Guru, Sekolah (Bukan) untuk Mencetak Mesin dan Anjing
ilustrasi gambar: thecompanion.in
Oleh : MHD Zakiul Fikri
Sadar atau tidak, kalaulah pelaku pendidikan baik guru dan sebagainya itu memiliki mental dan watak yang bagus. Maka peserta didik tidak akan diarahkan untuk menjadi mesin atau pun anjing. Yang bekerja dan membela para tuannya demi mengejar keuntungan dunia.Berbagai macam rupa negatif tak pernah benar-benar lepas dari sekolah. Selain karena sistemnya yang berbelit-belit dan membingunkan. Umumnya rumah utama dunia pendidikan itu juga banyak dihuni oleh orang-orang korup,[1] bajingan-bajingan cabul,[2] dan lain-lain. Selain itu, disadari atau tidak oleh para guru, komite, pimpinan yayasan atau manajemen sekolah, sekolah banyak pula diisi oleh preman yang ahli berkelahi, diktator yang tak suka dikritik, dan orang bodoh yang terus mengajar dengan metode kuno.[3]
Bagai buah
jatuh tak jauh dari pohonnya. Akhirnya, produk sekolah tak ubahnya dari para
penghuninya, buruk di mata dan menyesakkan di hati. Meski demikian, harus pula diamini
masih ada orang-orang baik di sana. Yang menginspirasi, setidaknya, sedikit
dari sekian peserta didik yang menggantungkan nasib dan masa depannya lewat
sekolah.
Kalau orang
baik sudah mendominasi sekolah, ditambah dengan sistem yang baik pula. Maka peluang
untuk kritik tentu tidak akan lagi ada. Meskipun ada, akan tiada gunanya. Tapi sayang,
hal itu masihlah angan yang belum kunjung kesampaian. Karenanya, kritik mesti
terus digulirkan. Kritik ini, khususnya, diperuntukkan bagi para pelaku
pendidikan di sekolah. Pelaku pendidikan, seperti para guru dan pejabat penting
sekolah lainnya, harus menjadi perhatian bersama.
Mengapa kritik
harus terus digulirkan, khususnya kepada pelaku pendidikan? Sebab, bila sistem
terus-terusan diimprof tanpa diiringi pengembangan intelektual, emosional dan
spiritual pelaku pendidikan. Maka hal itu sama saja dengan omong kosong. Perbuatan
yang bagaikan menjemur di atas jerami, susah habis hasil tiada. Pada tulisan
terdahulu tentang "Pendidikan Kita Kini", kami pernah menulis bahwa segala bentuk sistem hanya bagian kecil penentu terciptanya ruang
belajar dan produk pendidikan yang mampu mewujudkan hakikat pendidikan. Yang
paling menentukan terletak pada pelaku pendidikan, khususnya para pelaksana
kebijakan termasuk guru. Dalam hal tersebut, tulisan ini hadir sebatas bahan refleksi bagi pembaca umumnya. Dan terkhusus kepada para guru serta pelaku pendidikan lainnya.
Jika pribadi
pelaku pendidikan yang hendak dikembangkan. Maka bagaimana rupa metode
pengembangannya? Apakah Ujian Kompetensi Guru (UKG) dan agenda studi tour para
pelaku pendidikan yang selama ini dilakukan tidak cukup untuk mengimprof skill
dan kemampuan guru? Tentu saja tidak cukup. Hasil UKG, cenderungnya, tak
ubahnya seperti nilai A atau 100 hasil ujian matematika seorang siswa yang tak
pandai berhitung. Siswa yang sering bolos sekolah, lalu mendapat nilai kasihan
dari gurunya. Maksudnya, hasil UKG sama sekali tidak dapat mencerminkan tingkat
kemampuan seorang pelaku pendidikan.
Lalu, apa yang
harus dilakukan agar pelaku pendidikan memiliki skill mumpuni dalam mendidik
peserta pendidikan? Perlu dipahami, skill dalam hal ini haruslah dipahami
secara komprehensif. Yakni keseluruhan berkenaan dengan intelijensi, emosional
dan spiritual. Untuk meningkatkan kemampuan demikian, ada beberapa hal yang
mesti dilakukan; Pertama, pelaku pendidikan harus kembali menyadari
bahwa pekerjaan mendidik ialah sebuah pekerjaan pengabdian. Pada sisi ini,
pelaku pendidikan akan diuji mental dan spiritualnya. Kesadaran bahwa mendidik
adalah sebuah pekerjaan pengabdian akan membawa seorang guru dan pejabat
sekolah lainnya berani menghadapi berbagai hasil materiil dan non materiil yang
akan diterimanya. Bahkan, pahit-pahitnya ia siap untuk tidak digaji asal dapat
mendidik.
Tampaknya,
kesadaran yang demikian sukar untuk ditemui pada masa kini. Sebab banyak yang
menempatkan dunia pendidikan sebagai ladang mencari keuntungan. “Kalau tidak
digaji, maka dari mana kami akan makan?” demikian gumamnya barangkali. Atau “gaji
cuma sekian per bulan, bagaimana kami akan menjalankan agenda sekolah dengan
baik?” protes lainnya. Dengan kondisi spiritual dan emosional demikian, apakah
layak pengharapan akan mengorbitnya sosok hebat ditempatkan pada sekolah?
Para pelaku
pendidikan yang bercita-cita menjadi kaya akan materi dari dunia pendidikan sudah
seharusnya diusir dari ruang sekolah. Baik itu guru, komite, pejabat yayasan
dan sebagainya. Sebab, tempat mereka bukan di sana. Melainkan di medan
wirausaha, bertani, menjadi nelayan atau berdagang. Teruntuk para pelaku
pendidikan yang membuat karya, tentu lain cerita. Karya tersebut bisa saja
menghasilkan berkah materi padanya. Namun yang jelas, pemaksaan pelaku
pendidikan bermental lemah dan picik di dalam rumah tangga sekolah akan
menumbuh-suburkan orang-orang korup dan preman di dalamnya.
Dalam tahapan
penyadaran kembali emosional dan spiritual para pelaku pendidikan penekanannya diletakkan
pada kesadaran bahwa menjadi pelaku pendidikan adalah pilihan menjadi seorang
abdi kebaikan. Tak lebih dan tak pula kurang dari semua itu. Bukankah karena
pengabdiannya itu kemudian para pelaku pendidikan, khususnya guru, dikenal
sebagai pahlawan tanpa tanda jasa? Bila pelaku pendidikan sudah menghendaki
adanya jasa, maka sebaik menjadinya tentara, polisi atau pamong praja.
Kedua, mengoptimalkan agenda studi tour. Di beberapa sekolah, ada para
guru dan pejabat sekolah yang senang melangsungkan studi tour. Namun sayang,
agenda ini lebih banyak tournya dibanding studinya. Alhasil, tiada apa pun nilai
positif yang dibawa kembali ke sekolahnya tak kala balik dari agenda tersebut. Selain
oleh-oleh berupa cinderamata yang dipamer-pamerkannya. Dan foto keren yang
terpampang di dinding media sosialnya masing-masing. Lengkap dengan olesan
kata-kata puitis.
Seharusnya agenda
ini bisa dioptimalkan sebagai ajang bertukar pikiran antara satu sekolah dengan
pelaku pendidikan, sekolah atau pun dinas pendidikan di tempat tour
dilaksanakan. Semisal, melaksanakan diskusi atau seminar panel dengan tema
seputar pendidikan. Menghadirkan dua pembicara dari masing-masing perwakilan sekolah.
Atau sekedar berdiskusi dengan pelaku pendidikan di tempat tujuan. Tentu hal
ini akan lebih menantang, menguji kemampuan, dan menambah pengetahuan dari
pelaku pendidikan.
Ketiga, wadah peningkatan keilmuan pelaku pendidikan, khususnya guru, di
lingkungan sekolah. Ada guru yang tahunya cuma itu-itu saja, cara menjelaskan
pelajarannya itu-itu saja, dari zaman ke zaman tiada berubah. Mengapa bisa
demikian? Karena kurangnya agenda-agenda yang meningkatkan kualitas keilmuan
pelaku pendidikan tersebut, lagi-lagi utamanya guru. Jika para guru mengharuskan
peserta didik untuk senantiasa belajar dan belajar. Mengapa para guru sendiri
sungkan untuk belajar dan belajar pula? Tentunya hal demikian merupakan
tindakan yang kontra-produktif.
Karena itu, dengan
adanya persoalan demikian, sekolah diharuskan memiliki program untuk meningkatkan kemampuan ilmu pengetahuan para pelaku pendidikan di lingkungannya. Bisa saja,
program tersebut dengan mengadakan pelatihan secara berkala oleh sekolah dengan
mendatangkan pembicara yang handal di bidangnya. Jenis pelatihan itu bisa saja
seperti; 1) time works, leadership and problem solving, 2) pengembangan
kurikulum, 3) strategi pengelolaan kelas kreatif, 4) ice breaking pembelajaran,
5) public speaking for teacher, 6) dan lain-lainnya.[4]
Setidaknya
sekolah tidak hanya mengharapkan adanya pelatihan dari dinas terkait yang hanya
dilakukan, ibaratnya, sekali dalam se-abad. Sebab, peningkatan kualitas diri seorang
pelaku pendidikan merupakan proses berkelanjutan yang tidak akan selesai oleh
satu kali pelatihan dalam setahun. Apalagi kalau tidak ada sama sekali.
Tidak cukup sampai
di situ, sekolah bisa juga mengadakan program penerbitan jurnal yang diisi oleh
karya-karya pemikiran para guru. Jurnal tersebut disebar untuk dibaca oleh banyak
pihak, termasuk peserta didik. Hal ini akan mengasa ketajaman ilmu pengetahuan
guru di satu sisi. Dan pada sisi lain akan menumbuhkan rasa percaya diri
peserta didik terhadap kualitas gurunya selaku pelaku pendidikan.
Sadar atau
tidak, kalaulah pelaku pendidikan baik guru dan sebagainya itu memiliki mental
dan watak yang bagus. Maka peserta didik tidak akan diarahkan untuk menjadi mesin
atau pun anjing. Yang bekerja dan membela para tuannya demi mengejar keuntungan
dunia. Dengan menghadapkan para peserta didik pada bayangan akan kehidupan pragmatis
di luar sekolah. Dan menilai peserta didik di kelas berdasarkan pada sentimen yang
menarik perhatiannya. Menarik entah karena si anak dianggap baik padanya atau
karena si anak peserta didik mendapat rangking tinggi di banding yang lainnya.
Tidak, mereka
yang emosional, spiritual dan intelijensinya baik tidak mungkin mendidik
muridnya untuk menjadi demikian. Tidak akan memanfaatkan kedekatan emosional
dan capaian yang menonjol dalam ruang belajar untuk memperlakukan seorang peserta didik secara lebih
di antara yang lainnya. Hingga terproduksilah peserta didik yang bermental kecil,
lemah, pragmatis dan diskriminatif. Sekali lagi, tidak mungkin demikian. Karena
mereka, para pelaku pendidikan, sadar bahwa sekolah adalah rumah tempat roh dan
jiwa bersemayam, ditempa dan dididik secara adil hingga peka akan fenomena kehidupan.
Bukan gudang mesin tanpa jiwa, atau pun kandang anjing yang penuh nafsu
angkara.
Mereka akan
senantiasa memotivasi dan menginspirasi peserta didik agar sadar diri untuk
terus tumbuh maju. Yang senantiasa mengingatkan bahwa penjajahan terjadi di
bumi pertiwi pada masa silam sebab kebodohan. Yang akan senantiasa menyadari, seperti
yang ditulis Sutan Takdir Alisjahbana, bahwa kekurang cakapan bangsa kita dalam
hal teknik dan perang, maka kita ditaklukkan oleh Barat.
Kekurang sanggupan
dan keuletan tentang ekonomi, maka kita dapat dikalahkan oleh Eropa dan
Tionghoa di lapangan ekonomi. Kekurangan nafsu untuk menyelidiki dan mengetahui,
maka bangsa kita tercecer dalam ilmu pengetahuan. Bila hendak menyelesaikan
persoalan itu semua, lanjut Sutan Takdir Alisjahbana, maka manusia bangsa ini
mesti tumbuh. Dan pekerjaan menumbuhkan manusia adalah pekerjaan pendidikan.[5]
Memanglah, begitu
berat tugas pelaku pendidikan. Tapi apa boleh dikata, sudah demikianlah
hakikatnya. Jika seseorang telah memilih jalan menjadi pelaku pendidikan, maka
segenap jiwanya harus menyertai jalan pengabdian itu. Karena resikonya besar
dan berat, sementara inkamnya boleh dikata belum tentu seimbang. Hanya mereka
bermental “baja” yang sanggup menunaikannya secar tulus. Apa pun itu, ending
dari tulisan ini hendak berpesan. Untuk para guru, kuatlah tolong. Sebab pada kalian
nasib umat, bangsa dan negara ini bergantung.
[1] Anonim, “Guru
Honorer di Tangsel Lapor ke Polisi Setelah Dipecat karena Beberkan Pungli di
Sekolahnya”, lihat dalam http://www.tribunnews.com/metropolitan/2019/07/05/guru-honorer-di-tangsel-lapor-ke-polisi-setelah-dipecat-karena-beberkan-pungli-di-sekolahnya,
diakses pada tanggal 8 Juli 2019.
[2] Anonim, “Kepala
Sekolah di Surabaya Cabuli Enam Siswa SMP”, lihat dalam https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190705155638-12-409478/kepala-sekolah-di-surabaya-cabuli-enam-siswa-smp,
diakses pada tanggal 8 Juli 2019. Lihat juga yang lainnya.
[3] Anonim, “Ini
nih, Perilaku Kurang Mendidik yang Sering Dilakukan Guru”, lihat dalam https://www.bernas.id/58012-ini-nih-perilaku-kurang-mendidik-yang-sering-dilakukan-guru.html,
diakses pada tanggal 8 Juli 2019.
[4] Anonim, “10
Jenis Materi Pelatihan untuk Menjadi Guru Profesional”, lihat dalam http://www.tozsugianto.com/2018/05/10-jenis-materi-pelatihan-untuk-menjadi-guru-profesional.html,
diakses pada tanggal 8 Juli 2019.
[5] Sutan Takdir
Alisjahbana, dalam Achdiat K. Mihardja (Ed.), Polemik Kebudayaan, Pustaka
Jaya, Jakarta, 1977.
0 comments