Kesesatan Berpikir Majelis Hakim, Ancam Kelestarian Pegunungan Meratus
ilustrasi gambar: detik.com
Oleh: MHD. Zakiul Fikri
Divonis Niet Ontvankelijke
VerklaardMH terfokus pada sisi materi SK yang digugat, sehingga seolah objek gugatannya adalah materi SK Menteri ESDM No. 441.K/30/DJB/2017 tepatnya perihal perjanjian karya/kontrak karya. Tentu hal ini merupakan tindakan fallacy yang dilakukan MH, yakni pada kaidah non causa pro causa atau post hoc ergo propter hoc (sesuatu yang sejatinya bukan sebab tetap saja ngotot dianggapnya sebab). Padahal, objek dalam perkara ini adalah SK itu sendiri, yang merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). SK atau dalam istilah Belanda disebut dengan Beshickking merupakan objek perkara dalam PTUN. Hal ini diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Sukar untuk memahami secara betul bagaimana duduk perkara kasus
gugatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan (Kalsel) atas Surat Keputusan
(SK) Menteri ESDM No. 441.K/30/DJB/2017. Bahkan, kesukaran itu termasuk dalam memahami
proses analisa dan penyusunan berkas oleh penggugat hingga proses acara ke Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Hanya saja, segenap masyarakat yang mengimpikan
kelestarian lingkungan hidup patut kecewa jika ikhtiar memperjuangkan
kelestarian pegunungan Meratus harus mengalah dari rakusnya pengelolaan energi yang menekankan pada kepentingan
antroposentris semata, tanpa mempertimbangkan relasi integral antara kepentingan tersebut dengan kepentingan ekologis.
Sebagai negara hukum, proses peradilan selalu terbuka bagi para
pejuang kelestarian pegunungan Meratus, sebuah pegunungan terindah di Kalimantan
Selatan versi tripadvisor.co.id. Oleh sebab itu, analisa dan gugatan baru mesti
diikhtiarkan dengan belajar dari hasil putusan PTUN Jakarta lalu. Sebagaimana
diketahui bahwa hasil putusan PTUN Jakarta atas perkara gugatan yang diajukan
oleh Walhi Kalsel berkenaan dengan SK izin pengelolaan lahan di areal
pegunungan Meratus ialah Niet
Ontvankelijke Verklaard (NO) atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan
gugatan tidak dapat diterima.
Secara teori, NO terjadi karena gugatan yang diajukan memiliki
cacat formil, baik disebabkan; 1) Gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan
surat kuasa yang tidak memenuhi syarat sesuai ketentuan Pasal 123 ayat (1) HIR;
2) Gugatan tidak memiliki dasar hukum; 3) Gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium; dan 4) Gugatan
mengandung cacat obscuur libel, ne bis in idem, atau melanggar
yurisdiksi absolut atau relative institusi peradilan tempat diajukannya gugatan.
(M. Yahya Harahap dalam Hukum Acara
Perdata)
Fallacy yang Dilakukan Hakim
Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) ditentukan oleh Majelis Hakim (MH), sebab itu seharusnya
pihak penggugat sedapat mungkin jangan berbuat tindakan keliru yang memberi
celah bagi terjadinya NO atas gugatan yang diajukan. Bagaimana bila celah-celah
NO sudah tertutup baik, tapi tetap diputus NO? Dalam kasus yang demikian, bisa
jadi MH yang memutus perkara keliru dalam mengambil putusan (vonis). Mengapa MH jangan-jangan keliru
memutus perakara ini? Salah satu pertimbangan MH dalam putusannya atas gugatan
Walhi terhadap SK Menteri ESDM No. 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap
Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara PT Mantimin Coal
Mining Menjadi Tahap Kegiatan Operasi Produksi di Balangan menyatakan bahwa
PTUN Jakarta tidak berwenang memutus perkara tersebut, sebab kontrak karya
terkait perjanjian antara pemerintah dan PT Mantimin Coal Mining (PT MCM)
berada dalam ranah hukum perdata. (banjarmasin.tribunnews.com: 24/10/2018)
Jika ditelusuri kembali salah satu pertimbangan yang ada dalam
putusan, maka ditemukan adanya kekeliruan MH dalam menempatkan objek gugatan.
MH terfokus pada sisi materi SK yang digugat, sehingga seolah objek gugatannya
adalah materi SK Menteri ESDM No. 441.K/30/DJB/2017 tepatnya perihal perjanjian
karya/kontrak karya. Tentu hal ini merupakan tindakan fallacy yang dilakukan MH, yakni pada kaidah non causa pro causa atau post
hoc ergo propter hoc (sesuatu yang sejatinya bukan sebab tetap saja ngotot
dianggapnya sebab). Padahal, objek dalam perkara ini adalah SK itu sendiri,
yang merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). SK atau dalam istilah
Belanda disebut dengan Beshickking
merupakan objek perkara dalam PTUN. Hal ini diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang
(UU) No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Kekeliruan lain yang dilakukan MH ialah ketidakcakapan MH dalam
memahami payung hukum dari pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di
Indonesia. Padahal, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batura
secara eksplisit mencabut bentuk pemberian legalitas pengusahaan pertambangan
dan mineral di Indonesia melalui mekanisme Perjanjian Karya atau Kontrak Karya.
UU No. 4 Tahun 2009 telah menggeser konsep Kontrak Karya ke Perizinan. Sehingga
SK Menteri ESDM No. 441.K/30/DJB/2017 tersebut memiliki kecacatan materiil yang
bertentangan dengan perundang-undangan yang masih berlaku di Indonesia.
Jika materi berupa bentuk hubungan hukum yang terdapat di dalam
SK Menteri ESDM tersebut memiliki kecacatan. Lalu, bagaimana dengan prosedur
dan mekanisme lainnya berkaitan dengan proses perolehan SK Menteri ESDM No.
441.K/30/DJB/2017, apakah sudah memenuhi prosedur berdasarkan ketentuan UU No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta
Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan?
Pertanyaan-pertanyaan ini harusnya dibahas secara serius oleh MH ketika memutus
perkara. Namun sayang, MH terburu-buru berpikir bahwa objek gugatan dalam
perkara ialah kontrak karya yang menjadi hubungan hukum dalam SK Menteri ESDM
tersebut. Dengan demikian, perkara akhirnya diputus NO atau Niet Ontvankelijke Verklaard.
Langkah Selanjutnya Pasca Putusan
Putusan hakim PTUN Jakarta atas perkara gugatan yang diajukan
Walhi Kalsel terhadap SK Menteri ESDM No. 441.K/30/DJB/2017 bagaimana pun harus
diakui sudah menjadi produk peradilan. Akan tetapi, putusan tersebut masih memiliki
ruang untuk dikritik, dengan melakukan eksaminasi. Hasil eksaminasi itulah
menjadi dasar pijakan bagi penggugat untuk melanjutkan perkaranya ke tingkat
Banding atau bahkan Kasasi. Bila memungkinkan, hasil eksaminasi menemukan
materi gugatan yang baru, maka dapat diajukan gugatan baru ke PTUN. Poin
pentingnya ialah bahwa SK Menteri ESDM dan kekeliruan putusan hakim yang dapat
mengancam kelestarian lingkungan pegunungan Meratus harus terus diperjuangkan
agar dicabut dan/atau dibatalkan.
0 comments