Oleh : MHD. Zakiul Fikri
Perpecahan Muhammadiyah dan NU seungguh-sungguh pernah terjadi. Hal itu konon akibat dari perebutan gelar sebagai umat Islam yang paling benar sendiri, yang paling dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Namun masalahnya, benarkah Allah dan Rasul-Nya menginginkan perpecahan umat Islam? Tentu tidak.Insya Allah perselisihan paham antara Muhammadiyah dan NU bisa dibenahi. Sisa-sisa ketegangan bisa kendur. Keduanya akan akur. Umat akan bersatu. Tidak lagi saling menyalahkan dan merasa benar sendiri. Sebab antara Muhammadiyah dan NU akarnya sama. Sejarahnya sama, satu saudara, tunggal guru, tunggal ilmu. Politiklah yang membuat mereka berseberangan. Politiklah yang menciptakan adu domba. Padahal keduanya sama-sama ormas Islam, sama-sama organisasi dakwah, sama-sama membina dan melayani umat. Tetapi oleh politik hal itu dibumbui ideologi. Muhammadiyah dan NU dijadikan ideologi. Satu sama lainnya dikompor-kompori.
Tidak perlu
menunggu milad satu abad. Begitu Allah memfirmankan Kun Fayakun, kedewasaan bisa hadir tanpa dilumuti kerak usia.
Kesadaran menauhidkan Allah, menauhidkan masyarakat, dan menauhidkan Indonesia,
bisa segera terpasang dinalar kita dalam semalam. Keangkuhan mazhab bisa lebur
dalam sekali goreng saja. Dan tidak ada yang perlu ditakutkan lagi semua aliran
hulu akhirnya menyatu kelaut juga. Semua beda akan menyatu dalam rezim
persatuan sebagaimana dikumandangkan kitab suci.
Oleh karena itu,
tiada dilema lagi. Orang Muhammadiyah dan NU tidaklah seperti yang kita kira.
Mereka bukanlah manusia berbedak debu tebal yang baru menamatkan proses
evolusinya di rimba belantara dan mengomel dengan bahasa Tarzan. Mereka adalah
kaum beradab yang tidak perlu disuruh-suruh mandi di hulu. Sebab, mereka bersih
secara alami, seperti ikan di laut yang lebih bersih dari artis ibu kota.
Mereka mengerti Al-Qur’an dan Hadis sedari dulu, sebab Islam telah memasuki
perairan Nusantara ribuan tahun yang lalu. Hingga khutbah bertajuk kembali
kepada Al-Qur’an dan Hadis yang manisnya dibibir seperti madu tapi isinya yang
gemar mengafirkan dan membid’ahkan sepahit empedu itu pun turut larut bagai
tersapu ombak. Dilema dakwah Muhammadiyah telah tawar oleh dewasanya waktu,
khutbah nyinyir kaum yang benci pada persatuan Islam bisa reda oleh dewasanya
umat kita. Ikan di laut yang dikhutbahkan agar mandi dihulu itu pun bisa
menerima dakwah itu dengan damai, sedamai larutnya dilema oleh Kun Fayakun.
Muhammadiyah
sendiri adalah rumah besar kaum pembaharu Islam, setidaknya sejak tahun1921
saat Belanda memberikan izin membuka cabang disemua wilayah jajahan Nusantara.
Pembaruan itu memasuki persimpangan jalan ditahun 1925, saat Ibn Saud memenangi
Hijaz dan hendak mendirikan kekhalifahan berpaham Wahhabi. Muhammadiyahpun
terpikat. Suara keberatan ulama pesantren tak terwakili. Di titik itulah NU
lahir tahun 1926 untuk memprotes langsung si Raja Arab, sebab paham Wahhabi
akan menggusur semua amalan khas pesantren. Protes itupun manjur hingga Ibn
Saud membatalkan niatnya tahun 1927.
Kitab Fiqih Muhammadiyah1924 yang dikarang dan
diterbitkan oleh Bagian Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1924
sesungguhnya bukan hanya warisan berharga bagi kaum Muhammadiyah saja,
melainkan juga bagi NU. Kitab itu juga kitabnya orang NU. Isinya sama dengan
kitab-kitab pesantren yang banyak diajarkan dalam dunia NU.
Masalahnya
hanyalah satu hal, bahwa ditahun 1924 itu, NU belum lahir! NU lahir tahun 1926.
Dua tahun setelah kitab itu terbit. Dan hingga hari ini, isi ajaran fiqih yang
diajarkan kitab itu masih terpelihara sebagai amalan orang NU. Amalan itu pula
yang telah turun-temurun sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu diperairan Nusantara
ini, yaitu fiqih mazhab Syafi’i.
Muhammadiyah
adalah gerakan dakwah yang menyampaikan ajaran Islam yang sudah ada kala itu di
Kesultanan Yogyakarta yang menganut mazhab Syafi’i, bukan berdakwah dari nol.
Kiai Dahlan sendiri mendapat ilmunya dari ulama-ulama yang sama tempat
kiai-kiai NU menimba ilmu. Satu guru satu ilmu, bahkan satu keluarga. Kiai
Dahlan Muhammadiyah dan Kiai Hasyim NU adalah sama-sama keturunan Sunan Giri.
Perpecahan
Muhammadiyah dan NU seungguh-sungguh pernah terjadi. Hal itu konon akibat dari
perebutan gelar sebagai umat Islam yang paling benar sendiri, yang paling
dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Namun masalahnya, benarkah Allah dan Rasul-Nya
menginginkan perpecahan umat Islam? Tentu tidak.
Kendatipun
perpecahan adalah sunnahtullah, sudah takdir, sudah hukum alam, tetapi apakah
pihak-pihak tertentu yang sejak awal merencanakan perpecahan itu lantas
dibebaskan dari dosa? Dan generasi masa kini pewaris perpecahan itu apa cukup
diam seperti batu yang menyerahkan nasibnya kepada waktu yang melumutinya dan
melapukinya? Sedangkan semut kecil saja mampu bersatu bergotong-royong
menciptakan rumah bersama yang kuat untuk mempertahankan keberadaannya dari
serangan luar.
Entah kemana
akal pikiran kita saat kelompok kita diuntungkan oleh inggar-binggarnya
kemenangan perang, hingga hati pun mati rasa saat melihat saudara sendiri yang
lain paham tersakiti oleh kepahitan hidup.
Hanya sebab beda
paham, seorang ayah dan anaknya serta menantu bisa saling mengkafirkan dan
memusuhi. Hingga perpecahan itu merebak ke segala bidang dan meluas sedari
lingkup keluarga hingga negara, dan menjadi makin rumit ketika perpecahan itu
dilembagakan kedalam organisasi-organisasi berpaham beda yang makin hari makin
banyak jumlahnya.
0 comments