Indonesian Communism Under Soekarno: Gerakan Reformasi Agraria PKI 1959-1965


ilustrasi gambar: buku karya Rex Motimer,
diterbitkan oleh Equinox Publishing, 2006.


“revolusi Indonesia di atas segalanya adalah sebuah revolusi agraria.” 

Buku yang ditulis oleh Rex Mortimer menjelaskan bahwa sejak Kongres 1954 PKI mencanangkan program yang menyatakan kalau “revolusi Indonesia di atas segalanya adalah sebuah revolusi agraria.” Keseriusan PKI dalam menjalankan programnya itu terlihat ketika serangan dengan skala penuh diluncurkan ke desa-desa di bawah slogan land to the tiller (tanah bagi petani penggarap) dalam tahun-tahun berikutnya. Komitmen partai lewat aktivitas-aktivitas yang dianggap mendukung kesejahteraan petani berdampak pada meningkatnya jumlah anggota partai.
Ketika basis PKI yang semulanya terpusat diperkotaan semakin rapuh oleh arus politik nasional yang kian otoriter, di mana kepalan tangan Angkatan Darat mengarah ke kelompok komunis pada akhir 1950-an, pimpinan partai memutuskan untuk mengintensifkan kerja di kalangan populasi petani di desa yang dinilai sebagai wilayah yang aman untuk bekerja dan meluaskan dukungan. Upaya itu dilakukan dengan mengusung konsep gerakan “turun ke bawah”. Gerakan tersebut merupakan gerakan terukur dan berbasiskan pada riset yang disebut sebagai three together (tiga bersama); tinggal bersama kaum tani, makan bersama mereka, dan bekerja bersama-sama mereka. Tujuan riset ini, agar gerakan tersebut tidak melahirkan aksi-aksi prematur.
Sesuai dengan program tanah untuk penggarap yang dilontarkan, PKI menuntut agar pembagian panen yang umumnya 50:50 diubah menjadi 60:40. Namun, Undang-Undang (UU) Agraria hanya mengesahkan bagi hasil 50:50 dengan catatan dilakukan dalam pengawasan yang ketat. Revisi UU Agraria menjadi UU Pokok Agraria tahun 1960 mengandung ketentuan luas sawah yang boleh dimiliki oleh satu keluarga beragam mulai dari lima hektar hingga lima belas hektar, bergantung pada populasi wilayah.
Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan organisasi di bawah naungan PKI melaporkan telah berhasil mengintegrasikan diri dengan kaum tani. BTI mencatat capaian jumlah keanggotaan mereka yang menyentuh angka tujuh juta orang. Peningkatan jumlah anggota ini berjalan seiring dengan angka buta huruf yang masih tinggi, sehingga bertani menjadi satu-satunya pekerjaan masyarakat. Hal itu tampak dari mayoritas massa anggota BTI dan kaum tani masih buta huruf dan tingkat budaya mereka secara umum masih terbelakang.

Pada 1 November 1963, Aidit melepaskan satu tembakan penting dalam pidatonya yang kemudian oleh Mortimer dinarasikan sebgai “desa mengepung kota.” Kampanye ini kemudian memicu terjadinya “aksi sepihak” petani di berbagai daerah di sepanjang tahun 1964. Meskipun aksi-aksi sepihak petani menempatkan aliansi PKI ke posisi yang membahayakan. Namun PKI tetap percaya diri mendukung terjadinya aksi tersebut karena semakin menguatnya penderitaan dan kegelisahan di pedesaan.
Mortimer melihat gerakan PKI yang diprakarsai oleh Aidit dan kawan-kawan banyak diilhami dari strategi Mao Tse Tung dalam Revolusi Cina.

0 comments