Jerebu, Dilema Kerusakan Lingkungan Riau


ilustrasi gambar: kupastuntas.co

Mungkin, perlu waktu yang lama untuk merestorasi lingkungan hidup di Riau. Namun, kita punya pilihan untuk menghentikan meluasnya kerusakan. Akankah kita membiarkan anak, keponakan, dan cucu-cucu di hari esok menderita penyakit akibat kerusakan yang kita perbuat atau biarkan hari ini? Bisa jadi mereka akan menggugat kita sebagai pendosa yang tamak dan abai dengan hidup yang berkelanjutan.
Tahun 2019 gumpalan jerebu (baca: kabut asap) yang padat selama berbulan-bulan kembali meracuni udara Riau. Laporan dari sebuah surat kabar online nasional memberitakan tertanggal 13 September 2019 berdasarkan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) tingkat kualitas udara wilayah Pekanbaru, Siak, Kampar, Rokan Hilir, dan Bengkalis dikategorikan berbahaya dengan rentang di atas 300 (Tempo.co, 11 Oktober 2019).
Peristiwa ini bukan kali pertama terjadi, selama dua dekade belakangan pada bulan tertentu langit Riau dihiasi oleh asap. Bahkan, media cetak lokal memuat pembahasan ‘spesial’ dengan judul “22 Tahun Jatuh di Lubang Sama” pada halaman utama. Pemberitaan itu dilengkapi dengan gambar seekor keledai yang jatuh ke dalam lubang. Di bagian bawah keledai terdapat diagram yang berisi laporan mengenai luas lahan terbakar yang ditangani Polda Riau dari tahun 2014 hingga 2019 (Riau Pos, 7 Oktober 2019).
Fenomena jerebu di Riau telah terjadi sejak tahun 1997 secara periodik hingga sekarang (tirto.id, 18 September 2019). Dan, kerugian yang diderita tidaklah sedikit; aktivitas transportasi terganggu, kios-kios ditutup, sekolah diliburkan, hingga meningkatnya jumlah penderita ISPA. Karenanya, gambar, data, dan pemberitaan halaman utama media cetak lokal Riau Pos pada tanggal 7 Oktober 2019 seharusnya menjadi renungan bersama bagi segenap masyarakat Riau, bukan hanya bagi stake holder tetapi juga masyarakat umumnya. Mengapa Riau terjerumus dalam persoalan yang sama? Mengapa persoalan asap ini bagai terendam-rendam tidak basah, terapung-apung tidak hanyut?

Deforestasi
Penyebab utama terjadinya polusi udara di daratan Riau adalah aktivitas pembabatan hutan secara berlebihan (deforestasi). Mengakibatkan fungsi utama hutan, terutama pohon, sebagai pengendali suhu dan kelembaban; serta menyediakan pasokan air bersih dari sistem filtrasi dan penyimpanan alaminya; tidak berjalan efektif.
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Riau melaporkan sepanjang tahun 2012-2013 terdapat 252.172 ha penghancuran hutan oleh sektor berbasis lahan. Pada tahun 2013 hutan dan lahan Riau tersisa 1,7 juta ha atau 19 persen dari luas dataran Riau (riauonline.co.id, 6 November 2017). Belum lagi ditambah dengan pembukaan lahan hingga tahun 2019. Sulit membayangkan berapa persen sisa hutan yang mampu menopang sumber udara dan air bersih untuk kehidupan rakyat Riau saat ini.
Meski beragam tetapi setidaknya bisa dilihat tiga faktor menonjol yang mendorong laju deforestasi, diantaranya:
Populasi
Dalam rentang waktu 2010 hingga 2018 jumlah penduduk Riau meningkat sekitar 1.239.981 orang, sehingga menjadi 6.814.909 orang pada tahun 2018 (riau.bps.go.id, 2018). Artinya, jika semakin banyak jumlah penduduk maka semakin banyak pula energi dan tempat ditinggalkan yang dibutuhkan. Akibatnya, akan terjadi pembukaan lahan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pertambangan
Walhi Riau (2019) mencatat ada 12 industri pertambangan di Riau, terbilang sedikit dibandingkan industri lainnya. Namun, dampak dari industri ini terhadap lingkungan sangatlah besar. Senyawa fluida yang ditarik dari inti bumi bersamaan gas buangan (seperti; CO2, CH4, NH3, dan H2S) dari proses penambangan berdampak buruk terhadap ekosistem bumi, khususnya di Riau.
Perkebunan
Industri perkebunan utamanya kelapa sawit merupakan yang terbanyak di Riau, berjumlah 513 (Walhi Riau, 2019). Jika masing-masing menggarap lahan sekitar 10 ribu ha (tentu ada yang lebih dari itu), maka sekitar 5,1 juta ha lahan Riau difungsikan untuk perkebunan. Sementara luas keseluruhan daratan Riau sekitar 8,7 hektar, yang berarti lebih dari separuh daratan Riau digunakan untuk industri perkebunan. Belum lagi ditambah dengan jumlah perkebunan rakyat yang tidak sedikit jumlahnya.

Belajar ke Negara “yang Berpengalaman”
Pertumbuhan populasi, aktivitas pertambangan, dan perkebunan di satu sisi ialah anugerah dan keniscayaan. Namun, di sisi lain ia dapat menjadi bencana karena berdampak pada berkurangnya kemampuan lingkungan dalam menopang kehidupan. Karena itu, diperlukan strategi yang baik dalam menengahi situasi tersebut.
Dalam hal ini Pemerintah Daerah (Pemda) khususnya dapat belajar ke negara yang terlebih dahulu mengalami fase yang sama. Salah satunya, Pemda dapat melangsungkan studi banding dengan Jerman mengenai manajerial lingkungan hidup dengan aktivitas kehidupan manusia. Memilih Jerman bukan tanpa alasan, sebab negara ini adalah salah satu yang berhasil keluar dari persoalan populasi, pertanian (kalau di Riau skala besarnya perkebunan), aktivitas industri, dan dampak lingkungan.
Raymond Dominick (1998) menginformasikan bahwa Jerman; baik barat atau pun timur pada dekade tahun 1949-1989 mengalami krisis lingkungan hidup yang sangat parah. Sungai-sungai tercemar dan level polusi udara sudah tidak lagi layak dihirup. Hal itu terjadi akibat apa yang telah dibicarakan di atas. Namun, seiring berjalan waktu Jerman berhasil keluar dari keterpurukan lingkungan itu. Dan dalam waktu singkat, sekarang Jerman justru menjadi salah satu negara yang mempelopori kampanye perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik di dunia.
Paling tidak, Pemda perlu belajar bagaimana merumuskan strategi dan kebijakan dalam tahap pencegahan, penanggulangan, dan penyadaran yang dapat diterapkan secara masif di tengah-tengah masyarakat tanpa menghilangkan keniscayaan pertumbuhan populasi, kepentingan perkebunan atau pertanian dan industri. Jika Jerman dapat memasifkan jalannya kebijakan pengelolaan dan perlindungan lingkungan dari tataran elit hingga masyarakat terbawah, lantas mengapa Riau tidak dapat melakukan hal yang sama? Akankah manusia Riau; baik elit atau pun rakyat umumnya, berdalih bahwa tidak dapat membandingkan kualitas manusia Riau dengan Jerman? Asumsi-asumsi inferior seperti ini tidak bisa dibenarkan jika Riau ingin menyegerakan diri menuju perbaikan.

Kesadaran Kolektif
Persoalan lingkungan merupakan persoalan kolektif. Hal itu karena, Pertama, pelakunya berasal dari seluruh lapisan masyarakat dengan kadar yang berbeda, tapi tetap saja berdampak. Dan Kedua, semua orang terkena dampaknya. Kecuali, barangkali, para pengusaha industri perkebunan atau pertambangan yang hidup mewah serta dapat menjauhkan diri dari realitas kerusakan lingkungan yang terjadi.
Karena pelaku dan dampak kerusakan lingkungan ini global, maka perlu aktivitas penangan yang global pula. Pemerintah, khususnya Pemda, dan penegak kebijakan tidak bisa membiarkan masyarakat hidup terkatung-katung tanpa bimbingan efektif dalam mengelola dan melestarikan lingkungan secara baik. Begitupun masyarakat, tidak bisa hanya meneriaki pemerintah manakala peristiwa seperti jerebu dan bencana akibat kerusakan lingkungan lainnya terjadi, sementara ia ikut mencemari. Para pengusaha, sudah saatnya membuka mata atas dampak industri terhadap lingkungan Riau.
Semua komponen perlu bersinergi, bahu-membahu, memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi. Mungkin, perlu waktu yang lama untuk merestorasi lingkungan hidup di Riau. Namun, kita punya pilihan untuk menghentikan meluasnya kerusakan. Akankah kita membiarkan anak, keponakan, dan cucu-cucu di hari esok menderita penyakit akibat kerusakan yang kita perbuat atau biarkan hari ini? Bisa jadi mereka akan menggugat kita sebagai pendosa yang tamak dan abai dengan hidup yang berkelanjutan.

2 comments