Program reforma agraria bahkan bukannya menguatkan status ulayat masyarakat adat, sebaliknya mengurangi atau bahkan membuat eksistensi ulayat menjadi hilang. Jadi, bukan hanya konflik yang gagal dipadamkan, tapi juga menyebabkan masyarakat adat kehilangan tanah ulayat mereka–sudah terjatuh lalu tertimpa tangga.
Perombakan kabinet pada 15 Juni lalu
membuat publik bertanya-tanya mengenai sosok mantan Panglima TNI Marsekal
(Purn) Hadi Tjahjanto yang mengisi pos Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Mengapa menteri di bidang pertanahan yang
diganti dan mengapa sosok yang menggantikan eks petinggi militer? Tampaknya
pergantian sosok menteri di bidang pertanahan punya urgensi tersendiri.
Salah satu pekerjaan rumah yang
menanti Menteri ATR/BPN adalah persoalan tata lahan di level perdesaan. Ketika berbicara tentang desa, kita dihadapkan dengan dua kondisi. Pertama,
pemukiman penduduk sebagai dampak populasi di desa terus mengalami perkembangan.
Kedua, tekanan kapitalisme sebagai salah satu aktor yang memengaruhi
perkembangan di desa. Melalui agen utamanya, perusahaan perkebunan monokultur,
kapitalisme menuntut penggunaan tanah dalam skala luas. Dua kondisi ini,
populasi dan kapitalisme, menyebabkan ruang akses terhadap tanah semakin
sempit. Sementara tanah bagi rakyat desa merupakan instrumen pokok dalam
melakukan reproduksi. Sebab itu, kondisi ini jika gagal dikelola dengan baik
maka senantiasa memungkinkan terjadinya sengketa/konflik perebutan klaim akses
terhadap tanah–selanjutnya disebut kasus pertanahan.
Dengan menggunakan pandangan di atas, maka kerusuhan antar warga yang
terjadi di Desa Terantang Kabupaten Kampar pada Minggu tanggal 19 Juni 2022
lalu dapat dipahami sebagai salah satu bentuk kasus pertanahan. Konflik yang kemudian
viral di berbagai media sosial itu melibatkan setidaknya beberapa aktor
seperti; Koperasi Iyo Basamo kubu Yuslianti, Koperasi Iyo Basamo kubu Hermayalis,
sekumpulan orang yang dicap sebagai “preman bayaran”, dan PTPN V selaku “Bapak
Angkat” koperasi yang mengelola tanah perkebunan seluas 425 Ha–yang menjadi
objek konflik.
Mengenai kasus pertanahan, Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia pada saat rapat kerja Kamis tanggal 17 Februari 2022 melaporkan
setidaknya terdapat 8.111 kasus yang mengandung unsur pidana. Data ini
merupakan kasus yang terjadi sepanjang tahun 2021 di seluruh wilayah Indonesia.
Dari 8.111 kasus, menurut pengakuan Kementerian ATR/BPN (Agraria dan Tata
Ruang/ Badan Pertanahan Nasional) sebanyak 1.591 kasus telah diselesaikan.
Artinya, Terantang hanyalah bagian kecil dari kasus pertanahan yang terjadi di
negeri ini.
Kerusuhan di Desa Terantang yang kemudian viral di jagat media sosial
menjadi pengingat kepada pejabat ATR/BPN bahwa kasus pertanahan di akar rumput
masih terjadi. Ditambah lagi, peristiwa Terantang 2022 meletus kurang dari satu
minggu sejak dilaksanakannya suksesi politik penggantian jabatan Menteri dan Wakil
Menteri ATR/BPN. Peristiwa ini seolah memberikan sinyalemen kepada kepemimpinan
ATR/BPN yang baru agar jangan terlena dan terlalu fokus mengurus persoalan
pertanahan di tingkat elit saja, semisal pengadaan tanah untuk pembangunan dan
konversi lahan guna konsesi, tetapi abai dalam mengurus kasus pertanahan yang
terjadi di tengah rakyat kecil.
Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikan Menteri dan Wakil Menteri
ATR/BPN yang baru pada Rabu tanggal 15 Juni 2022 bahkan menegaskan supaya
kementerian ATR/BPN dapat dengan segera menyelesaikan permasalahan sengketa
tanah. Pernyataan Presiden ini bukannya tanpa alasan hukum, sebab salah satu
tugas Kementerian ATR/BPN berdasarkan Perpres No. 47 Tahun 2020 dan Perpres No.
48 Tahun 2020 ialah perumusan penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang
penanganan kasus pertanahan, yang dalam pelaksanaanya dibantu oleh Direktur
Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan.
Beberapa soal yang perlu diperhatikan oleh Kementerian ATR/BPN dan
pejabat birokrasi di bawahnya terkait penyelesaian kasus pertanahan; Pertama,
mendeteksi dan memberikan sanksi keberadaan mafia tanah. Meskipun tidak selalu
muncul dalam berbagai jenis kasus pertanahan, tetapi keberadaan mafia tanah
perlu benar-benar diperhatikan dan dideteksi sedini mungkin. Mafia tanah
melibatkan aktor swasta, birokrasi yang mengerti aturan, dan modal yang tidak
kecil, sehingga sangat mungkin menjadi sandungan dalam menyelesaikan kasus
pertanahan. Mendeteksi keberadaan mereka lebih awal ketika memetakan kasus
posisi akan memudahkan langkah Kementerian ATR/BPN dalam menjalankan tugasnya
sebagai problem solver, ini semacam aplikasi dari nasehat klasik
“mencegah lebih baik daripada mengobati.”
Kedua, mempertimbangkan ulang model pelaksanaan reforma agraria. Pasal 7
ayat (1) Perpres No. 86 Tahun 2018 mengatur salah satu objek reforma agraria
ialah tanah hasil penyelesaian sengketa dan konflik agraria. Namun, yang perlu
menjadi perhatian adalah untuk kasus yang objeknya tanah ulayat masyarakat adat
tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan reforma agraria ẚ la Perpres No. 86
Tahun 2018, karena perpres ini masih belum mengakomodir dengan baik keberadaan masyarakat
adat dan ulayat mereka. Contoh, reforma agraria tahun 2019 yang dilaksanakan di
Masyarakat Adat Senama Nenek atas objek tanah yang menurut klaim masyarakat
adat adalah ulayat mereka. Redistribusi administrasi kepemilikan secara de
jure berhasil dilaksanakan oleh program reforma agraria. Sayangnya, konflik
pokok terkait akses terhadap lahan tidak berhasil diselesaikan.
Program reforma agraria bahkan bukannya menguatkan status ulayat
masyarakat adat, sebaliknya mengurangi atau bahkan membuat eksistensi ulayat
menjadi hilang. Jadi, bukan hanya konflik yang gagal dipadamkan, tapi juga
menyebabkan masyarakat adat kehilangan tanah ulayat mereka–sudah terjatuh lalu
tertimpa tangga. Dengan demikian, harus disadari bahwa tidak semua tanah yang
menjadi objek konflik dalam kasus pertanahan dapat diselesaikan dengan satu model
reforma agraria yang sama.
Ketiga, meninjau ulang instrumen hukum penyelesaian kasus pertanahan.
Selain Perpres No. 86 Tahun 2018, instrumen hukum lain yang menjadi pegangan
bagi Kementerian ATR/BPN dalam menjalankan tugas menyelesaikan kasus pertanahan
ialah Permen ATR/BPN No. 21 Tahun 2020. Sayangnya, permen ini menggunakan
paradigma yang sama dengan Perpres No. 86 Tahun 2018 yang mengabaikan
keberadaan masyarakat adat. Meskipun Bab VII Pasal 45 mengatur perihal
penyelesaian kasus pertanahan oleh lembaga adat, tapi masyarakat adat tidak
diatur sebagai subjek yang berhak mengajukan pengaduan dalam kasus pertanahan sebagaimana
diatur dalam Pasal 3. Padahal, mereka rentan menjadi bagian dari kasus
pertanahan dan belum tentu lembaga adat yang ada berhasil menyelesaikannya.
Sebab itu, keberadaan peraturan ini perlu ditinjau kembali guna memberikan
kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat adat.
Keempat, sinergitas dengan kementerian terkait secara transparan.
Menyelesaikan konflik pertanahan merupakan pekerjaan lama, menguras energi,
menghabiskan modal yang banyak, dan irisan kewenangannya melibatkan berbagai
kementerian di luar ATR/BPN. Untuk itu, bergerak secara masif antara ATR/BPN
dengan kementerian terkait perlu dilakukan. Misal, untuk kasus yang melibatkan
perusahaan negara sebagai salah satu aktor di dalam konflik, maka diperlukan
keterlibatan Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Kemudian untuk kasus yang objeknya adalah hutan maka perlu melibatkan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Begitu juga dengan tanah yang
objeknya adalah tanah negara seperti persoalan hak guna usaha atau sengketa
batas wilayah, maka perlu melibatkan peran Kementerian Dalam Negeri dalam
proses penyelesaiannya. Bergerak secara masif, terukur, dan tersistematis
diperlukan agar semua energi yang ada dapat diarahkan ke salah satu isu yang hendak
diselesaikan. Dengan demikian, proses penyelesaian kasus pertanahan akan
menjadi lebih ringan karena ego sektoral dapat dikesampingkan, seperti ungkapan
pepatah “berat sama dipikul ringan sama dijinjing.”
Kelima, melibatkan pusat studi atau lembaga kajian yang kredibel. Harus diakui bahwa pekerjaan kementerian ATR/BPN tidaklah sedikit, salah satu faktor yang sering mengaburkan konsentrasi dalam mengurus setiap kasus pertanahan yang terjadi. Karenanya, kementerian ATR/BPN–maupun kementerian lain yang terkait–dapat melibatkan keberadaan pusat studi atau lembaga kajian di luar institusi kementerian dalam membantu proses penyelesaian sengketa pertanahan. Lembaga-lembaga ini dapat melakukan riset komprehensif; mengumpulkan data, membuat peta kasus posisi, serta peta jalan terbaik dalam menyelesaikan kasus yang terjadi. Dengan demikian, setiap program terkait penyelesaian kasus pertanahan dapat dieksekusi secara terarah, mendalam, dan sesuai dengan kondisi faktual yang diharapkan oleh semua pihak, muaranya adalah kementerian senang dan mereka yang menjadi subjek konflik pun bahagia.
Terakhir, peristiwa suksesi politik di jajaran kementerian dipercaya sebagai langkah konkret menuju tata kelola birokrasi yang lebih baik. Dalam konteks ini, perubahan kursi pimpinan Menteri dan Wakil Menteri ATR/BPN mesti dilihat sebagai keseriusan negera–pemerintah pusat–untuk menyelesaikan kasus pertanahan yang datanya telah menumpuk di meja kerja. Presiden telah memberikan mandat kepada seorang pensiunan tentara dan seorang politisi (muda). Kedua putra terbaik bangsa ini belum memiliki latar belakang di sektor pertanahan, tetapi merekalah yang dapat menentukan masa depan penyelesaian kasus pertanahan di Indonesia.
*Artikel ini pernah terbit di Koran Sindo / SINDONews.com edisi Jum’at tanggal 24 Juni 2022 dengan judul “PekerjaanMenumpuk Menteri Agraria”
0 comments