Winter di Beijing 2017




mata akan dimanjakan oleh aktivitas masyarakat setempat. Mulai dari anak-anak muda hingga orang-orang tua. Ada yang tampak memainkan batu sejenis domino, mungkin mereka bermain mahyong. Ada juga yang asyik bermain Jianzi, olahraga khas Cina.
Setelah lama terkubur dalam folder di laptop, baru kali ini aku kembali mengeluarkan sisa kenang-kenangan perjalanan ke Beijing pada awal tahun 2017 lalu. Tidak hanya mengeluarkan, tekad pun telah bulat untuk meriview ulang perjalanan tersebut. Hal inilah yang mendorongku untuk membahas pasal perjalanan ke Beijing dalam tulisan ini.
Layaknya agenda vacation lainnya, hal yang paling pertama yang perlu disiapkan adalah itinerary atau rencana perjalanan. Rencana perjalanan merupakan mapping plan dari rangkaian keseluruhan agenda perjalanan. Di dalamnya termuat tanggal keberangkatan, lama perjalanan, lokasi yang hendak dituju, penginapan hingga moda yang hendak digunakan. Dari itinerary pula kita dapat menentukan kisaran biaya selama perjalanan.
Unfortunately, tidak dapat aku tampilkan rencana perjalan yang pernah ditulis untuk keberangkatan ke Beijing. Karena berkas tersebut telah lenyap entah kemana. Yang teringat, perjalanan ini dilakukan berdua dengan seorang teman pada tanggal 19 hingga tanggal 23 Februari 2017. Tempat yang direncanakan bakal dikunjungi dalam waktu tiga hari efektif yaitu Forbidden City, Temple of Heaven, Tiananmen Square, Mausoleum of Mao Zedong, Forbidden City, dan Tembok Raksasa Cina (Great Wall).
Selama di Beijing rencananya kami tinggal di kawasan yang tidak jauh dari pusat transportasi umum dan tentunya juga tidak jauh dari pusat kota. Jadi kami menyewa penginapan Dragon Hostel (Bukan Beijing Happy Dragon Courtyard) yang beralamat di Dongsi 9th Alley. Harga penginapan yang disewa tidak sampai Rp. 200.000 per malam. Namun, bagi yang bepergian bersama keluarga tidak aku sarankan untuk menyewa penginapan ini. Selain karena ukuran kamar yang kecil, tempat mandi pun sharing dengan pengunjung lainnya. Itu 2017 lalu.
Pesawat yang kami gunakan dari Jakarta-Beijing-Jakarta ialah Cathay Pacific yang waktu itu harganya keseluruhan sekitar Rp. 3,5 juta, sudah pulang-pergi. Karena konsep perjalanan ini ala backpacker maka kami tidak menyewa tour guide selama di Beijing. Sementara untuk moda transportasi, kami lebih memilih menggunakan transportasi umum, khususnya transportasi sejenis kereta yang ada selama di sana. Mengingat transfortasi publik di Beijing juga telah terintegrasi, terutama oleh Mass Rapid Transit (MRT).
Setelah seluruh komponen itinerary jadi, selanjutnya mengurus visa. Meski sama-sama bagian dari Negara Republik Rakyat Cina, tapi kebijakan yang berlaku di Beijing berbeda dengan Hong Kong atau Macau (keduanya merupakan negara administrasi khusus) yang menerapkan visa on arrival. Visitor dari Indonesia masih diharuskan menggunakan visa turis (jika tujuannya wisata) untuk bisa masuk ke wilayah Beijing. Namun, tidak perlu khawatir sebab proses pengurusannya yang mudah dan cukup terjangkau. Hal yang paling utama, yang perlu disiapkan, pada saat hendak apply visa turis ke Beijing ialah dokumen-dokumen.
Dokumen-dokumen pengajuan visa ke Beijing meliputi; itinerary, bukti booking tiket pesawat, bukti pemesanan penginapan selama di tempat tujuan (saranku booking saja lewat booking.com, lalu cari pilihan ‘bayar di lokasi’ sehingga kapanpun anda bisa berganti penginapan), foto ukuran 4x6 sebanyak dua lembar dengan background putih, paspor asli dengan masa berlaku minimal enam bulan setelah tanggal kepulangan, dan foto kopi paspor bagian depan yang memuat identitas pemegang paspor. Nah, untuk yang berpergian dengan anak-anak, silah searching informasi lebih lanjut ya.
Setelah semua dokumen siap, maka pendaftaran permohonan penerbitan visa dapat dilakukan secara online atau manual. Saranku untuk pendaftaran sebaiknya dilakukan secara online di www.visaforchina.org, karena lebih efisien dan mudah. Setelah keseluruhan kolom pendaftaran diisi maka form tersebut didownload dan dicetak untuk selanjutnya diajukan ke Visa Centre-nya Cina beserta dengan dokumen-dokumen yang telah disiapkan sebelumnya. Di Indonesia ada tiga lokasi visa centre, yakni di Medan, Jakarta dan Surabaya. Aku dulu mengajukan visa di Visa Centre Surabaya. Memilih Surabaya hanya karena lebih dekat saja dari domisili waktu itu.
Ingat, sesampai di Visa Centre kita dapat memilih jenis pengurusan dan banyaknya entries. Seingatku, ada tiga tawaran pelayanan pengurusan visa turis ke Cina, yakni; reguler, express, dan rush. Sementara itu, untuk jenis entries ada yang; single, double, multiple 6 months, dan multiple 12 months. Beda jenis pelayanan dan banyaknya entries akan berpengaruh pada biaya visa. Waktu itu aku memilih pelayanan reguler satu kali entry, biayanya lebih kurang Rp. 550.000. Seingatku sekitaran itu.
Setelah dokumen diserahkan keseluruhan ke Visa Centre, nanti mereka akan menyerahkan berkas tanda terima yang berisi tanggal kapan pemohon disarankan kembali mengambil visa. Di berkas tanda terima itu juga dituliskan semacam nomor resi agar memudahkan para pemohon melacak status permohonan visanya. Dalam kasusku, butuh waktu tiga hari lamanya, semenjak penyerahan berkas ke Visa Centre, baru visa turis yang dimohonkan mengorbit.
Singkat cerita, pada tanggal 19 dini hari, tepatnya pukul 00:05 dengan seorang teman aku berangkat dari Jakarta menuju Beijing dengan Cathay Pacific. Empat jam perjalanan dari Jakarta menuju Hong Kong untuk transit, selanjut pada pukul 07:30 pagi waktu di sana kami melanjutkan perjalanan menuju Baijing. Lama perjalanan menggunakan pesawat dari Hong Kong ke Beijing sekitar 3 jam 20 menitan.
Kurang dari 10 menit pukul 11 siang waktu Beijing, pesawat yang kami tumpangi telah merapat di garbarata Beijing Capital International Airport. Selanjutnya mengantri keluar melewati imigrasi. Dari bandara kami menaiki Airport Express (kereta bandara), yang perorangnya membayar tiket seharga CNY 25 atau sekitar Rp. 50.000 (Kurs 2000/CNY). Seperti yang aku sampaikan di atas, perjalanan ini akan mengandalkan transportasi kereta, terutama MRT yang di lebih dikenal sebagai Beijing Subway. Berikut ini aku tampilkan gambar jalur-jalur MRT di Beijing (lebih jelasnya silahkan kunjungi https://www.travelchinaguide.com/cityguides/beijing/subway-map.htm).
Peta Beijing Subway
Perbedaan warna dari garis dan nomor line yang terdapat pada gambar di atas menandakan jalur serta tujuan yang berbeda dari masing-masing MRT. Kebetulan lokasi penginapan yang hendak kami tuju kali pertama setelah keluar dari bandara tidak jauh dari Stasiun Zhangzizhonglu (line 5 berwarna ungu). Dengan menaiki kereta Bandara, kami bisa berhenti di Stasiun Sanyuanqiao atau Stasiun Dongzhimen. Waktu itu, kami turun di Stasiun Dongzhimen, lalu bertukar menaiki MRT line 2 (warna biru) menuju Stasiun Yonghegong.
Seperti menaiki KRL (Kereta Rel Listrik) di Jakarta, kita diharuskan membeli kartu (bagi yang tidak punya e-money kalau dalam kasus KRL). Menaiki MRT di Beijing pun demikian, pada tahun 2017, harga tiket Beijing Subway berdasarkan jarak tempuh ialah sebagai berikut; CNY 3 untuk 6 km pertama, CNY 4 untuk 6 hingga 12 km, CNY 5 untuk 12 hingga 22 km, CNY 6 untuk 22 hingga 32 km, dan tambahan CNY 2 untuk 20 km bagi yang perjalanannya melebihi 32 km. Info perubahan harga bisa searching langsung tentang Beijing Subway.
Sesampai di Stasiun Yonghegong aku pindah lagi ke kereta line 5 (warna ungu) untuk selanjutnya menuju Stasiun Zhangzizhonglu, harga tiketnya CNY 3 atau sama dengan harga dari Stasiun Dongzhimen ke Stasiun Yonghegong. Dari Stasiun Zhangzizhonglu kami dapat berjalan kaki ke arah penginapan. Hanya memakan waktu sekitar lima menit dari stasiun ke penginapan. Ya, itu kisah hari pertama aku dan kawanku sampai di Beijing. Pada tanggal 19 februari atau hari pertama di Beijing, kami hanya menghabiskan waktu untuk beristirahat di penginapan.
Kebetulan bulan februari adalah puncak-puncaknya musim dingin di Beijing. Tengah hari pada saat hari kedua di Beijing suhu berada di bawah minus 0 derajat celcius. Pada hari kedua, tanggal 20, kami bermaksud melangsungkan perjalanan ke Temple of Heaven, Mausoleum of Mao Zedong, dan Tiananmen Square serta Forbidden City. Tempat ini mau dikunjungi dalam waktu satu hari karena memang lokasinya yang tidak terlalu jauh.
Dari penginapan naik Beijing Subway di Stasiun Zhangzizhonglu menuju Stasiun Tiantandongmen dengan harga tiket CNY 4. Kemudian berjalan kaki ke Temple of Heaven. Harga tiket masuk ke Temple of Heaven sebesar CNY 28 per orang, tidak bisa ditawar kalo ini. Dengan membeli tiket maka kami mendapat ‘permit’ untuk mengunjungi area manapun di Temple of Heaven. Sepanjang perjalanan menuju ‘puncak’, karena memang arealnya mendaki, seperti areal Candi Borobudur barangkali kalo di Indonesianya. Di puncak terdapat Hall of Prayer for Good Harvest dan museum yang berisi ringkasan perjalanan sejarah dan peninggalan Kaisar Ming dan Qing.
Selama perjalanan, mata akan dimanjakan oleh aktivitas masyarakat setempat. Mulai dari anak-anak muda hingga orang-orang tua. Ada yang tampak memainkan batu sejenis domino, mungkin mereka bermain mahyong. Ada juga yang asyik bermain Jianzi, olahraga khas Cina. Ya, singkat ditengok, kawasan Temple of Heaven merupakan wilayah hijau tempat berekspresi masyarakat Beijing. Didukung suasana yang asri, karena masih banyak pepohonan, bersih dan cuaca sejuk menambah nyaman suasana.
Hall of Prayer for Good Harvest
Saat tengah hari, suhu udara semakin dingin. Kami melanjutkan perjalanan ke arah utara dengan berjalan kaki menuju Tiananmen Square. Agak susah untuk mengingat secara rinci detail arah jalannya. Oh ya, sebelum aku lupa, salah satu yang menjadi ‘minus’-nya berwisata di Beijing pada masa 2017 ialah minimnya penunjuk arah yang menggunakan huruf latin, kebanyakan menggunakan aksara mandarin. Entah kalau saat sekarang. Masyarakat pada umumnya di Beijing tidak bisa berbicara dalam Bahasa Inggris, sehingga, boleh disebut jika Bahasa Inggris tidak akan menjamin kelanjaran backpacker di kawasan Beijing.
For Your Information ya, kalau misal kesasar di kawasan Beijing sementara bahasa mandarin minim. Jika bisa berbahasa Inggris pergilah ke petugas resepsionis hotel atau bartender club, mintalah bantuan mereka untuk menunjukkan arah jalan. Karena, berdasar pengalamanku, mereka dapat membantu. Sementara, rata-rata polisi dan petugas kantor pemerintahan di Beijing tidak terlalu fasih dalam berbahasa Inggris atau bahkan tidak bisa sama sekali. Bagiku, hal ini merupakan tantangan seorang traveler di satu sisi dan keunikan Beijing di sisi lainnya.
Sudah hampir pukul 15:00 waktu setempat baru kami sampai di kawasan Tiananmen Square. Kawasan ini dijaga ketat oleh tentara. Sayang sekali, meski berdekatan dengan Tiananmen Squere, kami tidak sempat berkunjung masuk ke kawasan Forbidden City dan Mausoleum of Mao Zedong. Hal ini salah satunya dikarenakan waktu yang terbatas. Ditambah, sempat terhambat saat melanjutkan perjalanan ke Tiananmen Square dari Temple of Heaven karena tiba-tiba salju turun dengan deras, malah aku pikir badai waktu itu, sebab saking derasnya.
Di sisi selatan Tiananmen Square, tampak salju turun dengan deras.

Di Kawasan Tiananmen Square, di belakangku tampak Monumen to the People’s Heroes

Nah, setelah puas (sejujurnya ga puas banget karena tidak dapat memasuki kawasan Forbidden City dan Mausoleum of Mao Zedong) menelusuri Tiananmen Square, tibalah waktunya untuk kembali ke penginapan. Kali ini, kami kembali menggunakan Beijing Subway menuju Stasiun Zhangzizhonglu. Stasiun terdekat di Tiananmen Square ialah Stasiun Tiananmen West atau Stasiun Tiananmen East. Waktu itu kami naik dari Stasiun Tiananmen East. Oh ya, kedua stasiun ini berada pada jalur line 1 (warna merah), sementara stasiun tujuan akhir berada di jalur line 5 (warna ungu). So, aku dan kawanku harus menaiki kereta dari Stasiun Tiananmen East menuju Stasiun Dongdan. Dari Dongdan transit menuju stasiun tujuan akhir. Total biaya perjalanan kembali CNY 3.
Hari ketiga di Beijing, tanggal 21, rencananya mau ke Great Wall alias Tembok Besar Cina. Sebetulnya, penginapan kami menawarkan jasa Guide Tour ke Badaling dengan harga CNY 120 atau sekitar Rp. 240.000 per orang. Selain ke Badaling, juga ada jasa ke Mutianyu. Mutianyu lebih mahal lagi, mereka patok CNY 180 per orang. Perbedaan antara Mutianyu dan Badaling, kata receptionist penginapan terletak pada jarak, moda transportasi umum, dan keramaian. Badaling merupakan gate wisata ke Tembok Besar Cina yang sering dan ramai dikunjungi oleh wisatawan.
Karena kawanku menolak untuk menggunakan jasa guide tour ke tembok raksasa Cina. Maka kami kembali menggunakan jalur kereta. Perjalanan ke Tembok Besar Cina (Great Wall) dapat ditempuh dengan dua moda yaitu bus dan kereta api. Kami memilih naik kereta api. Perjalanan memakan waktu 5 hingga 6 jam, sayang waktu itu aku dan kawanku tidak memperkirakan bakal selama itu. Kami berangkat menggunakan Beijing Subway dari Stasiun Zhangzizhonglu. Awalnya kami berencana menuju Stasiun Beijing North Railway, stasiun kereta api dari Kota Beijing menuju Stasiun Badaling. Kalau dari Stasiun Zhangzizhonglu naik Beijing Subway ke Stasiun Yonghegong Lama Temple, lalu transit ke jalur line 2 (warna biru) menuju Stasiun Xizhimen. Dari Stasiun Xizhimen berjalan sedikit ke arah utara hingga ketemu Stasiun Beijing North Railway. Dari situ bisa naik kereta api ke Badaling.
Akantetapi, pada tahun 2017 lalu, saat aku dan kawanku hendak menuju Badaling Stasiun Beijing North Railway ditutup karena sedang tahap renovasi. Dengan bahasa isarat dari petugas Stasiun Beijing North Railway kami diberi secarik kertas berbahasa Inggris yang isinya pemberitahuan bahwa kereta menuju Badaling dialihkan ke Stasiun Huangtudian. Stasiun Huangtudian ini, kalau naik Beijing Subway, berhentinya di Stasiun Huoying. Untuk menuju Huoying bisa dengan jalur line 8 (warna hijau) atau line 13 (warna kuning).
Kami sampai di Stasiun Huangtudian hampir jam 15:00 siang waktu setempat. Kemudian, naik kereta api pukul 15:30-an dengan membeli tiket seharga CNY 6. Perjalanan dari Stasiun Huangtudian ke Stasiun Badaling sekitar 1 jam. Artinya, secara otomatis aku dan kawanku tidak lagi dapat menikmati Tembok Besar Cina. Berdasar informasi yang kami terima dari pegawai penginapan tempat kami tinggal selama di Beijing. Fasilitas wisata di Great Wall mulai ditutup pada pukul 16:00. Namun, karena rasa penasaran yang menggebu, kami tetap melanjutkan perjalanan ke Tembok Besar Cina.
Suasana di dalam Kereta Api menuju Stasiun Badaling
Catat, waktu keberangkatan kereta api dari Stasiun Huangtudian ke Stasiun Badaling atau sebaliknya tidak sama setiap harinya. Lebih lanjut bisa dibuka website ini, https://www.travelchinaguide.com/china-trains/badaling-station.htm. Dari Stasiun Badaling, berjalan sekitar 20 menit mendaki menuju pintu wisata Great Wall. Selain karena fasilitas wisatanya sudah tutup, tapi kaki juga sudah tidak lagi kuat untuk berjalan mendaki. Karenanya, kami membuat keputusan untuk kembali.
Meski hanya sempat mengambil gambar dari gerbang wisata, tempat pembelian tiket kereta gantung. Namun, senangnya sudah luar biasa. Sebab akhirnya, yang terpenting, mengerti cara ke Badaling Great Wall dengan kereta api. Oh ya, saranku memang sebaiknya menggunakan kereta gantung jika hendak ke Badaling Great Wall, karena tanjakan pendakiannya yang cukup melelahkan. Mungkin pernyataan ‘cukup melelahkan’ ini terkecualikan bagi teman-teman yang hobi mendaki. Oh ya, mengenai harga masuk ke Tembok Besar Cina pada tahun 2017 lalu yang tertera di kaca loket tiket sekitar CNY 40. Kalau ditambah hendak naik kereta gantung harga sekali jalan CNY 80. Namun, bila memilih paket return (pulang-pergi) harga tiket kereta gantungnya CNY 100.
Di gerbang wisata Tembok Besar Cina
Jalan pulang kami sama dengan semula, harga tiketnya pun juga sama. So, aku tidak perlu menuliskan lagi rinciannya bagaiamana. Di hari keempat, tanggal 22, seharusnya kami berkunjung ke Beijing Olympic Stadium dan sekitarnya. Tapi, kawanku mengalami sakit karena suhu udara yang dingin. Maka perjalanan hari ini kami batalkan. Kami hanya dapat menghabiskan sisa waktu di Beijing dengan mengitari areal sekitar penginapan saja. Pada hari kelima, tanggal 23, kami bertolak pulang ke Jakarta dari Beijing pada pukul 13:40 dengan pesawat dan rute perjalanan yang sama dengan semula berangkat dari Jakarta. Pukul 04:00 pagi waktu Indonesia bagian barat kami sampai kembali ke tanah air.
Baik, itu dia review perjalanan musim dingin di Beijing tahun 2017 lalu. Beberapa catatan yang dapat aku tuliskan sebagai ulasan penutup, diantaranya; Pertama, Di Beijing, umumnya seluruh aplikasi yang terhubung dengan Google di blokir oleh pemerintah setempat. Jadi, bagi teman-teman yang hendak melangsungkan wisata ke Beijing, sebaiknya mendownload terlebih dahulu aplikasi VPN agar bisa menggunakan aplikasi yang terhubung dengan google di sana.
Kedua, Siapkan tisu basah bila bepergian ke Cina, khususnya Beijing, sebab toilet umum di sana sangat ‘menyiksa’. Tidak tersedia air untuk menyuci bekas buang air bung! Ketiga, Bepergianlah pada selain musim dingin. Pengalamanku berkata, pada musim dingin sedikit sekali spot wisata yang dapat dikunjungi. Saranku, datanglah pada musim semi atau gugur. Tempat-tempat seperti Summer Palace dan Great Wall akan lebih indah dilihat ketimbang musim dingin. Dan keempat, Bagi saudara yang mencari makanan halal selama berwisata di Beijing, sebaiknya gunakan aplikasi pencari makanan halal. Misal, salah satunya dapat dengan menggunakan ‘Muslim Pro’. Karena agak sulit Bung untuk menemukan makanan halal di Beijing. Beda kota lain, seperti Xinjiang misalkan yang mayoritas penduduknya muslim, akan lebih mudah menemukan makanan halal di sana.

0 comments