SUARA AGRARIA RIAU: MASYARAKAT ADAT, NEGARA DAN PEMBURU RENTE

 

Salah satu Kegiatan Masyarakat Hukum Adat Suku Talang Mamak di Riau


MHD Zakiul Fikri

"...mereka hidup marjinal di garis batas HGU yang dikelola berbagai perusahaan... Mengais sisa-sisa sumber daya agraria dari bekas olahan perusahaan untuk dapat bertahan hidup."

Di Indonesia, khususnya Riau, sumber daya agraria Masyarakat Hukum Adat (MHA) seringkali dalam prakteknya dilabeli sebagai sesuatu yang “terlantar” ataupun “tanpa tuan” karena dianggap tidak memiliki bukti formiil untuk mengklaim hak atas sumber daya agraria itu, sehingga negara dengan leluasa menyebutnya sebagai “milik negara”. Hal ini dapat dilihat, meski bukan suatu kesimpulan, terjadi karena inferioriti (baca: lemah) posisi MHA dalam politik hukum agraria Indonesia dan watak neo-domain verklaring para pelaksana birokrasi agraria di Indonesia.

Pengakuan dan perlindungan terhadap MHA yang lemah menurut Maria S.W. Sumardjono (2001:45) memang merupakan sesuatu mendasar dalam persoalan pertanahan di Indonesia. Wujud pengakuan dan perlindungan yang lemah tersebut terjadi manakala MHA hendak mengusahakan  ulayat adatnya sendiri. Sering kali dalam proses pengusahaan dan pengelolaan ulayat oleh MHA diwarnai berbagai persoalan. Persoalan yang bermuara pada terjadinya konflik atau sengketa agraria.

Jika mengacu pendapat yang dikemukakan Sukirno (2018:3-5), maka setidaknya ada dua bentuk konflik dan sengketa hak ulayat atas tanah yang jamaknya terjadi, yaitu; 1) konflik vertikal antara MHA dengan negara dan/atau investor, dan 2) konflik horizontal antara MHA satu dengan MHA yang lainnya.

Dalam konteks Riau, inferioriti MHA dalam politik hukum agraria begitu tampak terang. Meski hamparan agraria di daratan Riau telah lama dihuni, dikelola dan diusahakan oleh berbagai MHA dari ujung barat ke timur dan utara ke selatan, mulai; yang tergabung dalam Kedatuan Andika Nan 44, Sakai, Talang Mamak, dan sebagainya. Namun, lebih dari 5,1 juta hektar dari keseluruhan luas daratan Riau yang mencapai sekitar 8,7 juta hektar saat ini berstatus HGU milik perusahaan-perusahaan tertentu (MHD Zakiul Fikri, goresanintelektual.com, 04 Desember 2019).

Sementara bagaimana realitas kehidupan yang dialami MHA? tidak sedikit dari mereka hidup marjinal di garis batas HGU yang dikelola berbagai perusahaan tersebut. Mengais sisa-sisa sumber daya agraria dari bekas olahan perusahaan untuk dapat bertahan hidup. Baik itu sumber daya agraria berupa tanah, hutan, ataupun berbagai jenis pertambangan. Itupun Pasal Pidana dari undang-undang yang dibuat negara terus menghantui mereka dengan dalil "pengrusakan", "penyerobotan" dan bahkan "pencurian". 

Ada pula yang ikut menanam jenis tanaman monokultur yang dimotori perusahaan. Tapi nilai produksi dan jual dari hasil panen tanaman tetap ditentukan oleh perusahaan. Kalau MHA menyuarakan jeritan kesusahannya karena hisapan harga perusahaan, perusahaan memblokade jalur produksi dan jual-beli hasil panen sehingga panenan MHA tidak dapat dijual. Ataupun dijual, mestilah ke tempat yang jauh dan memakan biaya operasional besar. Itulah hebatnya perusahaan-perusahaan tersebut, penguasa HGU di atas tanah 'bekas' ulayat mereka yang sejak semula datang sebagai tamu 'kurang ajar'.

Apakah MHA diam saja? Tidak, mereka melakukan bermacam perlawanan sebisanya terhadap penguasaan HGU yang jamaknya tidak mengindahkan peran, posisi, dan keberadaan mereka. Biaya perlawanan tersebut kalau "diseriuskan" terlalu mahal, bahkan sering kali dijadikan ladang bisnis di atas derita kemarjinalan mereka oleh seonggok oknum advokad, pejabat (baik desa/kampung, daerah ataupun pusat) dan penegak hukum brengsek, sebab itu kebanyakan mereka hanya bisa melawan "sebisanya." Demonstrasi, blokade dan aksi pemogokan adalah bentuk perlawanan sekaligus nyanyian sunyi dari jeritan penderitaan mereka. Itupun, lagi-lagi, aksi demikian rentan terjerat pasal pidana oleh undang-undang negara. Hingga MHA yang melakukan aksi-aksi protes dan kritik tersebut ditangkap, diadili, meski keadilan sulit sekali berpihak kepada mereka secara substantif di peradilan.

Lebih dari itu, nama-nama atau lembaga-lembaga MHA seringkali dipolitisasi oleh kelompok tertentu untuk mencaplok bagian dari HGU perusahaan di Riau. Alih-alih membela hak MHA dalam mengusahakan sumber daya agrarianya sendiri, mereka justru menjadi rente untuk mengisi saku pribadi. Sehingga MHA yang telah hidup marjinal itu semakin termarjinal oleh orang-orang berwujud demikian, baik di muka pahit di hati,” niat tak sejalan dengan ucapan.

Teranyar, perburuan rente terhadap pengusahaan salah satu sumber daya agraria berupa tambang minyak dan gas bumi di Riau juga melibatkan nama-nama atau lembaga MHA. Media lokal Riau pos tertanggal 23 Februari 2021 memuat berita di salah satu halamannya yang mana muncul suatu kelompok mengatas namakan Badan Usaha Milik Adat (BUMA), yang ikut menyalonkan” diri dalam perburuan “kue” blok rokan sisa pemakaian PT. Chevron Pacific Indonesia yang bakal habis kontraknya pada Agustus 2021 ini. Kita tidak tahu, apa niat orisinil dari para kelompok yang mengatas namakan “adat” ini. Adat mana yang mereka maksud? Siapa kelompok MHA yang dimaksud? Apa dasar mereka menggunakan istilah adat tersebut? Entah, itu hanya kelompok tersebut dan Tuhannya yang tahu.

0 comments