Goresan Intelektual

ilustrasi semua manusia sama di hadapan Tuhan (equality before the God).

 

Mhd Zakiul Fikri

"Secara pahit mesti diakui bahwa peran kelembagaan adat sering kali tertelikung, di tempatkan dalam sangkar emas dengan segala pujian akan kebaikannya. Tapi, dalam sehari-hari tidak pernah diamalkan dengan sungguh-sungguh. Bahkan, diingkari secara terang-terangan."

Di tengah gempuran kapitalisme yang semakin menguat di Sibiruang, sebagai salah satu masyarakat adat, maka tantangan dan persoalan yang dihadapi semakin bervariasi. Apa itu kapitalisme, siapa aktornya, dan bagaimana cara kerjanya? Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang terpusat di tangan satu kekuatan, yang kita kenal dengan istilah pasar (market). Pasar di sini bukan dalam arti pasar di mana penjual menjajakan barang dagangannya dan pembeli melakukan tawar-menawar guna membeli.

Pasar dalam kapitalisme bermakna suatu kekuatan untuk mengontrol nilai dari suatu tindakan ekonomi. Dia yang menentukan berapa harga perencanaan, berapa harga persiapan, harga pembibitan, harga perawatan, harga produksi atau panen, hingga harga distribusi hasil panen dan harga jual. Jadi, semua lingkup kehidupan ekonomi dikontrol oleh sistem yang disebut pasar itu. Di sektor pertanian dan kehutanan, kehadiran kapitalisme telah mengubah secara radikal konstruksi filosofis, sosiologis, dan kultur penguasaan atas tanah dalam suatu masyarakat adat. Perubahan tersebut bahkan merembes jauh ke dalam perubahan sosial ekonomi rumah tangga masyarakat adat.

Dulu, sebelum pertengahan 1970-an di Sibiruang dan negeri di sekitarnya dalam proses produksi pertanian, para petani cenderung lebih mengedepankan prinsip safety-first (dahulukan selamat)–meminjam istilah yang dikemukakan Scoutt (1976:5). Sebab itu, setiap hasil produksi yang didapat ialah untuk keperluan konsumsi sendiri. Pembukaan jalur darat sekitar tahun 1971 dan kehadiran perusahaan perkebunan milik negara pada tahun 1981–kemudian menjadi perusahaan swasta PT Padasa Enam Utama–menjadi titik awal dimulainya kapitalisasi di Sibiruang. Dalam rentang dekade berikutnya setelah 1981, kapitalisasi itu mengubah struktur ekonomi rumah tangga yang sebelumnya berorientasi ekonomi moral yang mengutamakan safety-first ke ekonomi pasar yang terikat dengan lingkaran ekonomi global.

Apa tanda bahwa ekonomi masyarakat adat di Sibiruang–dan masyarakat di sekitarnya–terikat dengan ekonomi global? Saat ini ekonomi rumah tangga sangat bergantung pada fluktuasi harga jual sawit dunia. Orang akan ketawa-ketiwi ketika harga sawit menjulang tinggi, dan akan menangis terseduh-seduh ketika harga global jatuh. Dalam hal ini, mereka yang punya akses terbesar terhadap tanah atau alat produksi sawit akan semakin aman dari goyangan fluktuasi harga global tersebut. Selain itu, mereka juga tidak dapat menentukan nilai beli pupuk di pusat penjualan pupuk, sementara keberadaan pupuk itu sangat mereka perlukan dalam perawatan lahan pertaniannya.

Jika ditimang, tentu ada baiknya juga efek yang disebabkan oleh kapitalisme tersebut. Akan tetapi, yang perlu kita mitigasi bersama adalah efek-efek buruk yang dihadirkannya. Kapitalisme pada suatu titik akan menyebabkan kelangkaan; kelangkaan bahan pokok, kelangkaan sumber energi dan transportasi, dan yang lebih mendasar adalah kelangkaan akses terhadap tanah. Konstruksi tanah yang dahulunya dalam keyakinan masyarakat adat adalah diperuntukkan bagi kesejahteraan anak dan kemenakan.

Semenjak kapitalisme muncul, tanah bukan lagi sebatas persoalan kesejahteraan anak dan kemenakan, bukan lagi sebatas persoalan aset suku atau negeri. Namun, ia telah menjadi komoditas dagang yang memiliki nilai bagi ekonomi rumah tangga secara personal. Semakin banyak tanah, semakin aman ekonomi rumah tangga dari senggolan ekonomi global. Inilah yang menyebabkan dalam sistem kapitalisme orang kaya akan semakin kaya, karena mereka mampu dan bisa untuk membeli lebih banyak tanah untuk basis produksi.

Saat tanah semakin langka, orang-orang akan saling memakan bangkai keluarga dan temannya sendiri guna mendapatkan klaim akses terhadap sepetak tanah. Jika itu tidak dilakukan, saling klaim, maka basis ekonomi rumah tangga mereka akan terancam. Tidak ada tanah sama dengan tidak ada tempat produksi, tanpa produksi maka tidak akan ada uang. Sementara itu, uang (baik yang cetak atau online) dalam sistem kapitalisme adalah satu-satunya alat transaksi yang dianggap sah dan laku. Tidak ada uang itu artinya tidak ada alat untuk membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya. Orang akan dihadapkan pada ancaman kelaparan, krisis subsistensi dan krisis lainnya–termasuk krisis kepercayaan antar sesama dan sejenisnya. Dalam teori ekonomi moral, ini adalah inti krisis penyebab terjadinya perang atau pertikaian.

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diadakan suatu rumusan alternatif pencegahan atau setidaknya untuk memitigasi terjadinya krisis yang dapat mengarah pada disharmoni warga masyarakat adat di Sibiruang dan sekitarnya. Di tengah kecamuk kapitalisme yang terasa sangat tajam dewasa ini maka perkuat ukhuwah Islamiyah melalui revitalisasi peran kelembagaan adat merupakan jalan yang tepat. Secara pahit mesti diakui bahwa peran kelembagaan adat sering kali tertelikung, di tempatkan dalam sangkar emas dengan segala pujian akan kebaikannya. Tapi, dalam sehari-hari tidak pernah diamalkan dengan sungguh-sungguh. Bahkan, diingkari secara terang-terangan.

Bila diturut adat sebagai landasan pokok bermuamalah, warga akan diarahkan pada suatu ikatan persaudaraan sekandung berasaskan Islam (Ukhuwah al-Islamiyah). Sebab dalam adat dikenal terang suatu adigium “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, syara’ mengata, adat memakai”. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada pertentangan antara adat dengan syariat, dan sesungguhnya pula hubungan muamalah di dalam adat akan senantiasa membawa warga ke arah ukhuwah Islamiyah. Ukhuwah asal katanyanya adalah ikhwah yang berarti saudara seketurunan. Kata ini berbeda dengan makna ikhwan yang berarti saudara bukan seketurunan. Allah dalam al-Qur’an menyatakan orang-orang beriman itu seyogyanya adalah bersaudara (seketurunan), maka damaikanlah di antara kedua saudaramu (innamal-mu’minụna ikhwatun fa aṣliḥụ baina akhawaikum).

Andaipun ada riak masalah, dalam biduk hubungan muamalah sesama warga, dalam konstruksi pemikiran ukhuwah Islamiyah merupakan hal yang biasa terjadi. Tak mungkin riak itu tak ada, yang barangkali disebabkan oleh kesalahpahaman, bukan karena dorongan untuk ingin saling memusuhi. Di sinilah tugas ninik mamak dalam institusi adat mengambil peran. Yang hadirnya menyejukkan, sebagai penengah dan pemberi nasehat, bukan sebaliknya menambah gejolak. Mereka yang kedudukannya di tengah kehidupan sosial masyarakat ditinggikan seranting, didahulukan selangkah. Di Pundak merekalah keharmonisan itu dipercayakan. Sambungan ayat al-Qur’an di atas menyatakan damaikanlah keduanya, dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (fa aṣliḥụ baina akhawaikum wattaqullāha la’allakum tur-ḥamụn).

Ukhuwah Islamiyah senantiasa mendorong warga untuk bahu-membahu, tolong-menolong, gotong-royong, menghadapi persoalan kehidupan. Tapi, dalam prinsip tolong-menolong ini tidaklah seorang diperkenankan untuk mencelakai orang lain. Misal, ketika saudara atau teman meminjamkannya uang, kemudian hari uang itu tidak pernah lagi dikembalikan dengan keyakinan tidak perlu mengembalikan uang jika sudah menjadi saudara–yang dianggapnya merupakan praktek ukhuwah Islamiyah. Al-Qur’an memberi batasan agar tolong-menolong dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, bukan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan (wa ta’āwanụ ‘alal-birri wat-taqwā wa lā ta’āwanụ ‘alal-iṡmi wal-‘udwāni).

Sepotong hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar mengatakan muslim adalah bersaudara dengan muslim yang lainnya. Dia tidak menganiaya, tidak pula membiarkannya tersakiti. Siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi pula kebutuhannya (Al-muslimu ikhu al-muslimi laa yadzlimuhu walaa yuslimuhu wamankana fii haajati akhiihi kaana Allahu fii haajatihi). Dalam pepatah adat dikatakan ke hilir sama mendayung, ke hulu sama menggala, mendapat sama untungnya, kehilangan sama ruginya, yang ada sama dimakan, yang tak ada sama dicari. Bukan sebaliknya, yang ada sama dimakan, yang tak ada cari sendiri. Hidup terkurung hendak di luar, terhimpit hendak di atas, yang dipandang buruk oleh adat sesungguhnya juga bertentangan dengan relasi sosial dalam ukhuwah Islamiyah.

Selanjutnya, dalam hubungan yang berlandaskan pada ukhuwah Islamiyah terdapat suatu kepercayaan bahwa di antara sesama masyarakat diikat oleh suatu ikatan ilahi yang kesuciannya perlu dijaga dan dihormati. Al-Qur’an menarasikannya dengan pernyataan berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah, dan jangan sesekali kalian bercerai (Wa’tasimuu bi Hablil laahi jamii’anw wa laa tafarraquu). Di tengah konstruksi sosial masyarakat adat, peran ninik mamak lagi-lagi diperlukan di sini, yang memastikan agar kesucian dari hubungan itu tetap berjalan pada relnya. Bukankah satuan masyarakat adat itu diikat oleh tali kekerabatan yang mempercayai bahwa mereka sesungguhnya berasal dari moyang yang sama? Inilah inti ikatan ilahi dalam masyarkaat adat. Karenanya, apapun persoalan yang dihadapi, berkaitan dengan apapun itu; baik berkenaan dengan pembagian struktur pemerintahan maupun distribusi ekonomi termasuk persoalan tata kelola tanah, hendaknya senantiasa mengingat akan tali persaudaraan karena kekuatan ilahi ini.

Agar dalam membuat keputusan, menyelesaikan persoalan, tiada seorangpun yang kemudian dirugikan–tersakiti. Prinsip berpegang teguh pada tali Allah dalam pepatah adat dibunyikan dengan narasi yang saadat dan satu pakaian, yang sehina dan satu malu. Apabila dalam masyarakat adat telah tertanam keyakinan satu adat satu pakaian, satu hina satu malu, sudah terjadi perasaan saudara sekandung karena Allah (ukhuwah al-Islamiyah), maka tidak mungkin lagi ada satu kelompok membangun tiang peradaban di negeri, sementara kelompok lainnya menghancurkan. Tidak, sesekali tidak akan lagi hal itu terjadi. Kesejahteraan dalam rasa harmoni akan terjaga sebab setiap orang saling bahu membahu untuk membantu, bukan sikut-sikutan dan saling menjatuhkan.

Terakhir, dengan memperkuat ukhuwah Islamiyah yang dalam prakteknya peran lembaga adat divitalkan kembali–sebagai konsekuensi klaim selaku masyarakat adat–, maka apapun masalah yang ditimbulkan oleh dinamika kapitalisme akan bisa dihadapi. Dalam Islam, menjadi kapital (baca: kaya) itu dibolehkan, tetapi menjadi kapitalisme yang senantiasa melakukan monopoli pasar dan menimbun harta merupakan tindakan terlarang. Al-Qur’an mengatakan, dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sesekali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam neraka Huthamah (Yahsabu anna maalahu akhladah, Kalla layum ba zanna fil hutamah).

Dalam ayat lain diingatkan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih. Pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka, kemudian dikatakan kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah akibat dari apa yang kamu simpan itu” (wallaziina yaknizuunaz zahaba wal fiddata wa laayunfiquunahaa fii sabiilil laahi fabashshirhum bi'azaabin aliim. Yawma yuhmaa 'alaihaa fii naari jahannama fatukwaa bihaa jibaahuhum haazaa maa kanaztum li anfusikum fazuuquu maa kuntum taknizuun). Wallahu’alam.

 

Spanduk Penolakan Warga Wadas Atas Aktivitas Penambangan Andesit di Wilayah Mereka


MHD ZakiulFikri

"...bagi warga Wadas putusan ini mempersempit ruang mereka untuk menuntut keadilan di pengadilan. Putusan hakim ini juga menjadi sinyalelemen bahwa warga Wadas tereksklusi dari lahan yang disengketakan."

Proyek Strategis Nasional di Wadas

Pembangunan Bendungan Bener telah dicanangkan pemerintah sejak 2013 lalu, kemudian menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (SPN) sejak terbitnya Perpres No. 3 Tahun 2016. Sesuai amanat PP No. 27 Tahun 2012 (dicabut dan diganti oleh PP No. 22 Tahun 2021) dan PP No. 71 Tahun 2012 (dicabut dan diganti oleh PP No. 19 Tahun 2021), maka sejak tahun 2013 penyusunan Amdal mulai dilakukan dengan melibatkan partisipasi warga terdampak. Dan pada tahun 2018 pemerintah melalui Gubernur Jawa Tengah menerbitkan Surat Keputusan No. 590/41 Tahun 2018 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi (IPL) yang menandakan bahwa proses penyusunan Amdal dianggap selesai.

IPL 2018 mengalami satu kali perpanjangan di tahun 2020 dengan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 539/29 Tahun 2020 tentang perpanjangan IPL. Pasal 24 UU No. 2 Tahun 2012 hanya memberi masa perpanjang selama satu tahun terhadap surat keputusan terkait penetapan lokasi, karenanya pada tahun 2021 Gubernur Jawa Tengah sekali lagi mengeluarkan IPL dengan terbitnya Surat Keputusan No. 590/20 Tahun 2021 tentang pembaruan IPL (IPL 2021).

Pemerintah telah menjalankan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, termasuk melakukan ganti kerugian atas lahan terdampak. Per November 2021 progres pembayaran ganti kerugian terhadap warga yang lahannya masuk dalam proyek telah mencapai 57,17 % dengan nilai Rp. 689 miliar. Selain itu, pemerintah juga memberikan dasar legitimasi jika proyek ini berhasil diselesaikan maka beberapa manfaat akan dirasakan warga, misal, kebutuhan irigasi seluas 15.519 ha, kebutuhan air baku 1.500 lt/dtk, PLTA 10 MW, Konservasi, Reduksi Banjir 8,73 juta M3, dan pariwisata.

 

Respon Warga dan Dalih Pemerintah

Warga Wadas, sayangnya, sebagian masih memiliki pandangan berbeda dari gambaran idealita yang diterangkan pemerintah. Perbedaan pandangan inilah yang pada muaranya menyebabkan gesekan. Muaranya, selain melakukan demonstrasi dan blokade akses atas lahan yang disengketakan, warga Wadas juga menempuh jalur hukum guna mencari keadilan yang sesuai dengan kebutuhan hidup mereka.

Setelah upaya administratif yang dilakukan untuk menyampaikan penolakan terhadap IPL 2021 yang diterbitkan Gubernur Jawa Tengah mengalami kebuntuan, tanggal 16 Juli 2021 melalui kuasa hukumnya warga Wadas mengajukan gugatan ke PTUN Semarang. Gugatan dengan register perkara No. 8/PU/G/2021/PTUN.SMG ini pada dasarnya memuat tentang:

1) Masa berlaku SK Gubernur telah habis; 2) Pemerintah tidak melakukan proses penyusunan IPL (Surat Keputusan No. 590/20 Tahun 2021) sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam PP No. 19 Tahun 2021; 3) Pemerintah tidak mengumumkan surat keputusan perubahan sesuai amanat PP No. 19 Tahun 2021 dan UU No. 30 Tahun 2014; 4) Proses pengadaan tanah tidak mempertimbangkan perspektif warga terdampak;

5) Surat keputusan yang dibuat cacat substansi karena pertambangan batu andesit tidak termasuk ke dalam kategori pengadaan tanah demi kepentingan umum; 6) Satu IPL terdapat dua tindakan; dan 7) Muatan IPL tidak mengakomodir dan bertentangan dengan Perda No. 27 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Purworejo.

Bagi pemerintah penerbitan IPL 2021 telah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Terkait tindakan penambangan batu andesit, IPL Pembangunan Bendungan Bener dijadikan dasar dari tindakan tersebut. Dalih pemerintah ini diperkuat oleh keterangan ahli yang menyatakan Perpres No. 58 Tahun 2017 (perubahan dari Perpres No. 3 Tahun 2016) adalah lex specialis terkait SPN. Sebab itu, meskipun peraturan perundang-undangan terkait pengadaan tanah tidak mengatur tentang “pembaruan” tetapi dengan adanya Perpres tersebut tindakan pembaruan dianggap sah. Hal ini berlaku pula terhadap tindakan penambangan batu andesit.

 

Soalan Lex Specialis dan Dua Tindakan dalam Satu Izin

Dalih asas lex specialis derogat legi generali harusnya dilihat pada posisi komposisi biner, di mana dua atau lebih peraturan berada dalam hirarki yang sejajar secara horizontal. Komposisi biner ini menempatkan satu aturan mengatur tindakan hukum yang bersifat umum dan satu aturan lainnya mengatur tindakan hukum yang khusus. Kesaksian Tergugat dan keterangan ahli sayangnya tidak menerangkan komposisi biner dari dalih lex specialis yang mereka gunakan di persidangan.

Selanjutnya, sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tindakan penambangan batu andesit tidak dapat didasarkan pada IPL 2021. Selain tindakan penambangan idealnya tunduk pada rezim undang-undang pertambangan, IPL 2021 juga tidak mencantumkan adanya penambangan batu andesit dalam diktumnya. Sementara, salah satu unsur penting dari KTUN adalah bersifat individual. Sifat dari unsur ini mengandung makna bahwa suatu KTUN tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu. Kalau yang dituju itu lebih dari satu tindakan, tiap-tiap tindakan yang dilakukan itu harus disebutkan.

Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya mengamini kesaksian Tergugat. Alhasil, putusan pengadilan menyatakan menolak gugatan para Penggugat. Berdasarkan asas Res Judicata Pro Veritate Habetur maka putusan hakim suka tidak suka mesti pula dianggap benar. Secara hukum, putusan hakim yang dituangkan dalam Putusan No. 68/G/PU/2021/PTUN.SMG ini akan berdampak setidaknya terhadap dua hal; Pertama, putusan pengadilan ini di masa mendatang akan menjadi yurisprudensi guna membenarkan praktek lex specialis tanpa kejelasan komposisi biner aturan yang dianggap umum dan khusus. Kemudian juga menjadi yurisprudensi bagi tindakan hukum pemerintah yang tidak diatur di dalam suatu KTUN. Dan Kedua, bagi warga Wadas putusan ini mempersempit ruang mereka untuk menuntut keadilan di pengadilan. Putusan hakim ini juga menjadi sinyalelemen bahwa warga Wadas tereksklusi dari lahan yang disengketakan.


Kondisi lahan bekas tambang di Kabupaten Bangka Barat.

 

MHD Zakiul Fikri

norma lingkungan hidup mengalami konstitusionalisasi menjadi materi muatan konstitusi sebagai hukum tertinggi di Indonesia. Hal itu akan berdampak pada pergeseran paradigma dalam konstruksi hukum, termasuk paradigma terhadap konsep HMN.

Salah satu tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial. Komitmen mewujudkan tujuan tersebut melahirkan suatu kerangka normatif di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pasal ini oleh banyak ahli hukum dijadikan sebagai dasar keberadaan konsep Hak Menguasai Negara (HMN) yang mengatur tentang dasar sistem perekonomian dan kegiatan perekonomian yang dikehendaki dalam Negara Indonesia. HMN bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana lingkup waktu ‘sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’ dalam HMN dimaknai? Apakah terbatas pada kemakmuran rakyat yang ada pada saat ini atau ia memiliki arti yang lebih jauh juga untuk kemakmuran rakyat generasi yang akan datang?

Penjelasan mengenai lingkup tujuan ‘sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’ akan berdampak pada cara kerja hukum ketika konsep HMN diterapkan. Jika HMN yang diperuntukkan ‘sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’ dimaknai untuk generasi saat ini, maka negara dapat mengusahakan sumber daya alam yang ‘dikuasai’ tanpa memperhatikan akibat ekologisnya. Padahal dampak ekologis itu bukan hanya akan merugikan generasi saat ini tetapi juga berimbas pada generasi yang akan datang. Lalu, bagaimana perkembangan konstitusi, UUD 1945, melihat fenomena tersebut? Apakah UUD 1945 yang ada saat ini memaknai peruntukkan HMN sekadar untuk kemakmuran rakyat di masa sekarang? Atau justru berpandangan jauh, juga melihat nasib generasi akan datang untuk dapat menikmati sumber daya yang sama?

Sebelum dilakukan amandemen, Bab XIV UUD NRI 1945 berjudul “Kesejahteraan Sosial” dan hanya ada 3 ayat dalam Pasal 33 tersebut. Setelah perubahan keempat dilakukan, judul Bab XIV mengalami penambahan menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial” dan Pasal 33 mendapat tambahan 2 ayat sehingga total ayat dalam Pasal 33 menjadi 5. Sebagai konstitusi negara, perubahan tersebut tidak dapat diartikan sebagai perubahan begitu saja tanpa ada makna dan implikasi hukumnya.

Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 hasil perubahan keempat mengatur agar perekonomian nasional diselenggarakan berdasar pada demokrasi ekonomi dengan prinsip-prinsip; kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan menjaga keseimbangan kemajuan serta kesatuan ekonomi nasional. Pasal ini menegaskan bahwa perekonomian nasional berdasarkan atas demokrasi ekonomi dimaksud haruslah mengandung prinsip: (i) berkelanjutan dan (ii) berwawasan lingkungan.  Berdasarkan pengaturan tersebut, norma lingkungan hidup mengalami konstitusionalisasi menjadi materi muatan konstitusi sebagai hukum tertinggi di Indonesia. Hal itu akan berdampak pada pergeseran paradigma dalam konstruksi hukum, termasuk paradigma terhadap konsep HMN.

Dengan sendirinya keseluruhan ekosistem seperti yang dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) sebagaimana ditafsirkan secara ekstensif dan kreatif oleh undang-undang di bidang lingkungan hidup, haruslah dikelola untuk kepentingan pembangunan berdasarkan prinsip-prinsip berkelanjutan (sustainable development) dan wawasan lingkungan (pro-environment) sebagaimana ditentukan oleh Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Munculnya muatan materi norma lingkungan hidup dalam UUD NRI 1945 tidak bisa dipisahkan dari fenomena global para akedemisi dan praktisi akhir abad ke-20 masehi. Semangat untuk mengembangkan ilmu dan teknologi dengan dampak lebih baik terhadap lingkungan hidup terjadi dimana-mana pada saat itu.

Salah satu prinsip lingkungan hidup yang lahir pada akhir abad ke-20 ialah intergenerational equity principle (prinsip keadilan antar generasi). Prinsip ini didasarkan pada gagasan reflektif tentang hutang orang-orang di masa saat ini kepada generasi yang akan datang.  Hutang yang dimaksud bertitik tolak pada prinsip keadilan dalam mengakses sumber daya alam. Hal itu berarti bahwa generasi saat ini tidak dibenarkan menghalangi generasi yang akan datang untuk mengakses sumber daya alam yang sama. Dengan adanya materi Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 yang sesungguhnya juga berakar dari prinsip keadilan antar generasi, maka pemaknaan serta pelaksanaan terhadap konsep HMN tidak boleh melalaikan keberadaan aspek ekologi atau lingkungan hidup.

Dengan demikian, konsep HMN yang berparadigma ekologi pasca amandemen keempat UUD NRI 1945 dapat diartikan sebagai suatu kewenangan (hak) yang melalui UUD NRI 1945 dilimpahkan pelaksanaannya kepada negara, atau dalam istilah lain dapat juga disebut sebagai hak subtitutif. Kewenangan tersebut hanya ‘sah’ digunakan semata-mata untuk memakmurkan rakyat (kesejahteraan umum warga Negara Indonesia/democracy)  dan melestarikan lingkungan hidup (ecocraccy),  yang pelaksaannya dituangkan dalam bentuk peraturan-peraturan atau kebijakan (nomocracy).  Artinya, tujuan dari penguasaan itu bukan semata-mata untuk memakmurkan rakyat, melainkan juga dalam rangka menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Dua tujuan penguasaan tersebut adalah integral dan tidak boleh dipisahkan dalam pelaksanaannya. Baca lebih lanjut dalam Jurnal Ilmu Hukum: Fakultas Hukum UniversitasRiau Vol. 9 No. 1 2020.

 

Hamparan Perkebunan Kelapa Sawit yang Terlihat dari Udara di Riau

MHD Zakiul Fikri

"Negara, mengenai kemaslahatan sebesar-besarnya, hanya secara abstrak mengikutsertakan orang-orang yang tinggal di atau dekat lahan yang diambil-alih, padahal mereka ini mungkin mendefenisikan “kemaslahatan sebesar-besarnya” maupun “kepentingan bersama” secara sangat berbeda."

Membayangkan Riau tanpa konflik agraria? Ah, itu, mungkin saat ini, masih berupa mimpi yang jauh panggang dari api. Pada tahun 2015 hingga tahun 2016 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menempatkan Riau sebagai peraih konflik agraria tertinggi di Indonesia. Dan Alhamdulillah, jika tak mau menyebutnya laknatullah, tampaknya prestasi itu masih terus dipertahankan. Menurut laporan KPA sebagaimana dikutip databoks.katadata.com yang ditayangkan sejak tanggal 1 Januari 2021, persebaran konflik agraria di Indonesia sepanjang 2020 masih menempatkan Riau sebagai pemegang jumlah konflik terbanyak. Jika ditelisik lebih dalam, angka konflik yang tinggi ini memiliki latar konstruksi sejarah yang panjang perihal pergulatan terhadap lahan-hutan antara negara bersama perusahaan dengan masyarakat adat atau petani tempatan. Tulisan Nancy Lee Peluso yang berjudul Rich Forests, Poor People [pdf] setidaknya dapat menjadi sumber referensi untuk melihat secara reflektif apa, siapa, darimana dan bagaimana konflik agraria itu terjadi di Riau.

Negara kolonial dan negara masa kini, demikian Peluso, sering mengambil alih kawasan yang luas sebagai hutan, untuk perkebunan, atau proyek pembangunan yang besar, merampas dan mencampakkan sistem hak-hak kepemilikan tanah yang sudah lebih dulu ada dan menetapkan aturan hukum yang baru untuk tata guna tanah dan sumber daya. Sering kali, pengambilalihan ini diberi alasan pembenar dalam klaim bahwa perubahan ini demi “kepentingan bersama” bagi “kemaslahatan sebesar-besarnya.” Negara, mengenai kemaslahatan sebesar-besarnya, hanya secara abstrak mengikutsertakan orang-orang yang tinggal di atau dekat lahan yang diambil-alih, padahal mereka ini mungkin mendefenisikan “kemaslahatan sebesar-besarnya” maupun “kepentingan bersama” secara sangat berbeda. Selain pekerjaan tak tetap sebagai buruh tanpa keterampilan atau buruh setengah-terampil di lahan yang dulunya mereka kuasai, masyarakat adat atau petani lokal hanya memetik sedikit keuntungan saja dari sentralisasi dan pemindahan penguasaan hutan.

Peluso lebih lanjut menyatakan bahwa kemerosotan mutu tanah dan kemiskinan pedesaan Kawasan hutan di banyak negara berawal, atau menjadi parah, sebagai akibat dari hasrat pemerintah untuk menguasai tanah, hasil hutan yang tumbuh di situ dan tenaga kerja yang ada untuk mengolahnya. Pejabat pemerintah dan pengamat ahistoris acap kali mengabaikan asal-mula penataan penduduk berdasarkan ruang, mereka menyalahkan pengguna lahan tanpa mempertimbangkan konteks lebih luas yang memengaruhi keputusan pengguna lahan untuk, misalnya, punya anak banyak, menebang hutan, atau “menambang” tanah pertanian mereka. Sebab itu rimbawan (pejabat dinas kehutanan) sering memandang kegiatan subsistensi tradisional penduduk desa sebagai tindak kejahatan. Mereka mamandang masyarakat lokal bertindak melawan hukum bila menebang kayu di hutan, mengambil pakan ternak, bertani atau menggembalakan sapi di lahan hutan.

Sementara keberadaan perundang-undangan di bidang kehutanan sering kali dimaksudkan untuk melindungi lahan luas dan sumber daya besar atau untuk mencadangkannya bagi orang atau kelompok tertentu untuk dimanfaatkan secara ekslusif. Para pengguna hutan yang tidak berwenang dicap sebagai “pemburu liar,” “pencuri kayu”, atau “penyerobot lahan.” Label-label ini adalah ciptaan ideologis undang-undang ekslusi. Yap, memang pemberian cap demikian menjadi hak prerogratif negara. Padahal, apa yang didefenisikan negara sebagai tindak kriminal sering berbeda secara substantial dengan definisi petani. Tidak diberikannya akses sumber daya vital pada petani padahal dapat menjadi tindak kejahatan paling kejam yang dilakukan negara terhadap petani kecil dan masyarakat adat. Kadang-kadang amarah rakyat yang aksesnya pada sumber daya dirampas tidaklah bersumber pada perampasan itu sendiri, melainkan karena akses itu lalu diserahkan kepada pihak lain yang klaimnya mereka pandang tidak valid.

Ketika keresahan sosial tampaknya dapat meletus, mungkin saja negara dan badan-badannya untuk sementara berupaya memenuhi kebutuhan dan tuntutan kelompok kelas bawah. Dengan “menyerah” atau “mengalah” secara bertahap atau periodik, negara dapat melestarikan kekuasaannya, melanjutkan penguasaannya atas rakyat, sumber daya, dan tanah. Atau ketidakrelaan negara kehilangan kuasa atas sumber daya hutan dapat mendorong negara mengambil tindakan militer atau kepolisian atas nama ketertiban dan pengendalian.

Dalam pandangan Peluso ada setidaknya tiga komponen berkenaan penguasaan akses hutan produksi, yaitu penguasaan tanah; penguasaan/pengendalian spesies; dan penguasaan tenaga kerja hutan. Suatu badan kehutanan negara atau bahkan swasta diperlukan untuk menguasai dan mengendalikan tanah, pohon, dan tenaga kerja guna memenuhi tiga perannya: sebagai tuan tanah, pengusaha hutan, dan lembaga konservasi. Perannya selaku pelindung dan produsen disahkan oleh hukum dan kebijakan pemerintah; fungsi perlindungannya dijalankan oleh rimbawan atau jagawana, di tingkat lapangan, dan polisi hutan. Negara mengklaim hak untuk menetapkan aturan-aturan tentang akses hutan berdasar ketiga mandat tersebut; inilah yang disebut penguasaan ideologis oleh negara yang acap kali juga melibatkan perusahaan swasta. Badan itu memang dipandu oleh ideologi negara, namun tetap punya hak menetapkan pemanfaatan lahan, termasuk spesies apa yang akan ditanam, berapa banyak orang akan dipekerjakan, dan bagaimana produksi akan dijalankan.

Berbagai macam tindakan dilakukan oleh masyarakat adat atau petani lokal untuk menolak dan melawan penguasaan atas lahan hutan dengan merebut kembali tanah hutan untuk digarap sebagai lahan pertanian mereka; mereka menolak dan melawan penguasaan atas spesies pohon hutan dengan “membalas merebut” spesies yang diklaim negara (atau perusahaan lain) dan merusak spesies yang sudah cukup tua untuk ditebang atau menyabot spesies yang baru ditanam; mereka menolak dan melawan penguasaan tenaga kerja dengan pemogokan, memperlambat pekerjaan atau bermigrasi; mereka juga menolak dan melawan penguasaan ideologis dengan cara mengembangkan atau memelihara terus budaya perlawanan. Mereka dicap “menduduki” (tanah negara); “mencuri” (kayu milik negara); “dungu”; “tidak mau maju” dan berbagai istilah yang berkonotasi negatif lainnya. Pelabelan demikian merupakan upaya koersif negara untuk memanipulasi pendapat umum dan untuk “menangani” para petani dan masyarakat adat yang melakukan perlawanan. Walhasil, berkembanglah bentuk interaksi budaya dan politik yang kompelks antara birokrasi kehutanan negara (atau perusahaan) dengan petani dan masyarakat adat. SEKIAN.


Older Posts Home

singgalamaibookshop

singgalamaibookshop

Populer post

Jawaban Islam Atas Kegelisahan Feminisme Barat

ABOUT

Tempat menulis secara deskriptif ataupun analitis, tentang segala macam hal. Konon, bualan sehebat apapun tanpa rekam tulisan akan sirna seiring hapusnya kenangan. Sementara, corat-coret tak berguna akan tetap abadi selama rezim tidak memblokadenya.

Categories

  • Home
  • Agama
  • Bincang Buku
  • Pendidikan dan Kebudayaan
  • Polhukam
  • Sejarah dan Pergerakan
  • Travjoy

Contact form

Name

Email *

Message *

Designed By Goresan Intelektual | Distributed By Goresan Intelektual