Belajar Sejarah Republik Indonesia Kepada Adnan Buyung Nasution

ilustrasi gambar: dokumentasi penulis


 Oleh : MHD. Zakiul Fikri
Kejelasan pemaparan dan keakuratan data menjadikan buku Adnan Buyung sebagai salah satu dokumen sejarah Republik Indonesia yang penting. Bukan sekadar penting sebagai sebuah dokumen, tapi juga penting menjadi dasar rujukan sejarah peristiwa Sidang Konstituante secara utuh.
Sebelum tulisan ini dimulai, saya akan menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “Belajar Sejarah Republik Indonesia Kepada Adnan Buyung Nasution”. Belajar Sejarah Republik Indonesia ialah mempelajari aspek kesejarahan yang pernah terjadi pada periodesasi awal pasca kemerdekaan. Periode yang sama, dimana zaman-zaman mulai tumbuh dan suburnya Demokrasi Terpimpin ala Soekarno. Sehingga pembatasan mengenai term “…Republik Indonesia…” dimulai dari pasca Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga runtuhya kekuasaan Demokrasi Terpimpin di bawah pimpinan Soekarno pada tahun 1966. Kemudian, potongan kalimat “…Kepada Adnan Buyung Nasution” maksudnya ialah ulasan kesejarahan yang ditulis oleh Adnan Buyung Nasution dalam The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Social-Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959 akan menjadi pembahasan pokok dalam tulisan ini.
Disertasi Doktoral yang kemudian hari diterbitkan menjadi buku dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. Buku ini mengulas tentang perjalanan ikhtiar Republik Indonesia dalam membentuk suatu negara konstitusional berdasarkan pada pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM). Objek studi dalam buku terfokus pada Konstituante Indonesia, yang dalam banyak pandangan sejarah Indonesia modern diabaikan atau diremehkan, bahkan dianggap sebagai sebuah kegagalan. Sebaliknya, bagi Adnan Buyung, Konstituante di akhir 1950-an tersebut merupakan puncak perjuangan menuju demokrasi konstitusional di Indonesia.
Ada empat hal yang disorot oleh Adnan Buyung dalam buku ini, yakni mengenai; perdebatan tentang Dasar Negara, perdebatan tentang HAM, pembentukan Negara Otoriter (lahirnya Rezim Demokrasi Terpimpin), serta Pembubaran Konstituante dan Kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pertama, perdebatan tentang Dasar Negara. Sidang Pleno Ketiga Konstituante perihal Dasar Negara bisa jadi tak bisa dilepaskan dari perjuangan bagi beberapa golongan untuk meloloskan “hasrat” politis masing-masing kelompok. Asumsi ini berangkat dari penjarabaran yang ditulis oleh Adnan Buyung di dalam buku, yang menjelaskan bahwa setidaknya ada pandangan yang mewakili masing-masing kelompok yang “bertarung” dalam meloloskan pembatasan Dasar Negara menurut perspektif masing-masing kelompok.
Dari hasil dialektika peserta sidang pleno ketiga Konstituante setidaknya lahir dua pendapat besar mengenai dasar negara, yaitu; Dasar Negara Integralistik dan Dasar Negara Islam. Dasar Negara Integralistik merupakan ide dari Soepomo yang pernah dilontarkan pada saat sidang Badan Penyedidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 31 Mei 1945 silam. Ide Negara Integralistik inilah yang kemudian kembali digaungkan dalam sidang pleno ketiga Konstituante. Singkatnya, negara integralistik diartikan bahwa negara harus sesuai dengan budaya dan identitas bangsa Indonesia, dimana kepentingan masyarakat lebih utama daripada kepentingan perorangan, bahkan pergaulan dalam masyarakat sama dengan pergaulan dalam keluarga. Karenanya, nilai yang berlaku dalam lingkungan keluarga juga berlaku dalam lingkungan masyarakat. Sebab akibatnya, yang berlaku di sini adalah hak-hak yang khas (partikularistik), berlainan daripada hak asasi yang universal, yang berlaku bagi manusia sedunia karena sesorang itu manusia.
Sementara, kelompok lain yang mengkonter keinginan menjadikan negara integralistik sebagai dasar negara ialah kelompok yang menyuarakan aspirasi politik Islam. Bagi mereka dasar Negara Indonesia mestilah Islam yang bersumber pada kebenaran mutlak dan kesempurnaan al-Qur’an sebagai perintah Tuhan. Al-Qur’an dengan penjelasannya di dalam Sunnah nabi bukan saja berisi aturan agama untuk perorangan (ibadat) melainkan juga berisi prinsip dan ketentuan tentang kehidupan bermasyarakat, termasuk cara mengatur kehidupan bernegara (muamalah). Unsur-unsur dasar dalam paham negara Islam yang diketengahkan oleh juru bicara partai-partai Islam pada sidang Konstituante sebagai berikut:
1.    Penolakan terhadap sekularisme, maksudnya sebagaimana disampai Natsir bahwa makna sumber transendensi bagi negara Islam yakni wahyu Ilahi. Hal ini dalam wawasan dunia sekuler ditolak mentah-mentah. Natsir berpandangan sekularisme tidak sanggup memberi bimbingan yang kuat dan tegas, sementara agama mampu memberi pengarahan yang jelas dalam mengambil keputusan. Agama tegas mengakui hak milik perorangan, batasan antara hak-hak pekerja dan hak-hak majikan, termasuk dalam pengertian “adil dan makmur”. Sekulerisme dianggap membawa terhadap penyakit mental dan spiritual;
2.    Negara mengatur semua aspek kehidupan sosial dan pribadi, masih berdasar pidato Natsir yang mengutip pandangan Ibn Khaldun bahwa arti negara dalam hubungannya dengan masyarakat seperti bentuk (aradh) dalam hubungannya dengan isi (jauhar). Keduanya tidak dapat dipisahkan, karena itu Dasar Negara bukan sekadar dianggap sebagai falsafah negara tetapi juga sebagai falsafah kehidupan yang dijalankan sehari-hari, yang membentuk kehidupan manusia sebagai pribadi maupun secara kolektif;
3.    Tidak adanya kebebasan berpendapat yang mutlak, singkatnya yakni kebebasan berpendapat manusia tidak dapat digunakan dengan cara yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah, demikian kutipan pidato Kasman Singodimedjo;
4.    Demokrasi terbatas, dalam dasar negara Islam setidaknya ada empat landasan demokrasi yang dimiliki, diantaranya; 1) tanggungjawab perorangan, 2) hak-hak yang sama dan persamaan di antara manusia, 3) kewajiban penguasa untuk bermusyawarah dengan rakyat, dan 4) tanggungjawab bersama antara rakyat dari semua golongan dan lapisan masyarakat. Demikianlah batasan demokrasi dalam negara berdasarkan Islam menurut Zaini;
5.    Arti kebebasan beragama, meskipun umat Islam diwajibkan oleh Tuhan melaksanakan Islam di Indonesia, kalau mungkin 100%. Akan tetapi, terdapat dalil tidak ada paksaan dalam agama yang menjadi legitimasi tidak perlu pembuktian lebih lanjut bahwa Islam menjamin dan mempertahankan kebebasan bagi para pemeluk kepercayaan di luar Islam untuk menaati dan menjalankan agama mereka masing-masing;
6.    Menolak politik toleransi terhadap penentang negara Islam, Isa Anshary dari Masyumi dengan lantang mengatakan bahwa tidak ada tempat untuk menerima selain Islam sebagai Dasar Negara. “Apakah hukumnya orang yang menggunakan Undang-Undang Dasar dan Ideologi yang tidak bersendikan Kitabullah dan Sunnah Nabi?” tanyanya. Ia menjawab sendiri pertanyaan itu dalam pidato dengan merujuk pada keterangan al-Qur’an surah al-Maidah ayat 44, 45 dan 47 yang kemudian ditariknya tiga kata pokok yaitu kafir, zalim dan fasiqKafir menurutnya ialah orang yang menganggap hukum Ilahi tidak pantas menjadi undang-undang atau menjadi Dasar Negara. Orang yang menganggap bahwa ada hukum dan peraturan lebih baik dari hukum dan peraturan Tuhan dan Nabi-Nya. Zalim berarti memindahkan benda dari tempatnya. Termasuk zalim apabila rakyat, karena kebodohan atau ketidaktahuannya, menggunakan hukum dan asas lain daripada hukum Allah. Fasiq adalah orang yang mengetahui hukum Allah dan Nabi tetapi tidak bersedia menggunakannya karena perhitungan egoism atau intelektual; dan
7.    Toleransi terhadap agama minoritas, argumentasi dasarnya sama dengn kebebasan beragama di atas. Mereka-mereka yang bukan Islam ada yang dikenal sebagai zimmah yang berarti berhak mendapat jaminan Allah dan harus dilindungi sepenuhnya.
Dua pandangan mengenai Dasar Negara ini kemudian dibedah oleh Adnan Buyung, yang kemudian membawanya pada penjelasan perihal Negara Konstitusional. Adnan Buyung mengatakan meskipun tidak keseluruhan asas negara konstitusional terpenuhi, tapi karena kedua (baik Negara Integralistik dan Negara Islam) akan didasarkan pada undang-undang dasar, maka secara harfiah keduanya dapat dinyatakan sebagai negara konstitusional. Apa itu negara konstitusional, yakni lembaga dengan fungsi yang spesifik dan dengan struktur-struktur normatif yang dibatasi secara hukum, dengan tujuan melindungi hak-hak dasar negara serta membatasi dan mengatur kekuasaan untuk dapat mengangkat hal-hal perorangan dan khusus kepada tingkat hukum dan umum. Dalam sidang BPUPK dan PPKI, menurut Adnan Buyung, terdapat implikasi normative dari negara konstitusional, yaitu:
1.    Bentuk hukum yang tepat;
2.    UUD bertujuan menegakkan kebebasan dalam negeri;
3.    UUD dimaksudkan untuk menegakkan tujuan normative bagi kebijakan negara;
4.    Pemisahan kekuasaan;
5.    Penegakan hak-hak rakyat;
6.    Jaminan kebebasan berpendapat, berbicara, dan hak-hak politik berserikat; dan
7.    Pertanggungjawaban pemegang kekuasaan politik.
Kedua, perdebatan tentang HAM. Hal kedua yang disorot oleh Adnan Buyung Nasution dalam kemelut sejarah politik Indonesia generasi I ialah perihal HAM. Perdebatan HAM dalam sidang Kosntituante tidak kurang lebih seksinya dibandingkan dengan perdebatan Dasar Negara. Sebab pertentangan mengenai defenisi, makna dan pertanyaan mengenai hak-hak asasi mana yang harus diakui sangat sengit terjadi di antara kelompok-kelompok peserta sidang. Misal, ada kelompok yang menginginkan seluruh pasal yang ada dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) dimasukkan ke dalam UUD yang akan dibuat. Namun keinginan tersebut dipersoalkan oleh kelompok Islam, sebab tidak semua pasal dalam UDHR yang sesuai dan diperkenankan dalam ajaran Islam. Selain itu, sebagaimana pandangan yang dikemukakan Ash Shiddieqy pada saat sidang, “HAM itu tidaklah dilahirkan oleh Revolusi Prancis dan tidak pula oleh penitia penyusunan HAM di Perserikatan Bangsa-Bangsa. HAM itu telah dilahirkan oleh Islam sejak empat belas abad yang telah silam”.
Muaranya, pertentangan tersebut berdamai lewat mekanisme win win solution, dimana HAM yang dirumuskan dalam negara konstitusional ialah yang pelaksanaannya harus disesuaikan dengan jiwa dan sifat bangsa, demikian menurut Astrawinata (Partai Republik Indonesia). Karena itu, dalam praktik formulasi normatifnya aturan tentang HAM dibuat berdasarkan pada konteks ke-Indonesia-an yang ada. Setidaknya demikianlah keterangan sejarah yang dapat dibaca dari uraian panjang buku karya Adnan Buyung Nasution ini.
Ketiga, lahirnya Rezim Demokrasi Terpimpin. Jika membaca ulasan buku, maka ditemukan bahwa demokrasi terpimpin lahir dari tiga keadaan yang masing-masing memiliki sub bagian tersendiri. Tiga bagian itu diantaranya:
1.    Kemerosotan ekonomi, yang terdiri dari; 1) politisasi ekonomi, 2) perampasan hak milik dan pengusiran Warga Negara Belanda, 3) menurunnya kegiatan ekonomi, inflasi dan kesulitan yang semakin besar bari rakyat;
2.    Meruncingnya perpecahan nasional, yang terdiri dari; 1) kesatuan nasional yang rawan dan pertentangan Jawa-Luar Jawa, 2) pertentangan ideologis, 3) perpecahan Soekarno-Hatta, 4) konflik dalam tubuh Angkatan Darat, dan 5) intervensi asing;
3.    Bangkitnya AD sebagai kekuatan politik utama dalam negara, yang terdiri dari; 1) meruncingnya pertentangan dalam tubuh AD, 2) gerakan lubis, 3) meningkatnya gerakan kedaerahan, 4) hukum darurat perang sebagai sumber dan legitimasi peran AD dalam politik, 5) perubahan dalam hubungan sipil-militer, 6) kebutuan AD akan legitimasi baru, 7) perubahan oposisi daerah menjadi pemberontakan, 8) konsolidasi aliansi Soekarno-Angkatan Darat, 9) tekanan AD untuk kembali ke UUD 1945.
Tiga keadaan di atas menjadi jalan mengorbitnya Demokrasi Terpimpin ala Soekarno sebagai sebuah, menurut Adnan Buyung, rumusan politik baru bagi bentuk pemerintahan yang lebih otoriter. Semula konsep ini dimaksudkan untuk menangani masalah-masalah yang ada, tetapi kemudian berkembang menjadi alat kekuasaan ekstra-konstitusional. Buku ini membagi perkembangan Demokrasi Terpimpin ke dalam tiga tahap. Tahap pertama dimulai dari Februari 1957 hingga juli 1958, dalam tahap ini ide tersebut masih kurang berkembang dalam pengertian konseptual. Satu titik yang jelas pada tahap ini ialah keinginan Soekarno untuk meninggalkan sistem politik yang berlaku, yang disebutnya “demokrasi liberal”. Terutama sistem kepartaian dan pemerintahan parlementer, yang ia kecam sebagai penyebab semua permasalahan yang harus dihadapi negara dan untuk menggantikannya dengan Demokrasi Terpimpin yang dapat menjamin stabilitas politik.
Tahap kedua dimulai dari Juli 1958 hingga November 1958, ketika diusahakan perumusan ide dasar Demokrasi Terpimpin. Dalam tahap ini pertentangan pro dan kontra terhadap ide Demokrasi Terpimpin sudah mencuat. Masalah-masalah utamanya ialah; 1) dasar bagi Demokrasi Terpimpin, 2) kedudukan konstitusional bagi golongan fungsional, model perwakilan rakyat di bawah pengawasan pemerintahan yang baru dibentuk, di tengah-tengah partai-partai politik. Dan tahap ketiga dimulai dari bulan November 1958 hingga Juli 1959, ketika konsep tersebut mamsuki tahap pelaksanaan melalui jalan kembali ke UUD 1945 dan perubahan seluruh sistem politik. Dalam hal ini, menurut Adnan, AD memainkan peranan yang menentukan.
Sudah dapat dibaca kemana arah sejarah politik ketatanegaraan generasi I ini berlanjut, pada pokok pembahasan Keempat, buku ini berisi uraian peristiwa pembubaran konstituante dan kembali ke UUD 1945 lengkap dengan intrik politik yang dilakukan Soekarno dan simpatisan. Salah satu faktor yang paling dipercaya sebagai sebab dibubarkannya konstituante yang sudah bekerja sedemikian lama dan detailnya, ialah perdebatan sengit antara politic interest kelompok Islam dengan kelompok yang bukan Islam disamping gejolak politik nasional lainnya. Puncaknya, pada tanggal 5 Juli 1959, Kabinet mengadakan rapat di Bogor yang juga dihadiri oleh Ketua Mahkamah Agung. Di sanalah tercapai kesepakatan supaya UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali melalui dekrit, dengan keadaan darurat nasional sebagai pembenaran legal.
Demikian perjalanan sejarah Republik Indonesia di awal kemerdekaan yang dijelaskan dengan baik secara ilmiah dalam karya monumental Adnan Buyung Nasution ini. Kejelasan pemaparan dan keakuratan data menjadikan buku Adnan Buyung sebagai salah satu dokumen sejarah Republik Indonesia yang penting. Bukan sekadar penting sebagai sebuah dokumen, tapi juga penting menjadi dasar rujukan sejarah peristiwa Sidang Konstituante secara utuh, tepatnya. Karena itu pula, mungkin, Majalah Tempo Edisi Khusus Kebangkitan Nasional Tahun 2008 memasukkan buku yang berjudul Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 ini ke dalam salah satu dari 100 Catatan yang Merekam Perjalanan Sebuah Negeri.

1 comments

  1. Ditunggu next tulisannya mas...selalu setia menunggu post berikut nya....
    Salam hangat penggemar setia tulisan nya😊

    ReplyDelete