Sejarah dan Perkembangan Konsep Reforma Agraria: Belajar dari Gunawan Wiradi

  

ilustrasi gambar: sampul buku "Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir" Edisi Cetak ke-1 yang diterbitkan Insist Press, KPA dan Pustaka Pejalar pada tahun 2000.


Oleh: MHD Zakiul Fikri

“Reforma Agraria adalah anak kandung konflik agraria. Artinya, lahirnya gagasan tentang perombakan struktur pemilikan/ penguasaan tanah (yang kemudian dikenal dengan istilah “landreform”, berkembang menjadi “agrarian reform”, dan sekarang “Reforma Agraria”) merupakan respon terhadap situasi konflik dalam masalah pertanahan.”

Sumber utama tulisan ini ialah karya Gunawan Wiradi yang berjudul Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir (pdf). Saya tidak berani untuk menyebut tulisan ini merupakan review, melainkan lebih tepat menggunakan kata resume. Kalau review mengharuskan saya menulis sesuai dengan gaya penulisan sendiri sebagai reviewer secara murni, resume tidak demikian, saya tinggal mencomot saja apa yang benar-benar ditulis oleh si penulis buku. Inilah barangkali salah satu produk yang mencerminkan suatu karya tulis comot-comot. Tak masalah, menurut saya, selagi hal itu (resume) bukan dalam arti plagiat.

Baik, masuk ke inti resume. Bagi negara-negara agraris, menurut Wiradi, masalah tanah pada hakikatnya adalah masalah fundamental. Sepanjang sejarah, sejak manusia berburu di hutan atau mengumpulkan hasil hutan, kemudian bertani mengembara sampai kepada bercocok tanam secara menetap, penguasaan dan pemanfaatan tanah seringkali menimbulkan sengketa. Karena itu, baik sebagai policy issue maupun (dan lebih-lebih) sebagai scientific research issue, masalah Reforma Agraria tetap relevan.

Pengaturan kembali atau perombakan penguasaan tanah, atau yang secara luas dikenal dengan nama agrarian reform (bahasa Inggris), atau yang dalam buku ini dipakai istilah Reforma Agraria (bahasa Spanyol), telah disadari dan dijalankan sejak berabad-abad lamanya. Umurnya sudah lebih dari 2500 tahun. Wiradi mencatat bahwa tonggak pertama reforma agraria itu dimulai pada masa Yunani kuno. Tepatnya pada masa pemerintah Solon sekitar enam abad sebelum masehi (SM), pada tahun 594 SM. Dalam usahanya melakukan reformasi konstitusional, Solon secara demokratis berhasil melahirkan undang-undang agraria (yang dikenal dengan istilah seisachtheia). Tujuannya, membebaskan para “hektemor” (orang yang menggadaikan tanah dan bekerja sebagai buruh untuk menebus utang atas tanah tersebut) dari hutang, dan sekaligus membebaskan mereka dari status sebagai budak di bidang pertanian.

Asal muasal kebijakan agraria pada masa pemerintahan Solon ini merupakan respon atas ketika kondisi hektemor semakin parah, timbul gejala bahwa mereka akan berontak. Para petani kaya mendesak kepada Solon agar mencegah jangan sampai terjadi pemberontakan. Sebaliknya para hektemor mengharap agar keluhan mereka tentang berat beban hutang didengar. Sementara itu, masyarakat umum juga mengharap agar Solon tetap menjaga stabilitas, jangan sampai terjadi revolusi. Solon berusaha mengakomodasi semua kepentingan yang berbeda itu. Kemudian lahirlah undang-undang agraria sebagai solusinya, yang mengatur perihal hubungan antar subjek dengan tanah.

Undang-undang baru itu ternyata tidak sepenuhnya memuaskan. Semua justru kecewa. Yang kaya kecewa, karena hutang para hektemor itu di-”pusokan”. Para hektemor kecewa karena meskipun dibebaskan dari hutang, dan statusnya direhabilitasi (tidak lagi sebagai budak), tetapi tanahnya tidak kembali, karena tidak ada program redistribusi. Tiga puluh tahun kemudian, Pisistratus, seorang pemimpin baru, melanjutkan usaha Solon melakukan Reforma Agraria dengan cara yang lebih maju, yaitu melalui program redistribusi: land-to-the-tiller dan land-to-the landless.

Tonggak berikutnya, pada masa Romawi kuno. Sama dengan yang terjadi di Yunani, Reforma Agraria dilakukan karena menghadapi kemungkinan terjadinya pemberontakan, tetapi tujuannya berbeda. Di Roma pada mula tujuannya mengangkat rakyat kecil, dengan cara melakukan redistribusi tanah-tanah milik umum. Jadi, yang menjadi objek pembaruan adalah tanah-tanah milik umum yang semula biasanya disewakan atau dibagihasilkan kepada petani perorangan atau para peternak (untuk padang penggembalaan). Selanjutnya ketika Tiberius Gracchus terpilih sebagai anggota Dewan perwakilan rakyat pada tahun 134 SM, ia berhasil menggolkan Undang-undang Agraria (lex agraria). Intinya berupa penetapan batas maksimum penguasaan tanah. Tanah kelebihan (yaitu kelebihan dari batas maksimum) harus diserahkan kepada negara (dengan ganti rugi) dan kemudian dibagikan kembali kepada petani kecil ataupun tunakisma.

Tonggak reforma agraria berikutnya, ketiga, adalah enclosure movement di Inggris. Gerakan ini menurut Wiradi sebenarnya bukanlah reforma agraria yang terencana. “Enclosure movement” adalah suatu proses pengkaplingan tanah-tanah pertanian dan padang penggembalaan yang semula merupakan tanah yang dapat disewakan oleh umum, menjadi tanah-tanah individual. Di Inggris, gerakan tersebut merupakan proses yang berlangsung dalam rentang sejarah yang panjang yaitu sejak abad ke-12 sampai akhir abad ke-XIX. Tetapi ada dua masa puncak, yaitu pertama selama abad XV dan XVI, dan kedua selama abad XVIII dan XIX. Hasilnya, corak Pertanian abad pertengahan menjadi lenyap sama sekali, sehingga pada tahun 1830, sisa-sisanya sudah hampir tidak ada lagi. Hak-hak adat menjadi sirna.

Tonggak keempat yakni pada masa revolusi Prancis tahun 1789. Saat itu sistem penguasaan tanah feodal dihancurkan. Tanahnya dibagi kepada petani dan petani budak dibebaskan. Wiradi mengatakan kesan abadi yang ditinggalkan oleh revolusi Perancis dalam hal Reforma Agraria adalah dua yang menjadi tujuan pembaruan, yaitu: a) Membebaskan petani dari ikatan “tuan-budak” (serfdom) dalam sistem feodal, dan b) Melembagakan usaha tani keluarga yang kecil-kecil sebagai satuan pertanian yang dianggap ideal.

Tonggak kelima, perubahan agraria di Rusia. Pada tahun 1906-1911, lahir pembaruan gaya baru yang dikenal sebagai Stolypin Reforms (sesuai nama orang pencetusnya). Intinya: petani dibebaskan dari komune-komune dan menjadi pemilik tanah secara bebas. Kemudian, dengan berhasilnya revolusi 1917, kaum komunis berhasil mencapai kekuasaan dengan membentuk negara uni soviet. Ciri radikal Reforma Agraria Uni Soviet menurut Wiradi adalah; a) Hak pemilikan tanah pribadi dihapuskan; b) Penyakapan atau “tenancy” (sewa, bagihasil, gadai, dan sebagainya) dilarang; c) Penguasaan tanah absentee dilarang; d) Hak garap dan luas hak garapan ditentukan atas dasar kriterium seluas apa seorang petani telah benar-benar menggarap tanah itu; dan e) Menggunakan buruh upahan dilarang.

Tonggak-tonggak reforma agraria selanjutnya menurut Wiradi ialah setelah Perang Dunia II (PD II) hingga terbentuknya Piagam Petani (The Peasant’s Charter). Jamak diketahui bahwa pasca PD II, di tiga negara yaitu Jepang, Korea Selatan dan Taiwan dilancarkan Reforma Agraria di bawah pengawasan tentara sekutu. Tidak lama kemudian, di berbagai negara berkembang baik di Asia, Amerika Latin, maupun Afrika, gerakan Reforma Agraria menjadi semarak, terutama dalam dekade 1950-an dan 1960-an. Masing-masing negara merupakan kasus yang unik. Namun demikian ada beberapa pelajaran dari sejarah bahwa pada hakikatnya, tidak ada satu negara pun yang dapat dianggap sebagai model, kalau yang dimaksud model adalah sesuatu yang secara utuh dapat ditiru.

Bulan Juli 1979 Konferensi Sedunia mengenai Reform Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Development disingkat WCARRD) yang diselenggarakan oleh FAO-PBB di Roma berhasil merumuskan sebuah Deklarasi Prinsip-prinsip dan Program Kegiatan (Declaration of Principles and Programme of Action) yang kemudian disebut sebagai Piagam Petani (The Peasants’ Charter). Secara umum deklarasi itu mengakui bahwa masalah kemiskinan dan kelaparan merupakan masalah dunia, dan karenanya ditekankan bahwa program Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan haruslah dilaksanakan secara serentak meliputi tiga bidang di tiga tingkat yang saling berkaitan, yaitu; a) di tingkat desa, mengikutsertakan lembaga pedesaan; b) di tingkat nasional, reorientasi kebijakan pembangunan, dan c) di tingkat internasional, mendorong terlaksananya prinsipprinsip tata ekonomi internasional-baru.

Bab I s.d. VII (dari bagian kedua itu merupakan panduan bagi program kegiatan tingkat nasional negara-negara berkembang, mencakup masalah-masalah (1) sasaran dan strategi; (2) jangkauan terhadap penguasaan tanah dan air serta sumber daya alam lainnya; (3) partisipasi rakyat; (4) integrasi wanita dalam pembangunan; (5) jangkauan terhadap sarana produksi, pasar, dan jasa; (6) pengembangan kegiatan di luar usaha tani di pedesaan; (7) Pendidikan, latihan, dan penyuluhan. Bab VII s.d. XII berisi panduan dalam kebijakan international dalam rangka Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan, mencakup masalah (1) perdagangan international; (2) kerja sama ekonomi dan tehnik antara negara-negara berkembang; (3) penanaman modal asing; (4) bantuan pembangunan; dan (5) program kegiatan bagi FAO dan badan-badan lainnya dari PBB.

Wiradi menegaskan bahwa yang namanya reforma agraria, senantiasa melibatkan perubahan fungsi dan juga perubahan struktur. Untuk mendalami rasionalisasi reforma agraria, Wiradi mengajak pembaca untuk melihat secara umum bahwa kebijakan itu (reforma agraria) terkait erat dengan transformasi agraria (agrarian transformation). Agrarian transformation dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan keseluruhan sistem hubungan sosial ekonomi pertanian secara nasional, yang secara khusus biasanya mengacu kepada perubahan dari suatu struktur yang bersifat “agraris tradisional” (atau feudalistic atau non-kapitalistik; atau natural economy), menjadi suatu struktur hubungan di mana pertanian tidak lagi bersifat eksklusif melainkan terintegrasi ke dalam pilar-pilar ekonomi lainnya, lebih produktif, dan kesejahteraan rakyat meningkat. Definisi ini memang mencakup masalah yang luas, termasuk di dalamnya faktor-faktor lingkungan, teknologi, hubungan-hubungan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan proses-proses lainnya yang berkaitan.

Menurut Wiradi, yang dikutipnya dari John Harris, terdapat beberapa jalur atau model yang memungkinkan terjadinya transformasi agraria ini, di antaranya; Pertama, agrarian transformation terjadi melalui pengembangan sistem usaha tani kapitalistik, yaitu melalui pengembangan satuan-satuan produksi berskala besar yang mungkin akan menelan hampir semua sektor pertanian kecil (sesuai dengan logika kapital). Kedua, agrarian transformation juga dapat terjadi melalui jalur sosialistik, yaitu melalui pembentukan usaha tani koperatif berskala besar yang diprakarsai pemerintah; atau melalui usaha tani kolektif; atau melalui usaha tani negara. Dan Ketiga, agrarian transformation melalui pengembangan usaha tani skala kecil yang padat modal, yang biasa disebut sebagai jalur neo-populistis.

Menariknya, dalam membahas rationale reforma agraria, Wiradi juga menyinggung persoalan klasik tentang mengapa masyarakat petani (peasantry) tetap bertahan (persist) di tengah monetisasi dan penetrasi kapital yang sangat besar? Dalam menjawab pertanyaan ini Wiradi menguraikan pertarungan pemikiran antara kelompok neo-populis dan kelompok Marxian. Namun yang jelas, lanjut Wiradi, di antara dua corak pemikiran tersebut masih terdapat teorisasi kontemporer yang dapat digunakan untuk melihat mengapa petani tetap bertahan. Pertama, teori modernisasi. Dan Kedua, teori artikulasi mode produksi, yang merupakan varian lain dalam tradisi Marxian. Apa yang dimaksud teori moderniasi ini tidak begitu dijelaskan Wiradi dalam tulisannya.

Sementara istilah artikulasi diartikan sebagai terjadinya saling intervensi antara mode produksi kapitalistik dengan mode-mode produksi yang lain. Menurut Teori Artikulasi ini bertahannya (persistensi) usaha tani kecil merupakan indikasi terjadinya keterkaitan antara mode produksi kapitalistik dan mode produksi non kapitalis yang dimungkinkan karena mode produksi non-kapitalis tunduk kepada (subject to) kebutuhan fungsional kapital seperti misalnya supply tenaga yang murah dan bahan mentah yang murah.

Kembali ke rasionalisasi reforma agraria, Wiradi menyebut ada beberapa pandangan juga yang menjadi dasar pelaksanaan reforma agraria. Yang jelas, restrukturisasi penguasaan tanah dilandasi oleh tuntutan atas rasa keadilan. Karena itu, di luar negara-negara sosialis, para ilmuwan pada umumnya meletakkan pertimbangan logika ekonomi menjadi titik beratnya, walaupun dengan argumentasi yang berbeda-beda. Ada pandangan misalnya, bahwa rationale Reforma Agraria adalah membebaskan masyarakat pertanian dari kungkungan sistem penguasaan tanah secara tradisional dan dengan demikian memberi peluang berkembang bagi para pemilik tanah melalui persaingan. Argumentasi demikian ini mencerminkan pemikiran bahwa keadilan diartikan sebagai “adil dalam peluang”. Perkembangan selanjutnya memang akan berlangsung secara hukum alam, tetapi startnya harus kurang lebih sama. Karena itu perlu diciptakan kondisi itu, melalui redistribusi penguasaan tanah.

Adalagi pandangan yang memberi alasan pembenaran semata-mata atas dasar logika ekonomi, tetapi sedikit berbeda. Yang ditekankan adalah masalah bagaimana menciptakan alokasi sumber daya seefisien mungkin. Negara berkembang dicirikan oleh tenaga kerja melimpah, tetapi modal sangat langka. Petani kecil lebih efisien dalam hal memanfaatkan tanah dan modal, dibanding dengan petani kaya, dan juga lebih intensif menggunakan tenaga kerja. Namun para tuan tanah dan petani kaya temyata mempunyai jangkauan yang lebih mudah terhadap modal dan sarana produksi dari pada petani kecil. Hal ini disebabkan oleh struktur penguasaan tanah yang timpang yang menimbulkan perbedaan kuasa dan kemampuan menjangkau kedua faktor tersebut. Karena itu, agar tercipta alokasi yang optimal atas sumber daya yang tersedia dalam masyarakat secara keseluruhan, perlu dilakukan redistribusi penguasaan tanah. Umumnya, para penganut ekonomi neo klasik mengambil jalur argumen yang demikian.

Perdebatan tersebut di atas sebagian besar menggunakan argumentasi yang menitikberatkan pada aspek ekonomi, sedangkan menurut Wiradi sendiri kita semua menyadari bahwa Reforma Agraria merupakan fenomena yang kompleks yang di dalamnya sangat erat terkait aspek-aspek politik dan sosial. Hal yang jelas lainnya adalah bahwa dari pengalaman sejarah dan uraian konseptual teoritis reforma agraria tersebut dapat diamati terjadinya perkembangan konsep tentang Reforma Agraria itu sendiri.

Secara tradisional dalam bahasa Inggris, “land-reform” mengacu kepada penataan kembali susunan penguasaan tanah, demi kepentingan petani kecil, penyakap (tenants), dan “buruh tani tidak bertanah”. Inilah yang dimaksudkan dengan ‘redistribusi’, yaitu mencakup pemecahan dan penggabungan satuan-satuan usaha tani, dan perubahan skala pemilikan. Konsep ini kemudian berkembang. Landreform diberi arti yang mencakup dua macam sasaran, yaitu tenure reform yang artinya sama seperti redistribusi. Lalu, tenancy reform, yaitu perbaikan atau pembaruan dalam hal perjanjian sewa, bagi hasil, gadai dan sebagainya tanpa harus merubah distribusi pemilikan.

Di luar negara-negara sosialis, demikian Wiradi, memang reforma agraria selalu berinti redistributive landreform. Redistributive landreform artinya penataan kembali sebaran penguasaan tanah demi kepentingan petani kecil, penyakap (tenants), dan buruh tani tidak bertanah (tuna kisma). Ini mencakup dua aspek, yaitu tenure reform dan tenancy reform. Dalam perkembangannya, ke dalam pengertian redistributive landreform itu lalu dimasukkan pula konsep “konsolidasi tanah”, yang artinya menyatukan pemilikan tanah yang letaknya terpencar-pencar (fragmentasi) menjadi satu hamparan yang solid, biasanya melalui cara tukar menukar (ruil verkaveling). Jadi konsep konsolidasi dan fragmentasi pada dasarnya adalah konsep spasial, bukan konsep skala.

Sebagaimana diterangkan Wiradi bahwa secara historis reforma agraria ini merupakan respon yang diberikan pemerintah atas konflik agraria yang terjadi. Sebab itu, bukanlah mengherankan ketika ia kemudian berujar bahwa Reforma Agraria adalah anak kandung konflik agraria. Artinya, lahirnya gagasan tentang perombakan struktur pemilikan/ penguasaan tanah (yang kemudian dikenal dengan istilah “landreform”, berkembang menjadi “agrarian reform”, dan sekarang “Reforma Agraria”) merupakan respon terhadap situasi konflik dalam masalah pertanahan. Karena itu, lanjut Wiradi, untuk memahami seluk beluk Reforma Agraria perlu juga dipahami dulu masalah konflik agraria.

Sebagai suatu gejala sosial, kata Wiradi, konflik agraria adalah suatu situasi proses, yaitu proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atas objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air, tanaman, tambang, dan juga udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan. Kunci utama untuk memahami konflik agraria adalah kesadaran kita sendiri, yaitu sejauh mana kita menyadari bahwa tanah merupakan sumberdaya alam yang sangat vital, yang melandasi hampir semua aspek kehidupan. Bukan saja sekedar sebagai aset, tetapi juga merupakan basis bagi teraihnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik.

Sumber konflik agraria pada dasarnya terletak pada adanya sejumlah ketimpangan, ketidakselarasan atau incompatibilities. Sementara di Indonesia sendiri menurut Wiradi terdapat sedikitnya tiga macam incompatibilities yaitu; a) Ketimpangan dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah; b) Ketimpangan dalam hal “peruntukan” tanah; dan c) Incompatibility dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria.

Ketika keseluruhan incompatibilities itu bertumpuk menjadi satu, maka batas toleransi rakyat menjadi terlampaui, dan meledaklah “kemarahan” rakyat yang ekses-eksesnya dapat mewujud dalam bentuk “penjarahan”, “pencurian”, “pembatatan” tanaman dan lain sebagainya (menurut jargonjargon yang digunakan oleh pers zaman Orde Baru). Perilaku rakyat/petani yang mewujud dalam bentuk “pendudukan liar”, “penjarahan”, dan sebagainya itu pada hakikatnya merupakan manifestasi dari sikap protes karena adanya ketidakadilan yang melampaui batas kesadaran mereka.

Kehadiran reforma agraria ‘tulen’ diperlukan untuk menjawab incompatibilities tersebut. Kata ‘tulen’ tidak akan ditemukan dalam tulisan Wiradi karena itu istilah yang saya munculkan sendiri. Mengapa perlu kata reforma agraria ‘tulen’? karena kehadiran reforma agraria yang ragu-ragu atau semu (tidak jelas objek dan subjek), sebagaimana diterangkan Wiradi, tidak akan menjawab persoalan-persoalan ketimpangan agraria yang terjadi. Bahkan, malah bakal menambah tajam jurang incompatibilities. Wiradi juga mengurai beberapa usul tentang konsep serta pelaksanaan reforma agraria di Indonesia pasca reformasi 1998.

Sebelum mencoba merumuskan reforma agraria yang baik, untuk konteks Indonesia, Wiradi menerangkan kembali karakteristik reforma agraria yang pernah diterapkan di sepanjang sejarah dari berbagai negara. Berbagai negara yang pernah melakukan Reforma Agraria itu menganut model yang berbeda-beda, dan sangat beragam. Wiradi menguraikan model dan ragam yang berbeda itu berdasarkan kategorisasi sebagai berikut:

Pertama, Berdasarkan ideologi ekonomi, dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu model kapitalis, model sosialis, dan model neo-populis.

Kedua, Atas dasar arah transaksi dapat dibedakan dua model collectivist reform dan redistributive reform. Yang pertama, ‘mengambil dari yang kecil untuk diberikan kepada yang besar’, sedang yang kedua, ‘mengambil dari yang besar untuk diberikan kepada yang kecil’.

Ketiga, Di antara model-model redistributive reform dapat dibedakan tiga model atas dasar kriteria teknis (i) batas luas maksimum dan minimum ditetapkan; (ii) batas maksimum ditetapkan tapi batas minimum diambangkan; dan (iii) dua-duanya (maksimum dan minimum) diambangkan.

Keempat, Atas dasar besarnya peran, baik dalam hal perencanaan program maupun pelaksanaan, dapat dibedakan dua model, yakni reform-by-grace dan reform-by leverage. Dalam reform-by-grace peran pemerintah sangat dominan. Sedangkan dalam reform-by-leverage, justru peran rakyat secara terorganisasir melalui organisasi-organisasi tani sangat besar, dan dijamin oleh undang-undang nasional.

Mengingat kondisi yang ada dan situasi yang sedang berkembang sekarang ini, maka untuk sementara menurut Wiradi jalur yang sesuai untuk bangsa Indonesia adalah jalur neo-populistik. Sistem ekonomi kerakyatan (dalam artinya yang genuine bukan retorik) pada hakikatnya adalah jalur neo-populistik. Jalur Pancasila dalam artinya yang genuine adalah neopopulistik. Karenanya, paradigma baru pembangunan pertanian Indonesia pasca 1998 haruslah didasarkan atas landasan-landasan berikut ini:

Kesatu, Tanah menentukan berbagai aspek kehidupan. Semua kegiatan manusia memerlukan luasan tanah. Karena itu,

Kedua, Pembaruan masalah pertanahan harus menjadi landasan dasar strategi pembangunan: Reforma Agaria dalam artinya yang benar. Bukan reformism!

Ketiga, Pengalaman Revolusi Hijau memberi pelajaran bahwa usaha tani yang padat teknologi ternyata sangat merusak lingkungan. Karena itu techno-farming harus disubordinasikan kepada eco farming.

Keempat, Kalau kita masih setia kepada cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, maka ciri-ciri bangsa merdeka harus kita hadirkan kembali. Hal ini harus diwujudkan melalui langkah nyata berupa penegasan, pengakuan, dan perlindungan atas hakhak petani, dan rakyat pada umumnya.

Kelima, Pandangan bahwa globalisasi seolah-olah merupakan dewa pemberi derma harus kita rombak, dan justru harus kita sikapi dengan ekstra waspada.

Sementara bangunan perekonomian kita harus didasarkan kepada konsep ekonomi rakyat, yang bertumpu pada beberapa prinsip dasar, yaitu: a) Produksi berorientasi pada kebutuhan masyarakat, kebutuhan rakyat, bukan kepada promosi penjualan; b) Mengutamakan manfaat bagi rakyat banyak, bukan laba yang sebesar-besarnya bagi perorangan; c) Melibatkan rakyat banyak, dan melestarikan lingkungan, bukan produksi masal yang murah harganya; d) Meningkatkan tanggung jawab sosial dalam kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi, bukan promosi pasar yang direkayasa; e) Peningkatan kualitas hidup rakyat banyak, bukan akumulasi kekayaan perorangan; dan f) Memperhatikan etika dalam kehidupan ekonomi yang terjamin rasa keadilan, keamanan usaha, dan terhindar dari dekadensi moral.

Terakhir, agar pelaksanaannya berjalan dengan baik, demikian Wiradi, reforma agraria memerlukan pemenuhan terhadap empat prasyarat berikut; a) Kemauan politik (dalam artinya yang sungguh-sungguh) dari elit penguasa, harus ada; b) Elit pemerintahan/birokrasi harus terpisah dari elit bisnis (ini sulit menciptakannya); c) Partisipasi aktif dari semua kelompok sosial harus ada. Organisasi Rakyat/Tani yang pro-reform harus ada; dan d) Data-dasar masalah agraria yang lengkap dan teliti harus ada.

0 comments