Pilkada Serentak, "Harusnya" Menjadi Momentum Revitalisasi Tugas dan Fungsi Pemerintah

(sumber gambar: cdn.metrotvnews.com)
Sejarah mencatat, baik perkembangan konsep ketatanegaraan demokrasi konstitusional (constitutional democracy) ataupun negara hukum demokrasi/nomokrasi (democratische rechtstaat) telah mengantarkan posisi pemerintah (eksekutif) sebagai pemangku kewajiban atas terpenuhinya kesejahteraan bagi masyarakat umum. Pemerintah dituntut berperan aktif dalam pergaulan sosial dan diberi tugas dan fungsi untuk menyelenggarakan kepentingan umum atau service public. Agar tanggungjawab menyejahterakan rakyat itu dapat tercapakai dengan baik, maka pemerintah diberi wewenang legeling, yakni membuat peraturan-peraturan yang menyangkut kepentingan umum.
Akantetapi, hingga saat ini tugas pemerintah sebagai pemangku kewajiban atas terpenuhinya kesejahteraan rakyat masih jauh panggang dari api. Menjamin sesuap nasi untuk warga masyarakat masih berat hati bagi pemerintah. Pergaulan sosial antara pemerintah dan masyarakat masih terasa berjarak bagai dua kutub yang kontradiktif, yaitu kutub utara dan selatan yang niscaya tidak dapat bertemu dalam satu titik persamaan. Di sudut perkotaan, keakraban pemerintah dengan pemilik modal semakin menjadi, sekali minum kopi di hotel berbintang, dua hingga tiga hektar tanah warga tergusur untuk supermarket, hotel, apartemen, dan pembangunan-pembangunan lain. Tidak jauh berbeda, nasib masyarakat desa pun demikian mirisnya, ‘ngobrol’ sambil ‘ngopi’ pemerintah dengan pengusaha kaya menghasilkan izin atau kewenangan untuk mengeruk sumber daya alam yang pada dasarnya mengisolasi hak-hak kesejahteraan bagi masyarakat.
Karena itu, momentum Pilkada serentak pada tanggal 9 Desember lalu harusnya menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk mengembalikan ‘fitrah’ pemerintah sebagai pemangku tugas pelayanan publik dalam upaya menyejahterakan masyarakat. Jangan sampai Pilkada yang telah dilangsungkan itu hanya dijadikan sebagai ‘festival’ dalam rangka menghibur rakyat yang selama ini menderita atas ketidak adilan pemerintah dalam menjalankan tugas utamanya. Momentum revitalisasi tugas dan fungsi pemerintah pada saat Pilkada serentak ini sangat memungkinkan. Hal ini mengingat data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatakan bahwa sekitar 261 daerah dengan rincian 9 provinsi, 219 kabupaten, dan 33 kota akan melangsungkan transisi birokrasi pada tanggal 9 Desember nanti. Artinya, peluang untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat bagi seperempat provinsi di Indonesia besar kemungkinan dapat dilakukan.
Perlu penulis paparkan bahwa agar proses berlangsungnya Pilkada tidak mengakibatkan bahagia sementara sengsara lima tahun lamanya, maka masyarakat dituntut untuk cerdas dalam memilih dan istiqamah dengan pilihan hati nurani sendiri.
Cerdas memilih, maksudnya adalah pemilih diharuskan mengetahui dengan baik profil calon yang bakal dipilih, ‘siapa dia? Apa pekerjaan sebelumnya? Bagaimana etos kerjanya? Siapa keluarganya?’ pertanyaan ini sekiranya bukanlah suatu yang berlebihan. Bahkan sudah seharusnya terpetik dibenak para pemilih untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan demikian pemilih akan mengetahui integritas dari calon yang bakal dipilih, tahu akan jiwa profesionalismenya, dan tahu apakah ada unsur-unsur monarki berbau nepotisme mengiringi calon yang akan dipilih tersebut.
Istiqamah, maksudnya yaitu memilih dengan keteguhan hati nurani yang bebas tanpa interpensi. Independensi pemilih sangat menentukan nasib birokrasi bersih, bersahaja, dan pro-rakyat di masa yang akan datang. Selama ini, birokrasi bersih, bersahaja, dan pro-rakyat hanya terbuai di alam mimpi dikarenakan kejujuran dan ketulusan pemilih bukan lahir dari hati nurani, tapi lahir demi sesuap nasi. Sembako gratis, uang selembar bergambar soekarno-hatta, dan hiburan dangdut diiringi tarian erotis dari para artis meluluh lantahkan independensi pemilih selama ini. Padahal, nikmat itu hanya sementara, prosedural semata, dan bahkan hanya akal-akalan dari calon penguasa. Oleh karenanya, mulai hari ini kepada pemilih diingatkan ‘jabatlah tangannya, kembalikan barang dan uangnya, dan jangan pilih orangnya’, karena pilihan anda menentukan nasib anda dan keluarga.

Jadi, akhirnya penulis ingin me-refresh kembali bahwa dalam konsep ketatanegaraan modern ini pemerintah dituntut untuk menjalankan tugasnya sebagai penanggungjawab dalam upaya memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Namun, tugas pemerintah sebagaimana tuntutan perkembangan konsep ketatanegaraan modern tersebut masih jauh panggang dari api. Oleh karena itu, momentum Pilkada serentak tanggal 9 Desember 2015 lalu haruslah menjadi kesempatan untuk mengembalikan fungsi pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab dalam memenuhi kesejahteraan rakyat. Agar upaya mengembalikan fungsi pemerintah itu dapat terjadi, maka kepada pemilih hendaknya mampu memilih dengan cerdas dan istiqamah sesuai dengan pilihan hati nuraninya. Dengan demikian, diharapkan mimpi birokrasi bersih, bersahaja, dan pro-rakyat dapat segera terwujudkan.

0 comments