Gerakan Literasi Kita: Perlawanan terhadap Sistem Kapitalisasi Sekolah dan Ancaman Degradasi Budaya
Oleh: Muhammad Ihsan Thahir
Literasi bukan hanya sekadar membaca teks, melainkan pula diartikan sebagai kemampuan membaca keadaan sekitar.” (Roem Topatimasang)
Beberapa tahun
belakangan, semangat literasi masyarakat Indonesia tampak memberikan harapan. Harapan
untuk menumbuh suburkan semangat membaca dan mengaji. Agar setiap insan di republik
ini melek dengan tulisan-tulisan ilmu pengetahuan. Peristiwa ini, terjadi,
didorong oleh tumbuh suburnya para pegiat literasi lewat agenda-agenda gerakan
literasi. Syukurnya lagi, bagai gayung bersambut, usaha para pegiat itu
disambut baik pula oleh masyarakat. Dari sinilah asumsi dasar mengapa dikatakan
bahwa semangat literasi masyarakat Indonesia memberikan harapan.
Kalau ada
tempat untuk berucap terima kasih, mungkin tidaklah salah jika diarahkan kepada
Nirwan Ahmad Arsuka. Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan literasi mulai
terlihat dampaknya setelah Nirwan Ahmad Arsuka mendirikan Pustaka Bergeraknya. Bagai
jamur, lalu perlahan-lahan tumbuh hingga pelosok-pelosok negeri. Menurut data
Pustaka Bergerak Indonesia (PBI), ada sekitar 930/provinsi. Belum lagi gerakan
literasi di perkotaan, lapak baca dan perpustakaan jalanan kini semakin
menjamur.
Semakin
menambah harapan, manakala para penggerak dan promotor gerakan literasi hadir
dari kalangan masyarakat secara langsung. Di salah satu daerah Sulawesi Barat
contohnya, anak-anak muda dengan bangganya terlibat aktif dalam membangun
rumah baca masyarakat. Fenomena lain, di beberapa daerah telah
banyak pula berdiri rumah literasi yang diinisiasi oleh putra-putri daerahnya
masing-masing.
Tampaknya,
fenomena positif ini merupakan salah satu bentuk kritik terhadap pendidikan
yang diselenggarakan oleh negara. Mungkin saja pendidikan yang diatur dalam
berbagai ragam kurikulum tak memberi banyak perubahan berarti bagi keadaan
masyarakat. Lalu menggelembunglah semangat untuk belajar sendiri lewat rumah
literasi. Tentu saja hal positif begini harus terus digiatkan.
Ngomong-ngomong
tentang pendidikan, Toto Rahardjo dalam Sekolah Biasa Saja menyatakan
bahwa pendidikan kita hari ini adalah pendidikan yang bersifat transaksional. Fenomena yang menjadikan pendidikan sebagai komoditi barang dagangan sudah bukan lagi menjadi
wacana, tapi telah terang benderang menjadi kenyataan. Walaupun penolakan
tentang komoditas pendidikan sering muncul dipermukaan masyarakat. Anasir-anasir penolakan ini merupakan kritik terhadap dunia pendidikan,
terutama di Indonesia yang sistem pendidikannya sering dijadikan ajang
pencarian keuntungan alias “kapitalisasi pendidikan”. Dunia pendidikan
yang semestinya dibangun berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan,
kebijaksanaan, kini kerap diisi oleh nilai-nilai komersial.
Bahkan harus
jujur mengatakan bahwa sekarang bisnis pendidikan makin subur dan menjamur.
Dengan menu jualan yang bervariasi, seperti; Bilingual, full English,
label IT (Islam Terpadu), label plus, kurikulum Cambridge, dan
lain-lain. Seolah membuat sekolah seperti perusahaan yang mendasarkan diri
pada profit oriented. Dengan demikian, sekolah menjadi tempat ekslusif yang
hanya diperuntukkan bagi kalangan yang berduit (borjuis). Bukan untuk orang
miskin. Kualitas sebanding dengan harga, benar adanya.
Kalaulah
pendidikan telah memuat kastanisasi antara fasilitas si miskin dan si kaya. Maka
teranglah bahwa pendidikan telah kehilangan ruhnya. Kini di dunia pendidikan
tidak bisa lagi dipercaya sebagai tempat ajang belajar toleransi, saling menghargai
dan saling membutuhkan. Mengapa demikian? karena sekolah telah memelihara
perangai homogen. Apa bentuk dari perangai homogen itu? misalnya kaya, kaya
semua. Miskin, miskin semuanya. Misalnya lagi, di suatu sekolah hanya ada satu
agama saja.
Dari kondisi
sistem pendidikan yang begitu miris itulah muncul kesadaran masyarakat,
khususnya dari kalangan bawah. Kesadaran bahwa pendidikan bukan hanya milik
Pemerintah. Namun, milik seluruh lapisan masyarakat. Sebagai jawaban atas
kesadaran masyarakat terhadap mirisnya dunia pendidikan maka hadirlah gerakan
literasi. Lewat gerakan literasi masyarakat menciptakan sendiri kebutuhannya,
tentang apa yang mesti mereka pelajari, dan ilmu yang dibutuhkan. Yang dapat diterapkan
dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam keyakinan
para pelaku gerakan literasi tertanam kesadaran yang amat kuat bahwa kaum
terdidik adalah mereka yang mengerti dan memahami keadaan sekitarnya. Dan dengan
ilmu pengetahuannya berusaha untuk memperbaikinya. Gerakan literasi yang tersebar
hampir di seluruh pelosok negeri semestinya disadari sebagai gerakan pendidikan
dari rakyat untuk rakyat. Karena, masyarakat secara sadar bersama mengelola dan
mengembangkan pendidikannya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan lingkungan
sosialnya. Serta menyadari bahwa pendidikan bukan lagi melulu soal tingkat
dasar, menengah, lanjut, bergelar sarjana, dan lainnya.
Bukan pula soal
yang bertempat di gedung-gedung mewah dan berbiaya jutaan. Ditambah lagi dengan
pola belajar selama bertahun-tahun yang diakhiri dengan ujian beberapa hari. Ujian
singkat untuk mengetahui sudah layak-kah seorang peserta didik meraih kelulusan
untuk kemudian padanya dilekatkan gelar seorang berpendidikan.
Baik memang
ketika seseorang mampu untuk melakukan semua itu, lulus dan meraih gelar sarjana. Pasti merupakan hal yang amat
membanggakan. Tapi, ketika itu yang menjadi patokan sehingga layak disebut
berpendidikan. Maka jelas hal demikian hanya mampu di raih oleh segelintir orang
saja. Orang yang beruang atau mereka yang benar-benar dilebihkan derajat nasibnya
sedikit. Sementara yang nasibnya setengah-setengah; setengah goblok, setengah
pintar, setengah nakal, setengah baik, plus miskin. Sudah jelas, putus
sekolah adalah akhir hayat pendidikannya. Bila demikian peristiwanya, jelas
pendidikan telah menjadi eksklusif hanya bagi kalangan tertentu, lalu sebagian
lagi menjadi penonton saja.
Salah seorang
tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, telah menekankan dalam
berbagai pidatonya yang dirangkum dalam bukunya Pendidikan bahwa
pendidikan adalah usaha kebudayaan, berazas keadaban, yakni memajukan hidup
agar mempertinggi derajat kemanusiaan. Ia pun membagi pendidikan dalam tiga
perkembangan; yakni Hamemayu Hayuning Sariro, yang berarti pendidikan
berguna bagi yang bersangkutan, keluarganya, sesamanya, dan lingkungannya. Hamemayu
Hayuning Bongso, yang berarti pendidikan berguna bagi bangsa, negara, serta
tanah airnya. Dan Hamemayu Hayuning Bawono, yang berarti pendidikan
berguna bagi masyarakat yang lebih luas lagi yaitu dunia atau masyarakat
global.
Maka pendidikan,
khususnya pendidikan Indonesia, menurut paham Ki Hadjar Dewantara yang kemudian
menjadi semangat filosofis institusi Taman Siswa ialah pendidikan yang berasaskan
garis-hidup dari bangsanya dan ditunjukan untuk keperluan peri kehidupan yang
dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama
dengan bangsa-bangsa lain demi kemuliaan segenap manusia diseluruh dunia.
Bilamana
dikoneksikan antara fenomena pendidikan, pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara,
dan gerakan literasi. Maka gerakan literasi merupakan gerakan yang benar-benar
dibutuhkan oleh masyarakat ini yang sesuai dengan semangat pendidikan ala
Ki Hadjar Dewantara. Saat pendidikan formal tidak mampu menjaga nilai
kebudayaan bangsa dari rongrongan budaya asing yang semakin diminati generasi
muda. Gerakan ini diyakini mampu menjadi penyaring dari rongrongan tersebut,
karena dengan hadirnya gerakan literasi menjadi ruang bersama ini maka rakyat
secara sadar melakukan gerakan perubahan untuk lingkungan sekitarnya dengan
tetap berpegang teguh kepada kebudayaannya.
Terakhir, para
penggerak literasi juga mesti benar-benar mendasari setiap gerakannya dengan
praktik-praktik literasi yang pedagogik. Praktik pendidikan yang humanistik. Bukan
saja membekali masyarakat untuk bisa bekerja menghidupi diri. Tetapi lebih dari
itu, memahamkan mereka bahwa pendidikan adalah proses untuk menjadikan kita
manusia yang utuh, manusia yang memanusiakan manusia dan bermanfaat bagi bangsa,
negara dan alam semesta.
Catatan Tambahan: Tulisan ini diambil dari salah satu blog dengan seizin penulis. Judul aslinya “Gerakan Literasi Kita”. Kemudian diedit secukupnya oleh tim redaksi Goresan Intelektual tanpa menghilangkan substansi tulisan.
0 comments