ilustrasi gambar: dokumentasi HMI Cabang Yogyakarta
Oleh: MHD. Zakiul Fikri
Mula-mula Sekolah Tinggi IslamUII adalah ibunda kandung Ideologi, spirit dan cita-cita yang melahirkan HMI. Ia pun dapat disebut sebagai Maria bagi HMI, seorang perempuan suci yang mengandung bayi revolusi bernama HMI. Walau kemudian hari HMI dilepas merantau dan hidup mandiri oleh Maria sebab tuntutan dakwah Islamiyah. Namun, itulah konsekuensi hidup seorang anak revolusi. Meski sejauh mana pun kaki melangkah dan seenak apapun pohon tempat bersandar di saat lelah dalam berjuang mewujudkan cita-cita. Tetap saja, UII adalah ibu, yang dalam pelukannya HMI akan kembali; tempat menangis dan mengadu tentang lelahnya jalan perjuangan ini.
Mengkaji ulang sejarah awal munculnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
tidak bisa berlepas diri dari sejarah Sekolah Tinggi Islam (STI), yang kemudian
hari berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Oleh karena itu,
ada baiknya ‘dikulitin’ terlebih dahulu sejarah lahirnya STI atau UII agar
kemudian menjadi terang benang sejarah antara HMI dengan UII. Setidaknya, terus
terang saja, agar jelas pula posisi UII selaku bunda Maria alias Emak tercinta yang di ‘rahimnya’ HMI
pernah dikandung sebelum ia dilahirkan ke dunia.
Begini, mula-mula munculnya ide pembentukan STI tidak bisa dipisahkan
dengan dinamika pemikiran dan perkembangan Islam di Indonesia dari awal abad
ke-20 M. Pada masa itu, umat muslim Indonesia mulai memberi interpretasi
rasional terhadap ajaran Islam dengan menata kehidupan berjamaahnya secara
modern. Jalan yang dipilih oleh umat Islam pada masa itu dengan mulai
dibentuknya asosiasi. Maka dalam perkembanganya, lahirlah organisasi Islam yang
bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial, ekonomi dan politik.[1]
Sejarah mencatat, sejak tahun 1905 berturut-turut mulai berdiri
organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Dimulai dari Sarekat Dagang Islam yang
kemudian menjadi Sarekat Islam di Surakarta, lalu Jami’at Khair pada tahun 1905
di Jakarta, Persyarikatan Ulama di Majalengka tahun 1911, Persyarikatan
Muhammadiyah pada tahun 1912 di Yogyakarta, Al-Islah wal Irsyad tahun 1914 di
Jakarta, Persatoean Oemat Islam tahun 1917, Persatuan Islam di Bandung pada
tahun 1923, Nahdlatul Ulama di Surabaya pada tahun 1926, dan lain-lainnya.[2]
Dengan berdirinya berbagai organisasi Islam, maka empat puluh tahun pertama abad ke-20 M sebenarnya pun telah banyak berdiri
lembaga-lembaga pendidikan Islam. Namun, lembaga-lembaga pendidikan Islam itu
tidak bertahan lama, alias hanya bertahan sementara. Selain itu, kemunculan lembaga-lembaga
pendidikan Islam di awal abad ke-20 M belum berjiwa persatuan. Karena didirikan
secara sporadik oleh masing-masing asosiasi. Meskipun corak keterpisahan itu
tidak menimbulkan pertentangan antara satu dengan yang lain, tetapi jelas
kekuatan pendukungnya tidaklah sekuat seandainya lembaga pendidikan Islam itu
didirikan bersama-sama oleh organisasi-organisasi Islam. Sebetulnya, sebelum
kemerdekaan Indonesia dikumandangkan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1945, telah
berdiri sebuah perguruan tinggi Islam yang bercorak persatuan. Perguruan tinggi
itu merupakan hasil dari Muktamar Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI). Hanya
saja tidak bertahan lama, karena pada tahun 1941 terpaksa berhenti disebabkan
oleh situasi politik, yaitu pecahnya Perang Dunia II.[3]
Tak kala Jepang memasuki Indonesia, lalu mengambil alih jalannya roda
pemerintahan, organisasi politik dibubarkan. MIAI yang dianggap tidak bersifat
politik masih diizinkan untuk terus beroperasi. Tapi MIAI diharuskan berganti
nama. Maka berdasarkan kesepakatan para ulama dan pemimpin-pemimpin Islam
disepakatilah perubahan nama MIAI menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia,
disingkat Masyumi. Pada awal tahun 1945, Masyumi dalam suatu musyawarahnya
melahirkan dua keputusan, yaitu;[4]
Pertama, membentuk laskar bersenjata bernama Hizbullah; dan
Kedua, mendirikan perguruan tinggi Islam bernama Sekolah Tinggi Islam.
Sebagai tindak lanjut, pada bulan April 1945 Masyumi mengundang para
ulama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kalangan untuk lebih mengkonkritkan
rencana pendirian STI. Pertemuan dihadiri oleh utusan-utusan dari; a) Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama, b) Pengurus Besar Muhammadiyah, c) Pengurus Besar Persatuan
Umat Islam, d) Pengurus Besar Persatuan Umat Islam Indonesia, e) Kalangan Ulama dan Cendekiawan Muslim
lainnya, dan f) Kantor Urusan Agama (Shumubu).
Hasil dari musyawarah memutuskan dibentuknya Panitia Perencana STI dengan
susunan sebagai berikut:[5]
Ketua :
Drs. Mohammad Hatta
Wakil Ketua :
Mr. Soewandi
Sekretaris :
Dr. Ahmad Ramli
Anggota : K.H. Mas Mansur, K.H.A. Wahid
Hasjim, K.H.R. Fatchurrah-
man Kafrawi, K.H. Farid Ma’ruf, dan K.H. Abdul Kahar
Muzakkir
Notulis : Kartosoedarmo
Jika dilihat dari perjalanan sejarahnya, maka pendirian STI
dilatarbelakangi oleh beberapa hal, yaitu:
Pertama, Kemerdekaan Negara Indonesia suatu waktu akan
menuntut pengisian dari kalangan intelektual Islam, calon-calon pemimpin negara
menggantikan pemerintah kolonial penerus generasi akan datang;
Kedua, Diperlukan adanya perguruan tinggi yang
mengintegralkan antara ilmu agama dan ilmu umum;
Ketiga, Diperlukan suatu perguruan tinggi yang dimiliki oleh
seluruh umat Islam yang berlandaskan ajaran-ajaran Islam dan merupakan wadah
persatuan seluruh umat Islam menanggulangi pengaruh kehidupan Barat yang dibawa
oleh Penjajah; dan
Keempat, Pengaruh kebangkitan Nasional dan kebangkitan dunia
Islam pada umumnya yang melahirkan gerakan-gerakan melawan penjajah dengan
menggunakan sistem modern.[6]
Singkat cerita, setelah segala persiapan dianggap cukup, upacara
pembukaan STI dilakukan pada hari bersejarah Isra Mi’raj Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alai Wasallam 27 Rajab 1364
H bertepatan dengan 8 Juli 1945. Dipilihnya tanggal tersebut dengan harapan STI
mendapat tafa’ul pada masa-masa
selanjutnya. Pada momen ini pula Ir. Soekarno menyampaikan sambutannya dengan
harapan agar STI menjadi pusat pengetahuan keislaman dari seluruh Asia, seperti
juga Sriwijawa yang pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan agama Budha.
Kemudian, Rektor STI pertama, K.H. A. Kahar Muzakkir menyampaikan pidato ilmiah
tentang pentingnya pendidikan menurut ajaran Islam.[7]
Dalam perjalanan selanjutnya, empat puluh hari setelah berdirinya STI
terjadilah peristiwa yang teramat bersejarah di bumi Indonesia, yakni
proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasca proklamasi
kemerdekaan tersebut, yang menandai berakhirnya pendudukan Jepang di Indonesia.
Bentrokan bersenjata kembali terjadi di berbagai tempat antara pasukan Netherlands East Indies Civil Affairs (NICA)
dengan pejuang Indonesia yang gigih mempertahankan kemerdekaan. Disebabkan
situasi politik yang tidak aman, maka pada tahun 1946 pusat pemerintahan
Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Sebagai anak kandung
revolusi Indonesia, STI pun ikut hijrah ke Yogyakarta.[8]
Menurut A. Karim Halim, sebagaimana dikutip oleh Anwar Harjono dan Lukman
Hakiem, setidaknya terdapat dua alasan kenapa STI hijrah ke Yogyakarta. Pertama, suasana Jakarta yang berada
dalam situasi perang tak menentu. Hal itu tidak menjamin kelancaran
perkuliahan. Kedua, hijrahnya
pemerintahan ke Yogyakarta mempengaruhi kelangsungan STI, karena banyak dosen
dan pengurus STI merupakan pejabat pemerintahan Republik Indonesia kala itu.
Aktivitas STI secara resmi kembali dibuka di Yogyakarta pada tanggal 10 April
1946. Pada saat momen pembukaan kembali STI itu, Ir. Soekarno berpidato, “Dirikanlah Pergedungan Universitas Islam
Indonesia dengan corak Nasional yang dijiwai Islam dan hendaknya merupakan
pergudangan Universitas yang terbesar di Asia Tenggara.[9]
14 Rabiulawwal 1366 H, Momen Sejarah di STI oleh
Mahasiswa STI
Kurang dari setahun dibukanya kembali STI di Yogyakarta, suatu hari di tanggal
14 Rabiulawwal tahun 1366 H atau bertepatan dengan tanggal 5 Februari tahun
1947, di salah satu ruang kuliah pada waktu perkuliahan Tafsir Qur’an yang
dihantarkan oleh Prof. Husein Yahya kembali terjadi momentum bersejarah di STI.
Menurut versi Victor Tanja, setelah mendapat izin dari Prof. Husein Yahya,
Lafran Pane yang merupakan seorang mahasiswa tingkat pertama STI bersama-sama
dengan Kartono, Dahlan Husein dan Maisaroh Hilal yang kesemuanya merupakan
mahasiswa STI memberikan pernyataan resmi bahwa sebuah organisasi untuk semua
mahasiswa Muslim telah didirikan dan bernama Himpunan Mahasiswa Islam (disingkat HMI).[10]
Lain lagi cerita sejarah menurut Agussalim Sitompul, ia menjelaskan
bahwa yang hadir pada momen deklarasi pendirian HMI tanggal 5 Februari 1947 di
kelas Tafsir Qur’an yang diampuh Prof. Husein Yahya tidak hanya empat orang
saja. Tapi, keseluruhan berjumlah 15 orang dan semuanya merupakan mahasiswa STI.
Mereka yang berjumlah 15 orang itu terdiri atas; Lafran Pane, Kartono Zarkasyi,
Dahlan Husein, Maisaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainah,
Muhammad Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Muslim dan
Badron Hadi.[11]
Bukan tanpa alasan HMI lahir, artinya HMI tidak muncul dari kehampaan
pemikiran. Melainkan dia hadir dari dialektika ilmu yang dialami oleh pemrakarsanya,
Lafran Pane. Selaku mahasiswa STI, dialektika ilmu dan pandangan realitas
sosial seorang Lafran Pane sedikit banyaknya tentu dipengaruhi oleh semangat
dan cita-cita STI. Singkatnya, HMI lahir atas kegelisahan pemikiran seorang
mahasiswa STI yang hendak ikut serta mewujudkan cita-cita mulia STI, yakni
berjuang untuk agama, bangsa dan negara.
Ketika ia memprakarsai sekaligus mendeklarasikan beridirinya HMI, Lafran
Pane adalah Ketua III Senat Mahasiswa STI sekaligus merangkap juga sebagai
pengurus PMY (Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta). Posisi strategis yang
diembannya dalam dua organisasi kemahasiswaan itu membuat ia mengenal banyak
mahsiswa di Yogyakarta.[12]
Ia berkesempatan untuk mengumpulkan teman-teman sesama mahasiswa muslim
kemudian membicarakan bagaimana seharusnya menghadapi tantangan zaman dan
menyusun pedoman sebagai penyalur cita-cita para cendekiawan muslim muda pada
waktu itu.[13]
Selanjutnya, jika kelahiran STI ditenggarai oleh tuntutan perkaderan dan
perjuangan dalam hal mempertahankan dan mengembangkan agama Islam serta Negara
Republik Indonesia. Maka faktor yang melatarbelakangi Lafran Pane memprakarsai
lahirnya HMI lebih kurang sama. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa
alam pikir Lafran Pane dipengaruhi oleh indoktrinasi keluhuran jiwa dan
cita-cita mulia STI. Dari sini mulai terang koherensi sejarah antara UII dengan
HMI. Bahkan, Agussalim Sitompul tanpa ragu menjelaskan,[14]
Kondisi obyektif yang mendorong berdirinya HMI, pertama, kebutuhan penghayatan keagamaan
Mahasiswa yang sedang menuntut ilmu pengetahuan di Perguruan Tinggi, yang
selama ini belum mereka dapatkan. Pada umumnya Mahasiswa kurang memahami,
menghayati dan mengamalkan agamanya. Kedua,
tuntutan perjuangan bangsa Indonesia untuk mengusir penjajah, mempertahankan
proklamasi 17 Agustus 1945, mutlak memerlukan persatuan dan kesatuan serta
pengarahan segenap potensi dan kekuatan dari segenap rakyat, khususnya pemuda,
mahasiswa. Ketiga, adanya Sekolah
Tinggi Islam atau STI, sebagai ajang dan basis perjuangan yang sangat strategi.
Keempat, ummat Islam Indonesia
mayoritas, dan degan sendirinya Mahasiswa pun mayoritas beragama Islam.
Berkenaan dengan pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama Islam. Setelah
2 tahun berdiri, tepatnya pada saat menyampaikan pidato dengan judul Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia
di hadapan forum Kongres Muslimin Indonesia tanggal 20-21 Desember tahun 1949,
Lafran Pane mengatakan banyak kelompok terpelajar Islam malu berterus terang
bahwa ia beragama Islam dan dianggapnya agama Islam tidak lagi sesuai dengan
zaman, singkatnya, agama Islam dipandang rendah di mata mereka.[15]
Lebih lanjut, hingga masa awal kemerdekaan Negara Republik Indonesia masih
terdapat tiga kelompok yang menggambarkan keadaan sosio-religius umat Islam di
Indonesia dalam kaca mata keilmuan seorang Lafran Pane, mereka ialah,
1.
Golongan alim ulama dan
pengikut-pengikutnya, yang mengenal dan mempraktikkan Agama Islam sesuai dengan
yang dilakukan Nabi Muhammad saw. Seperti tersebut dalam hadits-hadits dan
riwayat. Kalangan ini pada pokoknya bermaksud hendak beragama layaknya pada
zaman Nabi Muhammad dan sesuai dengan kebudayaan Arab era Nabi Muhammad;
2.
Golongan sufistik buta yang
terpengaruh oleh mistik yang menyebabkan mereka ini menganggap, bahwa hidup ini
adalah untuk akhirat belaka. Mereka tidak begitu memikirkan lagi kehidupan di
dunia ini, apalagi untuk memperhatikan pengaruh perubahan-perubahan dalam
masyarakat Indonesia dan dunia; dan
3.
Golongan kecil yang mencoba
menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman selaras dengan wujud dan hakekat dari
agama Islam. Mereka berusaha suapaya agama itu benar-benar dapat dipraktekkan
dalam masyarakat Indonesia.[16]
Golongan pertama muncul dari fenomena pembaharuan pemikiran Islam di
Indonesia, yang maksud idealnya ingin mengembalikan ajaran Islam kepada
al-Qur’an dan Sunnah persis sebagaimana adanya teks. Kelompok ini kemudian yang
dikenal sebagai kelompok pembaharuan Islam, atau modern. Meski berkedok
modernisasi ajaran Islam, namun hakikatnya merupakan kemunduran intelektual.
Kemudian golongan kedua ialah golongan sufistik yang menerima kenyataan
akulturasi budaya dengan Islam. Maka kelompok ini dikenal juga dengan golongan
islam tradisional. Berdasarkan dialektika ilmu dan analisa intelektual yang
dilakukannya, Lafran Pane menilai bahwa sesungguhnya kedua kelompok tersebut
sama saja kolotnya.[17]
Lafran Pane memandang munculnya pengelompokan ini merupakan salah satu
penyakit umat Islam saat itu. Penyakit, sebagaimana diungkapkan oleh
Kuntowijoyo, bagi umat Islam yang juga merupakan dilema berat yakni lahirnya
faksi-faksi (golongan-golongan). Faksionalisme Islam dalam pandangan keagamaan
ada yang disebut “modern” dan “kolot”. Dan ini merupakan kelemahan gerakan
Islam.[18]
Oleh karena itu, sebagai penengah dua golongan itu, muncul golongan ketiga yang
lebih terbuka (inklusif) dibanding golongan pertama dan kedua. Inilah salah
satu faktor fundamentiil dari lahirnya HMI. Sebagai penengah bagi mahasiswa
Islam yang berasal dari berbagai kalangan atau golongan organisasi Islam.
Seperti halnya STI, ia adalah perguruan tinggi Islam yang menjadi milik semua
golongan. Demikian pun dengan HMI, ialah adalah organisasi mahasiswa Islam yang
menjadi milik semua golongan.
Selanjutnya, berkenaan pula dengan kebangsaan (keindonesiaan) dan STI,
Agussalim Sitompul menjelaskan bahwa gerakan mahasiswa STI dengan semangat
idealismenya telah melahirkan HMI. Lahirnya HMI merupakan keharusan sejarah,
dan mempunyai arti dan tempat sendiri dalam sejarah perjuangan nasional. HMI
dengan idealisme pemikirannya telah ikut membuat sejarah serta mewariskan nilai
perjuangan dan pemikiran berupa kebulatan tekad mempertahankan Negara Republik
Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia serta menegakkan dan
mengembangkan ajaran agama Islam. Tekad itu yang tergambar dalam rumusan tujuan
HMI pertama kali diikrarkan berdiri tanggal 5 Februari tahun 1947.[19]
UII dan HMI; Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya
Ibarat kata pepatah buah jatuh takkan jauh dari pohonnya. Begitupun
antara STI dan HMI. HMI yang lahir dari alam ideologi, semangat dan cita-cita
yang sama dengan STI yakni mengembangkan dan menyebarkan syiar Islam serta
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. Konsekusnsinya, rumusan
tujuan antara STI dan UII-pun mempunyai kesamaan yang sukar untuk dimaknai
lain. Misal, STI yang secara resmi dinyatakan berubah nama menjadi UII pada
Dies Natalisnya yang ketiga tanggal 27 Rajab 1367 H bertepatan dengan tanggal
10 Maret 1948,[20]
memiliki tujuan “Untuk adanya perguruan
tinggi yang memberikan pelajaran dan pendidikan tinggi tentang ilmu-ilmu agama
Islam dan ilmu-ilmu masyarakat agar menjadi pusat penyiaran agama dan
memberikan pengaruh Islam di Indonesia.”[21]
Rumusan tujuan UII agar menjadi pusat penyiaran agama dan memberikan
pengaruh Islam di Indonesia kemudian diejawantahkan ke dalam rumusan tujuan HMI
dengan bunyi, “Mempertegak dan
mengembangkan agama Islam.” Tidak cukup di situ, dalam konteks kebangsaan
atau keindonesiaan dirumuskan pula tujuan dengan kalimat, “Mempertinggi derajat rakyat dan Negara Republik Indonesia.” Dengan
apa derajat rakyat dan Negara Republik Indonesia itu ditinggikan? Dijawab dalam
Pasal V Anggaran Dasar pertama kali HMI berdiri, menjelaskan tentang usaha yang
hendak dilakukan HMI dalam rangka mewujudkan tujuannya itu, diantaranya:
1.
Memperluas
dan memperdalam pengetahuan dalam agama Islam bagi mahasiswa khususnya dan
rakyat Indonesia umumnya;
2.
Menghidupkan
jiwa Islam dalam hati rakyat; dan
3.
Bekerja
bersama-sama dengan lain-lain golongan dalam mengejar maksud dan tujuannya,
baik ke dalam maupun ke luar negeri.[22]
Berdasarkan catatan sejarah di atas, maka teranglah garis sejarah dan
juga nafas sejarah antara UII dengan HMI. UII adalah ibunda kandung Ideologi,
spirit dan cita-cita yang melahirkan HMI. Ia pun dapat disebut sebagai Maria
bagi HMI, seorang perempuan suci yang mengandung bayi revolusi bernama HMI.
Walau kemudian hari HMI dilepas merantau dan hidup mandiri oleh Maria sebab
tuntutan dakwah Islamiyah. Namun, itulah konsekuensi hidup seorang anak
revolusi. Meski sejauh mana pun kaki melangkah dan seenak apapun pohon tempat
bersandar di saat lelah dalam berjuang mewujudkan cita-cita. Tetap saja, UII
adalah ibu, yang dalam pelukannya HMI akan kembali; tempat menangis dan mengadu
tentang lelahnya jalan perjuangan ini.
[1]
Anwar Harjono dan Lukman Hakiem, Di
Sekitar Lahirnya Republik: Bakti Sekolah Tinggi Islam dan Balai Muslimin
Indonesia Kepada Bangsa, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, [Tanpa Tempat],
1997, Hlm. 3
[2]
Ibid.
[3]
Supardi, dkk., Setengah Abad UII: Sejarah
Perkembangan Universitas Islam Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 1994, Hlm.
19
[4]
Anwar Harjono dan Lukman Hakiem, Op. Cit., Hlm. 5
[5]
Ibid., Hlm. 6
[10] Victor Tanja, Himpunan Mahasiswa Islam: Sejarah dan Kedudukannya di Tengah
Gerakan-Gerakan Muslim Pembaharu di Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta,
1982, Hlm. 52-53
[11] Agussalim Sitompul, HMI dalam Pandangan Seorang Pendeta: Antara
Impian dan Kenyataan, CV Misaka Galiza, Jakarta, 2008, Hlm. 50-51
[12] Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan Relevansinya Dengan
Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Integrita Dinamika Press, Jakarta,
1986, Hlm. 38
[15] Lafran
Pane, “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia”, dalam Agussalim
Sitompul (Ed.), HMI Mengayuh di Antara
Cita dan Kritik, Aditya Media, Yogyakarta, 1997, Hlm. 4
[16] Lafran Pane dalam Agussalim
Sitompul, Historiografi Himpunan Mahasiswa Islam Tahun 1947-1993,
Intermasa, Jakarta, 1994, Hlm. 253-254
[22] Agussalim Sitompul, Historiografi
Himpunan…, Op. Cit., Hlm. 13
0 comments