ilustrasi gambar: sampul buku Islam dalam Tinjauan Madilog terbitan Komunitas Bambu tahun 2000
Oleh: MHD Zakiul Fikri
"...keberadaan Muhammad di tengah kebobrokan moral sosial-budaya masyarakat Arab Makkah ini seperti halnya intan yang memang bisa diselimuti tetapi tak bisa dicampur lebur dengan lumpur."
Umumnya dalam buku sejarah revolusi kemerdekaan Republik Indonesia, nama Tan Malaka atau lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka ('Tan Malaka' merupakan gelar adat di daerah Suliki, tapi agar lebih mudah, nama Ibrahim Datuk Tan Malaka untuk selanjutnya akan disebut Tan Malaka saja) tidak sepopuler nama-nama seperti; Soetomo (tokoh organisasi Budi Utomo), Ki Hadjar Dewantara (tokoh Tiga Serangkai), Soekarno, Moh. Hatta, dan Soeprijadi (tokoh PETA) yang dipelajari sejak duduk di bangku sekolah dasar. Justru, namanya mengalami stigmasi atau dilabeli sebagai tokoh komunis totok, orang tak beragama, hingga pemberontak. Bahkan dihilangkan selama bertahun-tahun, yang mungkin saja masih terjadi hingga hari ini, dari lembaran sejarah Indonesia yang diajarkan di bangku sekolah.
Aku tidak mengerti apakah
Tan Malaka telah dimasukkan dalam buku sejarah sekolah, yang pasti, seingatku
semasa aku sekolah dari tingkat dasar hingga menengah nama Tan Malaka tiada
pernah dikenalkan barang satu paragrafpun. Padahal, perannya dalam menyiapkan,
menyongsong, dan mempertahankan Indonesia merdeka tak kalah heroik dari nama-nama
yang disebut pada awal paragraf sebelumnya. Baik perannya dalam bentuk ide
ataupun gerakan revolusi fisik. Kalaulah tak heroik, mengapa dalam sejarah
hidupnya Tan Malaka kerap kali dikejar dari satu daerah ke daerah lain, bahkan
melintasi batas negara ke negara lain, oleh interpol kolonial, ditangkap dan
dimasukkan ke penjara. Tindakan perburuan dan penangkapan terhadap Tan Malaka
tidak dapat dihindarkan dari peran sentralnya dalam melakukan propaganda dan memimpin
gerakan kemerdekaan melawan kolonialisme.
Sosok Tan Malaka dan
perannya dalam perjuangan Indonesia dapat dikenali dari berbagai buku yang
ditulisnya sendiri, seperti; Naar de Republiek Indonesia (Menuju
Republik Indonesia) yang terbit pertama kali pada tahun 1924, Semangat Muda
(1925), Massa Actie (Aksi Massa) terbit tahun 1926, Islam dalam
Tinjauan dalam Madilog terbit dalam tahun 1948, Madilog
(Materialisme-Dialektika-Logika) yang terbit pertama kali pada tahun 1948, Gerpolek
(Gerilya-Politik-Ekonomi) yang terbit pertama pada tahun 1948, dan karya-karya
lainnya yang tidak dapat aku sebut satu persatu di sini. Karya-karya tersebut,
sekaligus, secara terang dan nyata menjadi bukti bahwa Tan Malaka bukanlah
seorang pengkhianat ataupun pemberontak terhadap bangsa Indonesia dan bukan
pula seorang komunis yang tidak beragama.
Tentang Tan Malaka dan
agama, khususnya Islam, inilah yang akan aku bahas lebih lanjut hingga akhir
tulisan, insha Allah. Bukunya yang berjudul Islam dalam Tinjauan Madilog menjadi
rujukan untuk mengulas soal ini, khususnya edisi terbitan Komunitas Bambu tahun
2000 yang diberi pengantar oleh Buya HAMKA (bahkan HAMKA sendiri menyinggung
perlunya mempelajari dan mengamalkan Islam dengan pendekatan yang dilakukan Tan
Malaka) dan Ong Hok Ham. Memang pada bagian pengantar buku tersebut, penerbit
pertama yang mengorbitkan tulisan Tan Malaka ini pada tahun 1948 menegaskan
kalau karya ini merupakan bagian yang sebetulnya tidak terpisah dengan Madilog.
Karena kurangnya biaya ketika hendak diterbitkan, maka Islam dalam Tinjauan
Madilog diterbitkan terpisah dari Madilog.
Lewat Islam dalam
Tinjauan Madilog Tan Malaka mempertegas status dirinya sebagai seorang
muslim. Serta, dalam buku yang sama ia menerangkan posisi pandangannya terhadap
Islam sebagai agama terbaik yang berpengaruh besar dalam melakukan perubahan
sosial. Pandangannya ini menurutku timbul dari analisis terhadap sejarah dan
teks kitab suci Islam serta sabda Nabi Muhammad menggunakan epistimologi yang
dikenalkannya dengan istilah Madilog. Karenanya, aku sarankan agar sebaiknya
membaca terlebih dahulu Madilog sebelum membaca Islam dalam Tinjauan
Madilog. Sebagaimana uraian dalam bab “Islam” dari buku tersebut, Tan
Malaka menyebut kalau dirinya dikandung dan lahir dari rahim keluarga muslim
yang taat. Bagi dirinya sumber yang diperoleh dari agama Islam adalah sumber yang
hidup.
Sedari kecil Tan Malaka
telah pandai mengaji dan mengajari kepandaiannya dalam perihal agama itu kepada
anak-anak lain, sepotong segmen masa kecil yang menggambarkan bakatnya menjadi
seorang guru. Toh, memang Tan Malaka ini riwayat pendidikannya lulusan sekolah
guru. Buktinya, setelah lulus dari kweekschool (sejenis sekolah calon
guru yang lebih dikenal dengan sebutan sekolah raja) di Bukittinggi, pada tahun
1913 ia melanjutkan sekolah guru jenjang selanjutnya (Rijks Kweekschool)
ke Belanda. Kemudian hari mengajar di salah satu sekolah yang diisi oleh murid-murid
yang merupakan anak para buruh perkebunan teh milik Belanda di Deli, Sumatera
Utara. Profesi guru itu ditekuninya hingga tahun 1921, sebelum kemudian
memutuskan untuk pindah dan bergabung Sarekat Islam di Semarang (lebih detail, baca Majalah Tempo Edisi
Khusus Agustus 2008 yang berjudul “Bapak Republik yang Dilupakan” yang kalau
aku tidak salah sudah dicetak dalam bentuk buku juga).
Agama Islam menurut hemat
Tan Malaka, secara historis saling mempengaruhi dengan agama Yahudi dan Nasrani
atau Kristen. Ketiga agama ini oleh Tan Malaka disebutnya sebagai kepercayaan
Asia Barat. Lebih lanjut, ia mengatakan Agama Yahudi, Nasrani, dan Islam yang
ketiganya lahir di masyarakat bangsa Semit (Yahudi dan Arab) dianggap Tiga
Sejiwa, bukan Tiga Serangkai. Jiwa adalah inti-pokok ketiga agama itu sama,
hanya cabang dan ranting saja yang berlain-lainan.
Lahirnya Islam
menurutnya berangkat dari perenungan yang dalam, kontemplasi, berpikir
menyeluruh, mempelajari fenomena sosial serta dasar-dasar atau prinsip agama
monoteisme sebelumnya (Yahudi dan Nasrani) yang dilakukan Muhammad. Kemudian
dari perenungan yang dalam itu terbentuk konstruksi konseptual, teologis, dengan
menyesuaikannya pada dataran kenyataan, itulah ajaran Islam yang kemudian dirisalahkan
oleh Muhammad. Menurutnya lagi, bukan tanpa alasan rasional Muhammad hadir
sebagai patron ajaran Islam. Meskipun ia, Muhammad maksudnya, lahir dari suku
Quraisy yang notabennya merupakan suku penguasa dan terhormat di Jazirah
Arabiah khususnya Makkah ketika itu. Namun, dalam kacamata Tan Malaka, Muhammad
telah hidup susah dan melarat sejak dari kecil. Belum lagi lahir telah
ditinggal mati ayahnya dan beberapa waktu kemudian disusul pula ibundanya.
Tan Malaka melihat fakta sejarah
bahwa Muhammad lahir dari keturunan keluarga terhormat tapi hidupnya susah,
ditambah dengan situasi sosial-budaya masyarakat Makkah ketika itu yang disibukkan
dengan takhayul menyembah berhala yang jauh dari ajaran monoteisme yang diajarkan
oleh orang-orang suci sebelumnya (Yahudi dan Nasrani), berjudi, mabuk, saling bersengketa,
memperbendakan perempuan. Ya, perempuan dianggap makhluk ‘hina’, tidak dapat
berperang, menjadi budak seks ‘legal’ dengan jalan poligami sebanyak-banyaknya.
Dan bagi perempuan pada masa itu, menjadi istri kesekian kali lebih baik
daripada mati dibunuh atau dikubur hidup-hidup. Di tengah situasi gelap gulita
itulah, demikian Tan Malaka, seorang manusia dengan perangai dan budi yang
bernama Muhammad bin Abdullah lahir. Menurut Tan Malaka sejarah keberadaan Muhammad di
tengah kebobrokan moral sosial-budaya masyarakat Arab Makkah ini seperti halnya intan yang memang bisa
diselimuti tetapi tak bisa dicampur lebur dengan lumpur.
Seperti kata Tan Malaka
tentang awal mula lahirnya ajaran Islam dari Muhammad, yakni mempelajari
fenomena sosial serta dasar-dasar atau prinsip agama monoteisme sebelumnya (Yahudi
dan Nasrani) yang dalam prakteknya kala itu telah banyak terjadi penyimpangan. Maka
dalam konsepsi Islam, seorang muslim bisa berhubungan langsung dengan Tuhan,
tiada perlu memakai kasta Rabbi atau pendeta sebagai perantara atau tengkulak,
seperti halnya lazim terjadi dalam praktek agama Yahudi dan Nasrani ketika itu.
Di sini Tan Malaka melihat, menurut hematku lo ya, bahwa risalah yang diusung
Muhammad sebagai penyempurna dari ajaran monoteisme (kepercayaan terhadap
keesaan Tuhan) mencoba meruntuhkan keberadaan kelas-kelas atau kasta dalam
praktek agama. Semua manusia adalah sama di hadapan Tuhan.
Menurutku (lagi dan lagi),
Tan Malaka dalam filsafat dan gerakan sosialnya banyak dipengaruhi oleh sejarah
pemikiran dan pergerakan Muhammad bin Abdullah. Selain dari pemaparan pandangannya
yang aku tulis di atas, bukti lain juga dapat ditemukan dalam salah satu paragraf
dari Islam dalam Tinjauan Madilog berikut, yang mana Tan Malaka mengatakan,
Peranan Nabi Muhammad sangat membumi, nyata
terlibat dalam aktivitas masyarakat sehari-sehari. Ia adalah Pemimpin
propaganda, panglima perang dan pemuka masyarakat. Sementara Isa lebih banyak
“terbang melayang” lewat khutbah-khotbah yang “melangit”. Ia tak pernah
mengatur peperangan, ekonomi, politik, dan sosial. Oleh sebab itu lebih mudah
baginya memegang dasar kasih sayang.
Tetapi Muhammad menunjukkan kasih sayangnya
itu secara nyata, dalam perbuatan, dengan memaafkan musuh yang tadinya mau
menewaskannya, mengubah musuh itu menjadi pengikutnya, dianggapnya sebagai
saudara kandung.
Begitu juga dengan
konsistensi memegang dasar nilai hidup, mengapa Tan Malaka marah dengan cara
politik diplomatis Soekarno dan kawan-kawan menjelang akhir 1940-an atau
menjelang letupan peluru tajam menjemput ajalnya di tahun 1949? Karena ia tidak
bisa menerima keputusan berdiplomasi ke sekian kalinya dengan penjajah, yang
hasilnya dalam alam pikir dan pandangan Tan Malaka hanya akan tetap berdampak
pada kemelaratan dan kesusahan bagi segenap masyarakat Indonesia yang baru merdeka. Karena itu juga, ia meneguhkan niatnya dengan mengusung konsep ‘merdeka
100%’, dalam arti menjadi bangsa
yang sanggup mandiri secara mental, budaya, politik, pertahanan, dan ekonomi
dan tidak bergantung pada dan dikuasai oleh bangsa lain (silahkan baca
buku Menuju Merdeka 100 Persen yang memuat tulisan-tulisan Tan Malaka
tentang konsep Indonesia merdeka 100 persen).
Dari mana keteguhan niat
itu diperoleh oleh seorang Tan Malaka? Tentu saja tidak mungkin semata-mata
dari seorang filsuf bernama Karl Marx yang menentang Kapitalisme tetapi bersahabat
baik dengan seorang Kapital bernama Friedrich Engels. Namun, keteguhan Tan
Malaka dalam melaksanakan niat suci filsafat dan gerakan sosialnya sesungguhnya
juga berakar dari pemahamannya tentang konsep istiqamah yang dicontohkan Nabi
Muhammad. Dalam Islam dalam Tinjauan Madilog, Tan Malaka menukil
sepenggal cerita tentang Nabi Muhammad bin Abdullah, “Ketika seluruh Makkah
memusuhi, mengancam jiwanya dan dalam keadaan seperti itu musuh-musuhnya
menawarkan harta dan pangkat bila mau memberhentikan propagandanya, Muhammad
bersabda: ‘Walaupun di sebelah kiri ada bintang dan di sebelah kanan ada
matahari yang melarang, saya mesti meneruskan perintah Tuhan.’”
Dan yang terakhir tentang
Tan Malaka dan Islam ini, menurut Madilognya Tan Malaka, Yang Maha Kuasa (baca
juga: Tuhan atau Allah) bisa lebih berkuasa dari hukum alam. Hal tersebut tidak
bisa dinafikan eksistensinya. Toh, menurut Tan Malaka sendiri, yang namanya
kelahiran, kematian, bencana, tidak dapat ditebak dan dihindari oleh siapapun
juga. Semua itu terjadi karena kuasa di luar hukum alam, yang disebutnya
sebagai takdir. Tapi Madilog, kata Tan Malaka, tidak bermain pada tataran Yang
Maha Kuasa (yang topik pembahasannya tidak jauh-jauh dari soal roh, jiwa, surga
dan neraka). Melainkan, madilog hanya berlaku untuk wilayah hukum alam, yang
bergerak, atau segala yang termasuk dalam ilmu bukti. Dengan faham Tan
Malaka yang demikian, menurutku, segala bentuk nilai-nilai suci (ketuhanan
danpun kenabian), khususnya yang diajarkan dalam Islam, hanya akan menjadi
nyata bilamana diaktualkan dalam kehidupan sosial atau diperlakukan dalam
wilayah hukum alam. Sehingga, surga akan bermaujud (dapat diukur dan dinilai berdasarkan ilmu bukti) dalam bentuk tatanan masyarakat yang adil,
damai, sejahtera, dan mendapat perlakuan yang sama terhadap akses sumber daya
dan hukum.
Dengan membaca karya-karya
Tan Malaka atau lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka, insaflah aku, dan harapnya
juga kepada kita semua, bahwa sesungguhnya beliau ini merupakan pemikir dan
juga seorang pahlawan nasional yang berjasa besar bagi lahirnya bangsa
Indonesia. Selain itu, ia adalah seorang muslim
seutuhnya. Sehingga tidaklah patut jika sosok Ibrahim Datuk Tan Malaka
di-stereotip-kan sebagai seorang pemberontak, tak beragama, dan sedapat mungkin
dibuang jauh-jauh dari lembar sejarah Indonesia yang dipelajari anak-anak di
sekolah. Dan sekedar informasi tambahan, Tan Malaka masih hidup. Gelar Datuk
Tan Malaka pada tahun 2017 lalu diemban oleh Hengki Novaro Asril, keturunan
kerabat dari Pahlawan Kemerdekaan Nasional Ibrahim Datuk Tan Malaka.
0 comments