ilustrasi gambar: www.tangerangsatu.com
Oleh: MHD. Zakiul Fikri
menyoal fenomena politik dinasti kepala daerah yang tejadi di Indonesia hari ini tidak cukup ditinjau dari aspek norma atau peraturan perundang-undangan. Karena hal ini terjadi bukan hanya disebabkan oleh suatu aturan semata. Namun, budaya politik di tubuh partai politik dan masyarakat sendiri pun mesti diperbaiki.
Jum’at
lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap
tangan (OTT) terhadap Sri Hartini yang merupakan Bupati Klaten, Jawa Tengah.
Dalam OTT tersebut ditemukan barang
bukti berupa uang Rp. 2 miliar dan USD 100. Sri Hartani merupakan Bupati
Kabupaten Klaten periode 2016-2021 yang baru dilantik 17 februari 2016 lalu.
Jauh sebelum ia terpilih menjadi Bupati di Kabupaten Klaten, suaminya Haryanto Wibowo juga sudah terlebih dahulu
menjadi Bupati di Kabupaten Klaten. OTT oleh KPK terhadap Sri Hartini tentunya
akan menambah catatan buruk praktek politik dinasti kepala daerah di Indonesia.
Politik
dinasti biasa diartikan sebagai sikap politik yang mengarah pada hubungan darah
dan kekerabatan yang terjadi dalam satu pemerintahan di suatu daerah atau
wilayah. Pemahaman ini membawa arti bahwa suatu wilayah dipimpin secara
turun-temurun oleh satu keluarga. Lantas, bagaimana pemahaman ini jika ditinjau
dalam konteks praktek pemerintahan di Indonesia?
Spirit
berdemokrasi di Indonesia memandang bahwa setiap warga negara adalah setara dan
memiliki hak di pilih dan memilih dalam pemerintahan. Hal ini diatur secara
eksplisit dalam Pasal 28 D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Karena itu pula, maka wajar ketika Mahkamah Konstitusi
(MK) melalui proses judicial review memutuskan bahwa aturan Pasal 7
huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang mengatur tentang calon kepala daerah
tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana adalah
inkonstitusional. Dengan demikian, tidak perlu lagi kemudian mendebat soal
aturan hukum atau norma-norma yang mengatur dan memungkinkan terjadinya politik
dinasti di negeri ini.
Akantetapi,
hal yang perlu direnungkan kembali bahwa bagaimana praktik politik dinasti yang
cenderung ‘buruk’ ini bisa terjadi dan apa langkah yang harus dilakukan untuk
menghadapinya. Politik dinasti yang cenderung ‘buruk’ ini terjadi disebabkan
oleh: Pertama, Praktik oligarki masih cenderung terjadi di tubuh
partai politik saat ini yang membuat partai politik dikelola layaknya
perusahaan dengan prinsip kepemilikan orang-orang tertentu. Dampaknya,
‘eksistensi’ perjuangan partai politik tidak lagi mampu diidentifikasi
berdasarkan basis ideologi perjuangan politiknya. Salah satu upaya menghadapi praktik
oligarki ini ialah dengan membangun praktik meritokrasi dalam tubuh partai
politik. Artinya, seorang yang diusung oleh partai politik untuk menjadi calon
kepala daerah bukan berdasarkan harta, keturunan, dan hal-hal lain yang
bersifat traditional legitimacy. Namun, lebih dikarenakan adanya
integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas dari seseorang yang diusung
tersebut. Kedua, Kurangnya pemahaman politik masyarakat karena
tidak tersentuhnya masyarakat oleh pendidikan politik. Masyarakat juga
merupakan pelaku politik di negeri ini. Oleh karenanya, sudah seharusnya
masyarakat diberikan pemahaman politik baik dari pemerintah ataupun oleh partai
politik itu sendiri. Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak hanya menjadi
korban politik oleh orang-orang tertentu, tapi ia juga mampu menjadi pelaku
cerdas dalam menentukan hak-hak politiknya, terutama dalam hal memilih calon
kepala daerah.
Akhirnya,
menyoal fenomena politik dinasti kepala daerah yang tejadi di Indonesia hari
ini tidak cukup ditinjau dari aspek norma atau peraturan perundang-undangan.
Karena hal ini terjadi bukan hanya disebabkan oleh suatu aturan semata. Namun, budaya politik di tubuh partai politik
dan masyarakat sendiri pun mesti diperbaiki.
0 comments