Benarkah HMI Menolak Pancasila? Bagian 2: Pleno III PB HMI di Ciloto tahun 1985
ilustrasi gambar: dokumentasi penulis
Oleh: MHD. Zakiul Fikri
Post Kongres XV MedanTempo edisi Mei 1985 memberitakan PB HMI telah ‘digadaikan’ ke pemerintah oleh Harry Azhar Azis seharga Rp. 2.000.000 guna mendapat izin Sidang Pleno PB HMI di tempat yang nyaman seperti Ciloto.
Setelah Kongres XV tahun 1983 di Medan berlalu, konflik politik
antara pemerintah dengan HMI semakin mengkristal. Hal ini disebabkan HMI
‘dituding’ berkhianat terhadap pemerintah dengan lahirnya keputusan yang tetap
mempertahankan Islam sebagai azas organisasi. Konon, Achmad Zacky Siradj
dimintai pertanggungjawaban oleh pemerintah atas kesepakatan yang dibuatnya
sebelum kongres. Lantas, ia merespon tuntutan pertanggungjawaban dari
pemerintah itu dengan menyatakan, “Yang menerima Pancasila sebagai azas
organisasi adalah Achmad Zacky Siradj, bukan HMI”.
Meruncingnya konflik politik antara pemerintah dengan HMI pasca
Kongres XV 1983 di Medan bukan tanpa sebab, bahkan bukan hanya soal Achmad
Zacky Siradj. Setidaknya ada beberapa faktor yang memungkinkan konflik politik
tersebut terjadi, diantaranya; Pertama, HMI merupakan organisasi massa
yang besar, tercatat, menjelang pertengahan tahun 1980-an jumlah anggota aktif
HMI sekitar 150.000 orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Cabang dengan
anggota terbanyak berada di Cabang Jakarta dengan jumlah anggota sekitar 36.000
orang. Lalu, disusul Cabang Yogyakarta dengan jumlah anggota sekitar 26.000
orang. Selanjutnya, disusul oleh Cabang Bandung dan Cabang Ujung Pandang
(Makassar).[1]
Untuk level organisasi kepemudaan Islam, HMI merupakan salah satu organisasi
massa yang besar. Selain besar, anggota-anggota HMI terkenal militan. Oleh
sebab itu, HMI ditenggarai sebagai basis kekuatan umat Islam yang sedapat
mungkin harus segera dijinakkan oleh pemerintah.
Kedua, Keputusan Kongres XV tahun 1983 di
Medan yang tetap mempertahankan Islam sebagai azas organisasi adalah lampu
kuning bagi pemerintah yang ingin mempertahankan status quo atas
kekuasaannya. Dikarenakan perlawan yang dilakukan HMI bukanlah hal kecil, sebab
HMI dengan kekuatan massa yang begitu besar merupakan prototype bagi
organisasi kepemudaan atau bahkan organisasi kemasyarakatan Islam lainnya. Jika
HMI melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah, bukan tidak mungkin
bila organisasi berbasis Islam atau bahkan agama lainnya juga akan melakukan
perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Dan jika perlawanan terhadap
kebijakan pemerintah sangat kuat dan besar, maka sulit bagi pemerintah untuk
meloloskan kepentingan nafsu angkaranya. Bahkan, situasi yang paling ditakutkan
bisa saja terjadi, yakni runtuhnya rezim Orde Baru dalam waktu dekat.
Ketiga, Munculnya segelintir alumni dan
senior HMI sebagai pahlawan kesiangan bagi pemerintah dengan ikut
mengintervensi internal organisasi agar mau berkompromi dengan penguasa
otoriter. Sebut saja, tokoh-tokoh seperti Abdul Ghafur dan Akbar Tanjung tampil
sebagai penggerak alumni dan senior HMI yang menempel di ketiak rezim Orde
Baru. Di samping itu, dalam dunia akademis hadir pula sosok seperti Agussalim
Sitompul yang membenarkan tindakan kompromi dengan pemerintahan yang otoriter
tersebut. Dalam perjalanannya, tokoh-tokoh ini aktif menjadi alat penyambung
intervensi pemerintah kepada internal HMI. Syafinuddin al-Mandari menceritakan
dalam bukunya perihal alumni-alumni dan senior HMI yang terkooptasi oleh Orde
Baru ini dengan mengatakan,[2]
“Orba
memang sangat lihai memainkan simpul-simpul konflik untuk memandulkan sebuah
organisasi. KAHMI yang menjadi wadah berkumpulnya para alumni HMI juga tidak
lepas dari bau konflik. Otak Orba yang merasuki KAHMI tergambar dari upaya
menyingkirkan alumni yang dipandang tidak loyal pada pemerintah. Demi cita-cita
HMI, alumni yang kritis bahkan harus berhadap-hadapan dengan alumni lain yang
sudah terlanjur atau terlebih dahulu memasuki perangkap birokrasi dan politik
Orba.
Majelis
Nasional KAHMI yang personilnya kebanyakan pendukung Orba atau paling tidak
mengambil posisi safety player dalam menghadapi kebijakan Orba,
seringkali cenderung bertindak kooptatif terhadap alumni lain baik secara
pribadi maupun kelembagaan (KAHMI di wilayah dan daerah). Termasuk diantaranya
menyetujui atau menolak Ketua Umum KAHMI daerah maupun wilayah.”
Demikianlah beberapa argumentasi guna memaparkan kemungkinan di
balik kebenaran intervensi politik yang dilakukan rezim Orde Baru terhadap HMI.
Argumentasi-argumentasi itu memperjelas posisi antara pemerintah melawan HMI.
Dalam perjalan berikutnya, tidak heran banyak ditemukan intervensi pemerintah
yang memasuki roda dan bahkan mesin organisasi HMI. Tentu saja, hal ini kembali
menjadi momen sulit bagi kepengurusan HMI. Kesulitan ini melebihi dari pada
harus berlawanan dengan penjajah dan pemberontak di awal berdiri hinggah
runtuhnya rezim Orde Lama dahulu. Sebab, perlawan sekarang mengharuskan HMI
bercucuran keringat, darah dan air mata berhadapan dengan pemerintah yang
merupakan representatif Indonesia. Sementara itu, salah satu nilai yang dibawa
oleh HMI semenjak ia dilahirkan ialah nilai kebangsaan, di samping nilai keislaman
dan nilai keintelektualan.
Pleno III PB HMI di Ciloto Tahun 1985 dan Momen-momen Setelahnya
Seperti pembahasan sebelumnya, Harry Azhar
Azis terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI di Kongres XV tahun 1983 dikarenakan
kepercayaan mayoritas peserta kongres kepada yang bersangkutan, yang diyakini
dapat melaksanakan amanat kongres dengan baik. Oleh karenanya,
komitmen Harry Azhar Azis terhadap keputusan kongres menjadi perhatian besar
bagi cabang-cabang yang dipimpin. Komitmen itu pada mulanya tampak mempesona,
meskipun HMI mengalami hambatan perizinan dari aparatur pemerintah dalam
melaksanakan aktifitasnya, baik di pusat atau pun di daerah. Misal, HMI Cabang
Jambi dan HMI Badko Jawa Timur secara tegas menerima Pancasila sebagai
satu-satunya azas. Keputusan ini diambil karena tekanan aparat pemerintah
sangat kuat. PB HMI memutuskan untuk membekukan dua institusi HMI tersebut.[3]
PB HMI lewat Ketua Umum Harry Azhar Azis juga mengunjungi
cabang-cabang di seluruh Indonesia dengan maksud mempertegas komitmen terhadap
amanat Kongres XV tahun 1983. Dalam beberapa kunjungannya, Harry Azhar Azis
menyatakan, “Setiap Pengurus Cabang dan Badko yang mengikuti jejak seperti HMI
Cabang Jambi akan dikenakan sanksi yang sama (pembekuan)”. Bahkan, di lain
kesempatan Ketua Umum PB HMI itu mengatakan, “Bila dasar Islam di dalam HMI
digeser kedudukannya dengan Pancasila, maka saya, orang pertama yang akan
mempertahankannya sampai dengan tetes darah yang penghabisan”. [4]
Kata-kata yang tentu saja membangkitkan ghirah pengurus cabang-cabang dalam
berjuang mempertahankan identitas kediriannya melawan kedzoliman penguasa yang
terang-terangan mulai menunjukkan keangkuhan kekuasaannya.
Komitmen PB HMI terhadap amanat kongres tahun 1983 terus berlanjut.
Pada Pleno I PB HMI yang dilangsungkan tanggal 1-4 Januari tahun 1984 komitmen
untuk mempertahankan Islam sebagai azas organisasi begitu kuat. Hal ini
terlihat dari hasil pleno yaitu semangat untuk menjaga kelangsungan perkaderan
dan bertekad untuk tetap mempertahankan keputusan Kongres XV perihal azas
organisasi. Dalam sambutannya di forum Pleno I itu, Harry Azhar Azis
menyampaikan tiga hal yang mesti diselamatkan, diantaranya; prinsip nilai islam,
eksistensi organisasi HMI, serta keluarga besar umat Islam dan bangsa.[5] Pada
bulan dan tahun yang sama, 19 Januari 1984, PB HMI melakukan kunjungan ke
Menteri Kehakiman. Dalam kesempatan itu Pak Menteri Ali Said berpesan agar HMI
jangan ragu-ragu mempertahankan azas Islam.[6]
Waktu terus berjalan, ibarat bom waktu yang pada akhirnya meledak. Entah
setan apa yang merasuki Ketua Umum PB HMI Harry Azhar Azis dan kroni-kroninya, sehingga
dengan sadar ia acuh tak acuh akan kata-kata manis dari komitmen terhadap hasil
Kongres XV tahun 1983. Tepatnya, pada forum sidang Majelis Pelaksana Kongres
(MPK) II dan Pleno III PB HMI yang idealnya dilangsungkan tanggal 31 Maret
sampai 4 April,[7]
tapi terlaksana pada tanggal 1-7 April tahun 1985 bertempat di Ciloto, PB HMI
dengan gegabah mencampakkan amanat Kongres XV di Medan tahun 1983 dengan
keluarnya Keputusan Sidang MPK Nomor: 1/KPTS/PK-2/07/1405 yang menetapkan Pancasila
sebagai azas organisasi untuk dikukuhkan pada Kongres XVI di Padang.[8]
Setelah dengan sadar melanggar tanggungjawabnya terhadap hasil
kongres 1983, tanpa malu pada tanggal 10 April 1985 Harry Azhar Azis
melangsungkan keterangan pers di kediaman Lafran Pane, Yogyakarta. Tindakan itu
dilakukan tanpa adanya koordinasi yang baik dengan HMI Cabang Yogyakarta. Isi
Keterangan Pers PB HMI pokok tujuannya ialah menyampaikan hasil sidang MPK II
dan Pleno III PB HMI di Ciloto yang telah menegaskan penetapan Pancasila
sebagai azas organisasi HMI.[9]
Berikut ini dasar pemikiran dari Keterangan Pers PB HMI tersebut,
1.
Motivasi
kelahiran HMI pada tanggal 5 Februari 1947 adalah, meningkatkan kemaslahatan
Bangsa dan Penigkatkan serta mengembangka syiar Islam. Motivasi meningkatkan
kemaslahatan bangsa sesungguhnya merupakan jawaban langsung terhadap upaya
mempertahankan Pancasila sekaligus memasyarakatkan Pancasila, karena itu
konsekuensi logis bagi HMI hingga ke masa dating, bahwa Pancasila dan HMI tidak
mungkin terpisahkan selama jiwa dan semangat Pancasila tersebut tetap bersumber
dari Proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945. Ini pulalah yang menyebabkan HMI
tetap berperan mengamalkan Pancasila sekaligus korektif dalam pengembangannya.
Motivasi meningkatkan dan
mengembangkan syiar Islam, sesungguhnya bermakna sebagai ajakan dan cita-cita
bersama Umat Islam untuk memberikan yang terbaik dalam tugas dan fungsi
rahmatan lil alamin di atas realitas kultural bangsa Indonesia.
2.
Kedudukan
Islam.
Yang pertama sebagai sumber nilai
dan norma, dimana Islam sebagai ajaran yang hak dan sempurna tetap merupakan
sumber inspirasi, motivasi dan aspirasi dalam kehidupan organisasi mewujudkan
masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Kedua, sebagai daya rekat, dimana
Islam menjadi alat pemersatu dan sumber kekuatan bagi Umat Islam untuk
memberikan yang terbaik mewujudkan masyarakat yang aman sentosa dan hidup
berdampingan penuh pengabdian.
3.
Peran
kesejahteraan.
Semakin disadari bersama bahwa
Pancasila sebagai ideologi/dasar negara dirasakan semakin kaya dan kokoh dalam keikaannya
dalam kebhinekaan. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari proses interaksi dan
internalisasi kesejarahan bangsa Indonesia sejak dulu hingga kini dengan
nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, sosial, kultural dsbnya didalam masyarakat
Indonesia. Karena itu kedudukan fungsional sumber-sumber nilai di atas harus
ditetapkan secara terhormat dan diyakini.
4.
Peran
kemasyarakatan HMI.
Sejak kelahirannya selalu
menempatkan dirinya sebagai kekuatan moral yang berdimensi intelektualitas,
dengan tujuan Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan
Islam serta bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang
diridhoi Allah SWT.
Kenyataan ini telah menempatkan HMI
secara essensial aktif melakukan tranformasi nilai dari struktur masyarakat primordial
ke arah masyarakat yang lebih maju dalam struktur masyarakat yang berinteraksi
fungsional. Dengan demikian kehadiran HMI khususnya dan Islam umumnya bermakna
fungsional dalam penataan masyarakat yang sosialistis-relijius.
5.
Konsekuensi
kenegaraan.
Dengan ditetapkannya Pancasila
sebagai azas organisasi HMI, itu tidak bermakna HMI telah menghentikan dinamika
politik bangsa Indonesia, justru sebaliknya mengajak seluruh rakyat dan bangsa
Indonesia khususnya para fungsionaris organisasi kemasyarakatan diantara 160
juta bangsa Indonesia, untuk membantu pemerintah agar bersungguh-sungguh dan
jujur melakukan perampungan penataan kehidupan politik diatas negara hukum
Indonesia.
6.
Konsekuensi
juridis.
Dalam perumusan dan penetapan
Undang-ungang Organisasi Kemasyarakatan maka Pemerintah dan wakil-wakil Rakyat
di DPR RI tetap menempatkan kepentingan masyarakat sebagai sumber rujukan,
karena hanya dengan demikian Perundang-undangan negara dapat berlaku fungsional
dan bermakna kesejarahan sebagai upaya memperkaya semangat kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat.
Ini penting sekaligus mengangkat
kepercayaan masyarakat dalam partisipasi dan tanggungjawabnya kepada negara.[10]
Menyadari kecacatan berpikir PB HMI yang tertuang dalam Keterangan
Pers tentang Penetapan HMI Terhadap Pancasila Sebagai Azas Organisasi HMI yang
disampaikan di kediaman Lafran Pane, maka HMI Cabang Yogyakarta merespon hal
tersebut dengan mengeluarkan Surat Pernyataan Sikap tertuju kepda PB HMI. Surat
tersebut ternomor 13/A/F/07/1405 perihal Sikap Jamaah HMI Yogyakarta Terhadap
Prilaku dan Siaran Pers PB HMI. Surat yang ditanda-tangani oleh 42 pimpinan HMI
di Lingkup Cabang Yogyakarta yang terdiri dari Ketua Umum Cabang Yogyakarta,
Pimpinan Koordinator Komisariat (Korkom) dan Pimpinan-pimpinan Komisariat pada
salah satu pembahasannya mengatakan,[11]
“Apa
yang dilakukan oleh saudara Harry, kedatangannya yang diam-diam, membuat siaran
pers dan meninggalkan cepat-cepat Yogyakarta, adalah kelakuan yang menafikan
eksistensi HMI Cabang Yogyakarta; perilaku yang melanggar etis-organisatoris,
etis-humanitas, dan etis-islamis. Perbuatan yang memporak-porandakan
konsolidasi organisasi yang telah diserukannya, tidak menghargai ikhwan-ikhwan
Jamaah Himpunan di Yogyakarta selaku manusia, dan meruntuhkan semangat ukhuwah
Islamiyyah.”
Lebih lanjut, dalam surat itu HMI Cabang Yogyakarta mengatakan
hasil Sidang MPK II dan Pleno III PB HMI merupakan perbuatan oknum-oknum yang
merongrong hasil Kongres XV dengan berlindung di balik taktik-strategis. Apapun
bentuk hasil dari perbuatan itu, menurut HMI Cabang Yogyakarta, adalah tidak
sah karena bertentangan dan merupakan pelanggaran. Ketua Umum PB HMI, Harry
Azhar Azis, telah mengkhianati amanat yang diberikan kepadanya. Oleh karena
itu, Jamaah HMI Cabang Yogyakarta menyampaikan sikap sebagai berikut:[12]
1.
Memprotes keras
perilaku saudara PB HMI yang tidak etis, humanis dan islamis terhadap HMI
Cabang Yogyakarta;
2.
Tidak setuju
dengan proses dan hasil Kebijaksanaan Pleno PB HMI tentas Azas organisasi yang
ditempuh secara inkonstitusional, dan tidak mengindahkan aspirasi
Cabang-Cabang;
3.
Menuntut dan
mendesak kepada PB HMI untuk secepatnya menyelenggarakan Pertemuan Pimpinan HMI
Cabang se-Indonesia sebelum Kongres XVI.
Sejarah mencatat, PB HMI di bawah pimpinan Harry Azhar Azis tidak
pernah menghiraukan sikap Jama’ah HMI Cabang Yogyakarta tersebut. Ia tetap pada
keyakinannya bahwa tindakan yang tidak menjunjung nilai demokratis-kekeluargaan
di forum MPK II dan Pleno III PB HMI adalah tindakan yang benar. Dan tindakan
itu, lahir dari kesadaran hati nurani. Buktinya, pada tanggal 22 April 1985, Tempo
mengeluarkan salah satu pernyataan Harry Azhar Azis terhadap hasil sidang MPK
II dan Pleno III PB HMI yang menetapkan Pancasila sebagai azas organisasi itu,
“Keputusan itu benar-benar murni keluar dari hati nurani kami tanpa pengaruh
manapun”. Sementara itu, Muchtar Effendi Harahap sebagaimana dimuat pada Tempo
edisi 27 April 1985, salah seorang anggota MPK dari HMI Cabang Yogyakarta
yang walk out dari forum sidang mengatakan, “Sejumlah anggota MPK keluar
dari sidang ketika pembahasan soal azas. Hanya 6 atau 7 orang dari 25 anggota
MPK yang tetap duduk”.[13]
Berkenaan dengan pernyataan Harry “Keputusan itu benar-benar murni
keluar dari hati nurani kami tanpa pengaruh manapun”, mendapat bantahan dari
berbagai pihak. Hal ini disebabkan fakta peristiwa sebelum forum MPK II dan
Pleno III PB HMI dilakukan, terlebih dahulu Harry dan komplotannya mendatangi
kediaman Menpora yang sejak Kongres XV Medan getol memaksakan HMI agar mau
menerima Pancasila sebagai azas organisasi. Tempo edisi Mei 1985
memberitakan PB HMI telah ‘digadaikan’ ke pemerintah oleh Harry Azhar Azis
seharga Rp. 2.000.000 guna mendapat izin Sidang Pleno PB HMI di tempat yang
nyaman seperti Ciloto. Tindakan tersebut telah ‘menjual’ prinsip dan
mengorbankan harga diri organisasi.[14]
Keputusan PB HMI yang menetapkan Pancasila sebagai azas organisasi untuk
dilegitimasi pada Kongres XVI Padang berdampak buruk terhadap batang tubuh HMI
sendiri. Hal itulah yang mengakibatkan keputusan PB HMI mendapat tentangan yang
keras dari Cabang-Cabang utama HMI seperti; Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan
Ujung Pandang (Makassar).[15]
Sementara itu, karena tidak mendapat dukungan dari cabang-cabang besar atau
cabang utama HMI, disandarkan pada situasi yang kalang kabut seta adanya
desakan-desakan usul dan saran dari berbagai pihak yang pro dengan keputusan
sesat PB HMI maka HMI Cabang Jambi dan Badko Jawa Timur yang sebelumnya beku
kembali diaktifkan.[16]
Kekalang-kabutan Harry Azhar Azis dan kroni-kroninya itu, oleh
Chaeron, disebabkan Harry Azhar Azis sendiri. Harry lebih memilih memutar badan
dari wajah otoriter pemerintah, lalu menghadap ke struktur pimpinan HMI di
bawahnya. Tidak hanya sekedar menghadapkan wajah, tapi juga melawan struktur
pimpinan yang sebetulnya telah mati-matian menemani Harry dalam mensukseskan
amanah Kongres XV Medan selama ini. Bilamana Harry Azhar Azis tetap tegak lurus
menghadapkan wajahnya kepada kedzoliman pemerintah Orde Baru, maka sudah barang
tentu umatnya para struktur pimpinan HMI di cabang-cabang akan mendukung hingga
darah penghabisan.[17]
Sayangnya tidak demikian sikap yang dipilih Harry Azhar Azis. Dengan sikap
menentang amanat Kongres XV dan komitmen dia sendiri hingga Pleno II PB HMI
merupakan bentuk sensasional sejarah yang hendak dilakukan Harry.
[4] Ibid.
[6] Suara Himpunan
edisi Januari 1984, “Pesan Menteri Kehakiman pada PB HMI”, lihat dalam
Rusdiyanto, Ibid.
[7] Tanggal ideal
pelaksanaan Sidang MPK II dan Pleno III PB HMI ini diambil berdasarkan Surat PB
HMI kepada Menteri Pemuda dan Olahraga Nomor: 1397/B/Sek/07/1405
[8] Lihat
Keputusan Sidang Majelis Pelaksana Kongres Nomor: 1/KPTS/PK-2/07/1405 tentang
Penetapan Pancasila Sebagai Azas Organisasi.
[9] Lihat
Keterangan Pers PB HMI tentang Penetapan HMI Terhadap Pancasila Sebagai Azas
Organisasi HMI.
[10] Ibid.
[12] Ibid.
[14] Tempo Edisi
Mei 1985, dalam al-Ahzab, Op. Cit., Hlm. 46
[15] Baca deretan
sikap cabang-cabang dan badko utama di lingkup HMI se-Indonesia dalam
konsideran Surat Keputusan Bersama
Pimpinan HMI Cabang Nomor: 2/KPTS/DRT/A/07/1406 tentang Penyelamatan
Organisasi.
[17] Diskusi dengan Muhammad Chaeron AR di kediamannya, Kabupaten Pekalongan,
Pada Tanggal 26 November 2018.
0 comments