Sejarah dan Perkembangan Konsep Reforma Agraria: Belajar dari Gunawan Wiradi
Oleh: MHD Zakiul Fikri
“Reforma Agraria adalah anak kandung konflik agraria. Artinya, lahirnya gagasan tentang perombakan struktur pemilikan/ penguasaan tanah (yang kemudian dikenal dengan istilah “landreform”, berkembang menjadi “agrarian reform”, dan sekarang “Reforma Agraria”) merupakan respon terhadap situasi konflik dalam masalah pertanahan.”
Sumber utama tulisan ini ialah karya
Gunawan Wiradi yang berjudul Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir
(pdf). Saya tidak berani untuk menyebut tulisan ini merupakan review, melainkan
lebih tepat menggunakan kata resume. Kalau review mengharuskan saya menulis
sesuai dengan gaya penulisan sendiri sebagai reviewer secara murni, resume
tidak demikian, saya tinggal mencomot saja apa yang benar-benar ditulis oleh si
penulis buku. Inilah barangkali salah satu produk yang mencerminkan suatu karya
tulis comot-comot. Tak masalah, menurut saya, selagi hal itu (resume) bukan
dalam arti plagiat.
Baik, masuk ke inti resume. Bagi
negara-negara agraris, menurut Wiradi, masalah tanah pada hakikatnya adalah
masalah fundamental. Sepanjang sejarah, sejak manusia berburu di hutan atau
mengumpulkan hasil hutan, kemudian bertani mengembara sampai kepada bercocok
tanam secara menetap, penguasaan dan pemanfaatan tanah seringkali menimbulkan
sengketa. Karena itu, baik sebagai policy issue maupun (dan lebih-lebih)
sebagai scientific research issue, masalah Reforma Agraria tetap
relevan.
Pengaturan kembali atau perombakan
penguasaan tanah, atau yang secara luas dikenal dengan nama agrarian reform
(bahasa Inggris), atau yang dalam buku ini dipakai istilah Reforma Agraria
(bahasa Spanyol), telah disadari dan dijalankan sejak berabad-abad lamanya.
Umurnya sudah lebih dari 2500 tahun. Wiradi mencatat bahwa tonggak pertama
reforma agraria itu dimulai pada masa Yunani kuno. Tepatnya pada masa
pemerintah Solon sekitar enam abad sebelum masehi (SM), pada tahun 594 SM.
Dalam usahanya melakukan reformasi konstitusional, Solon secara demokratis
berhasil melahirkan undang-undang agraria (yang dikenal dengan istilah seisachtheia).
Tujuannya, membebaskan para “hektemor” (orang yang menggadaikan tanah dan
bekerja sebagai buruh untuk menebus utang atas tanah tersebut) dari hutang, dan
sekaligus membebaskan mereka dari status sebagai budak di bidang pertanian.
Asal muasal kebijakan agraria pada masa
pemerintahan Solon ini merupakan respon atas ketika kondisi hektemor semakin
parah, timbul gejala bahwa mereka akan berontak. Para petani kaya mendesak
kepada Solon agar mencegah jangan sampai terjadi pemberontakan. Sebaliknya para
hektemor mengharap agar keluhan mereka tentang berat beban hutang didengar.
Sementara itu, masyarakat umum juga mengharap agar Solon tetap menjaga
stabilitas, jangan sampai terjadi revolusi. Solon berusaha mengakomodasi semua
kepentingan yang berbeda itu. Kemudian lahirlah undang-undang agraria sebagai
solusinya, yang mengatur perihal hubungan antar subjek dengan tanah.
Undang-undang baru itu ternyata tidak
sepenuhnya memuaskan. Semua justru kecewa. Yang kaya kecewa, karena hutang para
hektemor itu di-”pusokan”. Para hektemor kecewa karena meskipun dibebaskan dari
hutang, dan statusnya direhabilitasi (tidak lagi sebagai budak), tetapi
tanahnya tidak kembali, karena tidak ada program redistribusi. Tiga puluh tahun
kemudian, Pisistratus, seorang pemimpin baru, melanjutkan usaha Solon melakukan
Reforma Agraria dengan cara yang lebih maju, yaitu melalui program
redistribusi: land-to-the-tiller dan land-to-the landless.
Tonggak berikutnya, pada masa Romawi kuno. Sama
dengan yang terjadi di Yunani, Reforma Agraria dilakukan karena menghadapi
kemungkinan terjadinya pemberontakan, tetapi tujuannya berbeda. Di Roma pada
mula tujuannya mengangkat rakyat kecil, dengan cara melakukan redistribusi
tanah-tanah milik umum. Jadi, yang menjadi objek pembaruan adalah tanah-tanah
milik umum yang semula biasanya disewakan atau dibagihasilkan kepada petani
perorangan atau para peternak (untuk padang penggembalaan). Selanjutnya ketika Tiberius
Gracchus terpilih sebagai anggota Dewan perwakilan rakyat pada tahun 134 SM, ia
berhasil menggolkan Undang-undang Agraria (lex agraria). Intinya berupa
penetapan batas maksimum penguasaan tanah. Tanah kelebihan (yaitu kelebihan
dari batas maksimum) harus diserahkan kepada negara (dengan ganti rugi) dan
kemudian dibagikan kembali kepada petani kecil ataupun tunakisma.
Tonggak reforma agraria berikutnya, ketiga,
adalah enclosure movement di Inggris. Gerakan ini menurut Wiradi
sebenarnya bukanlah reforma agraria yang terencana. “Enclosure movement”
adalah suatu proses pengkaplingan tanah-tanah pertanian dan padang
penggembalaan yang semula merupakan tanah yang dapat disewakan oleh umum,
menjadi tanah-tanah individual. Di Inggris, gerakan tersebut merupakan proses
yang berlangsung dalam rentang sejarah yang panjang yaitu sejak abad ke-12
sampai akhir abad ke-XIX. Tetapi ada dua masa puncak, yaitu pertama selama abad
XV dan XVI, dan kedua selama abad XVIII dan XIX. Hasilnya, corak Pertanian abad
pertengahan menjadi lenyap sama sekali, sehingga pada tahun 1830, sisa-sisanya
sudah hampir tidak ada lagi. Hak-hak adat menjadi sirna.
Tonggak keempat yakni pada masa revolusi
Prancis tahun 1789. Saat itu sistem penguasaan tanah feodal dihancurkan.
Tanahnya dibagi kepada petani dan petani budak dibebaskan. Wiradi mengatakan
kesan abadi yang ditinggalkan oleh revolusi Perancis dalam hal Reforma Agraria
adalah dua yang menjadi tujuan pembaruan, yaitu: a) Membebaskan petani dari
ikatan “tuan-budak” (serfdom) dalam sistem feodal, dan b) Melembagakan
usaha tani keluarga yang kecil-kecil sebagai satuan pertanian yang dianggap
ideal.
Tonggak kelima, perubahan agraria di Rusia.
Pada tahun 1906-1911, lahir pembaruan gaya baru yang dikenal sebagai Stolypin
Reforms (sesuai nama orang pencetusnya). Intinya: petani dibebaskan dari
komune-komune dan menjadi pemilik tanah secara bebas. Kemudian, dengan
berhasilnya revolusi 1917, kaum komunis berhasil mencapai kekuasaan dengan
membentuk negara uni soviet. Ciri radikal Reforma Agraria Uni Soviet menurut
Wiradi adalah; a) Hak pemilikan tanah pribadi dihapuskan; b) Penyakapan atau “tenancy”
(sewa, bagihasil, gadai, dan sebagainya) dilarang; c) Penguasaan tanah absentee
dilarang; d) Hak garap dan luas hak garapan ditentukan atas dasar kriterium
seluas apa seorang petani telah benar-benar menggarap tanah itu; dan e)
Menggunakan buruh upahan dilarang.
Tonggak-tonggak reforma agraria selanjutnya
menurut Wiradi ialah setelah Perang Dunia II (PD II) hingga terbentuknya Piagam
Petani (The Peasant’s Charter). Jamak diketahui bahwa pasca PD II, di
tiga negara yaitu Jepang, Korea Selatan dan Taiwan dilancarkan Reforma Agraria
di bawah pengawasan tentara sekutu. Tidak lama kemudian, di berbagai negara
berkembang baik di Asia, Amerika Latin, maupun Afrika, gerakan Reforma Agraria
menjadi semarak, terutama dalam dekade 1950-an dan 1960-an. Masing-masing
negara merupakan kasus yang unik. Namun demikian ada beberapa pelajaran dari
sejarah bahwa pada hakikatnya, tidak ada satu negara pun yang dapat dianggap
sebagai model, kalau yang dimaksud model adalah sesuatu yang secara utuh dapat
ditiru.
Bulan Juli 1979 Konferensi Sedunia mengenai
Reform Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform
and Rural Development disingkat WCARRD) yang diselenggarakan oleh FAO-PBB
di Roma berhasil merumuskan sebuah Deklarasi Prinsip-prinsip dan Program
Kegiatan (Declaration of Principles and Programme of Action) yang
kemudian disebut sebagai Piagam Petani (The Peasants’ Charter). Secara
umum deklarasi itu mengakui bahwa masalah kemiskinan dan kelaparan merupakan
masalah dunia, dan karenanya ditekankan bahwa program Reforma Agraria dan
Pembangunan Pedesaan haruslah dilaksanakan secara serentak meliputi tiga bidang
di tiga tingkat yang saling berkaitan, yaitu; a) di tingkat desa,
mengikutsertakan lembaga pedesaan; b) di tingkat nasional, reorientasi
kebijakan pembangunan, dan c) di tingkat internasional, mendorong terlaksananya
prinsipprinsip tata ekonomi internasional-baru.
Bab I s.d. VII (dari bagian kedua itu
merupakan panduan bagi program kegiatan tingkat nasional negara-negara
berkembang, mencakup masalah-masalah (1) sasaran dan strategi; (2) jangkauan
terhadap penguasaan tanah dan air serta sumber daya alam lainnya; (3)
partisipasi rakyat; (4) integrasi wanita dalam pembangunan; (5) jangkauan
terhadap sarana produksi, pasar, dan jasa; (6) pengembangan kegiatan di luar
usaha tani di pedesaan; (7) Pendidikan, latihan, dan penyuluhan. Bab VII s.d.
XII berisi panduan dalam kebijakan international dalam rangka Reforma Agraria
dan Pembangunan Pedesaan, mencakup masalah (1) perdagangan international; (2) kerja
sama ekonomi dan tehnik antara negara-negara berkembang; (3) penanaman modal
asing; (4) bantuan pembangunan; dan (5) program kegiatan bagi FAO dan
badan-badan lainnya dari PBB.
Wiradi menegaskan bahwa yang namanya
reforma agraria, senantiasa melibatkan perubahan fungsi dan juga perubahan
struktur. Untuk mendalami rasionalisasi reforma agraria, Wiradi mengajak
pembaca untuk melihat secara umum bahwa kebijakan itu (reforma agraria) terkait
erat dengan transformasi agraria (agrarian transformation). Agrarian
transformation dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan keseluruhan
sistem hubungan sosial ekonomi pertanian secara nasional, yang secara khusus
biasanya mengacu kepada perubahan dari suatu struktur yang bersifat “agraris tradisional”
(atau feudalistic atau non-kapitalistik; atau natural economy),
menjadi suatu struktur hubungan di mana pertanian tidak lagi bersifat eksklusif
melainkan terintegrasi ke dalam pilar-pilar ekonomi lainnya, lebih produktif,
dan kesejahteraan rakyat meningkat. Definisi ini memang mencakup masalah yang
luas, termasuk di dalamnya faktor-faktor lingkungan, teknologi,
hubungan-hubungan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan proses-proses lainnya
yang berkaitan.
Menurut Wiradi, yang dikutipnya dari John Harris,
terdapat beberapa jalur atau model yang memungkinkan terjadinya transformasi
agraria ini, di antaranya; Pertama, agrarian transformation terjadi
melalui pengembangan sistem usaha tani kapitalistik, yaitu melalui pengembangan
satuan-satuan produksi berskala besar yang mungkin akan menelan hampir semua
sektor pertanian kecil (sesuai dengan logika kapital). Kedua, agrarian
transformation juga dapat terjadi melalui jalur sosialistik, yaitu melalui
pembentukan usaha tani koperatif berskala besar yang diprakarsai pemerintah;
atau melalui usaha tani kolektif; atau melalui usaha tani negara. Dan Ketiga,
agrarian transformation melalui pengembangan usaha tani skala kecil yang
padat modal, yang biasa disebut sebagai jalur neo-populistis.
Menariknya, dalam membahas rationale reforma
agraria, Wiradi juga menyinggung persoalan klasik tentang mengapa masyarakat petani
(peasantry) tetap bertahan (persist) di tengah monetisasi dan
penetrasi kapital yang sangat besar? Dalam menjawab pertanyaan ini Wiradi menguraikan
pertarungan pemikiran antara kelompok neo-populis dan kelompok Marxian. Namun
yang jelas, lanjut Wiradi, di antara dua corak pemikiran tersebut masih
terdapat teorisasi kontemporer yang dapat digunakan untuk melihat mengapa
petani tetap bertahan. Pertama, teori modernisasi. Dan Kedua, teori artikulasi mode
produksi, yang merupakan varian lain dalam tradisi Marxian. Apa yang dimaksud
teori moderniasi ini tidak begitu dijelaskan Wiradi dalam tulisannya.
Sementara istilah artikulasi diartikan
sebagai terjadinya saling intervensi antara mode produksi kapitalistik dengan
mode-mode produksi yang lain. Menurut Teori Artikulasi ini bertahannya
(persistensi) usaha tani kecil merupakan indikasi terjadinya keterkaitan antara
mode produksi kapitalistik dan mode produksi non kapitalis yang dimungkinkan
karena mode produksi non-kapitalis tunduk kepada (subject to) kebutuhan
fungsional kapital seperti misalnya supply tenaga yang murah dan bahan
mentah yang murah.
Kembali ke rasionalisasi reforma agraria,
Wiradi menyebut ada beberapa pandangan juga yang menjadi dasar pelaksanaan
reforma agraria. Yang jelas, restrukturisasi penguasaan tanah dilandasi oleh
tuntutan atas rasa keadilan. Karena itu, di luar negara-negara sosialis, para
ilmuwan pada umumnya meletakkan pertimbangan logika ekonomi menjadi titik
beratnya, walaupun dengan argumentasi yang berbeda-beda. Ada pandangan
misalnya, bahwa rationale Reforma Agraria adalah membebaskan masyarakat
pertanian dari kungkungan sistem penguasaan tanah secara tradisional dan dengan
demikian memberi peluang berkembang bagi para pemilik tanah melalui persaingan.
Argumentasi demikian ini mencerminkan pemikiran bahwa keadilan diartikan
sebagai “adil dalam peluang”. Perkembangan selanjutnya memang akan berlangsung
secara hukum alam, tetapi startnya harus kurang lebih sama. Karena itu
perlu diciptakan kondisi itu, melalui redistribusi penguasaan tanah.
Adalagi pandangan yang memberi alasan
pembenaran semata-mata atas dasar logika ekonomi, tetapi sedikit berbeda. Yang
ditekankan adalah masalah bagaimana menciptakan alokasi sumber daya seefisien
mungkin. Negara berkembang dicirikan oleh tenaga kerja melimpah, tetapi modal
sangat langka. Petani kecil lebih efisien dalam hal memanfaatkan tanah dan modal,
dibanding dengan petani kaya, dan juga lebih intensif menggunakan tenaga kerja.
Namun para tuan tanah dan petani kaya temyata mempunyai jangkauan yang lebih
mudah terhadap modal dan sarana produksi dari pada petani kecil. Hal ini
disebabkan oleh struktur penguasaan tanah yang timpang yang menimbulkan
perbedaan kuasa dan kemampuan menjangkau kedua faktor tersebut. Karena itu,
agar tercipta alokasi yang optimal atas sumber daya yang tersedia dalam
masyarakat secara keseluruhan, perlu dilakukan redistribusi penguasaan tanah. Umumnya,
para penganut ekonomi neo klasik mengambil jalur argumen yang demikian.
Perdebatan tersebut di atas sebagian besar
menggunakan argumentasi yang menitikberatkan pada aspek ekonomi, sedangkan
menurut Wiradi sendiri kita semua menyadari bahwa Reforma Agraria merupakan fenomena
yang kompleks yang di dalamnya sangat erat terkait aspek-aspek politik dan
sosial. Hal yang jelas lainnya adalah bahwa dari pengalaman sejarah dan uraian
konseptual teoritis reforma agraria tersebut dapat diamati terjadinya
perkembangan konsep tentang Reforma Agraria itu sendiri.
Secara tradisional dalam bahasa Inggris, “land-reform”
mengacu kepada penataan kembali susunan penguasaan tanah, demi kepentingan
petani kecil, penyakap (tenants), dan “buruh tani tidak bertanah”.
Inilah yang dimaksudkan dengan ‘redistribusi’, yaitu mencakup pemecahan dan
penggabungan satuan-satuan usaha tani, dan perubahan skala pemilikan. Konsep
ini kemudian berkembang. Landreform diberi arti yang mencakup dua macam sasaran,
yaitu tenure reform yang artinya sama seperti redistribusi. Lalu, tenancy
reform, yaitu perbaikan atau pembaruan dalam hal perjanjian sewa, bagi
hasil, gadai dan sebagainya tanpa harus merubah distribusi pemilikan.
Di luar negara-negara sosialis, demikian
Wiradi, memang reforma agraria selalu berinti redistributive landreform.
Redistributive landreform artinya penataan kembali sebaran penguasaan
tanah demi kepentingan petani kecil, penyakap (tenants), dan buruh tani
tidak bertanah (tuna kisma). Ini mencakup dua aspek, yaitu tenure reform
dan tenancy reform. Dalam perkembangannya, ke dalam pengertian redistributive
landreform itu lalu dimasukkan pula konsep “konsolidasi tanah”, yang
artinya menyatukan pemilikan tanah yang letaknya terpencar-pencar (fragmentasi)
menjadi satu hamparan yang solid, biasanya melalui cara tukar menukar (ruil
verkaveling). Jadi konsep konsolidasi dan fragmentasi pada dasarnya adalah
konsep spasial, bukan konsep skala.
Sebagaimana diterangkan Wiradi bahwa secara
historis reforma agraria ini merupakan respon yang diberikan pemerintah atas
konflik agraria yang terjadi. Sebab itu, bukanlah mengherankan ketika ia
kemudian berujar bahwa Reforma Agraria adalah anak kandung konflik agraria.
Artinya, lahirnya gagasan tentang perombakan struktur pemilikan/ penguasaan
tanah (yang kemudian dikenal dengan istilah “landreform”, berkembang
menjadi “agrarian reform”, dan sekarang “Reforma Agraria”) merupakan
respon terhadap situasi konflik dalam masalah pertanahan. Karena itu, lanjut
Wiradi, untuk memahami seluk beluk Reforma Agraria perlu juga dipahami dulu
masalah konflik agraria.
Sebagai suatu gejala sosial, kata Wiradi,
konflik agraria adalah suatu situasi proses, yaitu proses interaksi antara dua
(atau lebih) orang atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan
kepentingannya atas objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah, seperti air, tanaman, tambang, dan juga udara yang
berada di atas tanah yang bersangkutan. Kunci utama untuk memahami konflik
agraria adalah kesadaran kita sendiri, yaitu sejauh mana kita menyadari bahwa
tanah merupakan sumberdaya alam yang sangat vital, yang melandasi hampir semua
aspek kehidupan. Bukan saja sekedar sebagai aset, tetapi juga merupakan
basis bagi teraihnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik.
Sumber konflik agraria pada dasarnya
terletak pada adanya sejumlah ketimpangan, ketidakselarasan atau incompatibilities.
Sementara di Indonesia sendiri menurut Wiradi terdapat sedikitnya tiga macam incompatibilities
yaitu; a) Ketimpangan dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah; b)
Ketimpangan dalam hal “peruntukan” tanah; dan c) Incompatibility dalam
hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria.
Ketika keseluruhan incompatibilities
itu bertumpuk menjadi satu, maka batas toleransi rakyat menjadi terlampaui, dan
meledaklah “kemarahan” rakyat yang ekses-eksesnya dapat mewujud dalam bentuk
“penjarahan”, “pencurian”, “pembatatan” tanaman dan lain sebagainya (menurut
jargonjargon yang digunakan oleh pers zaman Orde Baru). Perilaku rakyat/petani
yang mewujud dalam bentuk “pendudukan liar”, “penjarahan”, dan sebagainya itu
pada hakikatnya merupakan manifestasi dari sikap protes karena adanya
ketidakadilan yang melampaui batas kesadaran mereka.
Kehadiran reforma agraria ‘tulen’
diperlukan untuk menjawab incompatibilities tersebut. Kata ‘tulen’ tidak
akan ditemukan dalam tulisan Wiradi karena itu istilah yang saya munculkan
sendiri. Mengapa perlu kata reforma agraria ‘tulen’? karena kehadiran reforma
agraria yang ragu-ragu atau semu (tidak jelas objek dan subjek), sebagaimana
diterangkan Wiradi, tidak akan menjawab persoalan-persoalan ketimpangan agraria
yang terjadi. Bahkan, malah bakal menambah tajam jurang incompatibilities.
Wiradi juga mengurai beberapa usul tentang konsep serta pelaksanaan reforma
agraria di Indonesia pasca reformasi 1998.
Sebelum mencoba merumuskan reforma agraria
yang baik, untuk konteks Indonesia, Wiradi menerangkan kembali karakteristik
reforma agraria yang pernah diterapkan di sepanjang sejarah dari berbagai
negara. Berbagai negara yang pernah melakukan Reforma Agraria itu menganut
model yang berbeda-beda, dan sangat beragam. Wiradi menguraikan model dan ragam
yang berbeda itu berdasarkan kategorisasi sebagai berikut:
Pertama, Berdasarkan ideologi ekonomi, dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
model kapitalis, model sosialis, dan model neo-populis.
Kedua, Atas dasar arah transaksi dapat dibedakan dua model collectivist
reform dan redistributive reform. Yang pertama, ‘mengambil dari yang
kecil untuk diberikan kepada yang besar’, sedang yang kedua, ‘mengambil dari
yang besar untuk diberikan kepada yang kecil’.
Ketiga, Di antara model-model redistributive reform dapat dibedakan
tiga model atas dasar kriteria teknis (i) batas luas maksimum dan minimum
ditetapkan; (ii) batas maksimum ditetapkan tapi batas minimum diambangkan; dan
(iii) dua-duanya (maksimum dan minimum) diambangkan.
Keempat, Atas dasar besarnya peran, baik dalam hal perencanaan program maupun
pelaksanaan, dapat dibedakan dua model, yakni reform-by-grace dan reform-by
leverage. Dalam reform-by-grace peran pemerintah sangat dominan.
Sedangkan dalam reform-by-leverage, justru peran rakyat secara
terorganisasir melalui organisasi-organisasi tani sangat besar, dan dijamin
oleh undang-undang nasional.
Mengingat kondisi yang ada dan situasi yang
sedang berkembang sekarang ini, maka untuk sementara menurut Wiradi jalur yang
sesuai untuk bangsa Indonesia adalah jalur neo-populistik. Sistem ekonomi
kerakyatan (dalam artinya yang genuine bukan retorik) pada hakikatnya adalah
jalur neo-populistik. Jalur Pancasila dalam artinya yang genuine adalah
neopopulistik. Karenanya, paradigma baru pembangunan pertanian Indonesia pasca
1998 haruslah didasarkan atas landasan-landasan berikut ini:
Kesatu, Tanah menentukan berbagai aspek kehidupan. Semua kegiatan manusia
memerlukan luasan tanah. Karena itu,
Kedua, Pembaruan masalah pertanahan harus menjadi landasan dasar strategi
pembangunan: Reforma Agaria dalam artinya yang benar. Bukan reformism!
Ketiga, Pengalaman Revolusi Hijau memberi pelajaran bahwa usaha tani yang
padat teknologi ternyata sangat merusak lingkungan. Karena itu techno-farming
harus disubordinasikan kepada eco farming.
Keempat, Kalau kita masih setia kepada cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, maka
ciri-ciri bangsa merdeka harus kita hadirkan kembali. Hal ini harus diwujudkan
melalui langkah nyata berupa penegasan, pengakuan, dan perlindungan atas hakhak
petani, dan rakyat pada umumnya.
Kelima, Pandangan bahwa globalisasi seolah-olah merupakan dewa pemberi derma
harus kita rombak, dan justru harus kita sikapi dengan ekstra waspada.
Sementara bangunan perekonomian kita harus
didasarkan kepada konsep ekonomi rakyat, yang bertumpu pada beberapa prinsip
dasar, yaitu: a) Produksi berorientasi pada kebutuhan masyarakat, kebutuhan
rakyat, bukan kepada promosi penjualan; b) Mengutamakan manfaat bagi rakyat
banyak, bukan laba yang sebesar-besarnya bagi perorangan; c) Melibatkan rakyat
banyak, dan melestarikan lingkungan, bukan produksi masal yang murah harganya;
d) Meningkatkan tanggung jawab sosial dalam kegiatan produksi, distribusi dan
konsumsi, bukan promosi pasar yang direkayasa; e) Peningkatan kualitas hidup
rakyat banyak, bukan akumulasi kekayaan perorangan; dan f) Memperhatikan etika
dalam kehidupan ekonomi yang terjamin rasa keadilan, keamanan usaha, dan
terhindar dari dekadensi moral.
Terakhir, agar pelaksanaannya berjalan
dengan baik, demikian Wiradi, reforma agraria memerlukan pemenuhan terhadap
empat prasyarat berikut; a) Kemauan politik (dalam artinya yang
sungguh-sungguh) dari elit penguasa, harus ada; b) Elit pemerintahan/birokrasi
harus terpisah dari elit bisnis (ini sulit menciptakannya); c) Partisipasi
aktif dari semua kelompok sosial harus ada. Organisasi Rakyat/Tani yang
pro-reform harus ada; dan d) Data-dasar masalah agraria yang lengkap dan teliti
harus ada.
1 comments
Great blog I enjoyed reading
ReplyDelete