Gerakan Intelektual Kolektif Berbasis Nilai-Nilai Profetik Guna Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Sejahtera
ilustrasi gambar: dokumentasi HMI Cabang Yogyakarta
Oleh: MHD. Zakiul Fikri
Indonesia yang Masih UtopisGerakan kolektif ini tidak semata-mata dilakukan atas dasar kemanusiaan dan persatuan. Tetapi didasarkan pula atas basis-basis intelektualitas. Agar gerakan kolektif tersebut tidak hanya menggantungkan diri pada sense of humanity dan sense of unity, tapi juga kepada hikmah serta kebijaksanaan (wisdom) dalam mengambil tindakan.
Tujuan didirikannya Indonesia sebagai negara kesatuan
yang merdeka dan berdaulat sangat mulia sekali. Merdeka dan berdaulat dalam
arti terlepas dari susah payah imperialisme dan kolonialisme yang menggerogoti
kehidupan berbangsa yang sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Sejarah mencatat,
proses imperialism dan kolonialisme telah dimulai sejak abad ke-16 di bumi
nusantara yang kemudian menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.[3]
Dan hal itu, penjajahan, berlangsung selama kurun waktu yang lama, hingga
tanggal 17 Agustus tahun 1945 baru diikrarkan teks proklamasi tanda berdirinya
sebuah negara merdeka dan berdaulat yang diberi nama Indonesia.[4]
Sejak berdiri sebagai negara kesatuan berbentuk republik,
para founding fathers Indonesia berkomitmen untuk keluar dari pengaruh
penjajahan yang telah menyebabkan pemerasan, pembodohan, pemiskinan dan segala
bentuk keburukan individu-sosial lainnya. Karenanya, konsepsi kemerdekaan dan
kedaulatan tersebut, oleh para founding fathers, dituliskan secara utuh
sebagai konsensus bersama. Hasil konsensus, kesepakatan, kontrak dan/atau
perjanjian bersama para founding fathers kemudian hari ditempatkan pada
bagian pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI). Sebuah pembukaan yang menjiwai seluruh ketentuan pada Pasal-Pasal dalam
UUD NRI Tahun 1945.
Dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 bagian pertama
menerangkan kesadaran bahwa penjajahan adalah sebuah hal yang mengakibatkan
penderitaan. Oleh karena itu, dimana pun segala bentuk penjajahan harus
ditiadakan. Kemudian, pada alinea kedua dituliskan bahwa kemerdekaan Indonesia
tidak semata-mata sekedar merdeka dari penjajahan yang bertahun-tahun lamanya.
Tetapi, dalam konsepsi sosial kemerdekaan yang dimaksud ialah merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur. Dalam konsepsi sosial kemerdekaan itulah lahir
tujuan sekaligus harapan agar negara mampu untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial.[5]
S.F. Marbun menyebut rumusan tujuan negara di atas
menunjukkan indikasi bahwa NKRI merupakan negara hukum modern. Konsepsi negara
yang demikian melahirkan berbagai peristilahan, antara lain; welfare state (negara
kesejahteraan), social service state (negara memberikan pelayanan kepada
masyarakat), atau meminjam istilah Lemaire disebut bestuurszorg (negara
berfungsi menyelenggarakan kesejahteraan umum).[6]
Dalam bukunya Diskresi dan Tanggungjawab Pemerintah, Ridwan menjelaskan,[7]
“…negara hukum Indonesia lahir melalui
perjuangan panjang melawan penjajah. Suatu pengalaman pahit yang menyadarkan
bangsa Indonesia akan hak atas kemerdekaan atau kebebasan. Perjuangan bangsa
Indonesia untuk memperoleh hak-haknya tidak didasarkan pada paham
individualisme tetapi atas kesadaran bahwa setiap bentuk penjajahan itu tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan atau bertentangan dengan
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Ketika bangsa Indonesia meraih
kemerdekaan,-atas berkat rahmat Allah dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur- bangsa Indonesia menggunakan kemerdekaan itu bukan untuk melakukan
segalanya secara bebas tanpa intervensi pemerintah, tetapi untuk berusaha dan
bekerja secara bersama-sama atas dasar kekeluargaan dan kerukunan. Pemerintah
Indonesia melaksanakan tugas untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa. Di samping itu, juga melaksanakan tugas
dalam kerangka “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Lebih lanjut, pasca dilakukannya amandemen terhadap pasal-pasal
dalam UUD NRI Tahun 1945 dengan tambahan bab secara khusus mengatur tentang Hak
Asasi Manusia (HAM), yaitu Bab XA. Ridwan mengatakan,[8]
“…Hal ini tidak serta merta menempatkan negara
hukum Indonesia sebagai penganut paham individualisme. Cara pandang bangsa
Indonesia terhadap HAM bertumpu pada paham monodualis atau paham yang memandang
manusia sebagai individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai individu
manusia mempunyai hak-hak asasi yang dapat dinikmati dan dipertahankan terhadap
siapapun baik sesama warga negara maupun terhadap penguasa, sedangkan sebagai
makhluk sosial berarti dalam menggunakan hak-hak asasi manusia, tidak boleh
melanggar hak asasi orang lain, apalagi melanggar kepentingan umum. Menurut
Bagir Manan, telah menjadi adagium universal bahwa hak-hak pribadi dapat
dibatasi demi kepentingan publik. Perlu diperhatikan, di sebelah hak-hak
pribadi individual (hak asasi pribadi)
ada hak asasi publik yang tidak kalah penting untuk dijamin dan
dilindungi. Cara pandang demikian dengan jelas menunjukkan bahwa negara hukum
Indonesia tidak menganut paham individualisme dan tidak menganut paham
sosialisme…”
Dalam konsepsi negara hukum modern, sebagaimana S.F.
Marbun, kedudukan dan peran negara sangat kuat dan besar, negara dibebankan
tugas berat dan luas, sehingga mendorongnya untuk turut serta dalam segala
aspek kehidupan warganya.[9] Namun,
ide hanyalah sebatas ide. Cita-cita ideal kemerdekaan yang dituangkan dalam
pembukaan UUD NRI Tahun 1945 masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah di
republik ini. Angan menjadi negara mandiri (merdeka; baik pada sektor politik
sandang, pangan dan papan), bersatu, berdaulat, adil dan makmur; negara yang
sejahtera dan cerdas, masih merupakan fatamorgana yang tak jelas wujudnya.
Wajah Indonesia kini berisi penguasa yang anti kritik,[10]
pertikaian atas dasar sensi primordial,[11]
impor besar-besaran,[12] liberalisasi
sektor sumber daya alam yang merugikan,[13]
pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup,[14]
utang luar negeri pemerintah yang menggunung,[15]
ketimpangan harga kebutuhan pokok dengan pendapatan para petani dan pekerja
kelas menengah ke bawah.[16]
Kenyataan-kenyataan tersebut masih menjadi konsumsi pemberitaan media massa
setiap hari.
Posisi HMI dalam Dinamika Kenegaraan dan Benturan Antar Organisasi
Pergerakan
Dalam kepedihan realita bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara itu seharusnya kehadiran peran dan gebrakan perubahan dari generasi
muda diperlukan. Integritas nasionalisme dan persatuan pemuda-pemudi harus
kembali dikukuhkan untuk melawan serta menyingkirkan “bangsat-bangsat” di balik
rapuhnya jalanan republik menuju negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur. Integritas nasionalisme generasi muda haruslah kuat dan menjiwai tujuan
ideal dari NKRI, jangan sampai nasionalisme tersebut menjadi nasionalisme
dangkal. Sebagaimana disuarakan oleh Mohammad Amien Rais,[17]
“…Kita bela merah putih hanya dalam hal-hal
yang bersifat simbolik, namun ketika kekayaan alam kita dikuras dan dijarah
oleh korporasi asing, ketika sektor-sektor vital ekonomi seperti perbankan dan
industri dikuasai asing, bahkan ketika kekuatan asing sudah dapat mendikte
undang-undang serta keputusan-keputusan politik, kita diam dan membisu. Seolah
kita sudah kehilangan harga dan martabat diri.”
Nasionalisme yang dimaksud hendaknya
nasionalisme, menukil dari tulisan Frantz Fanon, yang menyeru kepada seluruh
rakyat untuk memperjuangkan eksistensi sebagai bangsa. Ia [nasionalisme] yang
membangun kesadaran nasional dan yang mampu mengemban tanggungjawab [mewujudkan
tujuan ideal negara].[18]
Dalam hal demikianlah, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bersama dengan
organ-organ pergerakan lainnya dituntut hadir sebagai alternatif solusi (problem
solver) atas berbagai problematika kebangsaan itu, bukan malah menjadi
bagian dari masalah atau pembuat masalah (problem maker). Khususnya, HMI
diharapkan mampu menjadi motor penggerak integritas nasionalisme dan persatuan
pemuda menuju terwujudnya tujuan negara.
HMI harus mampu memposisikan diri sebagai sebuah
organisasi ‘sukarela’, yakni asosiasi-asosiasi sukarela ideal sebagai pembawa
semangat-semangat ideal; kemanusiaan, tindakan-tindakan sukarela, perhatian
pada kebaikan bersama, semangat solidaritas dan komunitas. Bukan sebuah
organisasi yang mengejar kepentingan politik serta ekonomi tertentu bagi
anggotanya; sehingga berada di luar dunia sukarela yang penuh idealisme.[19]
Dalam paham demikian pula diharapkan HMI bisa memberikan efek transformasi
ekonomi, sosial dan politik sebagai proses mewujudkan cita-cita negara
Indonesia.
Akantetapi, baik HMI atau pun organisasi lainnya,
alih-alih menjadi roda penggerak nasionalisme dan persatuan justru masih
bergelut dengan dinamika internal yang tidak berkesudahan. Dampaknya, yang
timbul bukan nasionalisme kebangsaan melainkan nasionalisme dan partikularisme
lokal-individual. Hal demikian terjadi akibat stratifikasi sosial ‘yang tidak
baik’ dalam hubungan antar anggota atau pun antar organ pergerakan. Pembacaan
mengenai stratifikasi sosial yang dimaksud di sini senantiasa berkaitan dengan
“pembagian” kekayaan, kekuasaan, dan martabat seseorang atau kelompok tertentu
dalam masyarakat. Stratifikasi sosial terjadi disebabkan oleh; kompetisi,
konflik, eksterminasi (genosid/menghilangkan), ekspulsi dan ekslusi
(penyingkiran), memisahkan diri (scission) dan segregasi.[20]
Berdasarkan kerangka itu, dalam suatu masyarakat dapat terjadi stratifikasi
sosial etnik[21]
dan ras[22]
(yang kerap kali hanya merupakan label, stigma, stereotip) berdasarkan
“pembagian” kekayaan, kekuasaan, dan martabat seseorang atau kelompok tertentu
dalam masyarakat.
Akibat dari konflik internal antar organ yang tidak
berkesudahan peran organisasi pergerakan sebagai agen of social control,
apalagi sebagai agent of change, tidak tampak ke permukaan. Setiap organisasi
pergerakan dewasa ini-begitupun HMI-yang idealnya diharapkan mampu menjadi tali
penghubung antara pemerintah, kapital dan masyarakat, justru malah disibukkan
dengan mengurus struktur organisasi dan perkaderan dalam organisasi
masing-masing. Menyadari pentingnya peran organisasi pergerakan sebagai
intermedia reaktor antara kepentingan pemerintah, kapital dan masyarakat disatu
sisi. Sedangkan kenyataan konflik dan kepentingan internal antar organisasi
pergerakan pemuda yang tak kunjung berujung disisi lainnya. Karena itu, HMI
dituntut harus mampu menjadi inisiator dan mobilisator bagi organ-organ
pergerakan lainnya agar bersama-sama berjuang untuk mewujudkan cita-cita ideal
negara yang sejak lama dirindukan realitanya.
Bergerak dalam Bingkai Intelektual Kolektif Berbasis Nilai-Nilai Profetik
Melihat begitu curamnya problematika kebangsaan yang
dialami oleh Negara Indonesia dewasa ini. Maka tidak ada lagi alasan bagi
setiap organisasi pergerakan untuk segera melakukan konsolidasi. Artinya,
berusaha keluar dari persoalan dinamika internal dan perebutan eksistensi antar
orgnisasi yang tidak berkesudahan. Hal itu, konsolidasi, dilakukan dalam rangka
membangun pergerakan bersama. Gerakan bersama ini kemudian dinamakan dengan
gerakan kolektif. Gerakan kolektif ini tidak semata-mata dilakukan atas dasar
kemanusiaan dan persatuan. Tetapi didasarkan pula atas basis-basis
intelektualitas. Agar gerakan kolektif tersebut tidak hanya menggantungkan diri
pada sense of humanity dan sense of unity, tapi juga kepada
hikmah serta kebijaksanaan (wisdom) dalam mengambil tindakan.
Agar spirit kemanusiaan dan kesatuan dapat diturunkan
melalui suatu proses dialogis yang hikmah serta bijaksana, maka harus ada etos
(nilai-nilai) universal yang menjiwai semua itu. Nilai-nilai universal tersebut
bersifat transcendence (metafisik). Inilah yang dikenal sebagai
nilai-nilai Ketuhanan. Nilai-nilai universal yang berasal dari pancaran
Ketuhanan, seperti; keadilan (justice), persamaan (equal),
persatuan (unity), kebermanfaatan sosial (social-useful),
kemanusiaan (humanity) dan lain-lain, menjiwai tiang sense of humanity
dan sense of unity tadi. Nilai-nilai ketuhanan ini yang dinamakan
dengan nilai-nilai profetik.
Jika ditarik lagi ke arah teoritis, sejatinya kalimat
profetik di Indonesia pertama kali dikenalkan oleh Kuntowijoyo lewat gagasannya
tentang ilmu sosial profetik (ISP). Prof. Kunto, panggilan akrabnya,
menjelaskan bahwa ISP tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial
tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasai sosial itu dilakukan,
untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ISP tidak sekadar mengubah demi
perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu.
Lebih jauh, Kuntowijoyo menjelaskan ISP memuat nilai-nilai dan cita-cita
perubahan yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung
dalam al-Qur’an Surah al-Imran [3] ayat 110. Menurutnya, dalam ayat 110 Surah
al-Imran terdapat nilai-nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Dengan
nilai-nilai tersebut ISP diarahkan untuk rekayasa menuju cita-cita sosio-etik
di masa depan. Tujuan humanisasi adalah untuk memanusiakan manusia. Tujuan
liberasi adalah untuk pembebasan dari kekejaman kemiskinan struktural,
keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Tujuan transendensi adalah
untuk menambah dimensi transendental dalam kebudayaan.[23]
Gagasan Kuntowijoyo tentang ISP kemudian hari dilanjutkan
oleh juniornya, Heddy Shri Ahimsa-Putra. Beliau berusaha menutupi sisa-sisa
lobang dari kekurangan gagasan ISP yang dijelaskan oleh Kuntowijoyo dengan
mengenalkan suatu istilah baru yang disebutnya sebagai paradigma profetik. Jika
Prof. Kunto hanya menekankan transformasi sosial dari ISP, sedangkan menurut
Heddy Shri Ahimsa-Putra paradigma profetik jika diterapkan dalam aktivitas
keilmuan akan membawa pada transformasi individual, transformasi sosial, dan
transformasi kultural atau budaya.[24]
Paradigma profetik mempunyai basis etos yang terdiri dari;
humanisme-teosentris, penghayatan, dan kerja keabdian untuk Allah Subhanahu
Wa Ta’ala.
Dalam paradigma profetik, sebagaimana yang sejatinya
diingkinkan oleh Kuntowijoyo, pada roh humanisme, khususnya dalam falsafah
Barat, ada dua hal yang kurang dapat diterima, yaitu semangat sekulerisme dan
liberalisme. Unsur-unsur falsafah humanisme inilah yang telah menggeser
kedudukan Sang Pencipta dari tengah kehidupan manusia. Dalam konsepsi
humanisme-teosentris, Tuhan ditempatkan sebagai pusat dari humanismenya.
Kemudian, unsur yang paling membedakan antara ilmu (sosial-budaya) profetik
dengan yang bukan adalah unsur transendensinya. Unsur ini dalam kehidupan
ilmiah diwujudkan dalam bentuk penghayatan. Artinya, bagi seorang ilmuwan
profetik, dalam melakukan aktivitas keilmuan dia harus dengan penuh kesadaran
melakukan aktivitas tersebut sebagai wujud atau relasi dari kedudukannya
sebagai ilmuwan dengan berbagai macam hak dan kewajiban yang melekat pada
kedudukan tersebut. Penghayatan di sini melibatkan dua hal penting yang ada
dalam diri manusia, yaitu pikiran dan perasaan. Selanjutnya, etos kerja
keabdian kepada Allah merupakan perangkat nilai untuk menentukan baik buruknya
seorang ilmuwan profetik beserta dengan pemikiran, aktivitas, dan hasil
karyanya. Pengabdian merupakan wujud aktif dari suatu kedudukan, yaitu
kedudukan sebagai abdi, hamba, atau pelayan. Pengabdian atau penghambaan ini
tentu ada tingkatan dan jenisnya. Dalam dunia keilmuan profetik, etos
pengabdian ini diwujudkan menjadi pengabdian pada satu hal yang paling utama,
yakni pada Allah, Sang Pencipta Alam Semesta.[25]
Dengan jalan intelektual kolektif berbasis pada
nilai-nilai profetik itulah, proses konsolidasi antar organisasi pergerakan
dapat dibangun dengan hikmah dan bijaksana. Muara dari hasil konsolidasi itu
ialah menyuarakan dan berusaha mewujudkan secara bersama-sama keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Muara konsolidasi ini juga dinamakan dengan
perjuangan pembebasan sosial (social liberation fight). Karenanya,
ketika suatu otoritas tertentu mengeluarkan kebijakan yang jauh dari kata dapat
mewujudkan keadilan sosial, maka otoritas tersebut harus difahami sebagai musuh
bersama (common enemy) setiap organisasi pergerakan.
HMI dan Harapan Masa Depan Indonesia
Melihat dan mengulas kembali cita-cita berdirinya
Republik Indonesia yang tertulis dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 sejatinya
membawa setiap pemuda-pemudi Indonesia pada suatu perenungan tentang akankah
cita-cita itu dapat segera diwujudkan. Atau, akankah membiarkan dirinya (baca:
pemuda-pemudi) tenggelam dalam kenyamanan utopis dari cita-cita tersebut.
Mengapa pemuda yang disorot dalam hal ini? Karena kekuatan hari esok ada pada
dirinya, termasuk untuk menentukan nasib Republik Indonesia. Teruntuk generasi
muda, Hasan al-Bana sebagaimana dikutip oleh Jawahir Thontowi
mengatakan “Tomorrow is a matter of choice. Today, you hold the power in
your hands. More than ever, the future belongs to you.” (Hari esok hanyalah
perkara pilihan. Hari ini, kamu menggenggam kekuatan di tanganmu. Lebih dari
itu, masa depan bergantung padamu).[26]
Kompleksitas kenegaraan hari ini yang berada pada titik
krisis dimensional seharusnya membuat pemuda-pemudi yang tergabung dalam
berbagai organisasi gerakan kepemudaan sadar untuk segera mengambil tindakan.
Tindakan itu tidaklah dilakukan secara reaksioner-anarkis, insidentil dan
sporadis, tapi dilaksanakan secara matang dengan perencanaan serta menjunjung
eksistensi nilai-nilai universal-transendental. Dan dilakukan secara
bersama-sama, atau kolektif, gotong-royong serta kekeluargaan. Dalam hal ini
pula, HMI diharuskan mampu menempatkan diri sebagai organisasi yang mulai
memupuk untuk menggerakkan tumbuhnya rasa kolektifitas antar organisasi
kepemudaan tersebut.
HMI didorong untuk menyegarkan kembali ingatan dan
perasaan para pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi pergerakan bahwa
perbedaan yang ada bukanlah suatu perpecahan, melainkan suatu keragaman.
Keragaman haruslah dipandang sebagai sebuah nikmat sosial, bukan sebuah
kedzoliman sosial. Sehingga dalam keragaman itu tidak mesti dilakukan
unifikasi, penyatuan sistem, struktur atau organ, melainkan yang disatukan itu
ialah spirit, visi dan misi perjuangan. Faham yang demikian dikenalkan oleh
leluhur republik ini dengan kalimat “Bhinneka tunggal ika” atau dalam
Bahasa Inggris disebut “Unity in diversity”, artinya berbeda-beda tetap
satu. Dengan demikian, diharapkan HMI bersama organisasi pergerakan lainnya
mampu melakukan gerakan transformatif menuju terwujudnya Indonesia yang adil
dan sejahtera, sebagaimana halnya cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.
[3] Imperialisme dan kolonialisme di bumi Indonesia, atau dulu dikenal sebagai
nusantara, telah dimulai sejak fase penjelajahan yang dilakukan oleh
negara-negara dari Eropa. Pada tahun 1511, sebagai kelanjutan dari ekspedisi
Portugis di bawah pimpinan Vasco da Gama tahun 1497, rombongan yang dipimpin
Alfonso de Albuquerque berhasil menguasai Malaka. Kemudian, sebagai lanjutan
dari ekspedisi Spanyol yang dipimpin Christhoper Columbus tahun 1492, tahun
1521 rombongan Spanyol sampai di Kepulauan Maluku di bawah pimpinan Yan
Sebastian del Cano yang sebelumnya dipimpin oleh Magellan/Magelhaens (wafat
dalam pertempuran di Massava/Filipina tahun 1521). Dan pada tahun 1595 pelaut
Belanda, Cornelis de Houtman dan Pieter de Keyser, dilengkapi kekuatan empat
kapal dan 249 awak beserta 64 pucuk meriam melakukan pelayaran hingga pada
tahun 1596 berhasil mencapai Kepulauan Nusantara, yakni Banten. Sebelum
Belanda, orang-orang Inggris telah sampai terlebih dahulu di Kepulauan
Nusantara pada tahun 1579 di bawah pimpinan Francis Drake dan Thomas Cavendish.
Dari pelayaran-pelayaran bangsa Eropa inilah imperialisme dan kolonialisme
dimulai di Kepulauan Nusantara, atau yang kini bernama Indonesia. Dalam
Sardiman AM dan Amurwani Dwi Lestariningsih, Sejarah Indonesia, Edisi
Revisi, Cet. Ke-2, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2017, Hlm.
10-21
[5] Lihat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[6] S.F. Marbun, Hukum Administrasi Negara I, Cet. Ke-1, FH UII Press,
Yogyakarta, 2012, Hlm. 55-56
[7] Ridwan, Diskresi dan Tanggungjawab Pemerintah, Cet. Ke-1, FH UII
Press, Yogyakarta, 2014, Hlm. 81-82
[8] Ibid.
[9] S.F. Marbun, Loc. Cit.
[10] http://www.liputan6.com/news/read/3065726/9-kasus-penghinaan-presiden-jokowi-berujung-bui, https://nasional.tempo.co/read/1058689/pasal-penghinaan-presiden-fadli-zon-ada-yang-takut-dikritik dan http://www.tribunnews.com/nasional/2018/03/26/pasal-di-uu-md3-yang-dinilai-bisa-membawa-indonesia-kembali-ke-jaman-orba, diakses pada tanggal 27 Maret 2018
[11] https://www.jawapos.com/read/2017/12/09/173597/selepas-insiden-di-bali-ini-pesan-ustad-abdul-somad-kepada-umat, https://news.okezone.com/read/2015/10/14/519/1231612/pembakaran-gereja-di-aceh-bentuk-pengkhianatan-terhadap-pancasila dan https://nasional.tempo.co/read/1031633/kronologi-pembubaran-ceramah-felix-siauw-di-bangil-versi-ansor, diakses pada tanggal 27 Maret 2018
[14] https://bisnis.tempo.co/read/1071093/freeport-cemari-lingkungan-pemerintah-bakal-ajukan-gugatan, diakses pada tanggal 27 Maret 2018, atau baca juga The Jakarta Post,
Edisi 21 Maret 2018, Hlm. 1
[15] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3934736/utang-ri-rp-4000-t-heboh-sri-mulyani-terima-kasih-kritiknya, diakses pada tanggal 27 Maret 2018
[16] https://www.wartaekonomi.co.id/read175175/mengaku-sudah-antisipasi-mentan-heran-harga-kebutuhan-pokok-terus-naik.html, https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3765933/sejumlah-kebutuhan-pokok-mulai-merangkak-naik-di-bantul dan https://www.bantennews.co.id/awal-tahun-2018-harga-sejumlah-bahan-pokok-naik/, diakses pada tanggal 27 Maret 2018
[17] Mohammad Amien Rais, Agenda-Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia!,
PPSK Press, Yogyakarta, 2008, Hlm. xi
[18] Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, diterjemahkan oleh Ahmad
Asnawi, Cet. Ke-1, TepLOK Press, Yogyakarta, 2000, Hlm. 257
[19] Nanag Indra Kurniawan, Globalisasi dan Negara Kesejahteraan: Perspektif
Institusionalisme, Cet. Ke-1, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2009, Hlm. 87
[20] Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya
Masyarakat Multikultur, Cet. Ke-1, LKiS, Yogyakarta, 2005, Hlm. 143-149
[21] Kata etnik (ethnic) berasal dari kata bahasa Yunani ethnos,
yang merujuk pada pengertian bangsa atau orang. Sering pula diartikan sebagai
kelompok sosial yang ditentukan oleh ras, adat-istiadat, bahasa, nilai dan
norma budaya, dan lain-lain yang pada gilirannya mengindikasikan adanya
kenyataan kelompok yang minoritas atau mayoritas dalam suatu masyarakat.
Sebagai contoh, muncul istilah-istilah seperti Eurocentric untuk
menerangkan kebudayaan yang berpusat pada mayoritas etnik dan ras dari Eropa;
kemudian ada pula Chinacentric dan bahkan Jawacentric. Jadi,
istilah etnik mengacu pada suatu kelompok yang sangat fanatik dengan ideologi
kelompoknya, tidak mau tahu ideologi kelompok lain. Ibid., Hlm. 8-9
[22] Kata ras berasal dari bahasa Prancis dan Italia “razza”, yang diartikan
sebagai perbedaan variasi dari penduduk, atau pembedaan keberadaan manusia atas
dasar; tampilan fisik; tipe atau golongan turunan; pola-pola keturunan; dan
semua kelakuan bawaan yang tergolong unik sehingga dibedakan dengan penduduk
asli. Ibid., Hlm. 18-19
[23] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistimologi, Metodologi, dan Etika,
Edisi ke-2, Cet. Ke-1, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2007, Hlm. 87-88
[24] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma Profetik Islam: Epistimologi, Etos,
dan Model, Cet. Ke-3, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2017, Hlm.
185
[25] Ibid., Hlm. 124-130
[26] Hasan al-Bana, Lesson from the Future, dalam Ben Senang Galus, Mazhab
Tamsis: Pemikiran Prof. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D. tentang Hukum Inklusif
Berkeadilan, Cet. Ke-1, Pohon Cahaya, Yogyakarta, 2016, Hlm. 55
0 comments