VITALKAN KEMBALI INSTITUSI ADAT, PERKUAT UKHUWAH ISLAMIYAH: IKHTIAR MENJAGA KEHARMONISAN SOSIAL
"Secara pahit mesti diakui bahwa peran kelembagaan adat sering kali tertelikung, di tempatkan dalam sangkar emas dengan segala pujian akan kebaikannya. Tapi, dalam sehari-hari tidak pernah diamalkan dengan sungguh-sungguh. Bahkan, diingkari secara terang-terangan."
Di tengah gempuran kapitalisme yang semakin menguat di Sibiruang, sebagai salah
satu masyarakat adat, maka tantangan dan persoalan yang dihadapi semakin
bervariasi. Apa itu kapitalisme, siapa aktornya, dan bagaimana cara kerjanya?
Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang terpusat di tangan satu kekuatan,
yang kita kenal dengan istilah pasar (market). Pasar di sini bukan dalam
arti pasar di mana penjual menjajakan barang dagangannya dan pembeli melakukan
tawar-menawar guna membeli.
Pasar dalam kapitalisme bermakna suatu kekuatan untuk mengontrol nilai
dari suatu tindakan ekonomi. Dia yang menentukan berapa harga perencanaan,
berapa harga persiapan, harga pembibitan, harga perawatan, harga produksi atau
panen, hingga harga distribusi hasil panen dan harga jual. Jadi, semua lingkup
kehidupan ekonomi dikontrol oleh sistem yang disebut pasar itu. Di sektor
pertanian dan kehutanan, kehadiran kapitalisme telah mengubah secara radikal
konstruksi filosofis, sosiologis, dan kultur penguasaan atas tanah dalam suatu
masyarakat adat. Perubahan tersebut bahkan merembes jauh ke dalam perubahan
sosial ekonomi rumah tangga masyarakat adat.
Dulu, sebelum pertengahan 1970-an di Sibiruang dan negeri di sekitarnya dalam
proses produksi pertanian, para petani cenderung lebih mengedepankan prinsip safety-first
(dahulukan selamat)–meminjam istilah yang dikemukakan Scoutt (1976:5). Sebab
itu, setiap hasil produksi yang didapat ialah untuk keperluan konsumsi sendiri.
Pembukaan jalur darat sekitar tahun 1971 dan kehadiran perusahaan perkebunan milik
negara pada tahun 1981–kemudian menjadi perusahaan swasta PT Padasa Enam Utama–menjadi
titik awal dimulainya kapitalisasi di Sibiruang. Dalam rentang dekade
berikutnya setelah 1981, kapitalisasi itu mengubah struktur ekonomi rumah
tangga yang sebelumnya berorientasi ekonomi moral yang mengutamakan safety-first
ke ekonomi pasar yang terikat dengan lingkaran ekonomi global.
Apa tanda bahwa ekonomi masyarakat adat di Sibiruang–dan masyarakat di
sekitarnya–terikat dengan ekonomi global? Saat ini ekonomi rumah tangga sangat
bergantung pada fluktuasi harga jual sawit dunia. Orang akan ketawa-ketiwi
ketika harga sawit menjulang tinggi, dan akan menangis terseduh-seduh ketika
harga global jatuh. Dalam hal ini, mereka yang punya akses terbesar terhadap
tanah atau alat produksi sawit akan semakin aman dari goyangan fluktuasi harga
global tersebut. Selain itu, mereka juga tidak dapat menentukan nilai beli
pupuk di pusat penjualan pupuk, sementara keberadaan pupuk itu sangat mereka
perlukan dalam perawatan lahan pertaniannya.
Jika ditimang, tentu ada baiknya juga efek yang disebabkan oleh
kapitalisme tersebut. Akan tetapi, yang perlu kita mitigasi bersama adalah
efek-efek buruk yang dihadirkannya. Kapitalisme pada suatu titik akan
menyebabkan kelangkaan; kelangkaan bahan pokok, kelangkaan sumber energi dan
transportasi, dan yang lebih mendasar adalah kelangkaan akses terhadap tanah.
Konstruksi tanah yang dahulunya dalam keyakinan masyarakat adat adalah
diperuntukkan bagi kesejahteraan anak dan kemenakan.
Semenjak kapitalisme muncul, tanah bukan lagi sebatas persoalan kesejahteraan
anak dan kemenakan, bukan lagi sebatas persoalan aset suku atau negeri. Namun,
ia telah menjadi komoditas dagang yang memiliki nilai bagi ekonomi rumah tangga
secara personal. Semakin banyak tanah, semakin aman ekonomi rumah tangga dari
senggolan ekonomi global. Inilah yang menyebabkan dalam sistem kapitalisme
orang kaya akan semakin kaya, karena mereka mampu dan bisa untuk membeli lebih
banyak tanah untuk basis produksi.
Saat tanah semakin langka, orang-orang akan saling memakan bangkai
keluarga dan temannya sendiri guna mendapatkan klaim akses terhadap sepetak
tanah. Jika itu tidak dilakukan, saling klaim, maka basis ekonomi rumah tangga
mereka akan terancam. Tidak ada tanah sama dengan tidak ada tempat produksi,
tanpa produksi maka tidak akan ada uang. Sementara itu, uang (baik yang cetak
atau online) dalam sistem kapitalisme adalah satu-satunya alat transaksi
yang dianggap sah dan laku. Tidak ada uang itu artinya tidak ada alat untuk
membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya. Orang akan dihadapkan pada ancaman
kelaparan, krisis subsistensi dan krisis lainnya–termasuk krisis kepercayaan
antar sesama dan sejenisnya. Dalam teori ekonomi moral, ini adalah inti krisis
penyebab terjadinya perang atau pertikaian.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diadakan suatu rumusan alternatif
pencegahan atau setidaknya untuk memitigasi terjadinya krisis yang dapat
mengarah pada disharmoni warga masyarakat adat di Sibiruang dan sekitarnya. Di
tengah kecamuk kapitalisme yang terasa sangat tajam dewasa ini maka perkuat
ukhuwah Islamiyah melalui revitalisasi peran kelembagaan adat merupakan jalan
yang tepat. Secara pahit mesti diakui bahwa peran kelembagaan adat sering kali
tertelikung, di tempatkan dalam sangkar emas dengan segala pujian akan
kebaikannya. Tapi, dalam sehari-hari tidak pernah diamalkan dengan
sungguh-sungguh. Bahkan, diingkari secara terang-terangan.
Bila diturut adat sebagai landasan pokok bermuamalah, warga akan
diarahkan pada suatu ikatan persaudaraan sekandung berasaskan Islam (Ukhuwah
al-Islamiyah). Sebab dalam adat dikenal terang suatu adigium “adat
bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, syara’ mengata, adat memakai”.
Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada pertentangan antara adat dengan
syariat, dan sesungguhnya pula hubungan muamalah di dalam adat akan senantiasa
membawa warga ke arah ukhuwah Islamiyah. Ukhuwah asal katanyanya adalah ikhwah
yang berarti saudara seketurunan. Kata ini berbeda dengan makna ikhwan yang
berarti saudara bukan seketurunan. Allah dalam al-Qur’an menyatakan orang-orang
beriman itu seyogyanya adalah bersaudara (seketurunan), maka damaikanlah di
antara kedua saudaramu (innamal-mu’minụna ikhwatun fa aṣliḥụ baina
akhawaikum).
Andaipun ada riak masalah, dalam biduk hubungan muamalah sesama warga,
dalam konstruksi pemikiran ukhuwah Islamiyah merupakan hal yang biasa terjadi.
Tak mungkin riak itu tak ada, yang barangkali disebabkan oleh kesalahpahaman,
bukan karena dorongan untuk ingin saling memusuhi. Di sinilah tugas ninik mamak
dalam institusi adat mengambil peran. Yang hadirnya menyejukkan, sebagai
penengah dan pemberi nasehat, bukan sebaliknya menambah gejolak. Mereka yang
kedudukannya di tengah kehidupan sosial masyarakat ditinggikan seranting,
didahulukan selangkah. Di Pundak merekalah keharmonisan itu dipercayakan.
Sambungan ayat al-Qur’an di atas menyatakan damaikanlah keduanya, dan
bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (fa aṣliḥụ baina
akhawaikum wattaqullāha la’allakum tur-ḥamụn).
Ukhuwah Islamiyah senantiasa mendorong warga untuk bahu-membahu,
tolong-menolong, gotong-royong, menghadapi persoalan kehidupan. Tapi, dalam
prinsip tolong-menolong ini tidaklah seorang diperkenankan untuk mencelakai
orang lain. Misal, ketika saudara atau teman meminjamkannya uang, kemudian hari
uang itu tidak pernah lagi dikembalikan dengan keyakinan tidak perlu
mengembalikan uang jika sudah menjadi saudara–yang dianggapnya merupakan
praktek ukhuwah Islamiyah. Al-Qur’an memberi batasan agar tolong-menolong dalam
mengerjakan kebajikan dan takwa, bukan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan (wa ta’āwanụ ‘alal-birri wat-taqwā wa lā ta’āwanụ ‘alal-iṡmi wal-‘udwāni).
Sepotong hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar
mengatakan muslim adalah bersaudara dengan muslim yang lainnya. Dia tidak
menganiaya, tidak pula membiarkannya tersakiti. Siapa yang memenuhi kebutuhan
saudaranya, Allah akan memenuhi pula kebutuhannya (Al-muslimu ikhu
al-muslimi laa yadzlimuhu walaa yuslimuhu wamankana fii haajati akhiihi kaana
Allahu fii haajatihi). Dalam pepatah adat dikatakan ke hilir sama
mendayung, ke hulu sama menggala, mendapat sama untungnya, kehilangan
sama ruginya, yang ada sama dimakan, yang tak ada sama dicari. Bukan
sebaliknya, yang ada sama dimakan, yang tak ada cari sendiri. Hidup terkurung
hendak di luar, terhimpit hendak di atas, yang dipandang buruk oleh adat
sesungguhnya juga bertentangan dengan relasi sosial dalam ukhuwah Islamiyah.
Selanjutnya, dalam hubungan yang berlandaskan pada ukhuwah Islamiyah
terdapat suatu kepercayaan bahwa di antara sesama masyarakat diikat oleh suatu
ikatan ilahi yang kesuciannya perlu dijaga dan dihormati. Al-Qur’an
menarasikannya dengan pernyataan berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali
Allah, dan jangan sesekali kalian bercerai (Wa’tasimuu bi Hablil laahi jamii’anw
wa laa tafarraquu). Di tengah konstruksi sosial masyarakat adat, peran ninik
mamak lagi-lagi diperlukan di sini, yang memastikan agar kesucian dari
hubungan itu tetap berjalan pada relnya. Bukankah satuan masyarakat adat itu
diikat oleh tali kekerabatan yang mempercayai bahwa mereka sesungguhnya berasal
dari moyang yang sama? Inilah inti ikatan ilahi dalam masyarkaat adat. Karenanya,
apapun persoalan yang dihadapi, berkaitan dengan apapun itu; baik berkenaan
dengan pembagian struktur pemerintahan maupun distribusi ekonomi termasuk
persoalan tata kelola tanah, hendaknya senantiasa mengingat akan tali persaudaraan
karena kekuatan ilahi ini.
Agar dalam membuat keputusan, menyelesaikan persoalan, tiada seorangpun
yang kemudian dirugikan–tersakiti. Prinsip berpegang teguh pada tali Allah
dalam pepatah adat dibunyikan dengan narasi yang saadat dan satu pakaian,
yang sehina dan satu malu. Apabila dalam masyarakat adat telah tertanam
keyakinan satu adat satu pakaian, satu hina satu malu, sudah terjadi perasaan
saudara sekandung karena Allah (ukhuwah al-Islamiyah), maka tidak
mungkin lagi ada satu kelompok membangun tiang peradaban di negeri, sementara
kelompok lainnya menghancurkan. Tidak, sesekali tidak akan lagi hal itu
terjadi. Kesejahteraan dalam rasa harmoni akan terjaga sebab setiap orang
saling bahu membahu untuk membantu, bukan sikut-sikutan dan saling menjatuhkan.
Terakhir, dengan memperkuat ukhuwah Islamiyah yang dalam prakteknya
peran lembaga adat divitalkan kembali–sebagai konsekuensi klaim selaku
masyarakat adat–, maka apapun masalah yang ditimbulkan oleh dinamika
kapitalisme akan bisa dihadapi. Dalam Islam, menjadi kapital (baca: kaya) itu
dibolehkan, tetapi menjadi kapitalisme yang senantiasa melakukan monopoli pasar
dan menimbun harta merupakan tindakan terlarang. Al-Qur’an mengatakan, dia
(manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sesekali tidak!
Pasti dia akan dilemparkan ke dalam neraka Huthamah (Yahsabu anna maalahu
akhladah, Kalla layum ba zanna fil hutamah).
Dalam ayat lain diingatkan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih. Pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka, kemudian dikatakan kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah akibat dari apa yang kamu simpan itu” (wallaziina yaknizuunaz zahaba wal fiddata wa laayunfiquunahaa fii sabiilil laahi fabashshirhum bi'azaabin aliim. Yawma yuhmaa 'alaihaa fii naari jahannama fatukwaa bihaa jibaahuhum haazaa maa kanaztum li anfusikum fazuuquu maa kuntum taknizuun). Wallahu’alam.
0 comments