gambar ilustrasi: google
Oleh: MHD Zakiul Fikri
Mengetahui kepribadian Valjean pasca pertemuan dengan Uskup Bishop Myriel maka tergambar cara pikir seorang Utilitarianisme pada dirinya. Dalam filsafat hukum, kata utilitarianisme diambil dari bahasa Latin “utilis” yang artinya berguna, berfaedah, atau menguntungkan.
Kalian pernah menonton film berjudul Les Miserables yang
disutradarai oleh Tom Hooper? Film drama musikal yang dilaunching kali pertama pada
tahun 2012 itu diangkat dari sebuah novel fenomenal karya Victor Hugo. Berlatar
belakang Prancis era abad ke-19 masehi. Bagi penikmat musik atau pun opera,
film ini tentu memiliki arti dan sensasi yang menarik untuk ditonton. Tapi,
tahukah anda, jika film ini juga menarik untuk dikaji dari aspek filsafat
hukum?
Ya, Les Miserables menceritakan fenomena ‘perangai’ hukum
yang terjadi di Prancis. Tiap-tiap tokoh dalam karya ini mencerminkan watak
hukum yang berbeda-beda. Sadar atau tidak, watak hukum yang berbeda-beda itu
terjadi disebabkan oleh perbedaan mazhab hukum yang dianut oleh masing-masing
tokoh. Nah, pada kesempatan ini aku akan mengurai beberapa tokoh dalam kisah Les
Miserables beserta dengan ‘kira-kira’ mazhab hukum yang dianutnya.
Pertama, tokoh yang pertama ialah Javert. Ia
merupakan seorang kepala lembaga pemasyarakatan alias penjara yang kemudian
hari menjadi Kepala Kepolisian Daerah dengan jabatan Inspektur Polisi. Dia ada
sosok antagonis dalam kisah ini. Sebagai aparat penegak hukum, tokoh Javert
dipertontonkan sebagai pribadi yang menegakkan hukum sebagaimana adanya teks. Meskipun
dalam penegakkannya hukum menjadi timpang dan jauh dari keadilan. Ia tak
peduli.
Sebagai contoh, ketika Javert menerapkan hukuman kepada Valjean, si
tokoh utama. Valjean diceritakan mengambil sepotong roti yang bukan miliknya. Atas
perbuatannya itu ia dihukum penjara selama bertahun-tahun lamanya. Tahukah kalian,
mengapa ia mencuri? Berikut kutipan yang menjelaskan mengapa Valjean mencuri
sepotong roti tersebut, “I stole a loaf of bread. My sister’s child was
close to death. And we were starving.” Artinya, aku mencuri sepotong roti,
sebab keponakanku hampir mati [kelaparan]. Kami sedang kelaparan [kala itu].
Karena memang kala itu Valjean masih hidup dalam garis kemiskinan. Sehingga mendesak
baginya untuk segera mendapatkan makanan.
Dari alur singkat tindakan Valjean di atas, maka betul bahwa ia
telah melakukan kejahatan. Yakni dalam bentuk pencurian. Kalau di Indonesia,
mungkin, padanya dikenakan Pasal 362 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Tapi,
tindakan seorang fakir atau miskin mengambil sepotong roti untuk bertahan hidup
apakah patut padanya hukum diberlakukan sebagaimana adanya teks? Sementara dampak
dari penerapan hukum dengan perbuatan yang dilakukan jauh dari kata baik.
Dengan caranya menegakkan hukum demikian, maka aku menggolongkan
Javert sebagai penganut Positivisme Hukum. Positivisme hukum, menurut A.M. Laot
Kian (2012), memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral,
antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sollen dan
das sain, atau antara law as it is dan law as ought to be.
Bahkan dalam pandangan ini menghendaki adanya pemisahan hukum dari
anasir-anasir non yuridis seperti unsur sosiologis, politis, historis, dan etis
(Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2008).
Dalam kacamata positivisme yang lebih diutamakan ialah kepastian
hukum, asas legalitas (di Indonesia diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP). Tidak peduli
kepastian hukum itu memberi keadilan atau tidak. Sebagaimana dijelaskan oleh
Theo Huijbers (1982), bagi kalangan positivisme, hukum harus selalu dipandang
secara empiris karena pada dasarnya hukum terdiri dari tiga unsur, yakni
perintah (command), kewajiban (duty), dan sanksi (sanction).
Nah, tokoh Javert dalam Les Miserables tak ubahnya seperti
penganut positivisme hukum. Ia menerapkan hukum kepada Valjean sebagaimana teks
berbunyi. Betul bahwa Valjean telah melakukan tindakan kejahatan yang melanggar
ketentuan positif (undang-undang). Berdasarkan ketentuan teks hukum, atas
perbuatannya Valjean harus dijatuhi sanksi berupa kurungan penjara atau bisa
saja berupa denda. Tapi, Javert tidak melihat kepada fenomena sosial yang
melatarbelakang perbuatan itu terjadi.
Dampaknya, Javert tidak mampu melihat unsur keterpaksaan dari
tindakan yang dilakukan Valjean. Padahal dalam kasus pencurian roti oleh
Valjean, sebetulnya, ada unsur noodweer (pembelaan terpaksa) berupa
ancaman kematian apabila tidak segera mendapat makanan (di Indonesia diatur
dalam Pasal 49 KUHP). Karena adanya unsur noodweer maka seharusnya
pelaku pencurian roti dalam kisah Les Miserables tidak dapat dihukum. Namun
sayang, penganut Positivisme Hukum tidak peka terhadap unsur sosial tersebut. Padahal,
unsur sosial berupa kemiskinan dan kelaparan ini menyentuk ranah hak asasi
seseorang.
Pada momen lain, Javert juga menjatuhi hukuman penjara kepada
Fantine karena terbukti melakukan pemukulan terhadap seorang pria. Padahal pemukulan
dilakukan sebagai bentuk pembelaan diri atas tindakan pelecehan yang dilakukan
pria tersebut. Javert justru memandang bahwa pembelaan yang dilakukan Fantine
bukan berarti menggugurkan hukuman baginya.
Kedua, Bishop Myriel. Bishop Myriel digambarkan
sebagai seorang yang alim. Ia merupakan seorang uskup yang mengubah jalan hidup
Valjean. Dari tingkah, respon dan jamuan awalnya terhadap Valjean telah
menampilkan siapa sosok uskup satu ini. Di awal bertemu, ia terang-terangan
mengungkapkan, My Lord bless the food we eat today. Bless our dear sister
and our honored guest. Artinya, Tuhan memberkati makanan yang kita makan
hari ini. [Juga] memberkati saudari yang kita sayang dan tamu yang kita
hormati.
Dalam kajian filsafat hukum, cara pandang demikian tentu hanya
dimiliki oleh seorang penganut Hukum Alam. Thomas Aquino membagi asas-asas
hukum alam ke dalam dua jenis. Jenis pertama yakni Principia Prima yang
artinya asas-asas yang dimiliki oleh manusia sejak lahir dan bersifat mutlak dalam
arti tidak dapat diasingkan darinya. Asas itu ialah dorongan lahiriah untuk
berbuat baik dan berlaku adil. Kemudian yang kedua ialah Principia
Secundaria yang diturnkan dari Principia Prima (dalam Lili Rasjidi
dan Liza Sonia Rasjidi, 2012).
Dalam keyakinan penganut Hukum Alam, sumber hukum dipahami berasal dari rasio Tuhan. Demikianlah cara pikirnya Bishop. Ketika Valjean dengan
terang mengatakan, you let me here next to you? How do you know I am not a
murderer? Kamu izinkan aku di sini berdekatan denganmu? Bagaimana kamu
yakin bahwa aku bukan seorang pembunuh? Demikian tanya Valjean.
Bishop dengan enteng menjawab, God will take care that. Tuhan
akan melindungi [dari keburukan]. Begitulah terus sifat Bishop hingga
dipenghujung kisah. Hingga suatu waktu Valjean mencuri kepingan berharga
miliknya. Ia tetap berbaik hati kepada Valjean si miskin itu. Sampai pada
akhirnya watak Valjean berubah oleh kelembutan jiwa seorang Bishop tersebut. Perubahan
watak itu yang kemudian menghantarkan Valjean menjadi pengusaha kaya dan
mendapat amanah selaku Wali Kota.
Ketiga, Valjean si tokoh utama. Setelah
bertemu dengan Bishop alur kisah hidupnya berubah total. Dari kehidupan awalnya
menggelandang dan bahkan harus mencuri untuk bertahan hidup. Pasca bertemu
dengan sosok uskup itu, perlahan ia menjadi pengusaha sukses. Pada akhirnya, ia
menerima amanah menjadi seorang Wali Kota.
Ingat perjalan hidup seorang Fantine, gadis malang yang harus
membanting tulang demi menghidupi anak gadisnya bernama Cosette. Fantine ialah
pegawai di pabrik milik Valjean. Kemudian hari ia dipecat tanpa sepengetahuna
Valjean. Yang menyebabkannya, si Fantine, menggelandang demi mencari kepingan
uang. Suatu hari ia memukul pria yang hendak melecehkannya. Atas perbuatannya
itu ia dikurung penjara oleh Javert.
Mengetahui Fantine merupakan pegawainya yang diberhentikan tanpa
sepengetahuan dirinya. Dan sadar bahwa perbuatan yang dilakukan Fantine memukul
pria ialah untuk membela diri. Maka Valjean kemudian hari melakukan pembelaan
terhadap Fantine. Valjean berikhtiar untuk menyelamatkan Fantine dari
kemalangan nasibnya. Pada masa Fantine sakit, ia merawatnya. Dan bahkan mana
kala Fantine wafat, Valjean mengasuh Cosette dengan rasa cinta bagai anak
kandungnya sendiri. Semua itu dilakukan Valjean agar kiranya kebahagiaan
dirasakan Fantine dan juga Cosette.
Mengetahui kepribadian Valjean pasca pertemuan dengan Uskup Bishop
Myriel maka tergambar cara pikir seorang Utilitarianisme pada dirinya. Dalam filsafat
hukum, kata utilitarianisme diambil dari bahasa Latin “utilis” yang
artinya berguna, berfaedah, atau menguntungkan. A.M. Laot Kian (2012)
mengatakan utilitarianisme merupakan sebuah paham etis yang berpendapat bahwa baik
atau buruknya suatu perbuatan ditentukan menurut nilai guna. Sementara A.
Mangunhardjana (2000) mengungkapkan nilai guna ini berkaitan erat dengan
perbuatan yang mendatangkan kebahagiaan.
Demikianlah watak beberapa tokoh dalam alur cerita Les Miserables
apabila dipandang dari sudut filsafat hukum. Bagaimana pun juga, penegakan
hukum sudah sepatutnya dipandang secara integratif. Yang tidak memisahkan
antara kepentingan kepastian hukum (sisi yuridis), keadilan (filosofis) dan
kebahagiaan atau kebermanfaatan (sosiologis).
Referensi
A. M. Laot
Kian, Berkelana dalam Filsafat Hukum, Kepel Press, Yogyakarta, 2012.
A.
Mangunhardjana, Isma-isme dalam Etika dari A Sampai Z, Kanisius,
Yogyakarta, 2000.
Darji
Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Lili Rasjidi
dan Liza Sonia Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2012.
Theo Huijber, Filsafat
Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982.
0 comments