Polemik Kartu Pra-Kerja di Tengah Pandemi: Sebuah Catatan Diskusi 2 Karangkajens 1440


sumber gambar: "child labour" dari Simranjit Singh


Oleh: Karangkajens 1440
"...yang mewabah bukan cuma virus coronanya, tapi juga gelombang PHK."
Diskusi kedua Karangkajens 1440 yang diadakan pada hari Minggu tanggal 26 April 2020 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 3 Ramadhan 1441 Hijriah menghasilan catatan sebagaimana akan diurai di bawah.
Pada tahun 2019, para ekonom nasional atau pun dari luar negeri telah mengingatkan akan adanya gelombang resesi perekonomian global, di mana Indonesia menjadi salah satu negara yang mustahil akan terbebas dari hal tersebut. Resesi adalah penurunan pertumbuhan ekonomi secara berturut-turut, misal dari 5% turun terus ke 4% dan seterusnya. Hal ini tidak baik untuk perekonomian. Resesi ini kalau parah bisa masuk ke tahap depresi. Puncaknya akan membawa pada kematian yang tidak sedikit.
Di Indonesia sendiri, aroma akan segera memasuki masa resesi telah tercium semenjak tahun 2019 lalu, dengan beberapa indikator berikut:
1.   Stagnasi pertumbuhan ekonomi di angka sekitar 5%;
2.   Peningkatan konsumsi juga bertahan di kisaran 5%;
3.   Neraca perdagangan mengalami defisit ke arah kondisi yang parah; dan
4.   Tren realisasi investasi tidak meningkat.
Ditambah dengan datangnya fenomena pandemi corona, yang menyebabkan terjadinya pembatasan dalam skala besar-besaran. Hal ini semakin mendorong gelombang resesi terjadi lebih awal dan cepat. Karena prinsip ekonomi itu jika semakin dibatasi aktivitasnya, maka ia akan semakin mandek atau bahkan kolaps. Ketika kemandekan itu terjadi, investasi jadi tertahan pula. Investasi ini tertahan karena menurunnya permintaan, bayangkan saja siapa yang mau membeli mobil atau sepeda motor di tengah pandemi ini? tentu tidak ada karena lebih baik membeli beras, sagu, kentang, jagung dan kebutuhan subsisten lainnya.
 Tindakan apa yang akan dilakukan investor dalam melalui fase-fase yang tidak baik ini? Mereka akan memilih untuk menahan investasinya. Anggaran belanja akan disimpan sebagai cadangan untuk memenuhi kebutuhan semasa melewati fase krisis. Sehingga mau tidak mau mereka juga akan merumahkan para pekerjanya. Merumahkan ini bukan dalam arti work from home tetapi di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April 2020 mencatat ada sekitar 116.370 perusahan baik sektor formal atau informal yang terdampak Covid-19, di mana sekitar 2.084.593 pekerja mengalami PHK. (money.kompas.com, 23/04/2020). Ekonom dari Komite Nasional Keuangan Syariah, Muhibbuddin Ahmad Al-Muqorrobin, yang juga salah satu pemantik pada sesi diskusi ini menegaskan bahwa yang mewabah bukan cuma virus coronanya, tapi juga gelombang PHK.
Dalam situasi resesi ini yang menyebabkan berkurangnya aktivitas perekonomian dan hilangnya lapangan pekerjaan, maka kita bisa melihat sesungguhnya mendorong agar dilaksakannya program kartu Pra-Kerja dengan format yang diadakan saat ini tidaklah memiliki relevansi. Materi yang ada dalam kartu Pra-Kerja tidak menjawab persoalan inti dari resesi ekonomi plus wabah pandemi yang sedang terjadi. Siapa yang akan menampung jutaan pekerja yang di-PHK? Belum lagi pengangguran lainnya, tidak ada yang bisa menjamin. Karena itu, akan lebih baik jika anggaran kartu Pra-Kerja yang menembus angka 20 trilliun rupiah, dari yang awalnya dianggarkan sekitar 10 trilliun rupiah, diarahkan untuk menyediakan lapangan pekerjaan.
Sementara, dari aspek kebijakan, pengadaan program kartu Pra-Kerja ini jauh dari nilai-nilai transparan. Semenjak awal publik tidak dijelaskan adanya proses pengadaan barang dan jasa dalam pengadaan mitra kartu Pra-Kerja, yang semestinya tunduk pada peraturan teknis pelelangan yang diadakan pemerintah. Selain itu, peraturan teknis mengenai kartu Pra-Kerja juga masih belum jelas dan tegas. Misal, tidak ada sanksi yang jelas mengenai apabila uang yang diberikan pemerintah sekitar 600.000 rupiah per bulan tidak digunakan untuk pelatihan sebagaimana ditentukan oleh pemerintah dalam program tersebut. Sebetulnya, kita bisa melihat bahwa kebijakan kartu Pra-Kerja hanya menguntungkan perusahaan digital yang menjadi mitra dari program itu saja. Negara, dalam hal ini pemerintah, tak ubahnya sebatas menjadi marketing bagi para pengusaha platform digital.
Zuhad Aji Firmantoro, akademisi hukum tata negara yang juga menjadi pemantik pada sesi diskusi ini, mengatakan bukan tidak mungkin jika Indonesia akan mengalami krisi ketiga dalam waktu bersamaan. Sekarang ini kita sedang diterpa oleh krisis ekonomi dan krisis kesehatan, demikian Bang Aji. Jika pemerintah tidak membuat kebijakan yang baik yang mampu menjawab kebutuhan dan keresahan masyarakat saat ini, maka kita juga akan mengalami krisis politik.
Ketika krisis politik terjadi, potensi keos dalam skala besar sukar untuk dihindarkan. Bang Aji menggambarkan bagaimana masyarakat di Amerika merespon fenomena Covid-19 ini dengan membeli bukan hanya kebutuhan pokok tetapi juga memborong senjata api. Dalam situasi keos, semua teori tidak akan pernah kita pikirkan lagi, sebab setiap orang memikirkan perutnya masing-masing.
Dua hal yang akan mempercepat terjadinya krisis politik, pertama, komunikasi politik antara institusi pemerintah yang tidak berjalan dengan baik, amburadul, dan tidak lagi dijalankan atas dasar saling percaya. Dan kedua, berkurangnnya kemampuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang dicerminkan, misalnya, dengan keluarnya kebijakan dan pernyataan-pernyataan yang memperburuk krisis. Dua hal ini akan memicu munculnya krisis politik. Dalam krisis politik ini tidak akan ada lagi hukum yang berlaku, pertikaian secara horizontal dan bahkan vertikal akan terjadi. Na’udzubillah, kita harus menghindari ini jangan sampai terjadi.
Dari diskusi tersebut di atas, maka saran yang dapat diberikan di antaranya sebagai berikut:
Bagi pemerintah:
1.   Menunda berlakunya program kartu Pra-Kerja dan pembahasan kebijakan-kebijakan yang tidak urgen lainnya dalam menangani krisis yang sedang terjadi;
2.   Mengkaji kembali materi hingga teknis pelaksanaan program kartu Pra-Kerja; dan
3.   Mengadakan kebijakan yang riil dan efisien bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dalam menghadapi krisis.

Bagi masyarakat:
1.   Kalau pun ada dan bisa, gunakanlah bantuan yang diberi pemerintah; baik pusat atau daerah untuk memenuhi kebutuhan dasar;
2.   Memberdayakan pertanian subsisten;
3.   Membuka dapur umum di tiap-tiap RT (Rukun Tangga) atau RW (Rukun Warga) atau Dusun/Dukuh untuk memenuhi kebutuhan dasar bersama yang dalam pelaksanaannya tetap mengutamakan standar interaksi dan aktivitas di masa Covid-19;
4.   Saling gotong-royong;
5.   Jangan berbuat kerusuhan atau keonaran; dan
6.   Tingkatkan keaman di tingkat RT/RW/Dusun/Dukuh masing-masing dari kejahatan yang tak terduga.

0 comments