norma lingkungan hidup mengalami konstitusionalisasi menjadi materi muatan konstitusi sebagai hukum tertinggi di Indonesia. Hal itu akan berdampak pada pergeseran paradigma dalam konstruksi hukum, termasuk paradigma terhadap konsep HMN.
Salah satu tujuan dibentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia ialah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan
keadilan sosial. Komitmen mewujudkan tujuan tersebut melahirkan suatu kerangka
normatif di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945
bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pasal ini oleh
banyak ahli hukum dijadikan sebagai dasar keberadaan konsep Hak Menguasai
Negara (HMN) yang mengatur tentang dasar sistem perekonomian dan kegiatan
perekonomian yang dikehendaki dalam Negara Indonesia. HMN bukan sesuatu yang
berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Pertanyaannya
kemudian adalah sejauh mana lingkup waktu ‘sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’
dalam HMN dimaknai? Apakah terbatas pada kemakmuran rakyat yang ada pada saat
ini atau ia memiliki arti yang lebih jauh juga untuk kemakmuran rakyat generasi
yang akan datang?
Penjelasan mengenai lingkup tujuan
‘sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’ akan berdampak pada cara kerja hukum
ketika konsep HMN diterapkan. Jika HMN yang diperuntukkan ‘sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat’ dimaknai untuk generasi saat ini, maka negara dapat
mengusahakan sumber daya alam yang ‘dikuasai’ tanpa memperhatikan akibat
ekologisnya. Padahal dampak ekologis itu bukan hanya akan merugikan generasi
saat ini tetapi juga berimbas pada generasi yang akan datang. Lalu, bagaimana
perkembangan konstitusi, UUD 1945, melihat fenomena tersebut? Apakah UUD 1945 yang
ada saat ini memaknai peruntukkan HMN sekadar untuk kemakmuran rakyat di masa
sekarang? Atau justru berpandangan jauh, juga melihat nasib generasi akan
datang untuk dapat menikmati sumber daya yang sama?
Sebelum dilakukan amandemen, Bab XIV UUD
NRI 1945 berjudul “Kesejahteraan Sosial” dan hanya ada 3 ayat dalam Pasal 33
tersebut. Setelah perubahan keempat dilakukan, judul Bab XIV mengalami
penambahan menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial” dan Pasal
33 mendapat tambahan 2 ayat sehingga total ayat dalam Pasal 33 menjadi 5.
Sebagai konstitusi negara, perubahan tersebut tidak dapat diartikan sebagai
perubahan begitu saja tanpa ada makna dan implikasi hukumnya.
Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 hasil perubahan keempat mengatur agar perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar pada demokrasi ekonomi dengan prinsip-prinsip;
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, dan menjaga keseimbangan kemajuan serta kesatuan ekonomi nasional.
Pasal ini menegaskan bahwa perekonomian nasional berdasarkan atas demokrasi
ekonomi dimaksud haruslah mengandung prinsip: (i) berkelanjutan dan (ii)
berwawasan lingkungan. Berdasarkan pengaturan
tersebut, norma lingkungan hidup mengalami konstitusionalisasi menjadi materi
muatan konstitusi sebagai hukum tertinggi di Indonesia. Hal itu akan berdampak
pada pergeseran paradigma dalam konstruksi hukum, termasuk paradigma terhadap
konsep HMN.
Dengan sendirinya keseluruhan ekosistem
seperti yang dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) sebagaimana ditafsirkan secara
ekstensif dan kreatif oleh undang-undang di bidang lingkungan hidup, haruslah
dikelola untuk kepentingan pembangunan berdasarkan prinsip-prinsip
berkelanjutan (sustainable development) dan wawasan lingkungan (pro-environment)
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Munculnya muatan materi norma lingkungan
hidup dalam UUD NRI 1945 tidak bisa dipisahkan dari fenomena global para
akedemisi dan praktisi akhir abad ke-20 masehi. Semangat untuk mengembangkan
ilmu dan teknologi dengan dampak lebih baik terhadap lingkungan hidup terjadi
dimana-mana pada saat itu.
Salah satu prinsip lingkungan hidup yang
lahir pada akhir abad ke-20 ialah intergenerational equity principle
(prinsip keadilan antar generasi). Prinsip ini didasarkan pada gagasan
reflektif tentang hutang orang-orang di masa saat ini kepada generasi yang akan
datang. Hutang yang dimaksud bertitik
tolak pada prinsip keadilan dalam mengakses sumber daya alam. Hal itu berarti
bahwa generasi saat ini tidak dibenarkan menghalangi generasi yang akan datang
untuk mengakses sumber daya alam yang sama. Dengan adanya materi Pasal 33 ayat
(4) UUD NRI 1945 yang sesungguhnya juga berakar dari prinsip keadilan antar
generasi, maka pemaknaan serta pelaksanaan terhadap konsep HMN tidak boleh
melalaikan keberadaan aspek ekologi atau lingkungan hidup.
Dengan demikian, konsep HMN yang berparadigma
ekologi pasca amandemen keempat UUD NRI 1945 dapat diartikan sebagai suatu
kewenangan (hak) yang melalui UUD NRI 1945 dilimpahkan pelaksanaannya kepada
negara, atau dalam istilah lain dapat juga disebut sebagai hak subtitutif. Kewenangan tersebut hanya ‘sah’ digunakan semata-mata
untuk memakmurkan rakyat (kesejahteraan umum warga Negara Indonesia/democracy) dan melestarikan lingkungan hidup (ecocraccy), yang pelaksaannya dituangkan dalam bentuk
peraturan-peraturan atau kebijakan (nomocracy). Artinya, tujuan dari penguasaan itu bukan
semata-mata untuk memakmurkan rakyat, melainkan juga dalam rangka menjaga dan
melestarikan lingkungan hidup. Dua tujuan penguasaan tersebut adalah integral
dan tidak boleh dipisahkan dalam pelaksanaannya. Baca lebih lanjut dalam Jurnal Ilmu Hukum: Fakultas Hukum UniversitasRiau Vol. 9 No. 1 2020.
0 comments