Suara Agraria Riau: Negara-Perusahaan, Hutan, dan Masyarakat Adat; Kontekstualitas Rich Forests, Poor People di Riau
"Negara, mengenai kemaslahatan sebesar-besarnya, hanya secara abstrak mengikutsertakan orang-orang yang tinggal di atau dekat lahan yang diambil-alih, padahal mereka ini mungkin mendefenisikan “kemaslahatan sebesar-besarnya” maupun “kepentingan bersama” secara sangat berbeda."
Membayangkan
Riau tanpa konflik agraria? Ah, itu, mungkin saat ini, masih
berupa mimpi yang jauh panggang dari api. Pada tahun 2015 hingga tahun 2016
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menempatkan Riau sebagai peraih konflik
agraria tertinggi di Indonesia. Dan Alhamdulillah, jika tak mau
menyebutnya laknatullah, tampaknya prestasi itu masih terus
dipertahankan. Menurut laporan KPA sebagaimana dikutip databoks.katadata.com
yang ditayangkan sejak tanggal 1 Januari 2021, persebaran konflik agraria di
Indonesia sepanjang 2020 masih menempatkan Riau sebagai pemegang jumlah konflik
terbanyak. Jika ditelisik lebih dalam, angka konflik yang tinggi ini memiliki latar
konstruksi sejarah yang panjang perihal pergulatan terhadap lahan-hutan antara
negara bersama perusahaan dengan masyarakat adat atau petani tempatan. Tulisan
Nancy Lee Peluso yang berjudul Rich Forests, Poor People [pdf] setidaknya dapat
menjadi sumber referensi untuk melihat secara reflektif apa, siapa, darimana
dan bagaimana konflik agraria itu terjadi di Riau.
Negara
kolonial dan negara masa kini, demikian Peluso, sering mengambil alih kawasan
yang luas sebagai hutan, untuk perkebunan, atau proyek pembangunan yang besar, merampas
dan mencampakkan sistem hak-hak kepemilikan tanah yang sudah lebih dulu ada dan
menetapkan aturan hukum yang baru untuk tata guna tanah dan sumber daya. Sering
kali, pengambilalihan ini diberi alasan pembenar dalam klaim bahwa perubahan
ini demi “kepentingan bersama” bagi “kemaslahatan sebesar-besarnya.” Negara,
mengenai kemaslahatan sebesar-besarnya, hanya secara abstrak mengikutsertakan
orang-orang yang tinggal di atau dekat lahan yang diambil-alih, padahal mereka
ini mungkin mendefenisikan “kemaslahatan sebesar-besarnya” maupun “kepentingan
bersama” secara sangat berbeda. Selain pekerjaan tak tetap sebagai buruh tanpa
keterampilan atau buruh setengah-terampil di lahan yang dulunya mereka kuasai,
masyarakat adat atau petani lokal hanya memetik sedikit keuntungan saja dari
sentralisasi dan pemindahan penguasaan hutan.
Peluso
lebih lanjut menyatakan bahwa kemerosotan mutu tanah dan kemiskinan pedesaan
Kawasan hutan di banyak negara berawal, atau menjadi parah, sebagai akibat dari
hasrat pemerintah untuk menguasai tanah, hasil hutan yang tumbuh di situ dan
tenaga kerja yang ada untuk mengolahnya. Pejabat pemerintah dan pengamat ahistoris
acap kali mengabaikan asal-mula penataan penduduk berdasarkan ruang, mereka
menyalahkan pengguna lahan tanpa mempertimbangkan konteks lebih luas yang
memengaruhi keputusan pengguna lahan untuk, misalnya, punya anak banyak,
menebang hutan, atau “menambang” tanah pertanian mereka. Sebab itu rimbawan
(pejabat dinas kehutanan) sering memandang kegiatan subsistensi tradisional
penduduk desa sebagai tindak kejahatan. Mereka mamandang masyarakat lokal
bertindak melawan hukum bila menebang kayu di hutan, mengambil pakan ternak,
bertani atau menggembalakan sapi di lahan hutan.
Sementara
keberadaan perundang-undangan di bidang kehutanan sering kali dimaksudkan untuk
melindungi lahan luas dan sumber daya besar atau untuk mencadangkannya bagi
orang atau kelompok tertentu untuk dimanfaatkan secara ekslusif. Para pengguna
hutan yang tidak berwenang dicap sebagai “pemburu liar,” “pencuri kayu”, atau
“penyerobot lahan.” Label-label ini adalah ciptaan ideologis undang-undang
ekslusi. Yap, memang pemberian cap demikian menjadi hak prerogratif
negara. Padahal, apa yang didefenisikan negara sebagai tindak kriminal sering
berbeda secara substantial dengan definisi petani. Tidak diberikannya akses
sumber daya vital pada petani padahal dapat menjadi tindak kejahatan paling
kejam yang dilakukan negara terhadap petani kecil dan masyarakat adat.
Kadang-kadang amarah rakyat yang aksesnya pada sumber daya dirampas tidaklah bersumber
pada perampasan itu sendiri, melainkan karena akses itu lalu diserahkan kepada
pihak lain yang klaimnya mereka pandang tidak valid.
Ketika
keresahan sosial tampaknya dapat meletus, mungkin saja negara dan
badan-badannya untuk sementara berupaya memenuhi kebutuhan dan tuntutan
kelompok kelas bawah. Dengan “menyerah” atau “mengalah” secara bertahap atau
periodik, negara dapat melestarikan kekuasaannya, melanjutkan penguasaannya
atas rakyat, sumber daya, dan tanah. Atau ketidakrelaan negara kehilangan kuasa
atas sumber daya hutan dapat mendorong negara mengambil tindakan militer atau
kepolisian atas nama ketertiban dan pengendalian.
Dalam
pandangan Peluso ada setidaknya tiga komponen berkenaan penguasaan akses hutan
produksi, yaitu penguasaan tanah; penguasaan/pengendalian spesies; dan
penguasaan tenaga kerja hutan. Suatu badan kehutanan negara atau bahkan swasta
diperlukan untuk menguasai dan mengendalikan tanah, pohon, dan tenaga kerja
guna memenuhi tiga perannya: sebagai tuan tanah, pengusaha hutan, dan lembaga
konservasi. Perannya selaku pelindung dan produsen disahkan oleh hukum dan
kebijakan pemerintah; fungsi perlindungannya dijalankan oleh rimbawan atau
jagawana, di tingkat lapangan, dan polisi hutan. Negara mengklaim hak untuk
menetapkan aturan-aturan tentang akses hutan berdasar ketiga mandat tersebut;
inilah yang disebut penguasaan ideologis oleh negara yang acap kali juga
melibatkan perusahaan swasta. Badan itu memang dipandu oleh ideologi negara,
namun tetap punya hak menetapkan pemanfaatan lahan, termasuk spesies apa yang
akan ditanam, berapa banyak orang akan dipekerjakan, dan bagaimana produksi
akan dijalankan.
Berbagai
macam tindakan dilakukan oleh masyarakat adat atau petani lokal untuk menolak
dan melawan penguasaan atas lahan hutan dengan merebut kembali tanah hutan
untuk digarap sebagai lahan pertanian mereka; mereka menolak dan melawan
penguasaan atas spesies pohon hutan dengan “membalas merebut” spesies yang
diklaim negara (atau perusahaan lain) dan merusak spesies yang sudah cukup tua
untuk ditebang atau menyabot spesies yang baru ditanam; mereka menolak dan
melawan penguasaan tenaga kerja dengan pemogokan, memperlambat pekerjaan atau
bermigrasi; mereka juga menolak dan melawan penguasaan ideologis dengan cara
mengembangkan atau memelihara terus budaya perlawanan. Mereka dicap “menduduki”
(tanah negara); “mencuri” (kayu milik negara); “dungu”; “tidak mau maju” dan
berbagai istilah yang berkonotasi negatif lainnya. Pelabelan demikian merupakan
upaya koersif negara untuk memanipulasi pendapat umum dan untuk “menangani”
para petani dan masyarakat adat yang melakukan perlawanan. Walhasil,
berkembanglah bentuk interaksi budaya dan politik yang kompelks antara
birokrasi kehutanan negara (atau perusahaan) dengan petani dan masyarakat adat.
SEKIAN.
0 comments