Mengenal Perempuan Modern Menurut Sutan Takdir Alisjahbana dalam Layar Terkembang
ilustrasi gambar: dokumentasi penulis
Oleh: MHD. Zakiul Fikri
Tuti, dalam buku ini , pernah pula berkata tentang agama, “kalau saya memegang agama, maka agama itu adalah yang sesuai dengan akal saya, yang terasa oleh hati saya. Agama yang lain dari itu saya anggap seperti bedak tipis saja, yang luntur kena keringat.”
Buku sastra ini begitu spesial bukan hanya dikarenakan
terbit pertama pada tahun 1937, tapi juga dikarenakan kelancaran berpikir dan
keberanian si penulis, St. Takdir Alisjahbana, untuk mengungkapkan bagaimana
sosok perempuan modern di matanya. Begitu cerdik dan long view (berpandangagn
jauh) tulisan ini, sebab ditulis pada masa yang, bahkan, begitu sulit akal dan
nurani manusia mellinium saat ini untuk menggambarkannya. Tentu saja tulisan
ini bukan lahir dari titik kosong belaka, melainkan dari pergolakan pemikiran
yang dialami penulis sendiri. Seperti ungkapan Maman S. Mahayana dalam kata
pengantar buku ini, “Sastra tidak dibawa malaikat dari langit. Sastra tidak
datang begitu saja. Ia lahir dari proses pergulatan sastrawan dengan kondisi
sosial budaya zamannya”.
Buku ini berkisah tentang dua perempuan, kakak beradik,
sebagai tokoh utama. Tuti, ia adalah tokoh sulung yang digambarkan penulis
sebagai wanita modern. Sedangkan si bungsu, Maria, digambarkan sebagai sosok
perempuan pribumi lazimnya. St. Takdir A. pada bagian awal buku menyatakan,
“Tuti bukan seorang yang mudah kagum, yang mudah heran melihat sesuatu.
Keinsafannya akan harga dirinya amat besar. Ia tahu bahwa ia pandai dan cakap
serta banyak yang akan dapat dikerjakannya dan dicapainya. Segala sesuatu diukurnya
berdasarkan kecakapannya sendiri, berdasarkan pertimbangan yang disokong oleh
keyakinan yang pasti. Ia tak gampang menurut orang lain apabila sesuatu itu
tiada sesuai dengan kata hatinya”.
Sebaliknya, Maria, si adik digambarkan, “seorang yang
mudah kagum, yang mudah memuji dan memuja. Sebelum selesai benar ia berpikir,
ucapannya telah keluar menyatakan perasaannya yang bergelora, baik waktu
kegirangan maupun waktu kedukaan. Air mata dan gelak berselisih di mukanya
sebagai siang dan malam”. Besyukur, mereka dididik oleh seorang ayah yang
demokratis, R. Wiriaatmaja. Sedang ibunya, dalam buku ini, dikisahkan telah
meninggal dunia. Berkat sang ayah ini pulalah kedua perbedaan itu dapat dijaga
keharmonisannya.
Suatu hari Tuti yang aktif selaku pimpinan pada
organisasi pergerakan wanita, Putri Sedar, mendebat dengan seorang familinya,
Partadiharja, yang kebetulan bertamu ke rumahnya. Perdebatan itu seputar adik
Partadiharja, Saleh, yang berhenti bekerja di kantor Justisi dan lebih memilih
bekerja di desa sebagai manusia bebas sesuai dengan kata hatinya; sebab
menurutnya pekerjaan kantor yang tenang itu merupakan pekerjaan mesin yang
mematikan semangat. Tuti menyambut baik keputusan Saleh, bahkan,
mendukungnya. Hal itu pula yang membuat Partadiharja jengkel, dalam keadaan
mengeluh ia mengeluarkan kata-kata terhadap dinamika anak muda yang di luar
daripada kebiasaan selama ini, “kesal hati kita anak ayam hendak lebih
tahu pula dari induknya”. Wiriaatmaja hanya menyaksikan dengan tenang
perdebatan itu, ia membiarkan selaga perdebatan pemikiran itu terjadi tanpa
menunjukkan keberpihakan. Demokratis, begitulah jiwanya.
Tuti, dalam buku ini , pernah pula berkata tentang agama,
“kalau saya memegang agama, maka agama itu adalah yang sesuai dengan akal saya,
yang terasa oleh hati saya. Agama yang lain dari itu saya anggap seperti bedak
tipis saja, yang luntur kena keringat”. Satu hal yang juga tak kalah
menggelitik yang diutarakan oleh St. Takdir A. lewat tokoh utamanya, Tuti, pada
suatu kesempatan pidato berkata dengan perasaan berapi-api,
“Di manakah
pula dahulu orang tua berdaya upaya hendak mengajar anaknya pengetahuan yang
lain daripada yang perlu untuk perkawinan seperti memasak dan menjahit?...kita
mendengar orang tua berkata, ‘apa gunanya anak masuk sekolah ini atau sekolah
anu? Sekaliannya itu akan percuma saja sebab kesudahannya ia masuk ke dapur
juga… demikianlah perempuan tinggal bodoh dan oleh bodohnya lebih bergantunglah
ia kepada kaum laki-laki, makin mudahlah laki-laki menjadikannya hamba dan
permainannya.
Pendidikan budi
pekerti perempuan semata-mata ditujukan untuk keperluan laki-laki. Segala sifat
lemah itulah dijadikan sifat perempuan termulia: perempuan mesti sabar,
perempuan mesti lemah lembut, perempuan mesti pendiam. Berjalan perempuan tiada
boleh lekas-lekas, bicara dan tertawa tiada boleh keras-keras. Dalam segala hal
itu ia harus halus.
…Segala
sifat-sifatnya sebagai manusia menjadi layuh, oleh didikan masyarakat dan orang
tua yang semata-mata menuju ke arah perkawinan.
…Dan dari perempuan
yang telah dimatikan semangatnya serupa itu, orang masih berani berharap
lahirnya suatu keturunan yang kuat. Adakah,…, permintaan yang lebih gila dari
pada itu?”
Demikianlah sekelumit kisah seorang perempuan modern yang
diterangkan hingga sedemikian rinci bersama segala aktivitas kesehariaannya
oleh St. Takdir Alisjahbana dalam buku Layar Terkembang.
0 comments