Oleh: MHD Zakiul Fikri
“…kapitalisme menghadirkan dilema yang pelik sebab memiliki efek ekslusi yang kronis dalam jantungnya…”
Artikel ini merupakan review atas buku Power of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast
Asia (versi Bahasa Indonesia diterbitkan Insist Press dengan judul Kuasa
Ekslusi: Dilema Pertanahan di Asia Tenggara) ditulis oleh Derek Hall,
Philip Hirsch, dan Tania Murray Li. Sesuai dengan judulnya, buku ini berisi rekaman
dinamika perubahan relasi atas tanah yang terjadi di kawasan Asia Tenggara, seperti
di Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos, dan Vietnam.
Para penulis melihat pasca 1980-an penggunaan tanah pedesaan
dan hubungan sosial terkait tanah di Asia Tenggara mengalami perubahan mencolok
yang mengancam sektor pertanian. Pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, dan
urbanisasi mendorong konversi sejumlah besar kawasan pertanian untuk kegiatan
komersial, industri, perumahan, tempat-tempat wisata, dan pembangunan
infrastruktur. Kepedulian pada lingkungan juga tengah menggiring badan-badan Pemerintahan
untuk menetapkan sejumlah luasan tanah sebagai zona terlindung.
Fenomena tersebut di atas, oleh para penulis, disebut
juga sebagai semacam proses “deagrarianisasi” di Asia Tenggara. Yakni suatu
proses kian merosotnya peran pertanian bagi perekonomian nasional dan sebagai
sumber penghidupan. Lebih jauh, para penulis melihat berbagai proses dalam
perubahan relasi atas tanah yang terjadi di Asia Tenggara tidak bisa dilepaskan
dari apa yang mereka sebut sebagai kuasa ekslusi.
Istilah ‘ekslusi’ sering digunakan dalam kajian-kajian terkait
pertanahan, yang penggunaannya cenderung memiliki dua ciri. Secara empiris, ekslusi
sebagai suatu kondisi mengacu pada situasi ketika sejumlah besar orang tidak
memiliki akses atas tanah; sementara ekslusi sebagai proses mengacu pada
aksi-aksi skala besar dan sering kali diiringi kekerasan yang membuat rakyat
miskin terusir dari tanah mereka oleh, atau atas nama, pihak-pihak yang
berkuasa. Secara normatif, ekslusi sering disamakan dengan penyingkiran. Ekslusi
dalam perspektif ekonomi politik kritis, demikian para penulis, merujuk pada
kondisi distribusi tanah yang sangat timpang, dengan sejumlah besar orang tidak
mendapatkan akses/memiliki tanah, sementara sedikit orang menguasai sebagian
besar tanah.
Di pedesaan seantero Asia Tenggara, para penulis melihat
pencegahan akses atas tanah dapat dipahami melalui empat kuasa ekslusi berikut, di antaranya; pengaturan, paksaan, pasar, dan legitimasi. Pengaturan,
baik yang lahir dari kebijakan negara ataupun tidak, seringkali menyediakan
rangkaian aturan terkait dengan akses atas tanah dan syarat-syarat
penggunaanya. Pengaturan ini biasanya memiliki empat komponen utama. Pertama, menentukan
batas-batas suatu petak tanah dengan petak lain. Kedua, menentukan
jenis-jenis penggunaan tanah yang diperbolehkan atau dilarang di antara
batas-batas tersebut, misal peruntukannya untuk konservasi, cagar budaya, industri,
perdagangan, pariwisata, hutan, pertanian, militer, permukiman, dan sebagainya.
Ketiga, pengaturan menentukan jenis-jenis klaim kepemilikan dan hak
pemanfaatan untuk berbagai macam status tanah. Dan keempat, pengaturan
membuat ketentuan mengenai siapa saja yang punya alas hak atas lahan tertentu.
Paksaan menciptakan ekslusi melalui penggunaan kekerasan
atau ancaman kekerasan, baik dilakukan aparat pemerintah (polisi, tantara,
pamong praja) maupun pelaku-pelaku non pemerintah (preman, milisi, mafia, satpam,
dan lain-lain). Mengapa paksaan menjadi kuasa ekslusi? Menurut para penulis hal
itu dikarenakan paksaan adalah inti dari pengaturan. Saat sanksi ditimpakan
kepada sesiapa yang melanggar hukum, sebagian besar terjadi dengan jalan
paksaan.
Kemudian pasar membatasi akses atas tanah melalui
permainan harga dan penyediaan insentif yang menguntungkan klaim individu atas tanah.
Pasar mendorong terjadinya ekslusi atas tanah, karena ia dapat menjadikan tanah
sebagai komoditas ekonomi. Contoh, ketika tanah-tanah di pinggiran kota harganya
melonjak spektakuler, orang-orang terdorong untuk menjualnya. Atau, melejitnya
harga kopi, sawit dan sebagainya di pasar dunia telah mendorong jutaan warga
Asia Tenggara untuk menanam komoditas budidaya bersifat monocrop atau
monokultur tersebut.
Suap-menyuap antara pasar dan penguasa, seturut
pengamatan para penulis, seringkali mengambil peran penting dalam menentukan mengorbitnya
aturan mengenai tata ruang dalam suatu kawasan tertentu sehingga mendorong terjadinya
pasar tanah. Kuasa ekslusi pasar ini memang agak sulit untuk dihindarkan karena
ia berakar pada kapitalisme. Para penulis sendiri menyatakan kapitalisme menghadirkan
dilema yang pelik sebab memiliki efek ekslusi yang kronis dalam jantungnya. Kapitalisme,
demikian Derek Hall dkk., tidak saja terjadi disebabkan dorongan memproduksi
untuk pasar ketika peluang menguntungkan terbuka. Namun, ada kala memproduksi untuk
pasar karena terpaksa. Unsur keterpaksaan ini kemudian melahirkan hubungan-hubungan
kapitalis (capitalist relation). Sangat sulit sekali bagi petani untuk
keluar dari lingkaran pasar yang dikontrol kapitalisme ini. Petak-petak lahan
yang tersisa yang berkombinasi dengan kebutuhan jasa yang disepakati penduduk
masa kini sebagai kebutuhan pokok (misalnya biaya sekolah, biaya kesehatan dan sebagainya),
memaksa para petani terlibat dalam pasar sebagai produsen tanaman komersial
atau penyedia tenaga kerja.
Kuasa ekslusi terakhir, yaitu legitimasi. Para penulis mengatakan
legitimasi memapankan basis moral untuk menyatakan klaim secara ekslusif, juga
untuk menyokong kuasa pengaturan, pasar, dan pemaksaan agar tindakan ekslusi
bisa diterima secara sosial dan politik. Di Asia Tenggara, legitimasi ini memiliki
wujud yang beragam. Misal, suatu keluarga merasa bahwa mereka memiliki hak atas
sebidang tanah karena telah mengeluarkan banyak uang, sementara orang lain dari
kelompok suku tertentu merasa bahwa mereka memiliki hak atas tanah tersebut
sebagai bagian dari ulayat warisan luhur mereka yang tidak bisa dijual.
Empat kuasa ekslusi di atas seringkali digunakan untuk
mempertahankan akses atau mencegah akses, atau dengan kata lain, mengeksklusi
atau merespon ekslusi. Derek Hall dkk. menegaskan bahwa ekslusi seringkali bermaujud
dalam wajah ganda. Hal ini dampak dari kenyataan di mana ekslusi menciptakan
perlindungan sekaligus ketakamanan. Ketika tanah menjadi langka, akses ekslusif
atas tanah produktif bagi suatu pihak akan berbuah ketegangan karena pihak lain
tidak mendapatkannya. Ketegangan ini menjadi jantung perebutan tanah.
Buku karya Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li ini cukup padat, baik dari sisi fisik ataupun materi yang diulas. Sisi fisik, kepadatan buku ini tampak dengan jumlah ketebalan yang menyentuh hampir 400 halaman dengan diameter buku 14 x 20 cm. Dari sisi materi, buku ini banyak memaparkan contoh-contoh kasus di berbagai negara yang ada di kawasan Asia Tenggara, khususnya negara-negara yang telah disebut pada paragraf pertama dalam review ini. Dari berbagai contoh kasus itulah para penulis melihat dan membuat semacam analisis konseptual mengenai relasi kuasa ekslusi yang terjadi. Bagi peminat isu-isu agraia, buku ini menarik untuk dibaca sebagai referensi tambahan wacana agraria. Pembaca akan melihat bagaimana, sejatinya, kasus-kasus yang terjadi di Malaysia, Vietnam, Kamboja, Philipina, dan lainnya di kawasan Asia Tenggara tidak jauh berbeda atau bahkan persis sama dengan apa yang terjadi di Indonesia. Bagian apa saja yang tampak atau bahkan mirip itu? Sebaiknya baca sendiri, sebab setiap pembaca memiliki sudut pandang dan akhir kesimpulan yang seringkali tidak sama. Hee.
0 comments