Revolusi Sistemik: Kritik Konseptual atas Jalannya Reformasi 1998
ilustrasi gambar: goresanintelektual.com
Oleh: MHD Zakiul Fikri
"...Agar struktur pemerintahan diisi orang-orang yang masih fresh dan jernih pikirannya, tidak terbebani oleh budaya politik Orde Baru atau dikotori oleh politik uang yang selama ini terjadi. Lenyapnya budaya-budaya primordial, mental-mental oportunis..."
Buku ini disusun oleh Lukman Hakim, seorang aktivis HMI-MPO
Cabang Malang, yang kali pertama diterbitkan pada tahun 2003 atas kerjasama
antara HMI MPO Cabang Malang dengan Penerbit Kreasi Wacana. Penelitian Lukman,
selaku penulis, memperjelas serta mengurai urgensi dan strategi pelaksanaan revolusi
sistemik. Penulis mengatakan reformasi ’98 tidak lebih hanya sekedar suksesi
yang tidak berarti, perubahan hanya mengikat pada hal-hal ‘formal’, misalnya
saja hanya terbatas pada pergantian kepemimpinan, sedangkan pada sudut ‘substansial’
tidak sedikitpun tersentuh. Perubahan dalam hal-hal formal itu pun meninggalkan
bibit orde baru yang mengisi pos-pos strategis dalam pemerintahan. Dampaknya,
tidak ada perubahan sosial yang baik yang terjadi alias stagnan. Di sinilah
pentingnya revolusi sistemik ditempuh.
Lukaman berpandangan bahwa reformasi ’98 adalah satu-satunya
perubahan aneh yang pernah ada dalam sejarah perubahan Indonesia, karena reformasi
berlangsung tanpa ideologi. Periode Soekarno perubahan terjadi dari ideologi
Fasisme Jepang menuju Nasionalisme Indonesia yang dengan sendirinya menaruh
tempat menguntungkan untuk imperialisme Belanda, yang tampak jelas dalam
perundingan-perundingan yang dilakukan. Sementara, naiknya Soeharto ke
puncak pimpinan sebagai Presiden telah menempatkan pilihan ideologi
pemerintahan kepada kapitalisme lokal atau liberalisme nasional.
Untuk menjawab kekosongan ideologi reformasi ’98, maka
Lukman menawarkan perkawinan dialektik antara Islamisme dengan komunisme-sosialisme,
yang ia namakan dengan sosialisme religius. Bagi Lukman, ketika Fasisme hancur
maka pilihan Ideologi Indonesia mengarah pada Islamisme dan Komunisme-Sosialisme. Sosialisme religius, demikian penulis, akan menghapuskan
individualisme, inisiatif individu dan tanggungjawab individu. Namun, sosialisme
religius berbeda dengan penghapusan kelas atau kelompok-kelompok tertentu. Paham
ini menjamin kemerdekaan bangsa dan individu dengan disandarkan pada
ajaran-ajaran langit yang bersumber dari agama Islam. Tugas negara,
dalam ideologi sosialisme religius, mengadakan kebijakan yang mengatur
perimbangan antara individu dengan masyarakat.
Faham sosialisme religius akan menempatkan ‘tauhid’ pada
tahap awal dan dasar dari pergerakan revolusi. Mengenai revolusi sistemik
sendiri, Lukman mendefenisikannya sebagai sebuah revolusi yang mengarah pada
perubahan sistem secara radikal.
Pelaksanaan revolusi sistemik mengambil hikmah dari
fakta historis yang pernah terjadi di zaman Nabi Muhammad ﷺ;
khususnya peristiwa hijrah dan fathu Makkah, dan revolusi Jerman yang
banyak direkam dalam esai-esai Karl Marx serta revolusi Rusia yang ditulis oleh
Trotsky. Menurut Lukman revolusi tersebut terdiri dari empat langkah, yakni; 1)
revolusi kultural dengan memberi fondasi ajaran Islam, bukan dalam arti pemaksaan
syariah tetapi penerapan secara sosial. Praktiknya, mendorong
masyarakat secara swadaya mendirikan forum revolusi di tempat-tempat
ibadah, di kampung-kampung, di kota-kota atau dimana saja yang membahas permasalahan
bangsa untuk melakukan penyadaran pada wilayah hukum, politik, ekonomi atau wilayah
lainnya.
2) revolusi
struktural I, revolusi ini menjadikan peristiwa hijrah Muhammad ﷺ
sebagai roh dari revolusi struktural sedangkan revolusi Marx sebagai motivator. Tujuan revolusi struktural adalah untuk merebut struktur dari
tangan kekuasaan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai dalam revolusi kultural
yang diharapkan dapat membubarkan tata pemerintahan Orde Baru secara keseluruhan
baik di tingkat pusat atau pun daerah.
3) revolusi
konstitusi, penulis menyebut tahapan ini dilakukan karena asumsi dasar bahwa sejak
awal UUD 1945 melahirkan beberapa kesalahan yang harus diperbaiki dan amandemen
yang dilakukan MPR tidak memperoleh hasil sebagaimana diharapkan. Tahapan
ini dilakukan oleh panitia-panitia revolusi yang telah dibentuk dengan job
desk masing-masing, yakni Dewan Presidium Nasional dan Badan Perumus
Konstitusi Nasional yang dibantu oleh beberapa panitia yang terdiri
dari; Panitia Aspirasi Nasional, Panitia Perekonomian dan Keuangan Nasional,
Panitia Struktur dan Kelembagaan Negara, Panitia Dasar dan Falsafat Nasional, Panitia
Khusus Nasional, dan Panitia Persiapan Pemilu Nasional. Dalam perumusannya,
tahapan ini akan menjadikan Piagam Madinah sebagai pembelajaran.
Terakhir, 4) revolusi struktural II. Ini merupakan tahap
akhir dari revolusi sistemik. Tujuan dari revolusi sistemik, sebagaimana
ditulis penulis, adalah menggantikan kekuasaan lama menjadi sebuah struktur pemerintahan
baru yang bebas dari generasi tua. Sehingga pemotongan generasi kepemimpinan
struktur kekuasaan menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Agar struktur
pemerintahan diisi orang-orang yang masih fresh dan jernih pikirannya, tidak
terbebani oleh budaya politik Orde Baru atau dikotori oleh politik uang yang selama
ini terjadi. Lenyapnya budaya-budaya primordial, mental-mental oportunis atau
penyakit-penyakit keragu-raguan untuk melakukan perubahan.
Tahap terakhir dari revolusi struktural ini merupakan
pengadaan pemilihan umum untuk menempatkan secara legal orang-orang yang
sebelumnya terlibat dalam proses revolusi sejak awal. Lukman beranggapan bahwa
hal ini dilakukan karena negara ini adalah negara rakyat sehingga semuanya harus
dikembalikan pada rakyat.
Bagi Lukman Hakim, selaku penulis, revolusi sistemik ialah
sebuah revolusi yang bertujuan memperbaiki tatanan pemerintahan yang ada. Ia,
revolusi itu, bukan sebuah usaha untuk melakukan dakwah agama secara tekstual,
bukan pula radikalisasi massa demi perjuangan kelas. Revolusi sistemik adalah
usaha mengawinkan dua ideologi, Marxisme dan Islamisme, bukan untuk menggabungkan
atau menyatukan tetapi meng-indonesia-kan.
0 comments