Paradigma Islam, Dari Konsep ke Gerakan Sosial Islam-Transformatif


ilustrasi gambar: lukisan "Praying" karya Mihaela Ionescu, 2013.

Oleh: MHD. Zakiul Fikri
"Rasulullah, melihat dirinya sendiri sebagai wadah bagi sabda Tuhan, arah minatnya tidaklah semata transendental melainkan terhubung dengan dunia nyata. Reaksinya sebagai Nabi terhadap fenomena sosial yang ditemukannya bukanlah sebuah penolakan yang radikal, bukan sebuah pelarian ke arah mistisisme dengan kejijikan dan keputusasaan, tetapi merupakan sebuah percobaan langsung untuk meresponnya secara aktif."
Paradigma, Sebuah Defenisi
Tulisan ini akan dimulai terlebih dahulu dari sebuah pertanyaan “Apa itu paradigma?”, “Bagaimana sesuatu disebut sebagai paradigma?” untuk menjawabnya maka perlu menampilkan pendapat orang-orang terdahulu yang pernah membahas term tersebut. Sebagai sebuah term, kata “paradigma” dipelopori oleh seorang ahli ilmu alam, khususnya di bidang fisika, yakni Thomas S. Kuhn. Dalam buku monumentalnya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions, sosok berkebangsaan Amerika Serikat ini kali pertama mengenalkan kata paradigma (paradigm). Pada periode berikutnya kata tersebut digunakan dalam percakapan sehari-hari, khususnya dalam percakapan akademik.
Sebagai pelopor, apakah paradigma yang dimaksud oleh Kuhn sama maknanya dengan pandangan orang akan makna paradigma dewasa ini? Khususnya pandangan umum tentang term tersebut yang menyederhanakan makna paradigma sebagai ‘cara pandang’. Asbabun nuzul atau sebab-sebab munculnya kata ‘paradigma’ sebagaimana dimaksudkan oleh Kuhn dapat ditelusuri dari buku yang mengawali lahirnya kata tersebut, The Structure of Scientific Revolutions. Kuhn mengatakan bermula dari undangan untuk menghabiskan tahun 1958-59 di Pusat Studi Lanjut dalam Ilmu Perilaku (Center for Advanced Studies in the Behavioral Sciences). Di pusat studi itu ia melihat fenomena perdebatan atas perbedaan yang tajam antara ilmuwan-ilmuwan sosial dengan ilmuwan-ilmuwan alam. Katanya,[2]
“Particularly, I was struck by the number and extent of the overt disagreements between social scientists about the nature of legitimate scientific problems and methods. Both history and acquaintance made me doubt that practitioners of the natural sciences possess firmer or more permanent answers to such questions than their colleagues in social science. Yet, somehow, the practice of astronomy, physics, chemistry, or biology normally fails to evoke the controversies over fundamentals that today often seem endemic among, say, psychologists or sociologists. Attempting to discover the source of that difference led me to recognize the role in scientific research of what I have since called “paradigms.” These I take to be universally recognized scientific achievements that for a time provide model problems and solutions to a community of practitioners. Once that piece of my puzzle fell into place, a draft of this essay emerged rapidly.”
Intinya, dari kutipan pernyataan Kuhn di atas bahwa ‘paradigma’ hadir sebagai solusi akademis atas perselisihan antara ilmuwan sosial dan ilmuwan alam mengenai sifat masalah dan metode ilmiah dalam mengurai penelitian. Dengan demikian paradigma yang dimaksud oleh Kuhn ialah berkaitan dengan proses penelitian ilmiah tertentu yang diperuntukkan dalam dunia akademik. Lebih lanjut, Kuhn mengatakan,[3]
“Achievements that share these two characteristics I shall henceforth refer to as ‘paradigms,’ a term that relates closely to ‘normal science.’ By choosing it, I mean to suggest that some accepted examples of actual scientific practice—examples which include law, theory, application, and instrumentation together— provide models from which spring particular coherent traditions of scientific research. These are the traditions which the historian describes under such rubrics as ‘Ptolemaic astronomy’ (or ‘Copernican’), ‘Aristotelian dynamics’ (or ‘Newtonian’), ‘corpuscular optics’ (or ‘wave optics’), and so on. The study of paradigms, including many that are far more specialized than those named illustratively above, is what mainly prepares the student for membership in the particular scientific community with which he will later practice. Because he there joins men who learned the bases of their field from the same concrete models, his subsequent practice will seldom evoke overt disagreement over fundamentals. Men whose research is based on shared paradigms are committed to the same rules and standards for scientific practice. That commitment and the apparent consensus it produces are prerequisites for normal science, i.e., for the genesis and continuation of a particular research tradition.”
Ilmu paradigmatik (paradigmatic science), istilah yang digunakan Ivana Markova, merupakan pandangan filosofis dan kerangka kerja terkait dari beberapa pencapaian ilmiah yang luar biasa yang menentukan kemajuan masa depan di bidang tertentu. Sebagai contoh, sebelum Newton tidak ada satu pun pandangan yang diterima secara umum mengenai sifat cahaya.[4] Seperti contoh yang disampaikan Kuhn misalnya,[5]
“…there were a number of competing schools and sub-schools, most of them espousing one variant or another of Epicurean, Aristotelian, or Platonic theory. One group took light to be particles emanating from material bodies; for another it was a modification of the medium that intervened between tie body and the eye; still another explained light in terms of an interaction of the medium with an emanation from the eye; and there were other combinations and modifications besides.”
Semua aliran menyatakan bahwa teori-teori khusus mereka adalah yang benar dan memiliki kekuatan penjelas terbesar. “Although all of them made contributions to the concepts, methods, and understanding of light, it was not until Newton that a single theory was accepted by the whole scientific community and an actual paradigm became established,” lanjut Ivana.[6]
Heddy Shri Ahimsa-Putra mengungkapkan paradigma dapat didefenisikan sebagai seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis kemudian membentuk suatu kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi.[7] Dalam tulisan lainnya, Heddy menjelaskan bahwa kata “seperangkat” di sini menunjukkan bahwasanya paradigma memiliki sejumlah unsur, yang membentuk suatu kesatuan. Unsur-unsur ini adalah konsep-konsep. Konsep adalah istilah atau kata yang diberi makna tertentu. Karenanya, sebuah paradigma juga merupakan kumpulan makna, kumpulan pengertian.[8]
Dari berbagai macam uraian di atas, maka dapat dipahami sejatinya paradigma ialah sebuah konsep yang memiliki makna tertentu dan diperoleh melalui proses riset ilmiah. Dengan demikian, paradigma tidak dapat dipahami sebagai sebuah pandangan yang tiba-tiba muncul tanpa melalui proses ilmiah atau pengkajian. Karena sebuah paradigma tidaklah lahir dari ruang hampa. Lalu pertanyaan berikutnya, sesuai judul yang tertera dari tulisan ini, dapatkah Islam dijadikan sebagai paradigma? Bagaimana rupa dari paradigma Islam itu?

Islam Sebagai Paradigma
Menjadikan Islam sebagai paradigma sama artinya menerima kenyataan bahwa Islam diposisikan sebagai suatu konsep ilmiah. Hal demikian oleh Kuntowijoyo dikenal dengan istilah ‘pengilmuan Islam.’ Istilah yang digunakannya sebagai ganti dari ‘Islamisasi ilmu’ atau Islamisasi pengetahuan yang dipelopori oleh Isma’il al-Faruqi menjelang tahun 1980-an. Gagasan al-Faruqi mengupayakan agar umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan mengembalikan pada pusatnya yaitu tauhid. Konsep Islamisasi Pengetahuan merumuskan tiga macam kesatuan yang merupakan penjabaran dari tauhid yaitu kesatuan pengetahuan, kesatauan kehidupan dan kesatuan sejarah. Hal ini bagi Kuntowijoyo terlalu reaktif, sehingga ia menggantinya dengan istilah pengilmuan Islam yang diasumsikan lebih proaktif.[9]
Kritik Kuntowijoyo terhadap konsep Islamisasi pengetahuan karena ada persoalan objektifitas pengetahuan yang menurutnya Islam sendiri mengakuinya. Dalam kacamata keilmuan Kuntowijoyo, memang diperlukan Islamisasi pada sebagian pengetahuan dan menyatakan ketidak bergunaan pada sebagian yang lain. Kemudian ia mengeluarkan gagasan baru yang disebutnya pengilmuan Islam sebagai demistifikasi Islam. Karena menurutnya lagi, dengan demistifikasi maka umat akan mengenal lingkungan secara lebih baik,baik lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan simbolis maupun lingkungan sejarah. Dalam langkah selanjutnya Kuntowijoyo mencoba menetapkan paradigma al-Qur’an sebagai rumusan teori.[10]
Sebetulnya, gagasan pengilmuan Islam bukanlah ‘barang baru’ karena al-Qur’an, sebagai kitab suci yang menjadi rujukan utama dalam Islam, bukan saja berbicara tentang surga dan neraka. Juga, tentang penemuan-penemuan ilmiah mutakhir. Mungkin, hal itulah yang membuat Maurice Bucaille sampai pada kesimpulan bahwa Al-Qur’an, “…provides a quality all of its own for those who examine it objectively and in the light of science i.e. its complete agreement with modern scientific data.”[11]
Kuntowijoyo, yang dikenal sebagai pelopor ilmu sosial profetik,[12] mengatakan, “…kita perlu memahami al-Qur’an sebagai paradigma.” Yang dimaksud oleh beliau tentang al-Qur’an sebagai paradigma ialah suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana al-Qur’an memahaminya.[13] Lebih rinci, berikut ini kutipan langsung dari penjelasan Kuntowijoyo tentang al-Qur’an sebagai paradigma itu,[14]
“…Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh al-Qur’an pertama-tama dengan tujuan agar kita memiliki ‘hikmah’ yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif al-Qur’an, baik pada level moral maupun pada level sosial. Akantetapi, konstruksi pengetahuan ini juga memungkinkan kita untuk merumuskan desain besar mengenai sistem Islam, termasuk dalam hal ini sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, di samping memberikan gambaran aksiologis, paradigma al-Qur’an juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis…”
Pemahaman demikian, seperti di atas, menjadikan al-Qur’an sebagai nalar kritis manusia untuk merenungkan peristiwa-peristiwa empiris yang terjadi di dunia. Dalam arti lain, al-Qur’an menjadi pangkal, sumber, yang digunakan untuk melihat dunia secara kritis-ilmiah. Artinya, dalam hal ini wahyu merupakan sumber utama bagi paradigma Islam. Kuntowijoyo sendiri mengungkapkan, “…Pengetahuan wahyu, oleh karena itu menjadi pengetahuan apriori. Wahyu menempati posisi sebagai salah satu pembentuk konstruk mengenai realitas, sebab wahyu diakui sebagai ayat-ayat Tuhan yang memberikan pedoman dalam pikiran dan tindakan seorang muslim. Dalam konteks ini, wahyu lalu menjadi unsur konstitutif di dalam paradigma Islam.”[15]
Paradigma Islam menuntun perpaduan antara pengetahuan (knowledge) dan hikmah (wisdom) yang berdasarkan pada wahyu kemudian digunakan untuk melihat realitas sosial. Pada muaranya terkonfigurasikan dalam tiga energi, yaitu; energi mental, energi emosional dan energi spiritual. Energi mental menyentuh akal sehingga lahir “saya berpikir”. Energi emosional menyentuh perasaan sehingga lahir “saya merasakan”. Dan energi spiritual menyentuh keyakinan sehingga lahir “saya meyakini.” Akhirnya, paradigma Islam yang demikian termanifestasikan dalam tindakan seseorang; baik ia selaku individu atau pun sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat.
Paradigma Islam merupakan paradigma yang reflektif, sebab hanya dengan pendekatan demikianlah (keilmuan yang reflektif) hikmah dapat dituju oleh seseorang. Hikmah itu didapat dari belajar atas fenomena, fakta peristiwa, atau pun sejarah yang terjadi dalam kehidupan di dunia. Kemudian fenomena itu dicarikan persamaan (analogi kasus) dalam catatan al-Qur’an, dicari nilai atas peristiwa yang sama, lalu direnungkan. Di sini, perenungan tidaklah dapat diartikan sebagai kegiatan berdiam diri tetapi merupakan proses dari kegiatan ilmiah atau pengkajian. Setelah melewati proses perenungan, akan tiba pada proses objektifitas dan transformasi nilai dalam tindakan sebagai respon kritis-solutif atas fenomena.
Sebagai permisalan dari pernyataan di atas, seseorang melihat fenomena perilaku koruptif dari pejabat di tempatnya. Pertama, kenali dahulu dengan baik fakta dari peristiwa yang dilihat, seperti dalam kasus ini, apa itu ‘perilaku koruptif’? Lebih kurang dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh seorang yang sedang memegang amanah (jabatan tertentu) untuk mengambil suatu yang bukan merupakan haknya dengan tujuan untuk kepentingan pribadi atau golongannya. Jadi, perilaku koruptif berbeda dengan perilaku pencuri pada umumnya. Ia, perilaku koruptif, dilakukan oleh seorang yang sedang memegang amanah atau jabatan. Yang karena jabatannya itulah seorang tersebut dapat melakukan tindakan mengambil sesuatu yang bukan haknya.
 Selanjutnya, fenomena itu dicari analogi nilainya dalam al-Qur’an. Misal di dalam al-Qur’an, tepatnya surat 3 (Ali Imran) ayat 161, ditemukan gambaran perilaku-perilaku demikian dengan istilah ghulul (pengkhianat). Kemudian lewat proses keilmuan diperhatikan persamaan antar bentuk (dari fenomena dan kententuan normatif ayat) yang menjadi dasar terjadinya bentuk yang lain. Inilah yang disebut sebagai proses objektivitas, peran berbagai macam ilmu, khususnya sejarah turunnya ayat (asbabun nuzul) sangatlah penting. Hasilnya, berupa transformasi nilai atas ayat dan sebagai respon kritis-solutif atas fenomena.
Sebagai wujud transformasi nilai, maka lahirlah apa yang dinamakan dengan tafsir atau teori. Contoh, Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam kitab tafsirnya mengatakan kata ghulul dalam ayat 161 Ali Imran itu bermakna al-akhdz al-khufiyyah yakni mengambil sesuatu dengan sembunyi-sembunyi, semisal mencuri sesuatu.[16] Dari mana kesamaannya dengan perilaku koruptif? Perhatikan asbabun nuzul ayat tersebut. Dalam sebuah riwayat yang banyak disebut oleh para ahli,[17] ayat ini turun manakala dalam suatu perang Muhammad bin Abdullah Rasulullah difitnah karena posisi jabatannya (sebagai pemimpin atau rasul) ia telah mengambil suatu barang yang bukan haknya. Lalu, turunlah ayat ini yang menegaskan, “Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat…”[18] Setelah melewati objektivitas dan sebagai bentuk respon kritis-solutif atas fenomena, muncul pemahaman bahwa korupsi merupakan perbuatan yang terlarang yang sama jahatnya dengan pengkhianatan dan juga pencurian sehingga bagi yang melakukannya dapat dijatuhi hukuman.[19]

Menuju Gerakan Sosial Islam-Transformatif[20]
Masih berkenaan dengan paradigma Islam, paradigma ini bukan sekedar paradigma ilusi intelektual yang diadakan semata-mata untuk kepentingan akademik-kognitif. Tidak, paradigma Islam merupakan paradigma yang menggerakkan untuk merespon fenomena. Akar historisnya berangkat dari perjalanan mi’raj Muhammad bin Abdullah Rasulullah yang dikisah Muhammad Iqbal, sebagaimana dikutip oleh Kuntowijoyo, seandainya Nabi itu seorang mistikus atau sufi tentu beliau tidak ingin kembali ke bumi, karena telah merasa tentram bertemu dengan Tuhan dan berada di sisi-Nya. Namun, Nabi masih memilih ke bumi untuk menggerakkan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah. Beliau memulai suatu transformasi sosial budaya berdasarkan cita-cita profetik.[21]
Sebagai sebuah paradigma yang menggerakkan, karena itu jangan heran apabila dalam sejarah banyak ditemukan gebrakan-gebrakan gerakan Islam yang tampil merespon fenomena pada masanya. Misalnya, di Indonesia, pada tahun 1888 beberapa tokoh masyarakat dan tokoh agama yang dikenal sebagai tarekat (salah satu kelompok sufi) di Banten memimpin pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda. Pemberontakan yang terkenal itu dipicu oleh peraturan perdagangan Belanda dan sistem ekonomi baru yang menindas serta sebagai salah satu respon atas jatuhnya kesultanan Banten pada tahun 1684. Gerakan ini terjadi relatif cepat, tetapi implikasinya jauh jangkauannya. Dampak pemberontakan berpengaruh dalam masyarakat adat maupun pada pemerintah kolonial Belanda.[22] Peristiwa ini lebih detail dibahas secara ilmiah oleh Sartono Kartodirdjo dalam penelitiannya yang berjudul Pemberontakan Petani Banten 1888. Ia, Sartono, mengatakan,[23]
“… Akhir abad ke-19 adalah satu periode revivalisme agama, dan tentu saja menarik untuk menyelidiki sampai sejauh mana hal itu mendorong pemberontakan di Banten yang menjadi pokok studi ini. Kondisi-kondisi yang terdapat dalam lingkungan sosio-kultural di Banten–…–tidak diragukan lagi menyediakan tanah yang subur bagi timbulnya revivalisme agama. Rakyat di sana tidak hanya menjadi penganut agama Islam yang sudah mandarah daging; ambruknya tatanan tradisional dan gejala yang menyertainya–keresahan sosial yang abadi–mendorong peningkatan kegiatan di bidang agama…, proses ini sangat membantu percepatan persiapan pemberontakan. Dalam hubungan ini, perlu dikemukakan bahwa gerakan protes keagamaan adalah produk kekuatan sosial sama yang menunjang sikap memberontak.”
Jika ditelusuri lebih jauh lagi akar historis gerakan pemberontakan berbasis agama, khususnya Islam, hal ini tidak lepas dari peristiwa sejarah yang diterangkan oleh al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an ada begitu banyak ayat yang mengisahkan perlawanan kelompok mustadh’afin (proletar) terhadap mustakbirin (borjuis) yang zolim, jahat. Ambil contoh, kisa Nabi Musa yang memimpin kaum proletar melawan kekuasaan zolim borjuis yang dipimpin Fir’aun.[24]
Menggunakan analogi historis untuk menolak asumsi bahwa paradigma islam bukanlah paradigma ilusi intelektual semata tampaknya masih kurang. Perlu ditekankan lagi pertanyaan mengapa paradigma Islam dapat dijadikan landasan untuk melakukan gerakan sosial Islam-transformatif? Mengapa atas dasar agama orang-orang di Banten pada tahun 1888 tergerakkan untuk melakukan perlawanan melawan Belanda? Dan dalam hal upaya menjawab pertanyaan tersebut, agaknya, tidak ada salahnya menggunakan ulasan Clifford Geerzt berikut yang mengatakan,[25]
“Islam is a religion of ethical prophecy. Muhammad’s break with tradition was sharp and clear, and his message, or the message of God revealed to him, was essentially one of rationalization and simplification. Where there had been many Gods, he preached one; where there had been extensive harems, he preached a four-wife polygamy; where there had been a bottomless self-indulgence, he preached a moderate asceticism, forbidding drinking and gambling. He rejected rich symbolism, simplified ritual, proclaimed the universality of his message, and urged a holy war to spread it among the unbelievers. Although Muhammad saw himself as but a vessel for the word of God, the directions of his religious interests were not transcendental but this-worldly. His reaction to the world of men as he found it was not a radical rejection, a turning away into mysticism with disgust and despair, but a direct attempt at active mastery of it.”
Apa yang dilihat oleh Geerzt terhadap sosok Rasulullah Muhammad bin Abdullah bahwa beliau, Rasulullah, melihat dirinya sendiri sebagai wadah bagi sabda Tuhan, arah minatnya tidaklah semata transendental melainkan terhubung dengan dunia nyata. Reaksinya sebagai Nabi terhadap fenomena sosial yang ditemukannya bukanlah sebuah penolakan yang radikal, bukan sebuah pelarian ke arah mistisisme dengan kejijikan dan keputusasaan, tetapi merupakan sebuah percobaan langsung untuk meresponnya secara aktif. Kemudian, Geerzt mengutip sebuah pendapat dari seorang sejarawan, H. A. R. Gibb yang mengatakan, “From the beginning of his career as a preacher, his outlook and his judgment of persons and events were dominated by his conceptions of God’s government and purposes in the world of men.”[26]

Akhiran
Sebagai pengakhir dari tulisan ini beberapa poin yang perlu ditekankan kembali; Pertama, mengamini Islam sebagai paradigma itu sama artinya menerima Islam dalam posisinya sebagai ilmu. Bahkan, lebih jauh, Islam menjadi dasar (basic) bagi ilmu itu sendiri. Sementara, mengutip dari Artidjo Alkostar, ilmu berisi kebenaran yang diyakini kesahihannya melalui penalaran yang tepat. Sedangkan nalar merupakan akal budi yang penuh pertimbangan. Nalar merupakan kontinum kaidah moralitas, kesusilaan, etika, dan akhlak yang secara berkelanjutan menjadi pedoman dan menjaga keseimbangan yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Suatu kebenaran ilmiah harus sanggup diverifikasi dan difalsifikasi agar memperoleh legitimasi keilmiahannya. [27] Untuk itu, paradigma Islam harus didudukkan pada habitatnya yang asasi yaitu yang ada dalam ranah keilmuan, bukan pada pengukuhan dogma atau aliran.
Kedua, paradigma Islam tidak sebatas berakhir pada objektifitas pengetahuan kognitif semata. Akantetapi, ia menggerakkan orang untuk merespon fenomena kehidupan. Respon itu berupa perubahan dari yang semulanya tidak baik menjadi baik, singkatnya begitu. Dalam arti lain, paradigma Islam pada seorang haruslah termanifestasikan dalam tindakan dan prilakunya; baik sebagai individu atau pun bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Paradigma Islam itu didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi (humanization/emancipation), liberasi/pembebasan (liberation), dan transendensi (transcendence).[28] Dengan nilai-nilai tersebut suatu gerakan diarahkan untuk rekayasa menuju cita-cita sosio-etik di masa depan. Tujuan humanisasi adalah untuk memanusiakan manusia. Tujuan liberasi adalah untuk pembebasan dari kekejaman kemiskinan struktural, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Tujuan transendensi adalah untuk menambah dimensi transendental dalam kebudayaan.[29]




0 comments