yang terdapat di mana-mana di kalangan petani Asia Tenggara, bisa jadi alternatif paling memungkinkan. Seorang patron menurut definisinya adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya. Meskipun para klien seringkali berusaha sebisa-bisanya untuk memberikan arti moral kepada hubungan itu–oleh karena kedudukan mereka dalam menghadapi patron seringkali lemah sekali–patronase itu ada segi baiknya, bukan semata sebab bisa diandalkan melainkan mengingat sumberdayanya.

Para patron atau elit, yang biasanya berasal dari tuan tanah, mampu memberi jaminan subsistensi yang mencakup pula pemberian subsidi untuk melalui satu musim yang gagal. Dengan demikian, lanjut Scott, hubungan “patron” atau “patronage” mengimplikasikan satu komitmen pribadi dari pihak pemilik tanah untuk menanggung kebutuhan-kebutuhan kesejahteraan yang minimal dari penyewa atau petani. Karena pada tingkat terakhir tata-hubungan itu difokuskan pada tanggungjawab pemilik tanah terhadap penyewa dan keluarganya sebagai konsumen dan bukan pada satu transaksi ekonomis yang impersonal. Pihak-pihak yang terikat dalam hubungan patronase biasanya merupakan seorang “klien” yang terikat kepada tuan tanahnya oleh rasa hormat pribadi dan rasa hutang budi. Sementara untuk struktur sosial terakhir menurut Scott, negara, menduduki tempat yang ganjil dalam kerangka ini. Ia seringkali lebih menonjol karena apa yang diambil dari petani dan bukan karena apa yang diberikan. Misal, akan muncul dalam wujud pajak.

Satu hubungan yang jelas dari jaringan struktur sosial di atas, bahwa begitu seorang petani mengandalkan sanak-saudara atau patron daripada sumberdaya sendiri, maka atas dasar timbal-balik ia memberikan kepada mereka hak atas tenaga kerja dan sumberdayanya sendiri. Kerabat dan kawan yang telah menolongnya dari kesulitan akan mengharapkan perlakuan yang sama apabila mereka sendiri dalam kesulitan dan apabila ia mampu memberikan pertolongan. Dengan demikian, kata Scott, bahwa sebetulnya mereka membantu petani karena ada satu konsensus yang tak diucapkan mengenai resiprositas.

Scott mengatakan bahwa tuntutan-tuntutan resiprositas dalam sudut pandang etika subsistensi tidaklah pertama-tama dinilai dari segi tingkat absolutnya, melainkan atas dasar bagaimana tuntutan-tuntutan itu dapat mempersulit atau meringankan masalah yang sedang dihadapi petani untuk tetap berada di atas tingkat krisis subsistensi. Dari sinilah kemudian dapat ditentukan apakah suatu tuntutan itu eksploitatif atau tidak. Menurut Scott, yang secara alami dirasakan sebagai yang paling eksploitatif adalah pungutan yang paling sering mengancam unsur-unsur sentral dari pengaturan-pengaturan subsistensi petani, pungutan-pungutan yang paling sering membuatnya rawan terhadap krisis-krisis subsistensi.

Kemudian Scott membahas bagaimana pertumbuhan negara kolonial dan komersialisasi pertanian telah memperumit dilema keterjaminan subsistensi kaum tani dengan sekurang-kurangnya lima cara. Pertama, satu sektor yang semakin luas dari kaum tani menjadi tidak terlindungi lagi dari ketidakpastian-ketidakpastian baru yang disebabkan oleh ekonomi pasar dan yang memperbesar variabilitas penghasilan mereka di atas dan melampaui risiko fluktuasi hasil panen yang tradisional. Kedua, bagi sebagian besar petani, nilai desa dan kelompok kerabat sebagai pemberi perlindungan dan pemikul risiko secara bersama-sama mengalami erosi. Ketiga, berbagai “katup-pengaman” atau alternatif subsistensi tradisional menjadi berkurang atau bahkan hilang. Keempat, pemilik tanah yang tadinya memikul sebagian dari risiko pertanian, sekarang tidak saja dapat mengutip lebih banyak lagi dari petani berupa sewa, tetapi juga memungut bagian yang tetap dari penghasilan petani-penggarap, dan dengan demikian petani semakin rawan terhadap risiko-risiko tanaman dan pasar. Dan Kelima, negara semakin dapat memantapkan pendapatannya dari kebijakan pajak, tidak peduli petani mengalami kerugian.

Dari kelima perubahan penting yang telah disebut di atas yang membuat keamanan subsistensi petani lebih problematis menurut Scott ialah soal pungutan yang dilakukan oleh pemilik tanah dan negara. Meski begitu, peranan kekuatan pasar, pekerjaan-pekerjaan tambahan, dan pola-pola pemerataan di desa juga memainkan peran penting dalam problematika tersebut. Sejauh pasar menentukan nilai hasil panen petani, maka sejauh itu pula ia rawan terhadap ketidakpastian dari mekanisme harga. Lebih jauh, peranan kekuatan pasar ini telah menyebabkan buruh tani berdiri dengan kedua kakinya dalam ekonomi pasar; sistem harga sudah menetapkan baik upah untuk kerja mereka maupun daya beli upah tersebut. Petani-penyewa, meskipun mereka mungkin hanya memakan sebagian saja dari apa yang mereka tanam, mereka juga dihadapkan pada beban sewa, bunga dan pajak yang semakin berat yang mengikuti fluktuasi terhadap kekuatan-kekuatan pasar. Petani-petani kecil agak terisolasi terhadap kekuatan pasar ini, tetapi karena mereka juga harus membayar pajak dan cicilan hipotik dan pinjaman, dan mengupah tenaga kerja, sehingga merekapun jauh dari kata kebal.

Pasar-pasar barang kerajinan yang tadinya merupakan sumber mata pencaharian sambilan bagi penduduk desa, mengalami gangguan-gangguan hebat. Pasar-pasar setempat yang dipenuhi oleh produk-produk buatan petani mengalami kemunduran karena terdesak oleh spesialisasi yang lebih besar-besaran atau oleh barang-barang impor dari kota-kota besar. Dan yang lebih penting dari segi ekonomi desa, menurut Scott, adalah berangsur lenyapnya hutan-hutan setempat sebagai sumber daya alternatif cuma-cuma dari alam. Perubahan-perubahan itu disebabkan oleh perubahan demografi dan oleh politik yang secara sadar ditempuh oleh pemerintah kolonial.

Kemudian, efek perubahan ekonomi kolonial terhadap desa adalah tekanan redistribusi sumberdaya yang menyebabkan berpindahnya satu persentase yang semakin besar dari kekayaan riil desa ke luar wilayah hukumnya. Sementara para patron yang sebelumnya memenuhi etika subsistensi karena khawatir terhadap gangguan petani semakin tidak begitu rawan lagi terhadap tuntutan-tuntutan subsistensi kliennya. Lagipun mereka, para patron, tidak lagi begitu tergantung kepada pengesahan dan dukungan setempat untuk mempertahankan posisi mereka. Sekarang, pengadilan dan polisi dapat menjamin hak milik mereka atas tanah dan hak mereka untuk menagih hutang yang berdasarkan perjanjian. Belum lagi, dilema desa dalam menghadapi tekanan-tekanan redistributif sebagai dampak baru dari harga-harga pasar yang berfluktuasi dan pertumbuhan penduduk dalam jangka panjang.

Lebih jauh, Scott mengatakan bahwa sejarah pergeseran dari ikatan-ikatan tuan tanah-penyewa yang lebih luwes dan menyeluruh ke suatu hubungan uang yang lebih terus-terang, pada waktu bersamaan juga merupakan sejarah dimasukkannya Asia Tenggara ke dalam ekonomi dunia kapitalis. Fakta yang paling mencolok menurut Scott mengenai tata-hubungan antara pemilik tanah dengan penyewa atau buruh tani adalah bahwa tata hubungan itu telah kehilangan banyak dari isinya yang paternalistis dan bersifat melindungi dan menjadi lebih impersonal dan bercorak kontrak.

Akantetapi, dalam pandangan petani, perubahan yang kritis dari feodal ke kapital itu tidaklah terutama bahwa tuan tanah bisa memungut lebih banyak dari hasil panen, tetapi bahwa tata-hubungan itu secara keseluruhan telah kehilangan nilai protektif yang pernah dimilikinya. Sebagai suatu tata-hubungan ia telah bergeser dari suatu keadaan ketergantungan di dalam rangka jaminan-jaminan tertentu (hubungan patron-klien) ke keadaan yang lebih terus-terang dan lebih menyakitkan, dengan hubungan kontrak yang berdasarkan uang jaminan sosial yang sedikit saja, atau tidak ada sama sekali, bagi pihak yang lebih lemah.

Tatanan agraris telah kehilangan elastisitas ekonominya, demikian Scott, dan dengan demikian juga landasan moralnya, bagi penyewa. Tuntutan dari tuan tanah agar ia ditaati tergantung kepada persyaratan bahwa ia memenuhi tuntutan minimal akan keadilan sosial–yakni perlindungan subsistensi. Begitu perlindungan itu menghilang, maka menghilang pula sisa-sisa terakhir dari sikap taat yang sukarela. Penyewa dan buruh bertindak lebih jauh dari sekadar menyampaikan keluhan secara formal atau mengadakan rapat-rapat protes, mereka menyerobot tanah dan tidak mau pergi apabila tuan tanah membatalkan perjanjian sewa. Perlawanan itu dalam perkembangan berikutnya menunjukkan proporsi-proporsi pemberontakan, kata Scott.

Mengenai pajak oleh negara, Scott secara terus terang mengatakan yang paling membuat marah kaun tani yang hidup di wilayah kekuasaan kolonial agaknya adalah pajak-pajaknya. Sulit untuk menemukan sejumlah besar demonstrasi, petisi, atau pemberontakan yang melibatkan kaun tani, di mana beban pajak tidak merupakan pokok persoalan yang menonjol. Meskipun yang diperjuangkan oleh pemimpin-pemimpin pemberontakan adalah kemerdekaan, tetapi bagi kaum pemberontak itu makna yang pertama dari kemerdekaan adalah berakhirnya pemungutan pajak yang eksploitatif, yang telah menjadi impian umum di kalangan kaum tani di Asia Tenggara pada zaman kolonial. Dengan demikian, lanjut Scott, perpajakan sebagai pokok persoalan agraris yang populer telah mencapai puncaknya di zaman penjajahan. Hal ini membuktikan bagaimana politik fiskal negara kolonial semakin memperkosa moral ekonomi dari etika subsistensi.

Bukti-bukti di dalam konteks Asia Tenggara menunjukkan bahwa prubahan struktural yang terjadi di zaman kolonial telah memungkinkan golongan elit dan negara untuk semakin melanggar moral ekonomi kaum tani dan menjadi lebih eksploitatif. Pertanyaan selanjutnya yang diajukan Scott ialah apa makna ‘eksploitatif’ itu? Untuk menjawab ini Scott mengatakan, Pertama, eksploitasi itu harus dilihat sebagai suatu tata-hubungan antara perorangan, kelompok atau lembaga di mana ada pihak yang dieksploitasi dan adanya pihak yang mengeksploitasi. Kedua, eksploitasi merupakan distribusi tidak wajar dari usaha dan hasilnya, dan hal ini selanjutnya memerlukan adanya suatu ukuran tentang keadilan distribusi untu mengukur tata-hubungan yang ada.

Scott tidak menggunakan ukuran keadilan sebagaimana pendekatan deduktif umumnya. Ia mengajukan sendiri setidaknya empat ukuran keadilan yang potensial yang dapat diterapkan oleh petani-penyewa terhadap situasi mereka, yaitu; taraf hidup, alternatif terbaik berikutnya, resiprositas atau pertukaran sepadan, dan harga yang adil dan legitimasi. Dengan demikian, baik dalam rutin-rutin setempat yang normal maupun dalam kekerasan suatu pemberontakan, terjalinlah ke dalam jaringan perilaku petani itu struktur suatu universal moral bersama, suatu pengertian bersama tentang apa itu adil. Warisan moral inilah yang, di dalam pemberontakan-pemberontakan petani, memilih sasaran tertentu saja, bentuk tertentu saja, dan yang memungkinkan diambilnya tindakan kolektif yang lahir dari kemarahan moral.

Lalu bagaimana memahami kemarahan moral yang dengan begitu jelas merupakan bagian integral dari pemberontakan petani? Tanya Scott. Jawabannya dapat dimulai dengan dua prinsip moral yang nampaknya terpancang dengan kokoh dalam pola-pola sosial dan perintah yang berlaku dalam kehidupan petani, yakni; norma resiprositas dan hak atas subsistensi. Prinsip resiprositas mengharuskan orang untuk membantu mereka yang pernah membantunya atau setidaknya jangan merugikannya. Sementara, prinsip subsistensi tercermin di dalam tekanan-tekanan sosial terhadap golongan yang relatif mampu di desa agar mereka bermurah hati terhadap tetangga mereka yang kurang mampu. Hak atas subsistensi itu cenderung untuk dihormati dalam tatanan agraris pra-kapitalis. Sikap-sikap terhadap sistem persewaan tanah dan kewajiban-kewajiban tuan tanah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan material yang minimum dari penyewa-penyewanya. Asumsi yang mendasari prinsip ini adalah bahwa semua anggota komunitas mempunyai hak yang cukup beralasan untuk mendapat nafkah hidup selama sumber-sumber kekayaan setempat memungkinkannya.

Meskipun di akhir tulisannya Scott mengatakan bahwa pemberontakan bukanlah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh petani, tetapi jamaknya di Asia Tenggara pelanggaran terhadap norma resiprositas dan hak subsistensi–yang merupakan inti dari moral ekonomi petani–adalah salah satu faktor yang menyebabkan meletusnya pemberontakan.

0 comments