Perjuangan Kekuasaan Tradisional dan Karismatik Melawan Kekuasaan Legal-Rasional
ilustrasi gambar: komunitas bambu
Oleh: MHD Zakiul Fikri
"...pemberontakan yang terjadi tersebut tidak dapat dipisahkan dari perkembangan faktor ekonomi, sosial, politik, yang terhubung dengan kepentingan penguasaan terhadap tanah para aristokrat. Faktor-faktor itu kemudian diikuti oleh perkembangan faktor agama yang kontra-produktif dengan pemerintahan kolonial yang dianggap kafir."
Buku Pemberontakan Petani Banten 1888 yang
ditulis oleh Sartono Kartodirdjo mencoba
menjelaskan sejarah perkembangan pemberontakan di Banten yang puncaknya pada
1888. Menurutnya, pemberontakan yang terjadi tersebut tidak dapat dipisahkan
dari perkembangan faktor ekonomi, sosial, politik, yang terhubung dengan
kepentingan penguasaan terhadap tanah para aristokrat. Faktor-faktor itu
kemudian diikuti oleh perkembangan faktor agama yang kontra-produktif dengan
pemerintahan kolonial yang dianggap kafir. Sehingga, empat faktor itu
mempercepat tumbuhnya dorongan struktural bagi pecahnya pemberontakan.
Di satu sisi, kondisi
Banten abad ke-19 yang berada pada masa transisi menyebabkan
ketegangan-ketegangan terutama di antara golongan yang telah kehilangan
kedudukannya secara tradisional seperti para aristokrat eks kesultanan Banten.
Hilangnya hak istimewa dan pemberlakuan yang menghina dari pemerintahan
Kolonial menimbulkan rasa dendam dan frustasi dari golongan-golongan
tradisional tersebut. Pergeseran pusat otoritas dan tanggungjawab dari Bupati
ke administrator kolonial, yang menyebabkan peran Bupati bahkan Sultan
sekalipun sekadar menjadi boneka telah menyebabkan kegusaran.
Di sisi lainnya,
praktik pemerintahan lembaga Kolonial sering kali tidak sejalan dengan praktik
keagamaan tradisional masyarakat Banten yang menimbulkan perasaan getir di
kalangan, khususnya elite agama. Hal itu menyebabkan mereka menentang penguasa
kolonial beserta kolaboratornya. Dalam hal ini, menurut Sartono, dapat dilihat
bahwa pemberontakan 1888 di Banten adalah suatu ekspresi protes sosial terhadap
perubahan sosial yang dipaksakan oleh dominasi barat.
Kelompok tradisional
menginginkan dipulihkannya tatanan tradisional dan terus menobarkan rasah
permusuhan dengan penjajah. Sementara, otoritas agama yang karismatik menjadi
satu unsur penting dalam usaha membina pertumbuhan pergerakan. Dengan
menjadikan tarekat sufi sebagai basis organisasinya, elite agama berhasil
menanamkan semangat revolusioner dalam diri masyarakat. Dokrin mengenai perang
suci melawan kekuasaan kafir salah satu jargon yang didoktrinkan. Muaranya, tercipta
perpaduan antara kekuatan tradisional aristokrat dengan kekuatan karimatik
elite agama melawan praktik-praktik pemerintahan kolonial yang legal-rasional.
0 comments