Di Balik Eloknya Pemandangan Danau PLTA Koto Panjang


ilustrasi gambar: shopback.co.id

Oleh: MHD. Zakiul Fikri
Dehistorisasi berkedok pembangunan energi menghilangkan bukti-bukti sejarah berupa situs yang berkaitan dengan cerita yang ada di sekitar Muara Takus. Muara takus merupakan pusat pemerintahan Kedatuan Andiko 44 yang dalam pepatah disebut sebagai kombuik bonigh atau talago undang. Kedatuan Andiko 44 sendiri ialah wilayah pemerintahan yang pada masa dahulu dikenal sebagai Minanga Tamwan, yakni pusat ilmu pengetahuan serta tempat belajarnya orang-orang dari berbagai daerah dan bangsa.
Eko-wisata Danau Koto Panjang
Pesona Danau Koto Panjang tidak ada habisnya akhir-akhir ini, Agustus 2018, spot-spot wisata alam semakin banyak dibuka di sekitar danau. Bahkan sudah ada pula restoran yang menyajikan masakan Padang dan telah pula dibangun sejenis resort di salah satu sudut bukit yang menjadi dinding pembatas bagi hamparan danau seluas 12.400 ha itu. Salah satu spot wisata yang sedang ‘naik daun’ di sekitar Danau Koto Panjang, yakni Ulu Kasok. Sebuah bukit yang menawarkan pemandangan gugusan-gugusan pulau bagai Raja Ampat di tanah Cendrawasih, Papua Barat. Maka dikenallah pemandangan dari bukit Ulu Kasok itu dengan sebutan “Raja Ampat Kampar”, di Riau. Pengunjung datang silih berganti, mengabadikan setiap momen romantis yang mereka lihat dari puncak bukit tersebut. Lalu, mengunggahnya ke akun media sosial masing-masing, lengkap dengan captions kekinian. Tidak cukup dengan satu spot, maka mulai pula lahan-lahan, perbukitan, di sisi lain bukit Ulu Kasok dibuka. Dijadikan juga sebagai objek wisata bilamana pengunjung terlalu sesak di bukit Ulu Kasok. Bermacam-macam nama bukit itu, mulai dari; Puncak Tuah, Puncak Kompe, Puncak Pukatan, Puncak Cubodak, Mahligai Indah, dan lainnya.
Sebetulnya beberapa tahun lalu, sekitar tahun 2006 hingga tahun 2014, pesona danau Koto Panjang sudah mulai booming di kalangan traveler lokal. Hamparan danau yang kedalamanannya mencapai 74-80 meter itu memuat keindahan tersendiri bagi penikmat alam. Setiap pengunjung, berombongan, bisa membayar jasa perahu motor untuk melayari spot-spot wisata yang ada di sekitar danau. Salah satu spot favorit yang ada di Danau Koto Panjang, umum dikunjungi, yakni Pulau Tongah (Baca: Tengah). Bernama Pulau Tongah sebab memang posisinya seolah berada di tengah danau. Di Pulau Tongah setiap pengunjung bisa memasang tenda bagi yang ingin bermalam, kemping. Belakang hari, telah dibangun pula villa lengkap dengan fasilitasnya bagi pengunjung yang ingin menginap barang semalam di Pulau Tongah. Dan ada pula lapau, semacam warung, bagi yang ingin membeli makanan.  Di pinggir pulau para pengunjung bisa memancang pancing biar beroleh ikan untuk dibakar pada malamnya, atau sekedar mandi bermain air di sore hari.
Pada malam hari, pengunjung bersantai menikmati dingin dan heningnya suasana Pulau Tongah. Atau bila bosan dengan keheningan, maka bermain gitar, menyanyikan lagu, dan bersenda gurau dengan sesama pengunjung menjadi pengisi kesunyiaan. Jika beruntung, cuaca baik, dapat pula dilihat cahaya gemerlap bintang di atas langit Danau Koto Panjang. Bila mentari terbit, wisatawan bersiap-siap untuk berlayar dengan perahu motor menuju destinasi selanjutnya, air terjun Arau Besar. Dengan perahu motor, perjalanan dari Pulau Tongah ke air terjun Arau Besar memakan waktu sekitar 45 menit. Sepanjang perjalanan mata akan dihiasi pemandangan hamparan danau kehijau-hijauan. Pinggiran danau yang diselimuti hutan asri menambah suasana sejuk bila mata memandang. Sayang memang, beberapa sudut dari danau sudah tidak lagi dihiasi pepohonan hutan. Melainkan dipenuhi beberapa hektar perkebunan kelapa sawit, jenis ‘pohon’ yang sedang digemari masyarakat yang tinggal di perkampungan sekitar danau, umumnya oleh masyarakat di Provinsi Riau.
Selama perjalanan, driver[1] perahu motor harus berhati-hati sebab banyak kayu toghe yang bersembunyi di balik air. Sejenis kayu yang lama terendam air, sehingga menjadi keras. Kayu yang mengeras sebab lama terendam air itu yang kemudian dinamakan kayu toghe. Andai lalai sedikit, baling-baling perahu motor bisa patah tersenggol kayu. Oleh sebab itu, tidak boleh sembarang orang menjadi driver perahu motor di Danau Koto Panjang, harus mereka yang paham medan yang akan dilewati. Kayu itu bukanlah bekas limbah buangan dari masyarakat, namun merupakan kayu bekas hamparan hutan bertahun-tahun yang lalu. Bila kemarau tiba dan debit air menurun, maka ujung-ujung bekas pohon yang menjadi kayu toghe akan bermunculan. Terkadang oleh masyarakat ujung kayu itu dipotong untuk dibawa pulang. Konon katanya kayu toghe bisa dijadikan bahan untuk pengobatan tradisional dan kegunaan jenis lainnya.
Masih membahas asal muasal kayu toghe. Kayu-kayu itu masih tertancap dengan kuat bersamaan dengan akarnya di dasar danau, panjangnya bervariasi, mulai dari 50 hingga lebih dari 70 meter. Kayu-kayu toghe menjadi saksi yang mengirimkan pesan historis kepada generasi hari ini bahwa “dahulu pernah ada kehidupan di dasar danau”. Betul saja, sebab Danau Koto Panjang bukanlah danau tanpa hulu dan hilir. Bukan juga danau yang tercipta akibat letusan sebuah Gunung Merapi jutaan tahun lalu. Sejatinya Danau Koto Panjang adalah bagian dari batang aliran Sungai Kampar, yang menjadi danau semenjak tahun 1997 silam. Proses terjadinya danau bukan disebabkan oleh perubahan alam, melainkan kehendak terencana dari manusia. Kehendak terencana yang dimaksud yaitu dibangunnya bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di salah satu titik batang aliran Sungai Kampar yang tidak jauh dari lokasi danau sekarang. Karena itu, danau ini dikenal juga sebagai Danau Buatan PLTA Koto Panjang.

Napak Tilas Pembangunan PLTA Koto Panjang
Menelusuri kembali proses terbentuknya Danau Buatan PLTA Koto Panjang yang sedang populer di kalangan traveler itu membawa pada kisah panjang dan melelahkan. Dikatakan membawa pada kisah yang panjang sebab perencanaan hingga eksekusi pembuatan bendungan, yang kemudian hari mengakibatkan menguapnya batang Sungai Kampar menjadi danau, setidaknya memakan waktu hampir dua dekade lamanya (dari 1979 hingga 1997). Kemudian disebut melelahkan karena selain mengalami rintangan berupa protes luar biasa dari pihak lokal atau pun internasional, proses pembangunan PLTA Koto Panjang yang pastinya telah memaksa sekitar 5.000 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 23.000 jiwa masyarakat dari 10 desa yang ditenggelamkan untuk dipindahkan dari kampung mereka yang makmur.[2]
PLTA Koto Panjang memiliki kapasitas terpasang 3 x 38 megawatt (114 MW), kemampuannya menyusut hanya menghasilkan 60 MW jika debit air Sungai Kampar berkurang pada musim kemarau. PLTA ini menggunakan air Sungai Kampar sebagai sumber utama penggerak turbinnya, saluran masuk (intake) dam PLTA Koto Panjang berada di daerah Rantau Berangin.[3] Sejarah terbentuknya PLTA ini bermula pada tahun 1976 silam, tepatnya sekitar bulan september. Perusahaan Pembangkit Listrik Negara (PLN) merencanakan dibangunnya dam PLTA dalam skala kecil di daerah Tanjung Pauh. Hal ini dilakukan dalam rangka memanfaatkan potensi batang Sungai Mahat dan anak Sungai Kampar Kanan.
Di tahun yang sama, 1979, pemerintah Indonesia mulai melakukan upaya kerjasama dengan pihak Jepang terkait pembangunan dam PLTA tersebut. Maka sekitar bulan September hingga november tahun 1979, Tokyo Electric Power Service Co. Ltd. (TEPSCO) salah satu perusahaan konsultan Jepang mengirim tim pencarian proyek (project finding) ke wilayah Sumatera. Dari hasil survei yang dilakukan, TEPSCO mengusulkan dibangunnya waduk dalam skala besar, tepatnya di pertemuan antara Sungai Kampar Kanan dengan batang Sungai Mahat dengan lokasi damsitenya di daerah Koto Panjang.
Pada maret tahun 1980 TEPSCO mempresentasikan usulannya ke Pemerintahan Jepang dan Indonesia. Bulan agustus di tahun yang sama, TEPSCO kembali mengirim tim untuk melakukan kajian pra studi kelayakan ke lokasi damsite. Hasil dari kajian membuahkan dua usulan; Pertama, dibangun bendungan sebanyak dua buah yang berlokasi di Tanjung Pauh dan Koto Panjang. Kedua, dibangun bendungan tunggal dalam skala besar di lokasi Koto Panjang. Dari dua pilihan ini Pemerintah Indonesia kemudian hari memilih dibangunnya bendungan dengan skala besar dengan dalih biaya akomodasi dianggap lebih murah dan kapasitas listrik yang dihasilkan jauh lebih besar.
Bulan september hingga oktober tahun 1981 Japan International Cooperation Agency (JICA) menindak lanjuti hasil dari TEPSCO. JICA mengirim tim sebanyak 4  orang yang terdiri dari 2 orang konsultan dari perusahaan Hokuden Kogyo Ltd. dan 2 orang dari anggota JICA. Kemudian pada tahun 1982 JICA melakukan survey menyeluruh berupa studi kelayakan proyek untuk usulan pembangunan PLTA ini. Setidaknya terdapat tim yang beranggotakan 14 orang bersama dengan TEPSCO. Dalam pelaksanaannya, TEPSCO juga melakukan kerjasama dengan menggandeng PT. Yodoya Karya.
Hasil studi lanjutan secara menyeluruh tahun 1982 menyatakan bahwa bendungan tunggal yang dibangun dalam skala besar di daerah Koto Panjang akan berdampak pada tenggelamnya; sekitar 26.444 rumah, 8.989 ha kebun-sawah milik warga, 25,3 km jalan negara dan 27,2 km jalan provinsi. Hal ini akibat tinggi bendungan direncanakan mencapai 58 meter dengan kapasitas energi yang dihasilkan sekitar 114 MW. Sedangkan apabila yang dibangun dua bendungan dalam skala kecil yang terdiri dari; bendungan I berlokasi di Tanjung Pauh, dengan kapasitas 23 MW dengan ketinggian bendungan 38 meter. Bendungan II berlokasi di Koto Panjang dengan kapasitas 41 MW, tinggi bendungan yang direncanakan 30,5 meter. Dari kedua bendungan yang direncanakan ini, maka akan menenggelamkan sebanyak 390 rumah, 1.860 ha kebun-sawah dan 16 meter jalan negara.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, Pemerintah Indonesia lebih memilih untuk menenggelamkan 26.444 rumah, 8.989 ha kebun-sawah milik warga, 25,3 km jalan negara dan 27,2 km jalan provinsi. Karena itu, bendungan yang dibangun ialah bendungan dalam skala besar yang berlokasi di Koto Panjang. Kemudian pada tahun 1983 Pemerintah Daerah (Pemda) Kabutapen Kampar mulai melakukan penggalangan masa dengan jargon “Kebulatan Tekad” yang bertempat di pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah (PPMTI) Darussalam, Kenegerian Batu Bersurat.[4] Kegiatan itu dilakukan seolah atas nama Masyarakat XIII Koto Kampar yang siap berkorban untuk mewujudkan pembangunan dam PLTA Koto Panjang.
Pada tahun 1984 Indonesia memperoleh bantuan sebesar 1,152 Miliar Yen dari Overseas Economic Cooperation Fund (OECF). Dana tersebut dipergunakan untuk Engineering Service. Rentang waktu tahun 1987 hingga 1990 Pemda Kabupaten Kampar mengeluarkan kebijakan agar seluruh harta kekayaan penduduk yang akan tenggelam didaftarkan; baik itu pohon, rumah, pekarangan dan sawah, semua dicatat. Pemerintah melarang warga masyarakat melakukan pembangunan dan pembukaan lahan yang baru di areal terdampak pembangunan dam. Seluruh agenda pembangunan milik pemerintah seperti pembangunan puskesmas, sekolah dan jalan juga dihentikan.
Rencana pembangunan dam PLTA Koto Panjang bukannya tanpa perlawanan dari internal Jepang. Pada tahun 1990, koran Nihon Keizai Shinbun memuat berita tentang kerusakan lingkungan berkaitan dengan proyek PLTA Koto Panjang. Pada bulan agustus di tahun yang sama, Prof. Sumi Kazuo dari Yokohama City Univerisity dan Damoto Akiko seorang Anggota Dewan Majelis Tinggi di Jepang mengunjungi lokasi. Sekembali dari kunjungan itu, pada bulan septembernya Prof. Sumi Kazuo mengajukan permohonan kepada Pemerintah Jepang agar menghentikan pemberian pinjaman untuk pembangunan proyek PLTA Koto Panjang. Di bulan yang sama Pemerintah Jepang mengirim tim appraisal ke Indonesia karena di Jepang terjadi perdebatan soal kelayakan secara ekonomi, sosial dan lingkungan dari proyek ini. Namun, media di Indonesia pada bulan oktobernya gencar memberitakan bahwa PLTA Koto Panjang positif dibangun.
Pada 9 oktober tahun 1990 Pemda Riau melakukan penggalangan masa ke II di Kenegerian Pulau Gadang. Jargon yang dibawa sama dengan tahun 1983, yaitu “Kebulatan Tekad” yang dibacakan oleh Imam Bachtiar Dt. Tandiko, Pucuk Adat Kenegerian Pulau Gadang. Acara diawali dengan penyerahan sebilah sikin (keris) oleh seorang ninik-mamak XIII Koto Kampar kepada Gubernur Riau ketika itu, Soeripto. Kemudian Ketua Lembaga Adat Melayu, Wan Ghalib, menyerahkan Lambang Adat Riau kepada Imam Bachtiar Dt. Tandiko.

Gambar 1: Soeripto menerima sebilah sikin dari Ninik-Mamak XIII Koto Kampar
(Sumber: Ali Akbar dalam Kemitraan Adat Tali Berpilin Tiga Daerah Kampar-Riau.)

 
Gambar 2: Wan Ghalib menyerahkan lambang adat Riau kepada Dt. Tandiko
(Sumber: Ali Akbar dalam Kemitraan Adat Tali Berpilin Tiga Daerah Kampar-Riau.)
Salah satu diktum penting yang termaktub dalam kebulatan tekad tahun 1983 di Kenegerian Batu Bersurat dan tahun 1990 di Kenegerian Pulau Gadang adalah: “Bahwa syarat pemindahan harus meliputi seluruh masyarakat yang ada di suatu desa dan ditempatkan di sekitar pinggir danau. Kemudian, penempatan kembali harus secara kolektif mutlak harus dilakukan agar masyarakat dapat mempertahankan adat dan tradisi mereka”.
Sementara proses pembangunan dam PLTA Koto Panjang terus digarap, di Jepang desakan untuk menghentikan pendanaan atas proyek tersebut semakin kuat. Meskipun demikian, kerjsama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jepang tetap berlanjut. Bahkan, pada 13 desember tahun 1990 kedua pihak pemerintahan ini menandatangani kesepakatan Exchange Note (E/N) atas proyek Koto Panjang dengan nama Koto Panjang Hydroelectric Power and Associated Transmission Line Project, kemudian Pemerintah Jepang lewat OECF menurunkan dana bantuan pertama sebesar 12,500 Milyar Yen. Selanjutnya OECF membuat Law Agreement dengan Pemerintah Indonesia.
Januari tanggal 19 tahun 1991, Duta Besar Negara Jepang untuk Indonesia menyatakan bahwasanya Pemerintah Jepang telah menerima semua laporan dari Pemerintah Indonesia terkait syarat-syarat yang berhubungan dengan proyek pembangunan PLTA Koto Panjang. Di samping itu, pihak Jepang juga telah menerima laporan dari delegasi Fact Finding yang dikirim oleh OECF pada satu bulan sebelumnya, yakni desember tahun 1990. Laporan dari Fact Finding menyebutkan bahwa sudah tidak ada masalah mengenai perkara ganti rugi. Hanya saja, bagaimana bentuk dan isi dari laporan tersebut belum diketahui.[5]
Juli tahun 1992 Pemerintah Indonesia merampungkan secara resmi kontrak pembangunan dam PLTA Koto Panjang dengan Pemerintah Jepang. Agustus di tahun yang sama, masyarakat Pulau Gadang mulai dipindahkan ke lokasi pemukiman baru yang bertempat di Silam Koto Ranah. Baru pada bulan januari tahun 1993 pembangunan mulai dilaksanakan. Selanjutnya, juli tahun 1993 penduduk Tanjung Pauh yang terdiri dari 312 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 1152 jiwa dipindahkan ke Satuan Pemukiman (SP) II di Rimbo Datar, Kecamatan Pangkalan. Kemudian warga Tanjung Belit sebanyak 401 KK yang pindahkan ke lokasi yang sama, SP II di Rimbo Datar.
Dalam rentang waktu tahun 1994 hingga tahun 1995 pemerintah konsen pada pemindahan penduduk yang terdampak oleh pembangunan dam PLTA Koto Panjang. Pemindahan itu dilakukan pada penduduk Muara Takus (sebanyak 244 KK), Muara Mahat (sebanyak 447 KK), Koto Tuo (sebanyak 599 KK), Tanjung Pauh (sebanyak 38 KK), Tanjung Balit (sebanyak 49 KK), Tanjung Alai (sebanyak 313 KK) dan Labuk Agung (sebanyak 220 KK). Baru pada tahun 1996, tepatnya pada bulan maret, bendungan PLTA Koto Panjang selesai dibangun dan penggenangan percobaan dilakukan pada bulan tersebut. Kemudian, hari Jum’at pada tanggal 28 februari tahun 1997 penggenangan secara resmi dilakukan dengan ditekannya tombol penurunan pintu-pintu sekitar air dam.[6]

Sisa Tangis dan Air Mata di Tanah Sejarah
Pasca ditekannya tombol penurunan pintu-pintu sekitar air dam, maka lenyap sudah pemukiman negeri-negeri yang ratusan atau mungkin sudah lebih ribuan tahun lamanya di huni. Tanah yang penduduknya sudah bernegeri jauh sebelum negara ini bernama Indonesia. Hanya sisa tangis berupa air mata dari anak cucu dan kemenakan yang melihat proses tenggelamnya rumah dan tanah mereka. Rumah bukan sekedar rumah, demikian juga tanah, bukan sekedar tanah. Tapi semua itu adalah sisa-sisa benda sejarah sekaligus wujud kebudayaan sebagai artifacts (benda) atau physical culture yang senantiasa diturunkan dari generasi ke generasi. Kini, benda sejarah itu yang tampak tinggal genangan air, wujud aslinya jauh tenggelam puluhan meter di bawahnya.
Jangan pikir rakyat tanpa perlawanan ketika tanah bersejarah itu ditenggelamkan. Ninik-mamak serta barisan kemenakan di negeri yang ditenggelamkan itu sadar bahwa meski berkedok pembangunan energi, sejatinya pembangunan PLTA Koto Panjang justru merupakan langkah strategis pihak yang memerintah kala itu untuk membinasakan keelokan dan kekayaan sejarah negeri-negeri di sekitar Koto Panjang. Negeri yang dikenal sebagai Talago Undang, pusat pemerintahan Kedatuan Andiko 44.
Lewat intimidasi pemerintah, bahkan dengan memperalat militer, rakyat dipaksa tunduk dan menerima situs sejarahnya ditenggelamkan. Ini fakta, bukan sekedar cerita rakyat belaka. Perlu diingat, pada bulan juli tahun 1991 perwakilan dari masyarakat Koto Panjang mendatangi kantor perwakilan OECF di Jakarta dan menyatakan kejujuran sebuah fakta di lapangan bahwa persetujuan pemindahan dan ganti rugi didapat dengan cara intimidasi. Lebih menyayat hati, pemindahan warga Pulau Gadang ke pemukiman baru pada bulan agustus tahun 1992 berada di bawah ancaman militer dari Batalyon 132 yang bermarkas di Bangkinang.[7] Ini deretan fakta di balik pembangunan PLTA Koto Panjang, sejarah pembangunan yang tidak akan dapat dilupakan begitu saja bagi segenap pewaris sejarah yang berasal dari negeri-negeri yang ditenggelamkan tersebut.
Dehistorisasi[8] berkedok pembangunan energi menghilangkan bukti-bukti sejarah berupa situs yang berkaitan dengan cerita yang ada di sekitar Muara Takus. Muara takus merupakan pusat pemerintahan Kedatuan Andiko 44 yang dalam pepatah disebut sebagai kombuik bonigh atau talago undang. Kedatuan Andiko 44 sendiri ialah wilayah pemerintahan yang pada masa dahulu dikenal sebagai Minanga Tamwan, yakni pusat ilmu pengetahuan serta tempat belajarnya orang-orang dari berbagai daerah dan bangsa. Diantara situs yang tenggelam dan tidak diselamatkan atau, tepatnya, sengaja ditenggelamkan yaitu prasasti batu bersurat (dari sini asal-muasal nama Kenegerian Batu Bersurat) yang terdapat pada dinding aliran Sungai Kampar di daerah Kenegerian Batu Bersurat. Situs tersebut sudah tenggelam jauh di bawah Danau PLTA Koto Panjang. Kemudian situs megalit berupa batu anjing di sekitar Muara Sungai Mahat.[9] Selain itu, ada pula situs lobang bekas galian tanah liat, bahan yang disiapkan untuk membangun candi Muara Takus. Lobang bekas galian tanah liat itu berlokasi di Kenegerian Pongkai, tempat yang juga ikut tenggelam pasca pembangunan PLTA Koto Panjang.[10]
Situs megalit lainnya berupa Batu Berindik pun menjadi korban keganasan pembangunan PLTA Koto Panjang. Situs yang terdapat di Kenegerian Koto Tuo lama ini terletak di hamparan areal seluas sekitar satu hektar. Lokasi persisnya berada di sebelah barat pasar Koto Tuo lama. Tempat ini difungsikan sebagai lokasi bersemedi dan mandi putri-putri kerajaan yang berpusat di Muara Takus masa dahulu. Kemudian, di daerah Lubuk Agung di Kenegerian Batu Bersurat lama terdapat kuburan Putri Kemala Dewi yang isinya barang berharga semasa hidup sang Putri. Semua situs ini berkaitan ceritanya dengan Putri Indah Dunia anak dari Raja India yang mengawali pembangunan mahligai stupa candi Muara Takus.[11]
Demikian, cerita dan fakta di balik indahnya Danau Buatan PLTA Koto Panjang. Keindahan yang tampak dari bukit-bukit seperti; Ulu Kasok, Puncak Pukatan, Puncak Cubodak, Mahligai Indah, bahkan Pulau Tongah dan hamparan Danau Buatan sejatinya menyisakan luka dan air mata. Mereka yang tidak paham dan tidak mau peduli akan tertawa senang melihat indahnya Danau Buatan PLTA Koto Panjang. Padahal nun jauh di bawah sana, di dasar danau, tanah dan benda-benda sejarah yang kaya akan nilai identitas diri selaku anak negeri (baca: Andiko 44) dan ilmu pengetahuan terkubur oleh genangan air. Menetes air mata, bercucuran keringat dan darah ninik-mamak serta kepenakan dahulu mempertahankannya. Sayang pemerintah lebih kuat dan kuasa, militer pun diperalat hingga rakyat dan pemerintahan adat selaku pewaris sah kekuasaan Andiko 44 harus mengalah pada masa itu.


[1] Driver (Inggris), artinya pengemudi
[2] Anonim, “Majelis Hakim Mahkamah Agung Jepang Mohon Putusan Seadil-adilnya atas Kasus Pembangunan Dam PLTA Koto Panjang yang Telah Menenggelamkan 10 Desa Masyarakat”, dalam https://www.change.org/p/majelis-hakim-mahkamah-agung-jepang-mohon-putusan-seadil-adilnya-atas-kasus-pembangunan-dam-plta-koto-panjang-yang-telah-menengelamkan-10-desa-masyarakat, diakses pada tanggal 30 Juli 2018, pada website “change.org” jumlah desa yang tenggelam disebut sebanyak 10 desa. 10 desa yang dimaksud ialah desa yang masih mengajukan gugatan atas kerugian yang dialami akibat pembangunan PLTA Koto Panjang. Aslinya, bukan hanya sepuluh desa, tapi ada 12 desa yang ditenggelamkan. Rinciannya, 7 desa termasuk dalam wilayah Provinsi Riau dan 5 desa terletak dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat. Lihat dalam Aprijon Efendi, Biografi Syekh Haji Abdul Ghani al-Khalidi: Ulama Sufi Karismatik dari Batu Bersurat, Kab. Kampar-Riau 1831-1961, Cet. Ke-1, Zanafa Publishing, Pekanbaru, 2013, Hlm. 106
[3] Aprijon Efendi, Ibid.
[4] Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Darussalam Kenegerian Batu Bersurat ialah lembaga pendidikan berbasis agama Islam yang didirikan Syekh Haji Abdul Ghani al-Khalidi. Ibid., Hlm. 108
[5] Laporan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang dimuat ulang dalam http://www.suarakampar.com/berita-kronologi-sejarah-danau-plta-kotopanjang.html, diakses pada tanggal 28 Juli 2018
[6] Aprijon Efendi, Op. Cit., Hlm. 114
[7] Laporan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang dimuat ulang dalam http://www.suarakampar.com/berita-kronologi-sejarah-danau-plta-kotopanjang.html, diakses pada tanggal 28 Juli 2018
[8] Dehistorisasi maksudnya sebuah upaya penghilangan nilai-nilai sejarah seseorang atau kelompok masyarakat tertentu.
[9] Wawancara dengan Dt. Maharaja Kampar, pucuk Kenegerian Sibiruang, pada tanggal 20 Juni 2018
[10] Wawancara dengan Suhaimi, ipar Nasrul Ninik Dt. Raja Dibalai sekaligus juru kunci candi Muara Takus, pada tanggal 27 Juni 2018.
[11] Ali Akbar, Kemitraan Adat Tali Berpilin Tiga Daerah Kampar-Riau, LKATIKA Kabupaten Kampar, Bangkinang, 1996, Hlm. 35

0 comments