Berpikir Seperti Nabi: Perjalanan Menuju Kepasrahan

ilustrasi gambar: dokumentasi penulis

Oleh: MHD. Zakiul Fikri
Pada suatu kesempatan nabi bersabda, “Berbahagialah orang yang melihatku dan beriman kepadaku.” Diucapkan sebanyak satu kali. “Berbahagialah orang yang beriman kepadaku padahal dia tidak melihatku.” Nabi mengucapkannya sebanyak tujuh kali.
Buku Berpikir Seperti Nabi karya Fauz Noor ini tidak bermaksud agar kita bisa menjadi nabi. Berpikir seperti nabi, menurut Fauz Noor adalah usaha semaksimal mungkin meneladani bagaimana Rasulullah berpikir. Berusaha menangkap bagaimana sunnah nabi dalam berpikri. Nabi adalah teladan kita. Oleh karena itu, teladanilah bagaimana nabi berpikir, mengingat dalamal-Qur’an begitu banyak perintah untuk berpikir.[1]

Isyarat Nabi dan Doktrin Penciptaan
Ketika Bilal selesai mengumandangkan adzan, Rasulullah tak kunjung datang. Bergegaslah ia mengunjungi beliau.[2] Ketika sampai di bilik Rasulullah, Bilal bertanya heran melihat Rasulullah yang tampak bersedih.
“Ya Rasulullah, apakah Tuan menangis? Apa yang Tuan tangisi, wahai pesuruh Allah?”
“Wahai Bilal, tadi malam Jibril datang kepadaku. Ia membawa pesan, Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal [Q.S. Ali-Imran:190].”[3]
Rasulullah segera berdiri. Sambil berjalan menuju masjid ia bersabda,
“Celaka orang yang membaca ayat ini hanya semata membaca, dengan tidak memperhatikan kandungan di dalamnya.”[4]
Dalam telaah Keren Armstrong yang dituangkan ke dalam bukunya The History of God, ia mengatakan bahwa sejarah keimanan umat manusia kepada Tuhan selalu dimulai dengan pemikiran dan perenungan tentang siapa yang menciptakan alam semesta ini. Dalam ajaran filsafat Aristoteles, ia mengatakan bahwa sesuatu tak mungkin wujud dari ketiadaan.[5]
William Carigh dalam bukunya yang cemerlang Kalam Cosmological Argument ia menyimpulkan, “We have thus concluded to a personal Creator of the universe who exists changelessly and independently prior to creation and in time subsequent to creation. This is a central core of what theists mean by ‘God’...The Kalam cosmological argument leads us to a personal Creator of the universe.” Dalam al-Qur’an, pembicaraan tentang penciptaan merupakan hal yang sangat serius. Sebab doktrin penciptaan inilah yang menjadi argumen untuk membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa.[6]
Ketika kisah Ibrahim dijadikan ‘ibrah (pelajaran) tentang pencarian Tuhan, maka kisah Ibrahim merupakan standar mutlak dalam pencarian Tuhan bagi umat manusia sepanjang masa. Dikisahkan, Ketika malam telah gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inikah Tuhanku?” Tetapi takkala bintang itu tenggelam dia berkata, “Saya tidak suka kepada apa-apa yang tenggelam (la uhibbu al-‘afillin)”. Kemudian takkala dia melihat bulan terbit dia berkata, “Inikah Tuhanku?” Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata, “Sesungguhnya jika Tuhanku (yang aku cari) tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat”. Kemudian takkala dia melihat matahari terbit dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini lebih besar”. Maka, takkala matahari itu telah terbenam dia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku melepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku (diriku) kepada Zat yang menciptakan langit dan bumi dengan hanif (kecenderungan kepada ketundukan akal yang benar), dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” [Q.S. al-An’am: 76-79].[7]
Dalam bahasa Arab, kata penghubung fa mempunyai arti “kemudian” (tanpa senggang waktu). Selain itu, juga dibahasakan dengan kata tsumma yang juga bermakna “kemudian” (ada senggang waktu antara peristwa pertama dan kedua).[8] Jadi, ayat tersebut bercerita bahwa Ibrahim mula-mula melihat bintang, bulan, dan matahari. Lalu ia memikirkan apa yang dilihatnya itu, menganalisis, dan menarik kesimpulan bahwa semua benda langit itu bukan Tuhan karena mereka dapat tenggelam. Singkatnya, kisah dalam ayat itu bercerita tentang analisis pemikiran Ibrahim yang berangkat dari sesuatu yang redup (bintang), melangkah kepada yang lebih tereng (bulan), lalu pada sesuatu yang sangat terang (matahari). Hingga sampailah Ibrahim kepada cahaya Maha Cahaya; Tuhan yang menciptakan langit dan bumi.[9] Selin itu, Ibrahim juga berkata, aku tidak suka apa-apa yang tenggelam. Artinya, Ibrahim tidak hanya semata-mata melakukan perenungan aqliyyah (akal), tetapi dibarengi dengan perenungan qalbiyyah (hati). Akal membawa pada ketakjuban terhadap terhadap Tuhan, sedangkan hati mengantarkannya pada kecintaan terhdap Tuhan.[10]
Dalam Q.S. Ali-Imran ayat 190 terdapat kalimat ayat. Ayat (bahasa Arab; ayah), berarti “tanda”. Setidaknya ada dua kalimat dalam bahasa Arab yang berarti “tanda” yaitu; ‘alamah dan ayah. ‘Alamah diambil dari kata ‘alama yang berarti “mengetahui”.[11] Perbedaan antara kata ‘alamah atau ‘alm (tanda) dengan ‘ilma (pengetahuan) hanya terletak pada harakatnya.[12] Kemudian, jika kita berdalih pada kata ‘ain, lam, dan mim maka akan berarti alam semesta atau jagad raya.[13]
Sekalipun demikian, “pengetahuan” yang kita tangkap dari ‘alamah (tanda) ataupun ‘alamin (jagad raya) tak boleh melalapkan kita dari perenungan tentang Tuhan. Sebab, semuanya berada dalam ayoman-Nya (Rabb).[14] Kata ayah dalam al-Qur’an merujuk pada tiga pemaknaan:[15]
1.    Fenomena jagad raya;
2.    Al-Quran al-Karim; dan
3.    Peristiwa-peristiwa tertentu yang lepas dari sebab-akibat rasional, yang oleh ulama disebut dengan mukjizat.

Mengapa Kita Mengimani dan Meneladani Nabi
Pada suatu kesempatan nabi bersabda, “Berbahagialah orang yang melihatku dan beriman kepadaku.” Diucapkan sebanyak satu kali. “Berbahagialah orang yang beriman kepadaku padahal dia tidak melihatku.” Nabi mengucapkannya sebanyak tujuh kali.[16] Sebagaimana kita ketahui, para sahabat menerima kerasulan Muhammad secara mutlak, tanpa keraguan sedikitpun. Ini bukan karena mereka bodoh, justru sebaliknya, karena mereka cerdas. Pertama, mereka beriman karena yang dibawa Muhammad adalah al-Qur’an al-Karim, sesuatu yang agung. Tak mungkin ciptaan Muhammad.[17] Kedua, sahabat beriman karena keluhuran budi pekerti Muhammad. Muhammad adalah orang yang dapat dipercaya sehingga dijuluki al-Amin. Mereka tak menyangsikan kejujuran Muhammad.[18]
Untuk mengagungkan dan menghormati Muhammad, Tuhan memereintahkan melalui al-Qur’an untuk bershalawat kepadanya.[19] Meskipun pada dasarnya shalawat bermakna do’a, bukan berarti bersholawat kepada nabi adalah bertujuan untuk mendo’akannya. Akantetapi, sudah menjadi watak manusia untuk “berterima kasih” kepada orang-orang yang telah menuntun hidupnya. Karena itu, Islam mengajarkan kepada penganutnya cara untuk menghormati manusia yang berjasa kepada mereka (Muhammad SAW) yaitu dengan sesering mungkin membaca shalawat. (Q.S. al-Ahzab : 56)[20]
Tuhan memerikan metode bagaimana cara berterima kasih, yaitu dengan cara bershalawat kepada Rasul, agar kita tidak kebingungan mencari cara berterima kasih, dan agar akidah kita tidak melenceng.[21] Ini merupakan suatu bukti bahwa pribadi Muhammad “penuh” keselamatan. Agar dapat memperoleh sepercik keselamatannya, di samping sesering mungkin bershalawat, kita juga mesti meneladani lakunya; baik secara teoritis (berpikir) maupun praktis (berakhlak).[22]

Risalah: Dari Adam sampai Muhammad
Kata nabi berasal dari kata naba’ yang berarti “kabar berita besar yang sangat berguna dan pasti tidak akan salah”. Nabi (bentuk jamaknya anbiya’ atau nabiyun) adalah orang yang menerima kabar berita agung. Sementara rasul diambil dari kata rasala, yang artinya mengutus. Rasul berarti pesuruh atau utusan.[23] Fazlur Rahman mengatakan baik nabi ataupun rasul adalah sama-sama manusia suci yang telah dikaruniai “misteri” wahyu dan harus kita teladani.[24]
Kita sering mengatakan bahwa tauhid adalah hakikat inti dari apa yang dibawa oleh nabi. Ungkapan ini tidak benar apabila kita berkeyakinan bahwa “tauhid” merupakan satu konsep al-Qur’an karena di dalam al-Qur’an tidak ada satu pun kata “tauhid”. Meski demikian, tauhid terkandung dalam al-Qur’an. Bahkan, ruh tauhid adalah al-Qur’an itu sendiri.[25] Wahdaniyyah merupakan risalah yang dibawa oleh semua nabi. Wahdaniyyah berarti hakikat kebenaran sejati.[26]
Ketika berbicara tentang nabi adam, Tuhan berfirman, Dan sungguh dahulu Kami pesankan kepada Adam amaka ia lupa (akan pesan itu), dan belum Kami dapati padanya cara berpikir yang kuat [Q.S. Thaha : 115]. Al-Qur’an berkata sebatas ‘ahidna (“Kami pesankan”). Ini menunjukkan bahwa ketika masa Adam, Tuhid belum terkotori sehingga Tuhan hanya berkata sebatas pesan agar manusia tidak lupa. Pada masa itu pun manusia belum mempunyai ketangguhan berpikir yang mumpuni. Hal ini dapat ditemukan dalam frasa, dan belum Kami dapati padanya cara berpikir yang kuat.[27]
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim [Q.S. al-Ankabut : 14]. Demikian Tuhan mengisahkan tentang nabi Nuh. Doktrin tauhid pada masa Nuh hanyalah sebatas dogma. Hal ini dilakukan Tuhan karena umat nabi Nuh masih belum mempunyai akal yang cukup untuk diajak berdialog dengan argumen-argumen logis.[28] Pada masa nabi Hud tuntunan wahdaniyyah mulai diajak berdialog oleh Tuhan. Artinya, umat nabi Hud mempunyai sedikit kecerdasan yang levelnya lebih tinggi dari umat nabi Nuh (Q.S. as-Syu’ara : 123). Selanjutnya, pada masa nabi Shaleh, umat manusia mulai diingatkan pada asal mula kejadian mereka yang tercipta dari bumi (tanah). Ini merupakan isyarat bahwa umat nabi Shaleh sudah memiliki kemampuan akal yang lebih tinggi, yang sanggup mencerna pengetahuan tentang asal kejadian manusia (Q.S. Hud : 61).[29] Kepada umat nabi Shaleh mulai ditampakkan kehebatan Tuhan untuk mencegah kesombongan akal manusia pada waktu itu (Q.S. al-A’raf : 73).[30]
Patut disimak bahwa risalah yang dibawa para nabi sebelum Ibrahim “hanya” sebatas “Sembahlah Tuhan Yang Esa (Allah), kalian tidak memiliki Tuhan selain-Nya” dan diakhiri dengan “yang demikian itu lebih baik bagi kalian, jika kalian benar-benar orang yang beriman”. Sementara pada masa Ibrahim, risalah-Nya disampaikan dengan argumen yang sanggup membuat akal terusik dan tercengang (Q.S. al-Ankabut : 16). Pada akhir Q.S. al-Ankabut ayat 16 terdapat frasa, jika kalian mengetahui. Kalimat ini merupakan satu isyarat bahwa Ibrahim mengajak umatnya untuk berpikir secara benar sedemikian hingga mereka dapat mencari keimanan yang benar.[31] Selanjutnya diceritakan pula tentang nabi Musa yang mulai menekankan kegunaan syari’at, kepastian datangnya kiamat, perintah agar jangan terganggu oleh orang-orang yang sesat dan oleh hawa nafsu yang suka menggiring manusia melupakan datangnya kiamat (Q.S. Thahah : 15-16).[32] Selain itu, dikisahkan pula bagaimana risalah wahdaniyyah disampaikan oleh nabi Yusuf dengan sebuah penawaran (Q.S. Yusuf : 39).[33]
Wahyu turun untuk manusia. Artinya, agama untuk manusia; bukan manusia untuk wahyu atau untuk agama. Ingat pula bahwa yang paling pokok bagi keberadaan manusia adalah ‘ilmu; karena ilmu pula malaikat sujud kepada manusia (Adam). Karena itu, menjadi lengkaplah kemantapan wahyu ketika dalam ayat tersebut Sang Pemilik Wahyu menamakan Dirinya sebagai Rabb manusia. Menurut ahli bahasa, kata Rabb diambil dari kata rabba-yurabbi-tarbiyyah-rabbun, yang berarti pendidik atau pengajar.[34]
Pada wahyu yang pertama terdapat frasa yang berbunyi, Yang mengajar manusia dengan qalam. Secara bahasa, qalam mempunyai arti “menyamakan, memperbaiki, dan membersihkan”. Kata ini juga sering diterjemahkan dengan “pena”, karena pena memang berfungsi untuk “menyamakan” apa yang berada di dalam benak dengan apa yang ada di atas kertas. Artinya, Tuhan memerikan ilmu agar apa yang “di benak” bisa sama dengan apa yang “di luar benak” realitas: baik material maupun non-material). Dalam bahasa filsafat, inilah yang dimaksud kesatuan antara akal dan yang diakali, kesamaan antara pikir dan apa yang dipikirkan (al-itihad).[35]
Pesan-pesan al-Qur’an yang turun pada masa kenabian yang paling awal memasukkan permasalahan kekayaan, keserakahan, dan ketidakpedulian sosial sebagai salah satu dimensi teologi, dalam arti, permasalahan tersebut mendapat perhatian utama Tuhan. Artinya, permasalahan kekayaan, keserakahan, dan ketidakpedulian sosial menurut al-Qur’an bukan sekedar masalah etik dan moral, melainkan sangat berkaitan dengan ketauhidan.[36]
Tauhid bukan semata mengesakan Tuhan. Sebab hakikatnya Tuhan itu sudah Esa tanpa perlu kita esakan. Tauhid lebih menunjuk pada kesatuan umat manusia (unity of mankind), yang tidak akan pernah terwujud tanpa terciptanya classless society (masyarakat tanpa kelas): masyarakat yang tidak akan pernah sedetik pun membenarkan diskriminasi dalam bentuk apa pun.[37] Dengan konsep tauhid demikian, sudah pasti mereka berteriak setengah serak menyeru umat untuk bangkit melawan korupsi, arogansi, tirani, pengekangan aspirasi; diskriminiasi kulit, bangsa, dan jenis kelamin; pemupukan kekuasaan dan pemusatan kekuasaan; dan berbagai kezaliman lainnya, “Inilah hakikat jihad,” teriak Ashghar Ali Engineer.[38]

Muhammad: Penutup Para Nabi
“Wahai manusia, janganlah kalian kembali kufur sehingga sebagian di antara kalian menyerang sebagian yang lain. Aku tinggalkan satu hal yang apabila kalian pegang teguh, kalian tidak akan tersesat untuk selama-lamanya. Aku tinggalkan kepada kalian Kitab Tuhan, al-Qur’an al-Karim.”[39]
Konsep khatamiyyah tidak berbicara tentang derajat dan tingkat peradaban. Murtadha Muthahhari mengatakan, “Tingkat paling tinggi di saat manusia memerlukan wahyu adalah: pertama, ketika ia punya kemampuan untuk menerimanya; kedua, ketika ia punya kemampuan untuk menjaganya.” Lalu ia menjelaskan kelebihan periode khatamiyyah dengan, “Salah satu kelebihan yang dimiliki periode khatamiyyah adalah adanya pembaru yang mempu mengadakan perbaikan dan reformasi.”[40]
Keyakinan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah yang terakhir ini jelas sekali merupakan sebuah tanggungjawab yang berat terhadap orang-orang yang mengaku sebagai muslim. Pengakuan ini menitikberatkan kewajiban daripada keistimewaan. Konsekuensi logis dari khatamiyyah Muhammad adalah apa yang dikenal dalam Islam dengan istilah ijtihad.[41]
Dalam maslaah ijtihad, satu mutiara hikmah dari Imam Ali patutu kita renungkan: “Min husni-islamil-mar’i, ‘ilmuhu bi zamanihi. Sebagaian dari kearifan seseorang adalah pengetahuannya tentang kondisi zaman.” Selain itu, dalam ushul fiqh terdapat kaidah taghayyur al-ahkam bi taghayyur az-Zaman wa al-makan; Perubahan hukum (bisa terjadi) karena perubahan zaman dan tempat.[42]
Selain dua poin di atas, masih terdapat dua poin lagi yang menjadi bukti khatamiyyah Muhammad. Ketiga, keuniversalan ajaran yang dibawa oleh Muhammad. Dan, keempat, risalahnya membawa keagungan, keadilan dan kebijaksanaan pluralisme.[43]
Bukti ketiga bahwa nabi Muhammad merupakan nabi pamungkas adalah keuniversalan ajaran yang dibawanya. Artinya, syari’at yang dibawa nabi Muhammad bukan saja diperuntukan untuk suatu komunitas masyarakat tertentu, melainkan sebagai rahmat untuk alam semesta. Karena itu, sangat disayangkan ketika ada sebagian dari kaum muslim yang terjebak pada “pengaraban”. Pengaraban, ataupun Arabisasi, tidak lain merupakan suatu penghinaan terhadap keuniversalan risalah Muhammad.[44] Sungguh tak terkira banyaknya dalam al-Qur’an seruan yang berkata, Wahai manusia... (Q.S. al-Anbiya’ :107 dan Q.S. Saba’ : 28).[45]
Melalui lisan sucinya Muhammad bersabda, “Inna khiyarakum ahasinukum akhlaqa. Sesungguhnya sebaik-baik kalian semua adalah yang terbaik akhlaknya.” Maksud “kalian semua” dalam hadis ini adalah semua manusia, bukan pengikut Muhammad semata, karena Muhammad adalah nabi dan rasul untuk semua manusia.[46]

Dari Mukjizat Kembali ke Ayat
Mu’jizat adalah bentuk ubahan dari kata ‘ajaza yang mempunyai arti “melemahkan” atau “menjadi tidak mampu”. Pelakunya dsebut mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan maka ia dinamai mu’jizat.[47] Imam Jalaluddin asy-Syuyuti membagi mukjizat pada nabi dalam dua kelompok besar: mukjizat hisiyyah dan mukjizat ‘aqliyyah. Mukjizat hisiyyah yaitu mukjizat yang bisa ditangkap oleh indera. Mukjizat ‘aqliyyah adalah mukjizat yang hanya diperkenalkan Muhammad semata, yang tiada lain adalah al-Qur’an al-Karim.[48]
Kejadian-kejadian luar biasa yang dianugerahkan Tuhan kepada nabi tidak tepat untuk disebut dengan istilah “mukjizat”. Sebab, akal manusia tidak akan merasa “dilemahkan” oleh kejadian-kejadian suprarasional tersebut. Akal yang bersih justru akan merasa diajak untuk berpikir menuju “apa yang dibalik” kejadian tersebut, yaitu Kuasa Tuhan semata. Bahkan, al-Qur’an sendiri tidak menamai hal tersebut dengan “mukjizat”; sebaliknya, al-Qur’an menyebutnya sebagai “ayat”.[49] Jadi, al-Qur’an bukanlah mukjizat Muhammad. Sebab, al-Qur’an dan Muhammad tidak bertujuan “melemahakan” akal manusia. Bahkan, al-Qur’an menantang akal manusia bila ingin menandinginya (Q.S. Yunus : 38 dan Q.S. ath-Thur : 34). Al-Qur’an adalah ayatullah li khatamin-nabiyyin (tanda atau bukti kenabian bagi penutup para nabi).[50]
Kejadian suprarasional bukan hanya dimiliki oleh nabi. Akantetapi, juga terjadi pada orang-orang yang sesat, yang disebut al-Qr’an dengan “sihir” (as-sihr). Perbedaan antara “kejadian luar biasa” pada nabi dan sihir adalah “kejadian luar biasa” pada nabi bukanlah suatu yang bisa diusahakan dan dipelajari. Sedangkan sihir sebaliknya (Q.S. al-Baqarah : 102).[51]
Al-Qur’an bukanlah sihir, bukan pula mukjizat, melainkan ayatullah (tanda Kebesaran Tuhan). Agar manusia tidak ragu akan kebenaran Kebesaran Tuhan pada al-Qur’an.[52]

Sunnah Nabi dalam Berpikir
Hadits, secara bahasa mempunyai arti “perkataan”, bentuk ubahan dari hadatsa yang berarti “berkata”. Dalam bahasa Arab, “berkata” minimal dibawa dua kata: qala dan hadatsa. Qala berarti berkata secara lisan, dan hadatsa berarti berbicara secara sikap.[53] Ketika kita qala maka kita pun hadatsa, karena bahasa lisan adalah bahasa sikap juga. Dalam ilmu manthiq (logika), yang demikian disebut umum wa khas mutlak. Dengan demikian maka hadits menurut ulama adalah perkataan, perbuatan, dan taqrir (pendiaman) nabi.[54]
Berbicara tentang hadits berarti berbicara tentang keselektifan dan kehati-hatian. Dua sikap ini diperlukan karena begitu melimpahnya hadits yang bisa kita baca dewasa ini. Secara statistik, semakin banyak hadits, semakin sukar pula pengujian kesahihan atau keotentikannya.[55]
Berkaitan dengan sunnah nabi dalam berpikir, terdapat suatu hadits fundamental untuk mengetahui bagaimana inti pemikiran Rasulullah. Sayangnya, hadits ini tidak terdapat dalam Shahihain. “Tafakkaru fi khalqi-llahi wa la tafakkaru fi za-tihi fatahluku”, atau dalam frasa lain dikatakan, “Tafakkaru fi khalqi-llahi wa la tafakkaru fi-lkhaliqi”. Dengan kurang teliti, Muhammad Abduh menerjemahkan hadis ini, “...berpikir tentang Zat Tuhan Yang Maha Menciptakan (khaliq), berarti mencari hakikat Zat Yang Menciptakan itu dari satu sisi.”[56]
Semua mazhab sepakat bahwa benak manusia tak akan sanggup untuk menjangkau-Nya. Karena al-Qur’an telah berujar: “Tidak ada sesuatu apa pun yang semisal dengan-Nya”(Q.S. as-Syura : 11). “Dan tiada sesuatu apa pun yang sepadan dengan-Nya”(Q.S. al-Ikhlas : 4).[57]
Kembali ke hadits di atas, dua kata fi dalam hadits di atas tidak tepat jika diterjemahkan dengan “tentang”. Meskipun secara kaidah bahasa Arab dapat dibenarkan.[58] Fi dalam hadits tersebut mesti diterjemahkan dengan makna dasarnya, yaitu “di dalam”. Jadi, hadits di atas terjemahannya: “Berpikirlah kalian semua di dalam ciptaan-Nya! Jangan berpikir di dalam Zat-Nya karena jika kalian berbuat demikian, niscaya kalian binasa.” Ini berarti, kita mesti berpikir dalam kapasitas kita sebagai makhluk Tuhan yang terbatas dan nisbi, dan terlarang berpikir dalam kapasitas Zat Tuhan Yang Mutlak.[59]
Sudah jelas bahwa semua pemikiran tentang Tuhan tidak akan sampai pada level mutlak. Setiap manusia pasti menyadari hal ini. Karena itu, tidak bisa dibenarkan jika kita memaksakan pendapat kita tentang Tuhan sebagai kebenaran mutlak.[60] Ali Harb dalam bukunya Naqdhu al-Haqq mengutarakan bahwa kebenaran yang diklaim manusia tidak akan pernah bisa mutlak; semua kebenaran yang disuarakan manusia akan selalu menyimpan celah untuk dikritik.[61]
Rasulullah pernah bersabda: “Barang siapa berijtihad, lalu ia menempuh jalan yang (ternyata) benar, ia akan mendapatkan pahala ganda; dan jika (ternyata) keliru maka ia masih mendapatkan satu pahala.” Ijtihad secara bahasa artinya “bersungguh-sungguh”. “Bersungguh-sungguh” untuk hidup sesuai dengan tuntutan dan tuntunan ilahi. Namun, perlu diingat kembali bahwa manusia adalah makhluk terbatas; nisbi, atau makhluk yang lemah (Q.S. an-Nisa’ ayat 23). Sampai kapan pun kita tidak bisa menggapai Kebenaran Mutlak. Artinya, kita selalu berada dalam ruang yang sangat dimungkinkan berbuat salah.[62] Karena itu pula dalam sehari semalam minimal 17 kali kita selalu memohon kepada Tuhan agar ditunjukkan pada jalan yang lurus (Q.S. al-Fatihah : 6). Kita harus menggaris bawahi bahwa ayat ini adalah do’a; ayat ini adalah permohonan.[63] Dengan dipertintahkan bermohon tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus secara bersinambung, kita pun menyadari bahwa dalam satuan detik yang menyertai kita, tugas kita di dunia adalah mencari dan terus mencari jalan lurus demi meraih Kebenaran.[64]

Perjalanan Menuju Kepasrahan: Mencari Filsafat Qur’ani
Filsafat merupakan penurunan dari kata, philosophia. Philo artinya “cinta”, atau philia artinya “persahabatan atau tertarik kepada”; sedangkan shopia artinya “kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, intelegensi”. Dalam karyanya symposium, Plato memandang cinta sebagai kerinduan kepada kebaikan dan keindahan yang disebutnya eros. Eros adalah hasrat jiwa untuk memiliki keindahan dan kebaikan, atau menyatu dengan keindahan dan kebaikan.[65] Plato memperkaya eros dengan cinta terhadap “ilmu” yang abstrak melebihi apa pun yang selainnya-yang bisa kita bahasakan sebagai Tuhan. Dengan demikian, dimulailah satu konsep tentang Tuhan sebagai sumber ilmu, logos.[66]
Aristoteles tidak memandang cinta sebagai sekedar kerinduan akan kebaikan dan keindahan saja. Ia memaknai eros berlaku juga bagi alam fisik. Berbeda dengan eros alam, dalam melihat cinta yang bersemayam pada diri manusia, ia membaginya menjadi tiga: kegunaan, kesenangan, dan kebaikan. Yang pertama dan kedua lebih didasari oleh kepentingan pribadi si Pecinta.[67] Sedangkan yang ketiga (percintaan yang sempurna), si Pecinta mencintai kekasihnya bukan karena ia mendapatkan kegunaan dan kesenagan darinya, melainkan karena si kekasih indah itu sendiri. Plotinus, pemikir selanjutnya berhasil menyintesiskan pemikiran Plato dan Aristoteles. Pemikirannya itu dinamai dengan jembatan penghubung tiga kekuatan; manusia, alam semesta, dan Tuhan. Pertama, turun dari Tuhan ke alam semesta atau alam materi, yakni penciptaan alam  melalui proses emanasi.[68] Kedua, naiknya jiwa manusia kembali kepada Tuhan. Bagi Plotinus, mengetahui tidak berharganya segala yang material dan mengakuinya sebagai sumber Ilahiyah merupakan dua syarat bagi jiwa yang ingin menyatu dengan kebaikan dan keindahan. Lanjutnya, objek cinta sejati adalah keindahan alam; namun bukan secara material, melainkan secara spiritual.[69] Ciri orang yang sampai di alam spiritual tertinggi yakni ekstasi atau mabuk, dalam bahasa kaum sufi, fana. Pemikiran Plotinu dalam dunia filsafat dikenal dengan nama neo-Platonisme.[70]
Dalam khazanah intelektual Islam, kata tauhid biasanya dimaknai dengan dua cara. Pertama, “penyatuan” yang dimaknai dengan penegasan adanya “satu Tuhan”; atau mengesakan Tuhan. Pengertian ini dipakai oleh para ulama Ahli Kalam. Kedua, “penyatuan” yang dimaknai dnegan “bersatu dengan Tuhan”. Pengertian ini biasa dipakai oleh kalangan ulama filsafat dan tasawuf. Karena filsafat merupakan aktivitas cinta demi menyatu dengan keindahan dan kebaikan mutlak, maka ada dua konsekuensi yang dihasilkan. Pertama, filsafat merupakan satu proses pencarian yang tidak akan sampai di titik final. Sebab, ciri khas dari intelek (akal) adalah terbatas; sedangkan Tuhan adalah Yang Maha Mutlak. Kedua, “penyatuan” sebagai tujuan dari filasafat, menurut pandangan filsuf muslim adalah sebatas pencarian terus-menerus dalam usaha menemukan jalan yang lurus sebagaimana diajarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa (Q.S. al-Fatihah : 6).[71]
Al-Kindi mengatakan, “Belajar filsafat memang tidak wajib, tetapi juga tida sia-sia. Bila mempelajari filsafat dianggap wajib maka kita tidak mempunyai pilihan lain kecuali mempelajarinya. Bila dianggap sia-sia, kita harus membuktikan kesia-siaan tersebut secara shahih. Padahal, pembuktian itu sendiri merupakan bagian dari filsafat. Jadi, kita tak punya pilihan lain kecuali bersikap “netral” terhadapnya."[72] Pada masa Al-Kindi kata philosophia mulai direduksi ke dalam bahasa Arab menjadi falsafah. Namun, diantara keduanya terdapat perbedaan metode dan objek kajian. Philosophia menjadikan logika dan sebagai titik tekan pencarian meraih kebenaran dengan alam semesta dan sejarah objeknya; sedangkan falsafah disamping metode dan objek philosophia tersebut, menjadikan pula metode takwil dalam menelaah al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai objeknya.[73]
Untuk bisa menjelaskan titik-temu antara filsafat dengan agama secara substansial, Ibnu Masarrah menggunakan istilah i’tibar. I’tibar mempunyai arti mengambil pelajaran (Q.S. al-Hasyr : 2).[74] Namun istilah ini kurang tepat, sehingga Ibnu Rusyd mengenalkan istilah lain yakni al-Hikmah (Q.S. al-Jumu’ah : 2).[75] Ulama filsafat menafsirkan al-Hikmah dengan kecerdasan luar biasa yang dianugerahkan Tuhan kepada Rasulullah, yang tiada lain adalah filsafat.[76] Menurut Musa Asy’arie, “Dilihat dari sisi kitab, nabi Muhammad SAW adalah seorang rasul yang dipilih untuk menerima wahyu. Sedangkan dilihat dari sisi hikmah, ia adalah seorang filsuf yang dapat menjelaskan secara akurat dan menyeluruh tentang wahyu yang diterimanya, dengan pemahaman mendalam yang dimilikinya.[77] Ia menambahkan, “filsafat Islam mempunyai titik tolak yang jelas, yaitu berpikir rasional transendental dan berbasis pada kitab Suci dan hikmah.[78]
Al-Hikmah (filsafat) adalah uraian pencerahan atas nilai-nilai yang terkandung dalam ayat-ayat Tuhan, untuk dapat menyingkap realitas perubahan masyarakat yang kompleks, yang tidak bisa dimengerti dan dipecahkan semata-mata mengandalkan rasionalitas, tapi perlu bimbingan langsung dari-Nya.[79] Seorang filsuf atau dalam bahasa Ali Syari’ati, seorang rausynfikr (yang tercerahkan) bukanlah manusia yang suka beronani di menara gading, berpacaran dengan abstraksi ilmiah, berkhayal dengan wirid-wirid penyucian, atau bercengkrama dengan puisi-puisi, ambiguitas, kontradiksi, dan sindiran sehingga sedikit orang yang bisa memahami omongannya. Pemikir yang tercerahkan adalah individu yang hati dan benaknya penuh oleh kesadaran yang bertanggungjawab, terjun langsung ke jantung masyarakat, memandu mereka mencapai tujuan kebebasan dan kesempurnaan menjadi manusia, serta membantu mereka menyelamatkan diri sendiri dari kebodohan, kemusyrikan dan penindasan.[80]
Salah satu instrumen yang digunakan dalam berfilsafat (al-Hikmah) adalah akal (‘aqlu). ‘Aqlu mempunyai arti “menahan”, “mengikat”, “denda”, “ikatan”, dan merupakan “lawan dari kebodohan”. Muhammad Abed al-Jabiri mengemukakan, “Akal dalam teologi Islam bukan suatu materi (zat atau substansi, mahiyyah), melainkan satu pekerjaan atau aktivitas yang dikenal yang disandarkan sebagai aradh (aksiden). Jika akal adalah aksiden atau karena akal adalah satu aktivitas maka ia memerlukan satu wadah, dan wadah itu tidak lain adalah qalb (hati) (Q.S. al-Hajj : 46).[81]
Q.S. ali-Imran ayat 19 mengatakan, “Inna ad-dina ‘inda-allahil-islami.” Yang biasanya diterjemahkan dengan: “Sesungguhnya agama menurut Tuhan Yang Maha Esa (Allah) adalah Islam.”[82] Hasan al-Musthafawi menjelaskan bahwa din adalah sejenis kepasrahan dan kerendahan, inilah makna pokoknya. Oleh karena itu, ad-din bermakna ketaatan. Dengan demikian, maka terjemahan ayat tersebut menjadi: “Sesungguhnya kepatuhan di sisi Allah adalah kepasrahan penuh.”[83]
Jika kita merujuk pada Q.S. Yunus ayat 104-106, maka makna ad-din adalah ketundukan pada syari’at Rasulullah. Artinya, ketundukan sempurna dan penyempurna, ketundukan yang murni. Oleh karena itu, ketundukan dalam agama-agama selain agama yang dibawa Muhammad, dalam al-Qur’an tidak dibahasakan dengan ad-din.[84] Dalam al-Qur’an, ketundukan yang penuh dan total kepada-Nya dibahasakan dengan al-Islam, makna alif dan lam (al-) di sini adalah sempurna dan penyempurna. Din merupakan ketundukan aqliyyah, sedangkan islam adalah ketundukan nafsiyyah.[85] Sebab, seperti ujaran al-Qur’an, manusia lahir ke muka bumi ini sama semuanya, yaitu la ta’lamuna al-syai’a (tidak mengetahui sesuatu apa pun). Lalu, Dia memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati, agar sekalian manusia semua bersyukur (Q.S. an-Nahl : 78). Setelah dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, manusia menjalankan hidupnya masing-masing. Pada titik ini, Tuhan memerintahkan kepada manusia agar menundukkan pikirannya hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa secara penuh dan total (ad-din), “Maka hadapkanlah wajahmu (baca: dirimu) kepada ad-din dengan hanif (condong kepada Islam)... (Q.S. ar-Rum : 30).” Artinya, raihlah oleh pikiranmu ketundukan yang murni (ad-din) seperti yang telah diajarkan Tuhan kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, sampai Muhammad. Dalam lanjutan ayat di atas, Tuhan berbicara tentang fitrah.[86] Sehingga jelaslah bahwa ad-din yang dimaksud adalm ayat ini adalah fitrah manusia. Artinya, manusia secara fitrah adalah makhluk pencari kebenaran, makhluk yang akalnya ingin tunduk semata pada kebenaran, hanya akan mendapatkan apa yang mereka cari secara sempurna pada ad-din.[87] Manusia adalah makhluk pencari kebenaran, inilah fitrah manusia. Tuhan juga telah menginformasikan bahwa agar terpenuhi fitrahnya, manusia hendaknya mengikuti ad-din sehingga kebenaran yang selalu dicarinya itu akan ia dapat.[88]
Ada yang menarik dari kisah nabi Musa yang digambarkan dalam Q.S. al-A’raf : 143), ketika musa berkata aku orang yang pertama beriman. Bagaimana mungkin Musa berkata demikian? Apakah nabi-nabi sebelumnya tidak beriman? Tentu saja tidak demikian. Maksud perkataan tersebut adalah bahwa pelajaran pertama al-Qur’an tentang ketundukan berpikir sehingga menghasilkan iman. Kita tahu sekarang bahwa iman tiada lain adalah hasil ketundukan berpikir. Jadi, rangkaian filsafat Qur’ani agar manusia terpenuhi fitrahnya dalam mencari kebenaran adalah tunduk secara pemikiran (din), lalu mereka menggapai iman, sehingga akhirnya mereka berserah diri secara penuh dan total kepada Tuhan (islam). Di dalam al-Qur’an, titik pembicaraan tentang kemestian hidup adalah iman. Akan tetapi, kita harus menyadari bahwa iman yang dimaksud adalah iman hasil ketundukan berpikir manusia.[89] Uniknya, pembicaraan tentang iman dalam al-Qur’an, kerap kali dilanjutkan dengan konsep amal saleh. Hal ini menunjukkan bahwa iman adalah bukti din dan amal saleh adalah bukti islam.[90] Bahkan, konsep iman dan amal saleh, seperti diajarkan oleh hadits nabi, tidak dapat dipisahkan, “Diriwayatkan dalam hadits muttafaq ‘alaih dari riwayat Abu Hurairah, dan riwayat Bukhari dari hadits Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah seorang pezina akan berzina apabila ia seorang yang beriman. Tidaklah seorang peminum khamar akan meminum khamar apabila ia seorang beriman. Tidaklah seorang pencuri akan mencuri padahal ia orang yang beriman.” Dari sabda ini kita tahu bahwa iman haruslah tidak sekadar percaya.[91]
Al-Qur’an pun mengajarkan bahwa tidak cukup bagi kita untuk sekadar “percaya” kepada Tuhan Yang Maha Esa saja; tetapi mesti “mempercayai”-Nya dalam kualitas-Nya sebagai satu-satunya Zat yang bersifat ketuhanan (ilahiyah). Konsekuensinya, kita harus tunduk patuh secara total kepada-Nya (islam) yang menjelma dalam akhlak terpuji atau amal saleh.[92]

0 comments