Gerakan Intelektual Kolektif Berbasis Nilai-Nilai Profetik Guna Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Sejahtera


ilustrasi gambar: dokumentasi HMI Cabang Yogyakarta

Oleh: MHD. Zakiul Fikri
Gerakan kolektif ini tidak semata-mata dilakukan atas dasar kemanusiaan dan persatuan. Tetapi didasarkan pula atas basis-basis intelektualitas. Agar gerakan kolektif tersebut tidak hanya menggantungkan diri pada sense of humanity dan sense of unity, tapi juga kepada hikmah serta kebijaksanaan (wisdom) dalam mengambil tindakan.
Indonesia yang Masih Utopis
Tujuan didirikannya Indonesia sebagai negara kesatuan yang merdeka dan berdaulat sangat mulia sekali. Merdeka dan berdaulat dalam arti terlepas dari susah payah imperialisme dan kolonialisme yang menggerogoti kehidupan berbangsa yang sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Sejarah mencatat, proses imperialism dan kolonialisme telah dimulai sejak abad ke-16 di bumi nusantara yang kemudian menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.[3] Dan hal itu, penjajahan, berlangsung selama kurun waktu yang lama, hingga tanggal 17 Agustus tahun 1945 baru diikrarkan teks proklamasi tanda berdirinya sebuah negara merdeka dan berdaulat yang diberi nama Indonesia.[4]
Sejak berdiri sebagai negara kesatuan berbentuk republik, para founding fathers Indonesia berkomitmen untuk keluar dari pengaruh penjajahan yang telah menyebabkan pemerasan, pembodohan, pemiskinan dan segala bentuk keburukan individu-sosial lainnya. Karenanya, konsepsi kemerdekaan dan kedaulatan tersebut, oleh para founding fathers, dituliskan secara utuh sebagai konsensus bersama. Hasil konsensus, kesepakatan, kontrak dan/atau perjanjian bersama para founding fathers kemudian hari ditempatkan pada bagian pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI). Sebuah pembukaan yang menjiwai seluruh ketentuan pada Pasal-Pasal dalam UUD NRI Tahun 1945.
Dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 bagian pertama menerangkan kesadaran bahwa penjajahan adalah sebuah hal yang mengakibatkan penderitaan. Oleh karena itu, dimana pun segala bentuk penjajahan harus ditiadakan. Kemudian, pada alinea kedua dituliskan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak semata-mata sekedar merdeka dari penjajahan yang bertahun-tahun lamanya. Tetapi, dalam konsepsi sosial kemerdekaan yang dimaksud ialah merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dalam konsepsi sosial kemerdekaan itulah lahir tujuan sekaligus harapan agar negara mampu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial.[5]
S.F. Marbun menyebut rumusan tujuan negara di atas menunjukkan indikasi bahwa NKRI merupakan negara hukum modern. Konsepsi negara yang demikian melahirkan berbagai peristilahan, antara lain; welfare state (negara kesejahteraan), social service state (negara memberikan pelayanan kepada masyarakat), atau meminjam istilah Lemaire disebut bestuurszorg (negara berfungsi menyelenggarakan kesejahteraan umum).[6] Dalam bukunya Diskresi dan Tanggungjawab Pemerintah, Ridwan menjelaskan,[7]
“…negara hukum Indonesia lahir melalui perjuangan panjang melawan penjajah. Suatu pengalaman pahit yang menyadarkan bangsa Indonesia akan hak atas kemerdekaan atau kebebasan. Perjuangan bangsa Indonesia untuk memperoleh hak-haknya tidak didasarkan pada paham individualisme tetapi atas kesadaran bahwa setiap bentuk penjajahan itu tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan atau bertentangan dengan “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Ketika bangsa Indonesia meraih kemerdekaan,-atas berkat rahmat Allah dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur- bangsa Indonesia menggunakan kemerdekaan itu bukan untuk melakukan segalanya secara bebas tanpa intervensi pemerintah, tetapi untuk berusaha dan bekerja secara bersama-sama atas dasar kekeluargaan dan kerukunan. Pemerintah Indonesia melaksanakan tugas untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Di samping itu, juga melaksanakan tugas dalam kerangka “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Lebih lanjut, pasca dilakukannya amandemen terhadap pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 dengan tambahan bab secara khusus mengatur tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu Bab XA. Ridwan mengatakan,[8]
“…Hal ini tidak serta merta menempatkan negara hukum Indonesia sebagai penganut paham individualisme. Cara pandang bangsa Indonesia terhadap HAM bertumpu pada paham monodualis atau paham yang memandang manusia sebagai individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai individu manusia mempunyai hak-hak asasi yang dapat dinikmati dan dipertahankan terhadap siapapun baik sesama warga negara maupun terhadap penguasa, sedangkan sebagai makhluk sosial berarti dalam menggunakan hak-hak asasi manusia, tidak boleh melanggar hak asasi orang lain, apalagi melanggar kepentingan umum. Menurut Bagir Manan, telah menjadi adagium universal bahwa hak-hak pribadi dapat dibatasi demi kepentingan publik. Perlu diperhatikan, di sebelah hak-hak pribadi individual (hak asasi pribadi)  ada hak asasi publik yang tidak kalah penting untuk dijamin dan dilindungi. Cara pandang demikian dengan jelas menunjukkan bahwa negara hukum Indonesia tidak menganut paham individualisme dan tidak menganut paham sosialisme…”
Dalam konsepsi negara hukum modern, sebagaimana S.F. Marbun, kedudukan dan peran negara sangat kuat dan besar, negara dibebankan tugas berat dan luas, sehingga mendorongnya untuk turut serta dalam segala aspek kehidupan warganya.[9] Namun, ide hanyalah sebatas ide. Cita-cita ideal kemerdekaan yang dituangkan dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah di republik ini. Angan menjadi negara mandiri (merdeka; baik pada sektor politik sandang, pangan dan papan), bersatu, berdaulat, adil dan makmur; negara yang sejahtera dan cerdas, masih merupakan fatamorgana yang tak jelas wujudnya.
Wajah Indonesia kini berisi penguasa yang anti kritik,[10] pertikaian atas dasar sensi primordial,[11] impor besar-besaran,[12] liberalisasi sektor sumber daya alam yang merugikan,[13] pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup,[14] utang luar negeri pemerintah yang menggunung,[15] ketimpangan harga kebutuhan pokok dengan pendapatan para petani dan pekerja kelas menengah ke bawah.[16] Kenyataan-kenyataan tersebut masih menjadi konsumsi pemberitaan media massa setiap hari.

Posisi HMI dalam Dinamika Kenegaraan dan Benturan Antar Organisasi Pergerakan
Dalam kepedihan realita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara itu seharusnya kehadiran peran dan gebrakan perubahan dari generasi muda diperlukan. Integritas nasionalisme dan persatuan pemuda-pemudi harus kembali dikukuhkan untuk melawan serta menyingkirkan “bangsat-bangsat” di balik rapuhnya jalanan republik menuju negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Integritas nasionalisme generasi muda haruslah kuat dan menjiwai tujuan ideal dari NKRI, jangan sampai nasionalisme tersebut menjadi nasionalisme dangkal. Sebagaimana disuarakan oleh Mohammad Amien Rais,[17]
“…Kita bela merah putih hanya dalam hal-hal yang bersifat simbolik, namun ketika kekayaan alam kita dikuras dan dijarah oleh korporasi asing, ketika sektor-sektor vital ekonomi seperti perbankan dan industri dikuasai asing, bahkan ketika kekuatan asing sudah dapat mendikte undang-undang serta keputusan-keputusan politik, kita diam dan membisu. Seolah kita sudah kehilangan harga dan martabat diri.”
Nasionalisme yang dimaksud hendaknya nasionalisme, menukil dari tulisan Frantz Fanon, yang menyeru kepada seluruh rakyat untuk memperjuangkan eksistensi sebagai bangsa. Ia [nasionalisme] yang membangun kesadaran nasional dan yang mampu mengemban tanggungjawab [mewujudkan tujuan ideal negara].[18] Dalam hal demikianlah, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bersama dengan organ-organ pergerakan lainnya dituntut hadir sebagai alternatif solusi (problem solver) atas berbagai problematika kebangsaan itu, bukan malah menjadi bagian dari masalah atau pembuat masalah (problem maker). Khususnya, HMI diharapkan mampu menjadi motor penggerak integritas nasionalisme dan persatuan pemuda menuju terwujudnya tujuan negara.
HMI harus mampu memposisikan diri sebagai sebuah organisasi ‘sukarela’, yakni asosiasi-asosiasi sukarela ideal sebagai pembawa semangat-semangat ideal; kemanusiaan, tindakan-tindakan sukarela, perhatian pada kebaikan bersama, semangat solidaritas dan komunitas. Bukan sebuah organisasi yang mengejar kepentingan politik serta ekonomi tertentu bagi anggotanya; sehingga berada di luar dunia sukarela yang penuh idealisme.[19] Dalam paham demikian pula diharapkan HMI bisa memberikan efek transformasi ekonomi, sosial dan politik sebagai proses mewujudkan cita-cita negara Indonesia.
Akantetapi, baik HMI atau pun organisasi lainnya, alih-alih menjadi roda penggerak nasionalisme dan persatuan justru masih bergelut dengan dinamika internal yang tidak berkesudahan. Dampaknya, yang timbul bukan nasionalisme kebangsaan melainkan nasionalisme dan partikularisme lokal-individual. Hal demikian terjadi akibat stratifikasi sosial ‘yang tidak baik’ dalam hubungan antar anggota atau pun antar organ pergerakan. Pembacaan mengenai stratifikasi sosial yang dimaksud di sini senantiasa berkaitan dengan “pembagian” kekayaan, kekuasaan, dan martabat seseorang atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Stratifikasi sosial terjadi disebabkan oleh; kompetisi, konflik, eksterminasi (genosid/menghilangkan), ekspulsi dan ekslusi (penyingkiran), memisahkan diri (scission) dan segregasi.[20] Berdasarkan kerangka itu, dalam suatu masyarakat dapat terjadi stratifikasi sosial etnik[21] dan ras[22] (yang kerap kali hanya merupakan label, stigma, stereotip) berdasarkan “pembagian” kekayaan, kekuasaan, dan martabat seseorang atau kelompok tertentu dalam masyarakat.
Akibat dari konflik internal antar organ yang tidak berkesudahan peran organisasi pergerakan sebagai agen of social control, apalagi sebagai agent of change, tidak tampak ke permukaan. Setiap organisasi pergerakan dewasa ini-begitupun HMI-yang idealnya diharapkan mampu menjadi tali penghubung antara pemerintah, kapital dan masyarakat, justru malah disibukkan dengan mengurus struktur organisasi dan perkaderan dalam organisasi masing-masing. Menyadari pentingnya peran organisasi pergerakan sebagai intermedia reaktor antara kepentingan pemerintah, kapital dan masyarakat disatu sisi. Sedangkan kenyataan konflik dan kepentingan internal antar organisasi pergerakan pemuda yang tak kunjung berujung disisi lainnya. Karena itu, HMI dituntut harus mampu menjadi inisiator dan mobilisator bagi organ-organ pergerakan lainnya agar bersama-sama berjuang untuk mewujudkan cita-cita ideal negara yang sejak lama dirindukan realitanya.

Bergerak dalam Bingkai Intelektual Kolektif Berbasis Nilai-Nilai Profetik
Melihat begitu curamnya problematika kebangsaan yang dialami oleh Negara Indonesia dewasa ini. Maka tidak ada lagi alasan bagi setiap organisasi pergerakan untuk segera melakukan konsolidasi. Artinya, berusaha keluar dari persoalan dinamika internal dan perebutan eksistensi antar orgnisasi yang tidak berkesudahan. Hal itu, konsolidasi, dilakukan dalam rangka membangun pergerakan bersama. Gerakan bersama ini kemudian dinamakan dengan gerakan kolektif. Gerakan kolektif ini tidak semata-mata dilakukan atas dasar kemanusiaan dan persatuan. Tetapi didasarkan pula atas basis-basis intelektualitas. Agar gerakan kolektif tersebut tidak hanya menggantungkan diri pada sense of humanity dan sense of unity, tapi juga kepada hikmah serta kebijaksanaan (wisdom) dalam mengambil tindakan.
Agar spirit kemanusiaan dan kesatuan dapat diturunkan melalui suatu proses dialogis yang hikmah serta bijaksana, maka harus ada etos (nilai-nilai) universal yang menjiwai semua itu. Nilai-nilai universal tersebut bersifat transcendence (metafisik). Inilah yang dikenal sebagai nilai-nilai Ketuhanan. Nilai-nilai universal yang berasal dari pancaran Ketuhanan, seperti; keadilan (justice), persamaan (equal), persatuan (unity), kebermanfaatan sosial (social-useful), kemanusiaan (humanity) dan lain-lain, menjiwai tiang sense of humanity dan sense of unity tadi. Nilai-nilai ketuhanan ini yang dinamakan dengan nilai-nilai profetik.
Jika ditarik lagi ke arah teoritis, sejatinya kalimat profetik di Indonesia pertama kali dikenalkan oleh Kuntowijoyo lewat gagasannya tentang ilmu sosial profetik (ISP). Prof. Kunto, panggilan akrabnya, menjelaskan bahwa ISP tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasai sosial itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ISP tidak sekadar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Lebih jauh, Kuntowijoyo menjelaskan ISP memuat nilai-nilai dan cita-cita perubahan yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam al-Qur’an Surah al-Imran [3] ayat 110. Menurutnya, dalam ayat 110 Surah al-Imran terdapat nilai-nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Dengan nilai-nilai tersebut ISP diarahkan untuk rekayasa menuju cita-cita sosio-etik di masa depan. Tujuan humanisasi adalah untuk memanusiakan manusia. Tujuan liberasi adalah untuk pembebasan dari kekejaman kemiskinan struktural, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Tujuan transendensi adalah untuk menambah dimensi transendental dalam kebudayaan.[23]
Gagasan Kuntowijoyo tentang ISP kemudian hari dilanjutkan oleh juniornya, Heddy Shri Ahimsa-Putra. Beliau berusaha menutupi sisa-sisa lobang dari kekurangan gagasan ISP yang dijelaskan oleh Kuntowijoyo dengan mengenalkan suatu istilah baru yang disebutnya sebagai paradigma profetik. Jika Prof. Kunto hanya menekankan transformasi sosial dari ISP, sedangkan menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra paradigma profetik jika diterapkan dalam aktivitas keilmuan akan membawa pada transformasi individual, transformasi sosial, dan transformasi kultural atau budaya.[24] Paradigma profetik mempunyai basis etos yang terdiri dari; humanisme-teosentris, penghayatan, dan kerja keabdian untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dalam paradigma profetik, sebagaimana yang sejatinya diingkinkan oleh Kuntowijoyo, pada roh humanisme, khususnya dalam falsafah Barat, ada dua hal yang kurang dapat diterima, yaitu semangat sekulerisme dan liberalisme. Unsur-unsur falsafah humanisme inilah yang telah menggeser kedudukan Sang Pencipta dari tengah kehidupan manusia. Dalam konsepsi humanisme-teosentris, Tuhan ditempatkan sebagai pusat dari humanismenya. Kemudian, unsur yang paling membedakan antara ilmu (sosial-budaya) profetik dengan yang bukan adalah unsur transendensinya. Unsur ini dalam kehidupan ilmiah diwujudkan dalam bentuk penghayatan. Artinya, bagi seorang ilmuwan profetik, dalam melakukan aktivitas keilmuan dia harus dengan penuh kesadaran melakukan aktivitas tersebut sebagai wujud atau relasi dari kedudukannya sebagai ilmuwan dengan berbagai macam hak dan kewajiban yang melekat pada kedudukan tersebut. Penghayatan di sini melibatkan dua hal penting yang ada dalam diri manusia, yaitu pikiran dan perasaan. Selanjutnya, etos kerja keabdian kepada Allah merupakan perangkat nilai untuk menentukan baik buruknya seorang ilmuwan profetik beserta dengan pemikiran, aktivitas, dan hasil karyanya. Pengabdian merupakan wujud aktif dari suatu kedudukan, yaitu kedudukan sebagai abdi, hamba, atau pelayan. Pengabdian atau penghambaan ini tentu ada tingkatan dan jenisnya. Dalam dunia keilmuan profetik, etos pengabdian ini diwujudkan menjadi pengabdian pada satu hal yang paling utama, yakni pada Allah, Sang Pencipta Alam Semesta.[25]
Dengan jalan intelektual kolektif berbasis pada nilai-nilai profetik itulah, proses konsolidasi antar organisasi pergerakan dapat dibangun dengan hikmah dan bijaksana. Muara dari hasil konsolidasi itu ialah menyuarakan dan berusaha mewujudkan secara bersama-sama keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Muara konsolidasi ini juga dinamakan dengan perjuangan pembebasan sosial (social liberation fight). Karenanya, ketika suatu otoritas tertentu mengeluarkan kebijakan yang jauh dari kata dapat mewujudkan keadilan sosial, maka otoritas tersebut harus difahami sebagai musuh bersama (common enemy) setiap organisasi pergerakan.

HMI dan Harapan Masa Depan Indonesia
Melihat dan mengulas kembali cita-cita berdirinya Republik Indonesia yang tertulis dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 sejatinya membawa setiap pemuda-pemudi Indonesia pada suatu perenungan tentang akankah cita-cita itu dapat segera diwujudkan. Atau, akankah membiarkan dirinya (baca: pemuda-pemudi) tenggelam dalam kenyamanan utopis dari cita-cita tersebut. Mengapa pemuda yang disorot dalam hal ini? Karena kekuatan hari esok ada pada dirinya, termasuk untuk menentukan nasib Republik Indonesia. Teruntuk generasi muda, Hasan al-Bana sebagaimana dikutip oleh Jawahir Thontowi mengatakan “Tomorrow is a matter of choice. Today, you hold the power in your hands. More than ever, the future belongs to you.” (Hari esok hanyalah perkara pilihan. Hari ini, kamu menggenggam kekuatan di tanganmu. Lebih dari itu, masa depan bergantung padamu).[26]
Kompleksitas kenegaraan hari ini yang berada pada titik krisis dimensional seharusnya membuat pemuda-pemudi yang tergabung dalam berbagai organisasi gerakan kepemudaan sadar untuk segera mengambil tindakan. Tindakan itu tidaklah dilakukan secara reaksioner-anarkis, insidentil dan sporadis, tapi dilaksanakan secara matang dengan perencanaan serta menjunjung eksistensi nilai-nilai universal-transendental. Dan dilakukan secara bersama-sama, atau kolektif, gotong-royong serta kekeluargaan. Dalam hal ini pula, HMI diharuskan mampu menempatkan diri sebagai organisasi yang mulai memupuk untuk menggerakkan tumbuhnya rasa kolektifitas antar organisasi kepemudaan tersebut.
HMI didorong untuk menyegarkan kembali ingatan dan perasaan para pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi pergerakan bahwa perbedaan yang ada bukanlah suatu perpecahan, melainkan suatu keragaman. Keragaman haruslah dipandang sebagai sebuah nikmat sosial, bukan sebuah kedzoliman sosial. Sehingga dalam keragaman itu tidak mesti dilakukan unifikasi, penyatuan sistem, struktur atau organ, melainkan yang disatukan itu ialah spirit, visi dan misi perjuangan. Faham yang demikian dikenalkan oleh leluhur republik ini dengan kalimat “Bhinneka tunggal ika” atau dalam Bahasa Inggris disebut “Unity in diversity”, artinya berbeda-beda tetap satu. Dengan demikian, diharapkan HMI bersama organisasi pergerakan lainnya mampu melakukan gerakan transformatif menuju terwujudnya Indonesia yang adil dan sejahtera, sebagaimana halnya cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.



[3] Imperialisme dan kolonialisme di bumi Indonesia, atau dulu dikenal sebagai nusantara, telah dimulai sejak fase penjelajahan yang dilakukan oleh negara-negara dari Eropa. Pada tahun 1511, sebagai kelanjutan dari ekspedisi Portugis di bawah pimpinan Vasco da Gama tahun 1497, rombongan yang dipimpin Alfonso de Albuquerque berhasil menguasai Malaka. Kemudian, sebagai lanjutan dari ekspedisi Spanyol yang dipimpin Christhoper Columbus tahun 1492, tahun 1521 rombongan Spanyol sampai di Kepulauan Maluku di bawah pimpinan Yan Sebastian del Cano yang sebelumnya dipimpin oleh Magellan/Magelhaens (wafat dalam pertempuran di Massava/Filipina tahun 1521). Dan pada tahun 1595 pelaut Belanda, Cornelis de Houtman dan Pieter de Keyser, dilengkapi kekuatan empat kapal dan 249 awak beserta 64 pucuk meriam melakukan pelayaran hingga pada tahun 1596 berhasil mencapai Kepulauan Nusantara, yakni Banten. Sebelum Belanda, orang-orang Inggris telah sampai terlebih dahulu di Kepulauan Nusantara pada tahun 1579 di bawah pimpinan Francis Drake dan Thomas Cavendish. Dari pelayaran-pelayaran bangsa Eropa inilah imperialisme dan kolonialisme dimulai di Kepulauan Nusantara, atau yang kini bernama Indonesia. Dalam Sardiman AM dan Amurwani Dwi Lestariningsih, Sejarah Indonesia, Edisi Revisi, Cet. Ke-2, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2017, Hlm. 10-21
[4]
[5] Lihat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[6] S.F. Marbun, Hukum Administrasi Negara I, Cet. Ke-1, FH UII Press, Yogyakarta, 2012, Hlm. 55-56
[7] Ridwan, Diskresi dan Tanggungjawab Pemerintah, Cet. Ke-1, FH UII Press, Yogyakarta, 2014, Hlm. 81-82
[8] Ibid.
[9] S.F. Marbun, Loc. Cit.
[13] https://www.boombastis.com/perusahaan-asing/67780, diakses pada tanggal 27 Maret 2018
[14] https://bisnis.tempo.co/read/1071093/freeport-cemari-lingkungan-pemerintah-bakal-ajukan-gugatan, diakses pada tanggal 27 Maret 2018, atau baca juga The Jakarta Post, Edisi 21 Maret 2018, Hlm. 1
[17] Mohammad Amien Rais, Agenda-Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia!, PPSK Press, Yogyakarta, 2008, Hlm. xi
[18] Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, diterjemahkan oleh Ahmad Asnawi, Cet. Ke-1, TepLOK Press, Yogyakarta, 2000, Hlm. 257
[19] Nanag Indra Kurniawan, Globalisasi dan Negara Kesejahteraan: Perspektif Institusionalisme, Cet. Ke-1, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2009, Hlm. 87
[20] Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, Cet. Ke-1, LKiS, Yogyakarta, 2005, Hlm. 143-149
[21] Kata etnik (ethnic) berasal dari kata bahasa Yunani ethnos, yang merujuk pada pengertian bangsa atau orang. Sering pula diartikan sebagai kelompok sosial yang ditentukan oleh ras, adat-istiadat, bahasa, nilai dan norma budaya, dan lain-lain yang pada gilirannya mengindikasikan adanya kenyataan kelompok yang minoritas atau mayoritas dalam suatu masyarakat. Sebagai contoh, muncul istilah-istilah seperti Eurocentric untuk menerangkan kebudayaan yang berpusat pada mayoritas etnik dan ras dari Eropa; kemudian ada pula Chinacentric dan bahkan Jawacentric. Jadi, istilah etnik mengacu pada suatu kelompok yang sangat fanatik dengan ideologi kelompoknya, tidak mau tahu ideologi kelompok lain. Ibid., Hlm. 8-9
[22] Kata ras berasal dari bahasa Prancis dan Italia “razza”, yang diartikan sebagai perbedaan variasi dari penduduk, atau pembedaan keberadaan manusia atas dasar; tampilan fisik; tipe atau golongan turunan; pola-pola keturunan; dan semua kelakuan bawaan yang tergolong unik sehingga dibedakan dengan penduduk asli. Ibid., Hlm. 18-19
[23] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistimologi, Metodologi, dan Etika, Edisi ke-2, Cet. Ke-1, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2007, Hlm. 87-88
[24] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma Profetik Islam: Epistimologi, Etos, dan Model, Cet. Ke-3, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2017, Hlm. 185
[25] Ibid., Hlm. 124-130
[26] Hasan al-Bana, Lesson from the Future, dalam Ben Senang Galus, Mazhab Tamsis: Pemikiran Prof. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D. tentang Hukum Inklusif Berkeadilan, Cet. Ke-1, Pohon Cahaya, Yogyakarta, 2016, Hlm. 55

0 comments