Ilusi Mandraguna Bank Tanah

 

ilustrasi gambar: dikutip dari koran.tempo.co

Mhd Zakiul Fikri

Kemunculan bank tanah, lebih jauh, justru membuka jalan bagi privatisasi tanah karena perannya menjadi makelar tanah untuk menyediakan lahan kosong yang aman bagi para investor swasta melalui skema jual beli atau sewa menyewa terhadap objek tanah tersebut. Hal ini tidak sejalan dengan larangan monopoli swasta yang diatur oleh UUPA 1960.

Bank tanah, salah satu isu yang disebut pada saat debat wakil presiden tempo hari, idealnya dibuat untuk menyelesaikan masalah tata kelola pertanahan di Indonesia. Masalah tata kelola pertanahan yang dimaksud harusnya, seperti; ketidakjelasan sempadan antara mana yang masuk tanah adat rakyat, mana tanah ulayat, tanah negara, dan mana yang termasuk kawasan hutan. Di samping itu, ada pula persoalan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur pemerintah, proyek ekstraktif pertanian, kehutanan, hingga pertambangan.

Dengan berbagai persoalan itu, maka kemunculan bank tanah idealnya sebagai lembaga untuk mempermudah proses perhutanan sosial, legalisasi, redistribusi, ataupun rekognisi atas objek tanah guna menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Supaya tujuan hukum agraria (baca: pertanahan) nasional itu tercapai yakni untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang merdeka, adil dan makmur.

Dalam perjalanannya, alih-alih menyelesaikan masalah pertanahan yang terjadi, bank tanah justru membawa masalah baru bagi tata kelola pertanahan Indonesia. Manakala ditilik lebih jauh, ternyata, masalah ini berakar dari persoalan paradigmatik yang dibawa oleh lembaga tersebut saat awal pembentukannya hingga praktek yang dikerjakannya. Beberapa persoalan itu, di antaranya; Pertama, Bank Tanah dibentuk tidak berdasarkan mandat UUPA 1960. Padahal, dalam setiap perumusan tata kelolaan pertanahan semestinya merujuk pada prinsip dan norma-norma yang diatur dalam UUPA 1960.

Sejak kemunculannya pada tahun 1960 lalu, UUPA 1960 diciptakan sebagai dasar pijakan bagi hukum agraria nasional, terutama dalam kaitannya dengan persoalan pertanahan. Sebab, dari 67 Pasal UUPA 1960, 53 Pasal di antaranya mengatur tentang tanah. Sayangnya, pembentukan bank tanah hanya didasarkan pada UU Cipta Kerja. Sementara, undang-undang tersebut juga tidak merujuk pada UUPA 1960, sehingga ia bukanlah lex specialis dari UUPA 1960. Jadi, sangat mungkin keberadaan bank tanah dalam praktek akan jauh dari tujuan UUPA 1960 karena sejak awal pembentukannya tidak didasarkan pada prinsip dan norma-norma hukum yang telah diatur dalam UUPA 1960.

Kedua, kelembagaan bank tanah dan konflik kewenangan yang ditimbulkannya. Bank tanah seturut PP No. 64/2021 merupakan badan hukum khusus (sui generis) yang dibentuk oleh pemerintah yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden melalui Komite. Badan hukum ini bukan institusi sekelas kementerian dan tidak dapat disamakan dengan BUMN, sebab itu ia tidak berada di bawah Kementerian BUMN. Bukan pula badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah sesuai PP No. 38/1963. Komite bank tanah diisi oleh Menteri Keuangan, Menteri PUPR, dan Menteri lain yang ditunjuk Presiden.

Dengan demikian, bank tanah secara tidak langsung berada di bawah rezim yang berbeda dengan Kementerian Agraria yang lazimnya mengurusi urusan pertanahan. Sementara itu, beberapa kewenangan dari Kementerian Agraria juga dimiliki oleh bank tanah, misalnya hal yang berkaitan dengan redistribusi tanah untuk reforma agraria. Kondisi ini menyebabkan kehadiran bank tanah menambah konflik kewenangan dalam urusan pertanahan. Padahal, semestinya sui generis di sektor pertanahan tidak meninggalkan tujuan, nilai-nilai, prinsip hukum, dan norma-norma hukum pertanahan yang telah ada, terutama yang diatur dalam UUPA 1960.

Ketiga, kewenangan untuk mengadakan hubungan hukum kontraktual. Salah satu skema pemanfaatan tanah oleh bank tanah yaitu kerja sama melalui jual beli dan sewa. Dua bentuk skema kerja sama tersebut melahirkan hubungan hukum kontraktual antara negara dengan rakyat. Hubungan hukum yang demikian sesungguhnya dilarang oleh UUPA 1960 karena berpotensi menimbulkan praktek pemerasan dan monopoli swasta.

Konsep jual beli antara negara dan rakyat juga tidak dikenal dalam sistem hukum pertanahan nasional menurut UUPA 1960. Ketika negara membutuhkan tanah untuk pembangunan, maka skema yang diatur oleh UUPA 1960 ialah pencabutan hak atas tanah. Jadi, tanah rakyat itu tidak dibeli, melainkan haknya dicabut dengan memberikan ganti kerugian yang layak. Perlu dicatat, pencabutan hak atas tanah ini tidak boleh sembarangan.

Selain ganti kerugian yang layak, pembangunan di atas tanah tersebut juga harus dilakukan oleh negara sendiri, bukan swasta. Kemudian, tidak boleh ada sekat kelas ekonomi yang dapat mengakses hasil dari pembangun tersebut. Selain itu, Pasal 44 UUPA 1960 memang membolehkan adanya sewa menyewa atas tanah hak milik. Namun, dikarenakan bukan termasuk badan hukum yang dapat memperoleh hak milik atas tanah, maka bank tanah tidak diberi hak milik melainkan hak pengelolaan.

Kemunculan bank tanah, lebih jauh, justru membuka jalan bagi privatisasi tanah karena perannya menjadi makelar tanah untuk menyediakan lahan kosong yang aman bagi para investor swasta melalui skema jual beli atau sewa menyewa terhadap objek tanah tersebut. Hal ini tidak sejalan dengan larangan monopoli swasta yang diatur oleh UUPA 1960.

Dengan beragam masalah paradigmatik yang dihadapi oleh bank tanah, maka tidak heran ketika kehadirannya jauh dari cerminan wujud suatu lembaga yang memperjuangankan cita-cita UUPA 1960, yakni memberikan kepastian hukum bagi masyarakat untuk mengelola sendiri tanahnya dalam rasa aman dan damai. Sejauh ini, bank tanah tidak lebih dari sekadar institusi yang menambah ruang bagi penghamburan uang negara, tetapi malah dijadikan selaku makelar pengadaan tanah bagi monopoli swasta. Di awal terbentuknya, bank tanah memperoleh modal dari APBN sebesar 2,5 triliun rupiah. Alih-alih menyelesaikan masalah tata batas pertanahan dengan memberikan kepastian hukum bagi rakyat yang mengelola tanah dan mendistribusikan tanah bagi rakyat yang fakir tanah, dengan modal tersebut bank tanah justru mengiklankan katalog produk yang berisi peta, luas, hingga potensi tanah-tanah negara untuk diperjual belikan atau disewakan.

Hingga akhir 2023, setidaknya lebih dari 17.000 hektar tanah negara berada dalam katalog bank tanah. Kurang dari 3000 hektar dari total luas tanah negara itu digunakan untuk konservasi, pembangunan infrastruktur jalan dan bandara, pertambangan, perumahan, hingga reforma agraria. Sementara sisa lainnya masih diiklankan, menunggu tawaran swasta untuk membeli atau menyewanya. Keberadaan reforma agraria dalam proyek bank tanah seolah sejalan dengan cita-cita UUPA 1960. Namun, sesungguhnya praktek bank tanah sejauh ini tidak ubahnya seperti perusahaan properti pertanahan. Apakah itu sesungguhnya maksud dari hak menguasai negara yang diinginkan oleh UUPA 1960?

Jawabannya adalah tidak. Negara dalam bentuk badan apapun oleh UUPA 1960 tidak boleh membangun bisnis properti yang berhubungan langsung dengan hak atas tanah dengan rakyat. Kewajiban negara oleh UUPA 1960 ialah memberikan tanah kepada rakyat yang mengelola, mencegah pengelolaan tanah dari pemerasan, mencegah kepemilikan tanah yang terlalu luas, hingga melarang monopoli tanah oleh swasta. Karenanya, mandraguna bank tanah belum bisa menjamin terlaksananya kewajiban yang dibebankan oleh UUPA 1960 tersebut kepada negara sebagai organisasi kekuasaan yang mengurusi tata kelola pertanahan di Indonesia. Lebih jauh, bank tanah bukanlah solusi dari masalah pertanahan yang sedang berlangsung.


*Artikel ini pernah terbit di koran.tempo.co edisi 12 Maret 2024 dengan judul “IlusiMandraguna Bank Tanah

0 comments