Orientalisme; Menelisik Akar Intelektual Kolonialisme

ilustrasi gambar: dokumentasi penulis



Oleh: MHD. Zakiul Fikri
Timur mengalami “orientalisasi” (Timur ditimurkan), karena Timur dapat dijadikan atau lebih tepatnya dipaksa menjadi “Timur”-nya orang Eropa (“boneka” Timur bagi orang-orang Eropa).
Buku Orientalisme karya Edward Wide Said ini mencoba menelanjangi kejahatan intelektual yang dilakukan oleh negara-negara kolonial Barat. Buku dengan judul asli Orientalism ini tidak hanya menelanjangi kejahatan intelektual dunia Barat, yang menjadi titik awal penjajahan dan pombodohan dilakukan dunia Barat terhadap dunia Timur. Namun, diakhir pembahasan Edward Wide Side juga menawarkan gagasan perlawanan terhadap Orientalisme tersebut. Berikut ini pembahasannya,
Orang Eropa menganggap Timur sebagai barang temuan mereka.[1] Mereka (Amerika, Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, Spanyol, Portugal, Italia, dan Swiss) memandang dunia Timur berdasarkan suatu tradisi yang mereka yakini selama ini. Tradisi tersebut bernama orientalisme, suatu cara untuk memahami dunia Timur yang didasarkan pada keeksotikannya di mata orang Eropa.[2] Orientalisme merupakan suatu gaya berpikir yang didasarkan pada pembedaan ontologis dan epistimologis antara “Timur” dan “Barat”.[3] Kita bisa melihat orientalisme sebagai gaya Barat untuk mendominasi, menata ulang, dan menetapkan kekuasaan mereka terhadap dunia Timur.[4] Timur mengalami “orientalisasi” (Timur ditimurkan), karena Timur dapat dijadikan atau lebih tepatnya dipaksa menjadi “Timur”-nya orang Eropa (“boneka” Timur bagi orang-orang Eropa).[5] Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kesadaran Barat yang begitu berdaulat dan mandiri. Kesadaran inilah yang mampu memunculkan Timur sebagai “boneka” bagi orang-orang Barat. Di Barat, masyarakat pada umumnya berhak untuk mendefenisikan Timur sekehendak mereka.[6] Orientalisme merupakan kajian yang berusaha menyebarkan kesadaran-kesadaran geo-politis ke dalam teks-teks estetika, keilmuan, ekonomi, sosiologi, sejarah, dan filologi.[7]
Pada 13 Juni 1910, Arthur James Balfour berpidato di depan Majelis Rendah Inggris tentang “masalah-masalah yang berhubungan dengan pendudukan Inggris di Mesir.”[8] Balfour menjastifikasi perlunya pendudukan Inggris atas Mesir, namun pendudukan yang ia maksud lebih menyangkut soal pengetahuan Inggris tentang Mesir dan tidak sama sekali terkait dengan kekuatan militer atau ekonomi Inggris yang lebih dominan daripada Mesir. Memiliki pengetahuan atas objek ini berarti memiliki dominasi dan kewenangan atasnya.[9] Logika Balfour sangat menarik disepanjang pidatonya. Inggris mengenal Mesir; Mesir adalah apa yang dikenal oleh Inggris; Inggris tahu bahwa Mesir tidak mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri; Inggris memperkuat hal itu dengan cara menduduki Mesir; bagi orang-orang Mesir, Mesir adalah “Mesir” yang telah diduduki dan diperintah Inggris; Mesir sendiri memang membutuhkan pendudukan Inggris. Inilah premis-premis yang dapat ditemukan dalam pidato Balfour.[10]
Pengetahuan memberi kekuasaan. Dalam dialektika informasi dan kontrol yang semakin menguntungkan saat ini berlaku suatu pandangan bahwa semakin tinggi kekuasaan, semakin banyak pengetahuan yang dibutuhkan.[11] Pengetahuan tersebut adalah pengetahuan tentang bangsa-bangsa Timur, rasnya, wataknya, kebudayaannya, tradisinya, sejarahnya, masyarakatnya, dan kemungkinan-kemungkinannya.[12]
Orientalisme sebenarnya juga merepresentasikan kekuatan Barat dan “kelemahan” Timur. Terminologi “kekuatan” dan “kelemahan” ini menunjukkan begitu intrinsiknya gagasan orientalisme, sebagaimana pandangan-pandangan lain, yang selalu membagi dunia ini menjadi belahan-belahan besar, semacam entitas-entitas yang berkoeksistensi dalam suatu ketegangan yang disebabkan oleh apa yang diyakini sebagai “perbedaan radikal.” Inilah isu intelektual utama yang selalu dimunculkan orientalisme.[13] Orientalisme berhasil menjadi sejenis bidang kajian yang sarat dengan “ambisi geografis.”[14] Dunia Timur diciptakan melalui buku-buku dan manuskrip-manuskrip, bukan melalui karya-karya peniruan seperti seni ukir atau keramik.[15] Timur seolah muncul sebagai kawasan imajinatif yang tidak hanya bersumber dari sikap-sikap kontemporer dan prasangka-prasangka populer para orientalis, tetapi juga apa yang disebut Vico sebagai “kesombongan bangsa-bangsa dan cendikiawan-cendikiawan.”[16]
Selama abad XVIII, ada sejumlah unsur baru yang saling bertaut dan mengisyaratkan datangnya fase evangelis. Garis-garis besar dalam fase ini dilukiskan oleh Flaubert dalam beberapa gagasannya sebagai berikut: Pertama, dunia Timur dianggap sebagai kawasan yang jauh berbeda dengan tanah-tanah Islam.[17] Kedua, sikap yang cerdas para sejarawan Eropa yang pada waktu itu tidak saja mampu membandingkan pengalaman Eropa dengan peradaban-peradaban lain, tetapi juga mampu membandingkannya dengan peradaban-peradaban yang lebih tua. Hal ini pertanda berkembangnya antropologi sejarah abad XVIII, yang seolah oleh para cendikiawan diilustrasikan sebagai konfrontasi dewa-dewa.[18] Ketiga, adanya kecenderungan di kalangan sebagian pemikir untuk melampaui kajian-kajian perbandingan melalui sikap-sikapnya yang lebih simpatik. Kecenderungan inilah yang membuka jalan bagi orientalisme modern.[19] Keempat, munculnya dorongan dan hasrat yang kuat dari para orientalis untuk mengategorisasi alam dan manusia menjadi tipe-tipe yang berbeda.[20]
Empat unsur di atas merupakan mainstream utama dalam pemikiran abad XVIII. Mainstream inilah yang pada akhirnya menjadi penguat struktur-struktur institusional dan intelektual dari orientalisme modern. Tanpa keempat unsur tersebut, orientalisme tidak akan pernah ada. Artinya, orientalisme moderna bersumber dari unsur-unsur sekuler dalam budaya Eropa abad XVIII.[21] Hal demikian bukan berarti bahwa pola religius lama yang berasal dari sejarah dan takdir manusia, serta “paradigma-paradigma eksistensial,” dihilangkan begitu saja. Lebih sistematis, paradigma-paradigma tersebut disusun, diefektifkan, dan disebarkan kembali dalam kerangka-kerangka sekuler.[22]
Aspek-aspek esensial yang terdapat dalam teori dan praksis orientalis modern dapat dipahami, bukan sebagai suatu jangkauan yang muncul tiba-tiba dari pengetahuan objektif mengenai Timur, melainkan sebagai seperangkat struktur yang diwarisi dari masa lalu, yang disekulerisasikan, diatur kembali, dan dibentuk kembali oleh disiplin-disiplin seperti filologi, yang pada gilirannya menjadi versi-versi yang dinaturalisasikan, dimodernisasikan, dan disederhanakan menjadi supernaturalisme Kristen.[23]
Di atas segalanya, hadirnya buku ini bukanlah untuk memberikan petuah bahwa jawaban atas orientalisme adalah Oksidentalisme. Penulis yakin, tidak ada seorang pun yang dulunya dicap sebagai “orang Timur” akan senang untuk membuat “orang-orang Timur baru” atau “orang-orang Barat baru” untuk mereka kaji karena mereka merasa dirinya telah menjadi korban orientalisme selama ini. Jika pengetahuan mengenai orientalisme ini memiliki hikmah, maka hikmah tersebut diharapkan sebagai pengingat atas degradasi yang menyeleweng dari ilmu pengetahuan, pengetahuan apa pun, di mana saja, kapan saja, yang saat ini mungkin lebih parah daripada sebelumnya.[24]

0 comments