“Alih-alih mengobral hak guna usaha 190 tahun, lebih baik pemerintah memberikan jaminan keamanan tenurial ke investor.”
Pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) yang direncanakan menjadi pengganti ibu kota negara Jakarta kembali menuai perhatian publik. Hal itu terjadi manakala Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN. Salah satu isu yang menjadi sorotan dari peraturan tersebut adalah soal pemberian hak guna usaha yang jangka waktunya mencapai 190 tahun. Ketentuan ini dapat ditemukan dalam Pasal 9 Ayat (2).
Sebetulnya tidak
ada yang baru dari ketentuan tersebut karena pasal tersebut merupakan salinan
dari norma Pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2023 tentang
Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal
bagi Pelaku Usaha di IKN. Ketentuan sama juga diatur dalam Pasal 16A Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas UU No 3/2022 tentang
IKN.
Dalih yang
digunakan pemerintah ketika merumuskan norma tersebut salah satunya ialah
sebagai pemikat minat investor asing agar berkenan terlibat dalam pembangunan
sektor investasi non-APBN di IKN. Dari segi regulasi, pemberian konsesi yang
mencapai 95 tahun untuk satu kali siklus tersebut bukan pula baru muncul pada
pemerintah saat ini, tetapi pernah diatur oleh pemerintah sebelumnya melalui
Pasal 22 Ayat (1) UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Penjelasan Pasal
22 Ayat (1) UU Penanaman Modal menyatakan terhadap hak guna usaha yang telah
habis masa berlaku selama 95 tahun dapat diperpanjang selama 60 tahun dan
diperbarui selama 35 tahun. Artinya, total lama pemberian hak guna usaha oleh
UU IKN dan peraturan turunannya memiliki kesamaan dengan ketentuan yang pernah
diatur dalam UU Penanaman Modal, yaitu selama 190 tahun.
Kurang dari
setahun sejak diundangkan, pada 2008 norma Pasal 22 Ayat (1) UU Penanaman Modal
dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 21-22/PUU-V/2007.
Alih-alih
menghidupkan kembali norma yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, akan
lebih baik bagi pemerintah memperhatikan kebutuhan investor ketika menanamkan
modalnya dalam proyek pembangunan IKN. Investor bisa saja lebih memilih
kepastian akan jaminan keamanan tenurial di Indonesia sebelum benar-benar
menanamkan modalnya.
Sistem jaminan
keamanan tenurial ini diharap memberikan rasa aman bagi investor mengenai
status hukum tanah yang akan mereka kelola, terhindar dari kemungkinan
permasalahan, sengketa, hingga konflik pertanahan antara investor dan klaim hak
masyarakat di sekitar proyek pembangunan. Sistem yang demikianlah yang perlu
diperkuat, baik di dalam UU IKN maupun peraturan turunannya seperti PP No
12/2023 dan Perpres No 75/2024.
Mengenai sistem
keamanan tenurial di IKN, ada beberapa hal yang perlu dicermati kembali dari
berbagai peraturan pokok yang terkait dengan pembangunan IKN. Pertama, Pasal 16
Ayat (1) UU IKN memang telah mengatur bahwa tanah untuk pembangunan proyek IKN
diperoleh dari pelepasan kawasan hutan dan pengadaan tanah. Tanah itu kemudian
ditetapkan sebagai barang milik negara dan aset dalam penguasaan otorita IKN,
diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) PP No 12/2023.
Namun, belum ada
peraturan lebih lanjut yang mengatur tata cara penetapan suatu kawasan sebagai
barang milik negara ataupun sebagai aset dalam penguasaan otorita IKN. Selain
itu, tidak pula ada perintah dari peraturan yang telah ada untuk membentuk
norma penjelas.
Kedua, Pasal 15 Ayat (6) UU IKN lebih jauh mengatur bahwa pengadaan tanah dilakukan atas tanah yang secara de facto tidak difungsikan. Sementara itu, dalam hal tanah yang secara fisik telah difungsikan akan dilakukan konsolidasi. Pasal 8 Perpres No 75/2024 mengatur penanganan terhadap tanah-tanah yang dikuasai masyarakat dengan iktikad baik, yang termasuk kawasan aset dalam penguasaan otorita IKN, dilakukan dengan cara pengadaan tanah oleh tim terpadu yang diketuai kepala otorita.
Apabila masyarakat
keberatan dengan ganti kerugian yang ditawarkan oleh tim terpadu, dilakukan
konsinyasi. Norma demikian sama artinya pemerintah memaksa rakyatnya untuk
menjual paksa tanah mereka yang diklaim berada dalam kawasan aset dalam
penguasaan otorita.
Lebih jauh, baik
di UU IKN maupun peraturan turunannya belum diatur dengan jelas tentang tata
cara konsolidasi atas tanah yang secara de facto telah dikuasai dan dikelola
oleh masyarakat. Kalau diperhatikan, ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional No 4/1991 tentang Konsolidasi Tanah,
setidaknya ada empat hal yang menjadi prasyarat pelaksanaan konsolidasi tanah.
Satu, konsolidasi
dilakukan untuk pembangunan prasarana dan fasilitas umum. Dua, melibatkan
partisipasi para pemilik atau penggarap tanah. Tiga, lokasi konsolidasi
ditetapkan bupati/wali kota selaku kepala daerah tingkat II. Empat,
dilaksanakan apabila sekurang-kurangnya 85 persen dari pemilik tanah yang luas
tanahnya meliputi sekurang-kurangnya 85 persen dari luas seluruh areal tanah
konsolidasi menyatakan setuju.
Pertanyaannya,
dapatkah konsolidasi tanah dilakukan di atas kawasan aset dalam penguasaan
otorita? Mengingat di kawasan aset dalam penguasaan otorita tidak saja
fasilitas umum yang akan dibangun, tetapi juga fasilitas komersial, seperti
hotel, pusat perbelanjaan, restoran, dan pusat hiburan atau rekreasi.
Ketiga, ketentuan
Pasal 15A UU IKN masih kabur dan membingungkan. Pasal 15A Ayat (1) mengatur
bahwa salah satu tanah di IKN ialah tanah milik masyarakat. Selanjutnya, yang
dimaksud dengan tanah milik masyarakat oleh Pasal 15A Ayat (5) ialah ”tanah
dengan hak atas tanah berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pakai, dan tanah yang dikuasai oleh pihak yang berhak.”
Pada Pasal 15A
Ayat (6) kemudian diatur ”hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (5)
berupa hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai dapat diberikan di atas
tanah negara, tanah hak milik, atau tanah hak pengelolaan.” Tidak ditemukan
ketentuan lebih lanjut dalam UU IKN tentang ”tanah yang dikuasai oleh pihak
yang berhak” sebagaimana diatur dalam Pasal 15A Ayat (5).
Dari berbagai
catatan tersebut dapat dilihat sesungguhnya ruang bagi terjadinya permasalahan,
sengketa, dan konflik tenurial di kawasan pembangunan IKN sangat mungkin
terjadi. Norma yang ada saat ini sangat longgar dalam memberi kepastian hukum
penyelesaian isu-isu berkenaan penguasaan dan kepemilikan tanah.
Dengan demikian,
alih-alih mengobral hak guna usaha hingga selama 190 tahun yang jelas telah
diputus inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi dan jauh dari semangat
lahirnya UU Pokok Agraria Tahun 1960, maka akan lebih baik bagi pemerintah
untuk memberikan jaminan keamanan tenurial kepada para calon investor.
Jaminan keamanan
tenurial bagi investor dapat diberi dengan merevisi regulasi yang telah ada
terkait dengan pembangunan IKN. Dalam regulasi terbaru perlu dipertegas
pengaturan tentang tata cara penetapan kawasan barang milik negara dan kawasan
aset dalam penguasaan otorita, melibatkan partisipasi aktif masyarakat
terdampak dalam pengadaan tanah, mengatur dengan tegas hal berkenaan dengan
konsolidasi tanah, dan mengatur dengan tegas perlindungan hak bagi rakyat yang
menguasai dan mengelola fisik tanah dengan cara iktikad baik.
*Artikel ini pernah terbit di Kompas.id edisi Kamis tanggal 1 Agustus 2024 dengan judul yang sama, “TantanganKeamanan Tenurial di IKN bagi Investor”
0 comments