Praktik neo-patrimonialisme di Indonesia

ilustrasi gambar: "Penangkapan Pangeran Diponegoro" Karya Raden Saleh


Orde Baru memiliki kemiripan yang kuat dengan model patrimonial alias neo-patrimonial. Persaingan politik di kalangan elite tidak melibatkan kebijakan, tetapi kekuasaan dan distribusi kesenangan (distribution of spoils).

Artikel yang terbit pada tahun 1979 pada Jurnal World Politics ini berisi pandangan sosio-politik seorang Harold Crouch terhadap situasi atau dinamika kekuasaan politik di Indonesia ketika itu. Meski sama-sama digambarkan sebagai pemimpin dengan corak neo-patrimonialisme, demikian menurut Agung Wicaksono. Namun, Crouch menonjolkan Soeharto sebagai sosok yang belajar banyak dari kesalahan-kesalahan ‘managerial’ yang dilakukan oleh penguasa sebelumnya, Soekarno. Dari gambaran tersebutlah terbit ramalan bahwa Soeharto memungkinkan untuk menggenggam kekuasaan tertinggi di Indonesia dalam waktu lama.
Di awal pembahasannya, Crouch mengatakan, “it is widely recognized that the modern features of developing societies have not always replaced traditional elements, and indeed, that traditional modes of thought and behavior have often continued to influence the workings of apparently modern institution.” Kemodernan suatu lembaga yang diadopsi oleh negara berkembang, juga dikenal sebagai negara dunia ketiga, belum tentu mengubah atau menghilangkan cara pikir dan prilaku tradisional yang telah menjadi warisan pra kolonial bagi suatu negara berkembang tersebut. Justru, cara pikir dan prilaku tradisional itu menjadi elemen dasar dalam menjalankan kelembagaan yang baru, yang katanya modern. Inilah yang dikenal sebagai negara modern yang berkarakter patrimonial alias neo-patrimonial.
Di Indonesia, kata Crouch, karakteristik negara modern yang berkarakter patrimonial pada era Demokrasi Terpimpin mencapai puncaknya manakala Soekarno menegaskan diri selaku presiden seumur hidup, dengan penamaan titel yang mengesankan, atribut-atribut yang didirikan (seperti monumen dan sebagainya), gaya hidup dan ritual-ritual kenegaraan bagai kehidupan raja-raja tradisional di Jawa pada umumnya. Yang semua hal tersebut seolah menggambarkan bahwa Soekarno memiliki dukungan wahyu ilahi, seperti kepercayaan terhadap raja-raja Jawa dahulunya, dalam menjalankan kekuasaannya.
Karakter patrimonial kepemimpinan Soekarno juga tergambar dalam sikapnya ketika menghadapi pertikaian politik yang terjadi di antara kalangan elit kekuasaan ketika itu, khususnya anata Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sikap mendamaikan atas konflik di kalangan elit yang diusahakan Soekarno dengan melahirkan berbagai konsep ‘jalan tengah’ dianggap sebagai konfigurasi corak patrimonial model baru. Dalam perjalanannya, terbaginya elit politik di era Soekarno berdasar pada garis ideologis menyebabkan model patrimonial yang dijalankan di era Demokrasi Terpimpin itu menjadi tidak stabil. Ditambah kemampuan mobilisasi masa yang dilakukan PKI sangat masif untuk merespon situasi politik yang terjadi, khususnya perihal isu yang dikembangkan oleh partainya sendiri.
Pada saat kekuatan patrimonial Soekarno mulai menurun, TNI mengambil peluang tersebut untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya dengan cara mengebiri partai-partai politik yang tersisa dan melakukan depolitisasi masa. Pembasmian politik yang dipaksakan di bawah pemerintahan Orde Baru merupakan faktor yang menguntungkan bagi munculnya sistem patrimonial baru selanjutnya, kata Crouch. Depolitisasi masa di era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dilakukan dengan cara-cara seperti; menyingkirkan partisipan PKI, membatasi markas-markas partai yang sebelumnya sampai di tingkat desa, dan melakukan isolasi politik terhadap warga masyarakat. Dengan adanya dominasi tunggal kekuasaan di tangan militer, hegemoni ideologi dapat dilangsungkan lebih mudah oleh kekuasaan Soeharto. Inilah hebatnya sistem neo-patrimonial era Soeharto.
Crouch menambahkan bahwa sistem patrimonial baru era Orde Baru bertumpu pada kendali atas mesin patronase (patronage). Penunjukan perwira militer untuk mengisi jabatan sipil yang berpotensi menguntungkan dianggap sebagai hadiah atas kesetiaannya kepada pemimpinan tertinggi. Para pejabat itu dapat memanfaatkan kesempatan jabatan yang dimiliki sebaik mungkin. Bahkan, penggunaan posisi resmi untuk pengayaan diri tidak dianggap sebagai tindakan korupsi meskipun menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara. Dengan demikian, Orde Baru memiliki kemiripan yang kuat dengan model patrimonial alias neo-patrimonial. Persaingan politik di kalangan elite tidak melibatkan kebijakan, tetapi kekuasaan dan distribusi kesenangan (distribution of spoils).
Menjelang penutup artikelnya Crouch menegaskan, “A system that is essentially patrimonial can maintain itself only as long as two conditions are fulfilled. First, the elite must be ideologi cally homogeneous...Second, the masses must continue to be passive and isolated from the political process.” Suatu sistem yang pada dasarnya patrimonial dapat mempertahankan dirinya sendiri hanya selama dua syarat terpenuhi; Pertama, elit harus homogen secara ideologis, dan Kedua, masa harus tetap pasif dan terisolasi dari proses politik. Pasca terbitnya artikel ini, boleh dikata, menurut Agung Wicaksono apa yang diperkirakan oleh Harold Crouch tentang strategi neo-patrimonialisme yang akan dilakukan oleh Soreharto untuk melanggengkan kekuasaanya terjadi. Misal, munculnya kebijakan asas tunggal Pancasila, Soeharto yang tiba-tiba berhaji dan mengizinkan berdirinya ICMI, masyarakat yang terisolasi dari dinamika politik, pelajuran pengelolaan sumber daya alam dan lain sebagainya.

0 comments