ilustrasi gambar: oleh penulis
Oleh:
MHD Zakiul Fikri
Meskipun keberadaan Hukum Belanda yang berdimensi Hukum Positif ditetapkan sebagai model hukum yang berlaku. Namun, tata hukum Indonesia yang disebut berpribadi asli Indonesia pasca kemerdekaan kembali menemukan dirinya dalam bentuk riil yang keberadaannya juga diatur oleh ketentuan peralihan UUD NRI Tahun 1945, yaitu tata Hukum Adat.
Yang
Dimaksud Hukum Positif dan Hukum Adat
Sebagai makhluk sosial (homo socius) manusia memiliki
kecenderungan berinteraksi dengan lingkungan sekitar, baik lingkungan;
masyarakat etnis-budaya atau adat, agama dan negara. Bahkan, hingga pada
lingkungan masyarakat dunia atau internasional. Namun, di balik sifat homo
socius-nya seorang manusia, ada pula kecenderungan yang selalu ingin bebas
dalam mengekspresikan diri sendiri. Meskipun ekspresi itu kemudian bertentangan
dengan sifat homo socius-nya. Inilah yang dinamakan sifat homo homini
lupus pada diri seorang manusia.
Karena adanya kepribadian ganda yang senantiasa melekat pada
diri manusia, sementara dua kepribadian itu saling bertentangan. Oleh sebabnya,
diperlukan adanya ‘ketentuan’ untuk mengendalikan dua kepribadian tersebut agar
tidak terjadi konflik. Atau apabila terjadi konflik, ‘ketentuan’ yang ada diharapkan
dapat memberi jalan dalam menyelesaikannya. Mengapa ketentuan ini diyakini
dapat mengendalikan dan memberi solusi atas konflik? Sebab di dalamnya terdapat
hak, kewajiban dan sanksi. Inilah ‘ketentuan’ yang lazim dikenal dengan nama ‘hukum’.
Jadi, hukum sejatinya tercipta untuk mengendalikan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Betulkah hukum diciptakan guna
mengendalikan kemungkinan yang akan terjadi? Bila kita rujuk tulisan Plato
dalam The Laws maka pernyataan bahwa hukum sejatinya diperuntukkan paling
utamanya pada kepentingan preventif dapat dibetulkan. Karena berdasarkan pada
pemikiran Plato, sebagaimana digambarkan dalam dialog yang disampaikan Athenian
kepada Cleinias, hukum terbentuk dari ekspektasi terhadap masa yang akan datang.
Lebih lanjut, berikut kutipan dari percakapan yang dimaksud, “He
has opinions about the future, whose general name is ‘expectations’. Specifically,
the anticipation of pain is called ‘fear’, and the anticipation of the opposite
is called ‘confidence’. Over and against all these we have ‘calculation’, by
which we judge the relative merits of pleasure and pain, and when this is
expressed as a public decision of a state, it receives the title ‘law’.”
Dari kutipan di atas maka hukum dalam konsepsi Plato bermula
dari gambaran peristiwa yang akan datang. Peristiwa yang dimaksud berupa
peristiwa buruk yang diterangkan dengan kata pain dan fear atau pun
peristiwa yang baik sebagaimana tergambar dalam bentuk kata confidence dan
pleasure. Untuk menentukan peristiwa tersebut baik atau buruk, kata
Plato, maka hadir yang namanya kalkulasi-alat penakar. Yang apabila dituangkan
dalam kesepakatan publik suatu negara (kelompok masyarakat), maka alat penakar
itu dikenal sebagai hukum.
Pembahasan detail khusus mengenai defenisi hukum dapat dibaca
pada tulisan sebelumnya yang berjudul Berkenalan dengan Ilmu Hukum. Selanjutnya
akan dibahas apa pula rupanya yang dimaksud dengan hukum positif dan hukum adat?
Adakah perbedaan diantara keduanya, atau sama saja? Baik, pertama sekali akan
dibahas perihal hukum positif. Hukum positif atau ada juga yang menyebutnya
sebagai ‘hukum negara’ ialah suatu ketentuan berupa aturan yang muatannya berisi
hak, kewajiban dan sanksi yang dibuat oleh dan/atau berdasarkan kesepakatan
bersama lembaga-pejabat yang berwenang di suatu negara serta hanya boleh
ditegakkan oleh lembaga yang berwenang.
Penjelasan mengenai hukum positif sangat gamblang ditemukan
pada defenisi hukum menurut H.L.A. Hart. Dalam The Concept of Law,
H.L.A. Hart, berkicau setidaknya hukum itu harus memenuhi beberapa syarat,
yakni; 1) berisi larangan atau perintah, 2) sifatnya menuntut atau memaksa, 3)
berisi hak dan kewajiban, 4) berisi sanksi yang diberikan oleh lembaga
berwenang, dan 5) dibuat oleh lembaga berwenang.
Apapun jenis hak, kewajiban, dan sanksi yang diatur, apabila
ia dibuat oleh pejabat negara yang berwenang khusus untuk membuatnya. Maka produk
hukum itu dinamakan hukum positif. Dengan demikian, jika ditemukan suatu produk
hukum berupa undang-undang yang muatannya berisi ketentuan bersumber dari budaya
atau agama tertentu, ia disebut sebagai hukum positif bukan hukum agama atau
pun hukum adat. Dengan demikian pula, tidak tepat sebetulnya muncul penggunaan
istilah undang-undang syariah (mengarah pada Agama Islam), undang-undang adat, perda
syariah, dan perda adat. Contoh, undang-undang tentang perbankan syariah. Meski
pun berisi prinsip-prinsip Agama Islam, tapi tetap saja ia bukan undang-undang
syariah.
Berikutnya, tentang hukum adat. Hal yang harus dipahami ialah
istilah hukum adat tidak bisa disamakan dengan customary law dalam istilah
hukum di Inggris atau negara Anglo-Saxon lainnya. Hukum adat berdasarkan pada
teori L. Pospisil, sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat, yakni suatu
aktivitas di dalam rangka suatu kebudayaan yang mempunyai fungsi pengawasan
sosial. Ciri dari hukum adat setidaknya ada empat, diantaranya; attribute of
authority, attribute of intention of universal application, attribute of
obligation, dan attribute of sanction.
Attribute of authority ialah hukum dalam komunitas adat diputus melalui
mekanisme yang diberi wewenang dan kekuasaan oleh masyarakat. Ingat, kewenangan
itu lahir secara tradisional, tidak melalui prosedur legal-rasional (seperti
pemilihan umum dan sebagainya). Attribute of intention of universal
application yaitu ketentuan dalam hukum adat memiliki jangka waktu yang
panjang dan berlaku untuk peristiwa yang serupa pada masa yang akan datang. Attribute
of obligation, yakni berisi hak dan kewajiban. Terakhir, attribute of
sanction bermakna bahwa hukum adat berisi sanksi jasmani dan rohani. Contoh
sanksi jasmani bisa berupa hukuman tubuh atau harta. Sedangkan sanksi rohani
seperti, misalkan, rasa takut, rasa malu, rasa dibenci, dan lainnya.
Perbedaan
Keduanya
Apakah keberadaan hukum adat bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di Indonesia? Atau tepatkah bila tindakan suatu kelompok
masyarakat menggunakan hukum adat di daerahnya disebut sebagai tindakan
inkonstitusional? Berikut ini uraian jawabannya. C.S.T. Kansil mengatakan
semenjak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan dan UUD NRI Tahun 1945 disahkan
maka ketentuan peralihannya menjadi jembatan bagi Indonesia untuk mempergunakan
perundangan berdasarkan tata hukum sebelum 17 Agustus 1945, yakni tata Hukum
Belanda (Eropa Kontinental).
Meskipun keberadaan Hukum Belanda yang berdimensi Hukum
Positif ditetapkan sebagai model hukum yang berlaku. Namun, tata hukum
Indonesia yang disebut berpribadi asli Indonesia pasca kemerdekaan kembali
menemukan dirinya dalam bentuk riil yang keberadaannya juga diatur oleh
ketentuan peralihan UUD NRI Tahun 1945, yaitu tata Hukum Adat.
Selain dua tata hukum tersebut di atas, ada pula tata hukum
lain yang keberadaannya diakui sebagai bagian dari tata hukum Indonesia, yakni
tata Hukum Islam atau agama. Berdasarkan tulisan Rohidin implikasi hukum dari
Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945 menjadikan kedudukan hukum Islam diakui
keberadaannya di dalam sistem hukum di Indonesia.
Nah, sebetulnya ada tiga sistem hukum yang diakui
keberadaannya secara konstitusional di Indonesia. Yakni hukum positif, hukum
adat, dan hukum agama yang kesemuanya diatur dalam UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian,
penggunaan hukum adat dan bahkan penerapan hukum agama secara patut diakui
sebagai penegakan hukum yang konstitusional alias sah. Hanya saja, dalam
tulisan ini tidak akan dibicarakan lebih rinci perihal hukum agama, tepatnya
hukum yang berlandaskan agama tertentu.
Kembali kepada topik hukum positif dan hukum adat. Diantara keduanya
mempunyai persamaan dan banyak pula perbedaanya. Dalam tabel di bawah akan
ditampilkan perbedaan diantara hukum positif dan hukum adat.
Kategori perbedaan
|
Hukum positif
|
Hukum adat
|
Pejabat
berwenang
|
Harus ada. Dipilih
secara legal-rasional (semacam Pemilihan Umum)
|
Dimungkinkan untuk tidak ada. Kalau pun ada, ia diperoleh
secara monarki-tradisional
|
Bentuk
produknya
|
Harus
Tertulis
|
Tidak
mesti tertulis
|
Sifat
pengaruhnya
|
Ditakuti
|
Dihormati
|
Sanksi
|
Jasmani
|
Jasmani
dan rohani
|
Tujuan
utama
|
Kepastian
formiil
|
Kebahagiaan
materiil
|
Bila
Terjadi Pertentangan di Antara Keduanya
Terakhir, apabila terjadi pertentangan antara ketentuan hukum
negara dengan hukum adat, atau sebaliknya. Lantas, apa yang harus dilakukan? Hukum
mana yang akan diterapkan? Dalam kasus tertentu mungkin ketentuan dalam hukum
adat yang bertentangan dengan ketentuan hukum positif atau sebaliknya tidak
menjadi persoalan. Namun, apabila pertentangan ketentuan yang dimaksud menyangkut
hak sipil dan politik (hak paling dasar manusia) dalam konteks universal
sebagai warga negara dan masyarakat adat maka ketentuan tersebut harus dicabut,
diganti, atau keberadaannya tidak dapat digunakan.
Apa yang dimaksud dengan menyangkut hak sipil dan politik
itu? Yakni apabila ketentuan dalam hukum adat mengatur persoalan, yang
barangkali, ‘menggampangkan’ seseorang menghilangkan nyawa manusia sebagai
bentuk hukuman, mengurangi atau bahkan menghilangkan kehormatan seseorang
sebagai manusia, dan membatasi seseorang untuk menyuarakan buah pikirannya.
Bagaimana proses penegakan hukum, baik positif ataupun adat? Dan
apabila suatu sengketa telah selesai secara adat, apakah dapat disengketakan
kembali lewat hukum positif? proses penegakan hukum positif tentu saja sesuai dengan ketentuan prosedural yang diatur dalam aturan hukum acara seperti KUHAP, HIR, RBG, UU PTUN dan sebagainya. Teruntuk penegakan hukum adat yang ketentuannya
melanggar hak sipil dan politik seseorang sebagai warga negara dan manusia,
maka negara harus turun tangan menggunakan hukum positifnya secara langsung dan
menyeluruh meskipun suatu sengketa itu dianggap telah selesai secara adat.
Sementara untuk penegakan hukum adat yang isinya tidak
menyangkut hak sipil dan politik maka negara tidak perlu turun tangan
menyelesaikannya dengan hukum positif. Bisakah negara tidak menindak suatu
perbuatan kejahatan dengan hukum positif, dengan dalih telah diselesaikan
secara hukum adat, padahal perbuatan kejahatan tersebut secara terang dan nyata
terjadi? Jawabannya bisa. Negara, dalam hal ini penegak hukum khususnya polisi dan
pamong praja memiliki kewenangan spesial yang dikenal sebagai diskresi. Diatur dalam
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Diskresi
atau freies ermessen ialah kewenangan bebas yang dimiliki oleh seorang
penegak hukum di suatu negara untuk memutuskan suatu peristiwa hukum berdasarkan
pikirannya guna melancarkan penyelenggaraan pemerintahan serta memberi
kepastian hukum demi kepentingan umum.
Sebagai contoh dari penjelasan diskresi di atas, seorang
nenek A mengambil tiga ranting kayu di kebun milik B tanpa sepengetahuan pemilik
kebun. Secara hukum positif nenek A betul telah melakukan kejahatan berupa
pencurian, padanya dapat dikenakan pasal 362 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana). Namun, perkara tersebut telah selesai menurut hukum adat setempat,
misalnya. Maka pihak kepolisian dapat menetapkan bahwa perkara hukum tersebut
telah selesai.
1 comments
selalu senang dengan ilmu yang om bagi-bagi
ReplyDelete