Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

ilustrasi gambar: google.com
Dengan adanya rumusan ketentuan mulai dari artikel tentang “Rights Entitlement” dan artikel-artikel tentang “Rights of Nature” tersebut, dapat dikatakan bahwa UUD Ekuador inilah yang merupakan konstitusi pertama di dunia yang benar-benar hijau
Buku karya Prof. Jimly Asshiddiqie mencoba membuka wacana baru mengenai pemahaman konstitusi di Indonesia. Jika selama ini manusia Indonesia ditidurkan oleh pemahaman antroposentris dalam dunia konstitusi. Kini, hadirnya buku Green Constitution ini mencoba membangunkan manusia Indonesia dari tidur nyenyak paham antroprosentrisnya. Buku ini mengajak manusia Indonesia, khususnya pemerhati dan pecinta ilmu hukum, untuk mulai menggeser paradigma constitution for men ke constitution for environment.

BAB I WACANA KONSTITUSI HIJAU
Wacana dan peristilahan “green constitution” tidak dapat disangkal memang merupakan fenomena baru, baik dalam dunia praktik maupun akademis, termasuk juga di kalangan para ahli hukum dan konstitusi. Namun, bagi mereka yang aktif bergaul dengan perkembangan pemikiran hukum dan praktik-praktik kenegaraan di dunia kontemporer tentu tidak asing dengan istilah baru tersebut.[1]
Selain berkutat dan mempelajari hukum-hukum yang sudah ada, isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan dampaknya kepada pemikiran hukum kontemporer juga harus diikuti dengan seksama. Hal ini penting karena Indonesia termasuk kawasan yang paling potensial menderita dan menjadi korban apabila terjadi pencemaran, kerusakan ekologi, dan terganggunya keseimbangan alam di dunia. Karena itu, sarjana hukum Indonesia tidak boleh berpangku tangan, melainkan harus terlibat aktif di bidang pemikiran dan perumusan kebijakan negara di bidang ini.[2]
Sebagai istilah, green constitution sendiri bukanlah sesuatu yang aneh. Sejak tahun 1970-an, istilah tersebut sudah sering dipakai untuk menggambarkan keterkaitan sesuatu dengan ide perlindungan lingkungan hidup.[3]
Penuangan kebijakan lingkungan (green policy) ke dalam produk perundang-undangan biasa diterjemahkan dalam bahasan Inggris dengan green legislation. Karena itu, jika norma hukum tersebut diadopsikan ke dalam teks undang-undang dasar, maka hal itu disebut green constitution.[4]
Dalam kuliah-kuliah untuk tingkat S3, penulis juga sering melontarkan gagasan mengenai pentingnya konstitusi hijau, kedaulatan lingkungan, dan bahkan konsepsi demokrasi model baru yang diistilahkan sebagai ekokrasi (ecocracy). Istilah ecocracy ini dapat dipakai untuk melengkapi khazanah pengertian yang tercermin dalam istilah-istilah democracy, nomocracy, dan theocracy yang sudah dikenal selama ini.[5] Istilah ini mulai dilontarkan dalam pelbagai forum dan media massa berkenaan dengan isu lingkungan hidup sejak akhir 1990-an.[6]

BAB II KONSTITUSI HIJAU DI PELBAGAI NEGARA
A.           Konstitusi Pelbagai Negara
Sebagai akibat semakin luas dan meningkatnya kesadaran mengenai pentignya lingkungan hidup di dunia, dewasa ini sudah mulai ada negara yang menuangkan ketentuan-ketentuan pokok mengenai lingkungan hidup dalam rumusan undang-undang dasar, dengan mengaitkannya dengan pengertian hak asasi manusia. Meskipun demikian, pola dan mekanisme pelaksanaan ide perlindungan lingkungan itu sangat bervariasi dari satu negara ke negara yang lain.[7]
Ada empat kelompok negara yang mencantumkan ketentuan perlindungan lingkungan dalam konstitusi. Pertama, konstitusi yang memuat ketentuan spesifik mengenai perlindungan lingkungan hidup. Kedua, konstitusi yang mengintegrasikan ketentuan mengenai lingkungan hidup dalam ketentuan mengenai hak asasi manusia. Ketiga, konstitusi yang hanya mengatur lingkungan hidup secara implisit atau menentukan jaminan hak-hak asasi tertentu dapat dipakai untuk kepentingan perlindungan lingkungan hidup dalam praktik. Keempat, kelompok konstitusi yang mengaitkan garis-garis besar kebijakan lingkungan tertentu dengan tugas atau tanggung jawab lembaga negara tertentu untuk melestarikan lingkungan hidup dan mengatasi kerusakan alam.[8]
Pola perumusan ketentuan lingkungan hidup dalam konstitusi di seluruh dunia memang sangat beraneka ragam variasinya. Semakin bersifat umum dan abstrak perumusannya dan semakin luas jangkauan ruang penafsirannya lebih lanjut oleh lembaga legislatif, maka semakin kurang efektif daya laku norma lingkungan hidup tersebut dalam praktik. Adapun semakin spesifik perumusannya dalam konstitusi, maka semakin mudah dan terjamin efektivitasnya dalam praktik. Sekali norma lingkungan sudah dikontitusionalisasikan secara spesifik dan jelas, norma tersebut dapat dijadikan instrumen yang memaksa untuk diterapkannya kebijakan perlindungan lingkungan hidup secara sungguh-sungguh dalam praktik.[9]
B.            Konstitusi Portugal
Portugal memiliki undang-undang dasar baru sejak disahkan pada 2 April 1976 oleh lembaga perwakilan rakyat, undang-undang dasar ini kemudian dikenal dengan Konstitusi 1976.[10] Konstitusi ini telah menentukan adanya kewajiban negara untuk melindungi lingkungan hidup dan ada pula hak-hak warga negara akan lingkungan dan kualitas hidup.[11] Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Konstitusi Portugal 1976 inilah yang merupakan konstitusi hijau (green constitution) pertama di dunia yang menuangkan ketentuan hukum lingkungan dalam teks undang-undang dasar.[12]
C.           Konstitusi Spanyol
Dalam Konstitusi Spanyol 1978 diatur pasal-pasal tentang hak asasi manusia dan hak dasar warga negara. Konstitusi ini, merupakan satu dari sedikit konstitusi di dunia yang mengatur tentang “social rights”. Dalam konstitusi ini, negara Spanyol sendiri pun didefenisikan sebagai “a social and democratic state, subject to the rule of law”, yaitu suatu rumusan tentang social state yang tidak lazim ditemukan dalam konstitusi negara-negara barat modern.[13]
Dalam Konstitusi Spanyol 1978 juga diatur ketentuan mengenai lingkungan hidup yang belum banyak dikonstitusionalisasikan sampai awal tahun 1980-an, dimuat dalam Artikel 45. Ketentuan mengenai lingkungan hidup ini diatur dalam Section 45 Chapter III tentang “Principles Governing Economic and Social Policy”.[14]
D.           Konstitusi Polandia
Polandia memiliki Konstitusi hijau yang dikenal dengan Konstitusi 1997. Konstitsi ini disahakan oleh National Assembly pada 2 April 1997, disetujui oleh rakyat melalui referendum nasional pada 25 Mei 1997, dan diberlakukan mulai 17 Oktober 1997. Sejak itu Polandia mengalami transformasi yang sangat fundamental menuju demokrasi politik yang penuh.[15]
Polandia, dapat dipandang, merupakan negara pertama di Eropa Timur yang memelopori gagasan untuk menuangkan norma hukum yang pro-lingkungan ke dalam rumusan konstitusi. Konstitusi 1997 secara eksplisit mencantumkan ketentuan mengenai lingkungan hidup dalam Bab I, Artikel 5.[16] Hal yang menarik adalah bahwa konsep pembangunan alam (natural environment) dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) ditempatkan perumusannya dalam konteks perlindungan wilayah negara, serta jaminan kebebasan dan jaminan keamanan bagi warga negara dan penduduk. Artinya, persoalan lingkungan hidup dipandang demikian seriusnya sehingga tempat perumusannya ada di Artikel 5 Chapter I. Bandingkan dengan UUD 1945 yang mengatur hal-hal yang sungguh-sungguh sangat fundamental dalam Bab I, Pasal 1 yang berisi 3 ayat, yaitu mengenai bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum.[17]
E.            Konstitusi Prancis
Salah satu perubahan yang paling mendasar terhadap isi Konstitusi 1958 adalah perubahan yang terjadi pada 2006, yait keika pembukaannya diubah dengan menambahkan “Piagam Lingkungan” yang disejajarkan dengan Declaration of Rights of Man anf of Citizens tahun 1798. Dengan diadopsinya “Piagam Lingkungan” itu ke dalam Pembukaan UUD, maka dapat dikatakan telah terjadi revolusi besar dalam sejarah ketatanegaraan Prancis, yaitu konstitusinya berubah menjadi ‘hijau’ (green constitution).[18]
Piagam lingkungan tersebut kemudian dikenal dengan Environment Charter of 2004.[19] Tujuan piagam tersebut tidak lain ialah: (i) untuk mengukuhkan prinsip-prinsip yang sudah diterima sebagai bagian dari hukum yang mengikat (to establish principles that are already part of the law), dan (ii) untuk mencakupkan prinsip-prinsip yang berlaku umum dalam hukum internasional ke dalam hukum nasional (to include new principles that are present in international law).[20]
Republik Prancis telah berkembang menjadi salah satu negara yang dapat dijadikan contoh mengenai tekad, komitmen, dan kesungguhan untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan hidup dan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan resmi, preambul Konstitusi Prancis yang memuat Piagam Lingkungan tersebut menjadi salah satu konstitusi paling hijau di dunia dewasa ini. Kesadaran akan lingkungan tidak hanya dirumuskan sebagai norma dalam pasal-pasal, melainkan sebagai roh dalam Preambul Undang-Undang Dasar.[21]
F.            Konstitusi Hijau Ekuador
Konstitusi Hijau paling baru adalah Konstitusi Ekuador yang disahkan oleh Constitutional Assembly pada 10 April 2008 dan mulai berlaku sesudah mendapat persetujuan rakyat melalui referendum. Dapat dikatakan, konstitusi inilah yang pertama kali menegaskan adanya hak alam sebagai subjek dalam kehidupan manusia dalam wadah negara konstitusional. Dalam Title II tentang “Fundamental Rights”, “Article og Rights Entitlement”, ditegaskan bahwa, “Person and people have the fundamental rights guaranteed in this Constitution and in the International human rights instruments. Nature is subject to those rights given by this Constitution and Law”.[22] Lebih lanjut, lihat dalam “Chapter of Rights of Nature”, Artikel 1, 3, 4, dan 5.
Dengan adanya rumusan ketentuan mulai dari artikel tentang “Rights Entitlement” dan artikel-artikel tentang “Rights of Nature” tersebut, dapat dikatakan bahwa UUD Ekuador inilah yang merupakan konstitusi pertama di dunia yang benar-benar hijau.[23]

BAB III UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
A.           UUD 1945 Pasca Reformasi
1.             Konstitusionalisasi Kebijakan Ekonomi dan Lingkungan
Ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 yang sebelumnya hanya berisi empat butir ketentuan dengan rumusan yang samar-samar dan bersifat ‘multi-interpretasi’. Sekarang sejak Perubahan Keempat pada 2002, Pasal 33 itu dilengkapi menjadi terdiri atas 5 ayat, dan Pasal 34 menjadi terdiri atas 4 ayat, sehingga seluruhnya menjadi 9 butir ketentuan.[24]
Kesembilan norma konstitusi tersebut ditambah lagi dengan ketentuan yang terkait dengan hak asasi manusia Pasal 28H ayat (1) menjadi sepuluh norma dasar yang menyebabkan UUD 1945 benar-benar harus dipandang sebagai konstitusi perekonomian, di samping konstitusi politik. Karena itu, UUD 1945 dewasa ini telah makin tegas mempermaklumkan diri sebagai konstitusi ekonomi (economic constitution, the constitution of economic policy), di samping sebgai konstitusi politik (political constitution).[25]
Terlepas dari adanya pendelegasian kewenangan dari rakyat yang berdaulat kepada para delegasi rakyat, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun judikatif, makna kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi menurut sistem demokrasi politik dan demokrasi ekonomi tidak dapat dikurangi dengan dalih kewenangan rakyat sudah diserahkan kepada para pejabat. Dalam konteks bernegara, kedaulatan rakyat bersifat ‘relatif mutlak’. Meskipun harus diberi makna yang terbatas sebagai perwujudan ke-Maha-Kuasaan Allah SWT. Sebagaimana diakui dalam Alinea Ketiga Pembukaan UUD 1945. Sebagai konsekuensi tauhid, yaitu keimangan bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka setiap manusia Indonesia dipahami sebagai Khalifah Tuhan di atas muka bimu yang diberi kekuasaan untuk mengolah dan mengelola alam kehidupan untuk sebesar-besarnya kemakmuran bersama berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efifiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.[26]
Memang berkembang kelompok pendapat yang berusaha menafsirkan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 menurut alur pikirannya sendiri, seolah-olah adanya Pasal 33 itu tidak mempunyai makna sama sekali. Pasal 33 ditafsirkan seolah tidak menolak ekonomi pasar liberal asal tujuan akhirnya untuk sebesar-besar kemakmuran. Pengertian demian itu tentu sama saja jika Pasal 33 itu dihapuskan sama sekali dari rumusan UUD 1945.[27]
Dengan menempatkannya sebagai norma-norma konstitusi, maka ketentuan-ketentuan konstitusional perekonomian itu mempunyai kedudukan yang dapat memaksa untuk dipakai sebagai standar rujukan dalam semua kebijakan ekonomi.[28] Dengan perkataan lain, ekonomi memperhitungkan, politik memutuskan, tetapi hukumlah yang akhirnya menentukan. Jangan biarkan ekonomi memutuskan segala sesuatu dengan logikanya sendiri. Politik juga tidak boleh dibiarkan memutuskan nasib seluruh anak negeri hanya dengan logikanya sendiri. Inilah hakikat makna bahwa negara kita adalah negara demokrasi konstitusional, negara hukum, Rechtsstaat, The Rule of Law, not of Man.[29]
2.             Tentang Lingkungan Hidup
Ketentuan mengenai lingkungan hidup dirumuskan dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 jelas menentukan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pelayanan kesehatan yang baik, merupakan hak asasi manusia. Karena itu, UUD 1945 jelas sangat pro-lingkungan hidup, sehingga dapat disebut sebagai konstitusi hijau (green constitution).[30]
Dengan ketentuan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tersebut, berarti norma lingkungan hidup telah mengalami konstitusionalisasi menjadi materi muatan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Dengan demikian, segala kebijakan dan tindakan pemerintahan dan pembangunan haruslah tunduk kepada ketentuan mengenai hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tidak boleh ada lagi kebijakan yang tertuang dalam bentuk undang-undang yang bertentangan dengan ketentuan konstitusional yang pro-lingkungan ini.[31]
Ada dua konsep yang berkaitan dengan ide tentang ekosistem, yaitu bahwa perekonomian nasional berdasarkan atas demokrasi ekonomi dimaksud haruslah mengandung prinsip: (i) berkelanjutan, dan (ii) berwawasan lingkungan.
Dengan sendirinya keseluruhan ekosistem seperti yang dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) sebagaimana ditafsirkan secara ekstensif dan kreatif oleh pelbagai undang-undang di bidang lingkungan hidup, haruslah dikelola untuk kepentingan pembangunan berdasarkan prinsip-prinsip berkelanjutan (sustainable development) dan wawasan lingkungan (pro-environment) sebagaimana ditentukan oleh Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.[32]
Untuk memahami lebih lanjut apa yang dimaksud oleh Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan prinsip berwawasan lingkungan, perlu diikuti pula perkembangan-perkembangan yang terkait dengan kedua prinsip itu. Namun, sebelum menguraikan hal itu, penting pula diuraikan di sini mengenai perkembangan konsep-konsep kekuasaan negara sebagai implikasi perubahan mendasar dalam pola-pola perumusan konstitusi.[33]

B.            Prinsip Kedaulatan dalam UUD 1945
1.             Perkembangan Konsep Kedaulatan
Sejarah pengetian umat manusia tentang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan telah mencakup lima konsepsi, yaitu:[34]
1)   Ajaran Kedaulatan Tuhan;
2)   Ajaran Kedaulatan Raja;
3)   Ajaran Kedaulatan Hukum;
4)   Ajaran Kedaulatan Rakyat; dan
5)   Ajaran Kedaulatan Negara.
Konsep kedaulatan negara hanya relevan untuk dibicarakan dalam konteks hukum internasional dan dalam konteks hubungan eksternal antarnegara berdaulat.[35] Hal yang paling penting adalah empat konsep yang ada sebelumnya.
Pendapat paling klasik tentang ini adalah teori Kedaulatan Tuhan. Tuhanlah yang dianggap segala-galanya. Tuhan yang merupakan sumber kekuasaan yang sebenarnya. Inilah yang dikenal sebagai ajaran teokrasi (theocracy). Menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana cara Tuhan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi itu mewujud dalam praktik kegiatan bernegara. Dalam praktik, paham teokrasi klasik yang demikian itu dianggap tercermin dalam diri Raja atau Ratu beserta keluarga-keluarganya. Apa saja yang dikatakan dan perintahkan oleh Raja dipandang sebagai perkataan dan perintah Tuhan. Akibatnya, timbullah kezaliman.[36]
 Karena itu, dapat dikatan bahwa ajaran Kedaulatan Tuhan itu berhimpitan dengan teori Kedaulatan Raja berpendirian Rajalah yang merupakan puncak dari segala sistem kekuasaan negara. Konsep selanjutnya ialah konsep Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum. Dalam konsep kedaulatan rakyat, subjek yang dianggap paling menentukan kekuasaan negara adalah manusia, orang per orang rakyat, kekuasaan negara dipandang bersumber dari rakyat, dilakukan sendiri oleh rakyat, dan dijalankan untuk kepentingan rakyat. Adapaun konsep kedaulatan hukum adalah kedaulatan rakyat yang menganggap kekuasaan tertinggi tercermin dalam hukum, bukan dalam pribadi orang. Dalam pandangan klasik, pengertian tersebut disebut nomokrasi.[37]
2.             Kedaulatan Tuhan
Dalam konstitusi, Tuhan disebut sebanyak empat kali. Pertama dalam pembukaan (preambul), pada rumusan alinea ketiga. Kedua, dalam rumusan alinea keempat pembukaan yang dikenal sebagai rumusan sila pertama Pancasila. Ketiga, dalam rumusan bunyi sumpah jabatan presiden/wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UUD 1945. Keempat, dalam rumusan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945.[38]
Kita harus menjelaskan perbedaan antara dua konsep, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan Ketuhanan Yang Maha Kuasa.[39] Konsep pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa” seperti dalam rumusan sila pertama Pancasila dan rumusan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, menggambarkan pengakuan segenap bangsa Indonesia bahwa Tuhan itu Maha Esa. Tuhan itu adalah Dzat yang unik, tidak ada duanya, dan tidak ada bandingannya. Seperti dalam ajaran Tauhid agama Islam, Tuhan itu “laisa kamislihi syai-un”, tidak ada bandingan atau yang dapat dipersamakan dengan-Nya. Oleh karena itu, pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak terkait dengan konsepsi tentang kekuasaan ataupun sama sekali tidak dilihat dalam konteks pengertian kekuasaan.[40]
Sebaliknya, yang kedua, yaitu “Ketuhan Yang Maha Kuasa” dalam Alinea Ketiga Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, jelas terkait dengan persoalan kekuasaan. Alinea III Pembukaan UUD 1945 menyatakan, “Atas berkat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Artinya, sebelum membebaskan diri dan menyatakan diri merdeka serta merebut kekuasaan dari tangan penjajah, rakyat Indoensia lebih dulu mengakui bahwa pernyataan kemerdekaan tersebut dilakukan: (i) atas berkat Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, dan (ii) dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan bangsa yang bebas.  Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam paradigma berpikir bangsa Indonesia yang tercermin dalam UUD 1945 diakui adanya Kedaulatan Tuhan, The Sovereignty of God dalam sistem kekuasaan negara.[41]
Dalam paradigma pikiran UUD 1945, paham Kedaulatan Tuhan tidak dijelmakan ke dalam doktrin Kedaulatan Negara. Paham Kedaulatan Tuhan dalam UUD 1945 justru diwujudkan dalam paham Kedaulatan Rakyat dan paham Kedaulatan Hukum.[42]
3.             Kedaulatan Rakyat
Gagasan kedaulatan rakyat (popular sovereignty, sovereignty of the people) atau demokrasi jelas terkandung dalam UUD 1945. Mulai dari Pembukaan UUD sampai pke pasal-pasalnya tercantum dengan tegas dianutnya paham demokrasi atau kedaulatan rakyat itu. Hal ini bisa dilihat dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 dan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.[43]
Konsep demokrasi atau kedaulatan rakyat dalam UUD 1945 itu, bahkan tidak hanya bersifat politik, melainkan juga bersifat ekonomi dan sosial. Artinya, menurut UUD 1945, rakyat Indonesia itu berdaulat tidak saja di bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi dan sosial.[44] Hal ini berbeda dengan konstitusi-konstitusi modern lainnya, terutama negara-negara yang menganut paham liberal, yang semuanya memandang undang-undang dasar hanya sebagai konstitusi politik saja.[45]
4.             Kedaulatan Hukum
UUD 1945 juga menganut paham Kedaulatan Hukum. Hal itu tercermin dalam pengertian Negara Hukum yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3). Di samping itu, Pasal 1 ayat (2) juga menentukan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Artinya, di samping menganut paham kedaulatan rakyat atau demokrasi, tetapi demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi yang bersifat konstitusional atau constitutional democaracy, yaitu demokrasi yang berdasarkan hukum. Dengan perkataan lain, konsepsi Pasal 1 ayat (2) dan (3) tersebut terkait erat satu sama lain. Negara Indonesia itu di satu segi adalah negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy), tetapi dari segi yang lain adalah juga negara hukum yang demokratis (democratic rule of law, democratische rechtsstaat).[46]
5.             Kedaulatan Raja
Founding fathers secara tegas menolak konsepsi kedaulatan raja ini sehingga negara kita ini disepakati berbentuk republik, bukan kerajaan. Ketentuan ini juga ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945.[47] Dengan demikian, bentuk NKRI, khususnya bentuk republik meniadakan kemungkinan diterimanya doktrin kerajaan dan paham kedaulatan raja dalam sistem ketetatanegaraan Republik Indonesia. Namun dalam praktik terdapat sistem pemerintahan daerah yang bersifat kerajaan, yaitu Pemerintahan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).[48]
Dapat dikatakan bahwa UUD 1945 dengan tegas menyatakan “mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Artinya, sistem kerajaan yang sudah ada selama ini diakui dan dihormati keberadaanya, sehingga tidak perlu diubah. Hal yang penting dalam hal ini, kekhususan atau keistimewaannya itu diatur dengan undang-undang berdasarkan ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.[49]
Jika jalan pikiran terakhir ini diikuti, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya ajaran kedaulatan yang dianut dalam UUD 1945 mengakui, menghormati, dan terkandung secara substantif dalam UUD 1945 tentang keempat gagasan tentang ajaran kedaulatan tersebut.[50]
6.             Kedaulatan Negara
Dalam perspektif yang bersifat eksternal, konsep kedaulatan harus dipahami dalam konteks hubungan antarnegara. Dalam konteks Hukum Internasional, orang biasa berbicara mengenai status negara merdeka yang berdaulat keluar dan ke dalam. Para perancang dan perumus undang-undang dasar negara kita pada tahun 1945 juga mendeklarasikan dengan tegas adanya prinsip kedaulatan negara Indonesia. Hal ini dapat ditemukan dalam Alinea I, Alinea II Pembukaan UUD 1945, dan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945.[51] Karena itu, jelas tergambar bahwa UUD 1945 juga menganut ajaran kedaulatan negara dalam konteks hubungan antarnegara yang bersifat eksternal.[52]
7.             Kedaulatan Lingkungan
Konsep kedaulatan lingkungan dapat dikaitkan dengan istilah ekokrasi atau kekuasaan ekologi. Gagasan ini dapat dikembangkan dalam konteks kekuasaan yang dikonstruksikan dalam mekanisme hubungan antara Tuhan, Alam, dan Manusia.[53]
Pada masa serba modern ini, sikap anthropocentris merajalela yang tanpa disadari telah menyebabkan kehancuran dalam diri alam semesta. Sekarang barulah orang sadar bahwa lingkungan hidup perlu mendapat perhatian, dilindungi, dan dijaga kelestariannya untuk kelangsungan hidup umat manusia sendiri.[54] Karena itu, diperlukan adanya perubahan cara pandang dalam memahami alam semesta dalam hubungannya dengan manusia. Paradigma berpikir umat manusia haruslah berubah dari alam pikiran anthropocentris ke alam pikiraan theocentrisme.[55]
Pentingnya kehadiran Tuhan dalam cara pandang manusia modern perlu disadari, karena-seperti dikatakan oleh Wendell Berry dalam bukunya, our ecological crisis is a crisis of character, nota political or social crisis. Oleh karena itu, menurut Preston Bristow, masalahnya menyangkut spritual. Itulah sebabnya, paham Kedaulatan Tuhan juga harus ikut disertakan dalam pengkajian paradigmatik untuk menyelesaiakan kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh pola hubungan yang tidak seimbang antara manusia dan alam. Karena terus-menerus melupakan kehadiran Tuhan, manusia merasa dirinya yang menjadi pusat dari segala-galanya. Sudah saatnya lingkungan juga dianggap sebagai subjek hukum. Hal yang harus dianggap sebagai subjek kekuasaan dan hak-hak asasi bukan hanya manusia, tetapi juga alam semesta. Alam mempunyai hak-hak dasar atau hak-hak asasinya sendiri untuk tidak dirusak dan diganggu keseimbangannya.[56]
Dari keenam ajaran tentang kedaulatan tersebut, yang paling penting untuk dikembangkan lebih lanjut dalam perspektif yang lebih operasional adalah prinsip kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, dan kedaulatan lingkungan. Ketiga ajaran tersebut menjadi kandungan materiil filosofi UUD 1945 dewasa ini sebagai pancaran dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Kuasa atau Tuhan Yang Memiliki Kekuasaan Tertinggi dalam Alinea Ketiga Pembukaan UUD 1945. Perspektif yang demikian mengharuskan kita mengembangkan pemahaman bahwa prinsip demokrasi dan pelaksanaannya di lapangan tidak boleh mengabaikan pentingnya ekokrasi dan nomokrasi.[57]
Dengan adanya ketentuan-ketentuan konstitusional tentang hak-hak lingkungan, kita telah memasuki era baru dalam perikehidupan umat manusia dalam hubungannya dengan alam sekitar dan bahkan alam semesta. Manusia tidak lagi penentu segala-galanya. Baik manusia maupun alam kehidupan sama-sama mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik dalam hubungan antara keduanya. Oleh karena itu, selain manusia, alam juga mempunyai kedaulatannya sendiri yang harus diakui, dihormati, dan diikuti ‘kehendak’-nya.[58]

BAB IV PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN WAWASAN LINGKUNGAN
A.           Pembangunan Berkelanjutan
Kata ‘berkelanjutan’ yang dimuat dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 sebenarnya berkaitan dengan konsep sustainable development atau dalam dalam bahasa Indonesia disebut pembangunan berkelanjutan.[59] Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan salah satu perwujudan dari wawasan lingkungan yang dimaksud dalam UUD 1945 tersebut. Sebaliknya, prinsip pembangunan yang berkelanjutan juga harus diterapkan dalam kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Tidak ada pembangunan berkelanjutan tanpa lingkungan hidup sebagai unsur utamanya, dan tidak ada wawasan lingkungan tanpa pembangunan berkelanjutan.[60]
Sebagai istilah, perkataan sustainable development sebenarnya baru mulai diperkenalkan oleh Rachel Carson melalui bukunya Silent Spring. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) tersebut, proses pembangunan atau perkembangan (development) diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam untuk kehidupan.[61]
B.            Wawasan Lingkungan
Wawasan lingkungan sebagai wawasan baru dalam kerangka sistem kekuasaan negara dan kebijakan pembangunan sangat diperlukan untuk menghadapi arus besar paradigma pemikiran yang tidak berpihak kepada lingkungan hidup.[62]


0 comments